“Mas, aku mau berangkat kerja dulu!” Qizha sudah mengenakan pakaian rapi, blazer cokelat dipadu jilbab warna senada. Ia menyalami tangan suaminya yang baru saja selesai mandi.“Kmau naik apa?”“Angkot.”“Dimana kamu menunggu angkot?”“Aku akan jalan kaki dulu keluar gang. Nanti di jalan raya kan ada angkot. Atau mungkin ojek.”“Aku antar kamu ke kantor! Jangan pergi sendiri,” ucap Qasam sambil melewati Qizha.“Mas Qasam mau antar pakai apa? Jalan kaki? Lah, kita malah jalan kaki berduaan dong? Nggak lucu ah, Mas,” protes Qizha sambil tertawa mengikuti Qasam melangkah ke luar.“Aku pinjam motor.” Qasam menuju ke rumah tetangga. Rupanya teman kerjanya. Tampak Qasam mengobrol sebentar dengan teman kerjanya. “Kau mau pergi kemana?” tanya teman Qasam sambil mendorong motor matic miliknya keluar rumah, menuruni teras dan distandart-kan di halaman.“Aku mau antar istriku pergi kerja,” jawab Qasam.“Kerja? Binimu kerja?”“Ya.”“Kerja dimana?”“Di kantor perusahaan.”Lelaki beram
Sesampainya di rumah, Qasam mengembalikan motor ke pemiliknya. Tak lupa bensin diisi penuh. Qizha menunggu di teras. Pintu rumah sudah dia buka. “Bro, dari mana sih pagi pinjam motor punya Kiting dan sore pinjam lagi sama aku?” tanya Gendon, pemilik motor yang berdiri di teras rumahnya, bersebelahan dengan rumah kontrakan yang ditempati Qasam. “Antar jemput istri kerja.” “Istrimu kerja di mana?” Pertanyaan yang sama dengan yang diajukan oleh Kiting. “Di kantor perusahaan,” jawab Qasam. “Di kantor tuh bagian apa?” Gendon kepo, sama seperti Kiting. “OB juga di kantor loh, cleaning service juga di kantor.” Qasam tersenyum. “Sekretaris.” “Wih!” Gendon takjub. “Dapetinnya juga susah itu. Habis ban motor enam buah.” “Ha haaaa…” Gendon terbahak. “Binimu kan cantik, berkerier lagi. Jagain tuh jamgan sampe diambil orang. Pantesan kamu antar jemput terus sampai rela pinjam pinjam motor, rupanya buat jagain bini.” “Makasih ya motornya.” “Amanlah itu.” “Minyak motor s
“Kau…? Kenapa kemari?” tanya Wasam menatap sosok di hadapannya. Qansha. Wajah adiknya itu tampak sayu. Qansha menunduk setelah beberapa detik menatap kakak laki- lakinya itu. “Bagaimana kau bisa tahu alamat ini?” tanya Qasam masih bingung dengan kedatangan adknya. Qansha kembali mengangjat wajah, menatap Qasam. “Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?” tanya Qasam lagi. Bingung melihat adiknya yang seperti sedang memendam sesuatu. “Masuklah,” ajak Qasam. “Mas!” Qansha bukannya masuk, malah memeluk Qasam. Tangisnya pecah. Qasam makin bingung. Ada apa dengan adiknya ini? Dia membalas pelukan Qansha, menepuk-nepuk punggungnya. Qasam membiatkan saja Qansha memeluknya erat. Biarkan Qansha menyalurkan apa pun yang dia rasakan. Qanhs asedang hutuh sandaran. “Mas, aku sayang sama kamu,” ucap Qansha sesenggukan. Qizha bangkit berdiri, mendekat pada Qasam. Dia mengernyit, tak kalah bingung menatap Qansha yang tiba-tiba muncul dan bersijap begini. Namun Qizha diam saja, membiatkan
“Aku bisa sampai begini karena ingin kau bisa kembali hidup normal bersama orang tua seperti dulu lagi. Kalau kau melihat pengorbananku, pasti kau bisa mengambil keputusan bijak,” ungkap Qasam lembut. “Mama sedang sangat marah kepadaku karena menganggapku telah menyembunyikanmu, dan mungkin mama akan sangat sulit memaafkanku. Memaafkan atau pun tidak memaafkan aku, maka aku tidak akan kembali ke rumah itu lagi. Aku akan ajak istrtiku hidup mandiri di rumah sendiri. Bukan karena aku balas marah sama mama, tapi aku ingin hidup mandiri bersama Qizha. So, walau pun mama memaafkan aku, kami akan hidup di rumah lain. Jadi, jangan jadikan aku sebagai patokan untuk kau kembali pada mama.”Qansha tergugu dalam diam. Beberapa kali ia mengusap air matanya.“Pulanglah! Mama sangat merindukanmu. Lupakan semua masalah. Dendam itu sangat buruk. Apa lagi dendam pada orang tua yang mengandung dan melahirkanmu , bisa- bisa kamu kualat!” bujuk Qasam.“Mas, aku tidak tahu harus bilang apa lagi
Qansha berdiri di depan rumah dengan perasaan tak menentu. Fokus matanya tertuju ke pintu cokelat yang ada di depan mata. Satpam yang berjaga, terus memperhatikan dengan pandangan awas. Ia ikutan lega melihat Qansha bersedia pulang, sehingga ia tak mau melepaskan pandangnnya dari Qansha, takut gadis itu akan kabur.Qansha mendorong pintu hingga terbuka lebar. Ia melangkah masuk dengan pelan. Pandangannya mengedar ke sekitar. Tidak ada siapa pun di sana.Hatinya basah melihat keadaan rumah yang sudah sangat lama ia tinggalkan. Masih sama seperti saat terakhir kali ia pergi. Tidak ada yang berubah. Qansha mencium aroma lezat. Sepertinya masakan hangat baru saja disajikan di meja makan. Ia berjalan menuju ke ruang makan. Semakin mendekat, dentingan sendok dan piring bersahutan semakin terdengar jelas diiringi dengan suara orang-orang tengah mengobrol.Mereka pasti sedang makan malam.Qansha tidak berani langsung muncul ke hadapan mereka. Mungkin ia akan membuat selera makan
Sejurus pandangan langsung tertuju ke arah Qansha yang berdiri di ambang pintu. Semuanya terkejut. Habiba sampai terbengong. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha memastikan apakah penglihatannya benar atau salah?Husein sampai bangkit berdiri. Melongo menatap Qansha. Wafa pun mulutnya sampai menganga, tanpa sadar daging yang sudah terlanjur masuk ke mulutnya, tiba-tiba terjatuh balik ke piring.Hening. “Qansha! Cucuku!” Amira histeris. Menghambur dan memeluk Qansha dengan girang. Rupanya Amira lah yang kesadarannya lebih dulu pulih dibanding yang lainnya. Dia dengan cepat mendekati Qansha dan meraba-raba badan cucunya untuk memastikan kalau cucunya itu baik- baik saja.“Kamu tidak apa- apa kan? kamu baik-baik saja kan? ayo, katakan kalau kamu baik-baik saja!” Amira menatap haru.Qansha mengangguk. tatapannya tertuju pada Habiba.“Lihatlah, cucuku kembali. Apakah setlah kembali, kau masih ingin menyalahkannya? Mungkin kau menyalahkan dia kenapa mesti berpur
“Nah, ini adalah keputusan yang benar. Aku setuju, kita harus menjemput qasam. Dia sebentar lagi akan punya anak. Kita harus bisa membesarkan keturunan Qasam di rumah ini!” ungkap Amira bersemangat.“Kak Qansha!” Wafa menghambur memeluk kakaknya. Meski paling belakangan mengajak baper, namun ia tetap menunjukkan rasa solidaritas kekeluargaan. Sejak tadi sebenarnya dia sudah ingin memeluk Qansha, namun terhalang oleh kedua orang tuanya.Qansha membalas pelukan Wafa. Keduanya berpelukan sangat erat. Lama sekali. Mereka memang sering berselisih pendapat saat bersama- sama. Namun kerinduan tetap tak bisa dipungkiri saat lama tak bertemu.“Sebentar lagi kita pasti akan bertengkar lagi hanya untuk maslaah boneka, minuman, makanan, kendaraan, atau apa saja,” ucap Qansha sambil mengusap pucuk kepala adiknya.“Tidak. Aku tidak akan nakal lagi. Aku akan menurut kepadamu.”“Baiklah, aku juga tidak akan mau menang sendiri. aku akan mengalah untukmu.” Qansha menjepit hidung adiknya.
“Kamu lelah?” tanya Qasam sambil berjalan masuk ke kamar. “Enggak kok.” Qizha mengikuti Qasam masuk kamar. Kamar itu luas dan bagus. Isinya lengkap. Bersih lagi. Ada tukang bersih-bersih rumah yang datang dan pergi pada waktunya. Dialah yang menjaga rumah. Tinggalnya tidak jauh dari rumah ini, tepatnya di depan hanya berseberangan jalan saja. Inilah rumah yang ditempati oleh Qansha waktu itu. Sewaktu tinggal di sini, Qansha tidur di kamar sebelah. “Makanan dan minuman lengkap di kulkas bawah. Kalau lapar, kamu bisa ambil buah atau makanan instan yang bisa digoreng cepat. Roti dan kue juga ada,” jelas Qasam.“Jadi sebelum Qansha di sini, siapa yang menempati rumah ini?” tanya Qizha.“Tidak ada yang menempati. Aku sesekali saja kemari, kadang Fahri juga kemari menginap. Palingan tukang bersih-bersih rumah saja yang selalu beresin rumah.”“Oh. Aku buatkan kamu minum hangat ya, Mas?”Qasam menatap istrinya sejenak. Qizha memang istri yang baik, selalu menawarkan kenyamanan untuknya.“