Sejurus pandangan langsung tertuju ke arah Qansha yang berdiri di ambang pintu. Semuanya terkejut. Habiba sampai terbengong. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha memastikan apakah penglihatannya benar atau salah?Husein sampai bangkit berdiri. Melongo menatap Qansha. Wafa pun mulutnya sampai menganga, tanpa sadar daging yang sudah terlanjur masuk ke mulutnya, tiba-tiba terjatuh balik ke piring.Hening. “Qansha! Cucuku!” Amira histeris. Menghambur dan memeluk Qansha dengan girang. Rupanya Amira lah yang kesadarannya lebih dulu pulih dibanding yang lainnya. Dia dengan cepat mendekati Qansha dan meraba-raba badan cucunya untuk memastikan kalau cucunya itu baik- baik saja.“Kamu tidak apa- apa kan? kamu baik-baik saja kan? ayo, katakan kalau kamu baik-baik saja!” Amira menatap haru.Qansha mengangguk. tatapannya tertuju pada Habiba.“Lihatlah, cucuku kembali. Apakah setlah kembali, kau masih ingin menyalahkannya? Mungkin kau menyalahkan dia kenapa mesti berpur
“Nah, ini adalah keputusan yang benar. Aku setuju, kita harus menjemput qasam. Dia sebentar lagi akan punya anak. Kita harus bisa membesarkan keturunan Qasam di rumah ini!” ungkap Amira bersemangat.“Kak Qansha!” Wafa menghambur memeluk kakaknya. Meski paling belakangan mengajak baper, namun ia tetap menunjukkan rasa solidaritas kekeluargaan. Sejak tadi sebenarnya dia sudah ingin memeluk Qansha, namun terhalang oleh kedua orang tuanya.Qansha membalas pelukan Wafa. Keduanya berpelukan sangat erat. Lama sekali. Mereka memang sering berselisih pendapat saat bersama- sama. Namun kerinduan tetap tak bisa dipungkiri saat lama tak bertemu.“Sebentar lagi kita pasti akan bertengkar lagi hanya untuk maslaah boneka, minuman, makanan, kendaraan, atau apa saja,” ucap Qansha sambil mengusap pucuk kepala adiknya.“Tidak. Aku tidak akan nakal lagi. Aku akan menurut kepadamu.”“Baiklah, aku juga tidak akan mau menang sendiri. aku akan mengalah untukmu.” Qansha menjepit hidung adiknya.
“Kamu lelah?” tanya Qasam sambil berjalan masuk ke kamar. “Enggak kok.” Qizha mengikuti Qasam masuk kamar. Kamar itu luas dan bagus. Isinya lengkap. Bersih lagi. Ada tukang bersih-bersih rumah yang datang dan pergi pada waktunya. Dialah yang menjaga rumah. Tinggalnya tidak jauh dari rumah ini, tepatnya di depan hanya berseberangan jalan saja. Inilah rumah yang ditempati oleh Qansha waktu itu. Sewaktu tinggal di sini, Qansha tidur di kamar sebelah. “Makanan dan minuman lengkap di kulkas bawah. Kalau lapar, kamu bisa ambil buah atau makanan instan yang bisa digoreng cepat. Roti dan kue juga ada,” jelas Qasam.“Jadi sebelum Qansha di sini, siapa yang menempati rumah ini?” tanya Qizha.“Tidak ada yang menempati. Aku sesekali saja kemari, kadang Fahri juga kemari menginap. Palingan tukang bersih-bersih rumah saja yang selalu beresin rumah.”“Oh. Aku buatkan kamu minum hangat ya, Mas?”Qasam menatap istrinya sejenak. Qizha memang istri yang baik, selalu menawarkan kenyamanan untuknya.“
Baru saja Qasam hampir memulai adegan percintaan dengan Qizha, bel pintu berbunyi.“Ada tamu, Mas,” bisik Qizha menghentikan gerakan Qasam. Telapak tangannya menahan dada bidang pria itu.“Malam-malam begini bertamu? Gila.” Qasam tak peduli. Dia tetap melanjutkan kegiatannya, membuat Qizha menggigit bibir merasakan gerakan indah. Bel pintu tak henti berbunyi. Qasam masih melanjutkan tanpa peduli dengan suara bel. Qizha pun mengimbangi setiap gerakan sang suami. Benak Qasam kesal sekali, bisa-bisanya larut malam begini bertamu.“Mas, belnya nghak berhenti,” bisik Qizha ditengah gempuran yang tak henti, ia tak tahan mendengar bel pintu. “Biarkan saja dulu. Kalau penting, pasti tamunya menunggu. Memangnya siapa yang bertamu kemari malam-malam begini?”“Orang-orang tahunya rumah ini sering kosong, lalu siapa yang datang bertamu kalau bukan orang yang tahu di sini ada penghuninya malam ini? Nggak banyak orang yang tahu siapa penghuni rumah ini kan? Artinya tamu itu tahu siapa yang seka
“Qansha tadi mengajak kami ke kontrakanmu, dan ternyata kamu sudah tidak tinggal di sana lagi, itulah sebabnya Qansha langsung mengajak kami ke rumah ini karena meyakini kalian tinggal di sini,” ucap Habiba. “Memangnya ini rumah siapa?”Oh jadi Qansha belum sempat bercerita tentang rumah ini. Pikir Qasam. “Ini rumahku,” sahut Qasam.“Hmm… mama sampai tidak tahu kalau kamu beli rumah sebagus ini.” Habiba mengedarkan pandangan ke seisi rumah elit itu. “Bukan beli rumah, lwbih tepatnya beli tanah dan membangun rumah ini sendiri.”“Kau cerdas juga. Selama bekerja, kau membeli barang-barang dan properti penting. Itu bagus! Kulihat tadi di garasi juga sudah ada beberapa mobil,” tukas Husein yang sempat mengintip garasi yang dilapisi kaca hitam.Qasam hanya tersenyum saja.“Lalu, selain rumah dan mobil, apa saja yang sudah kau beli?” tanya Husein.Ini adalah kali pertamanya Qasam dan Husein mengobrol lebih dekat, bahkan membicarakan hal- hal mengenai probadi Qasam. Mereka jarang bertemu ka
“Jadi, kau bersungguh- sungguh untuk tinggal di rumah ini?” tanya Habiba ingin memastikan.Qasam mengangguk, lalu menggenggam tangan Qizha dan berkata, “Lihatlah, aku sudah pantas menjadi seorang ayah bukan?”Semua orang bertukar pandang dan tersenyum.“Sudah cocok, Mas. Cocok banget. Kalian itu ganteng sama cantik, jadi nanti anaknya bakalan menggemaskan!” sahut Qansha sambil tertawa gemas.“Memang sudah dua tahun lalu seharusnya kau menikah, dan sekarang setidaknya sudah punya satu anak,” komentar Husein.“Mudah-mudahan anaknya perempuan. Aamiin…” Wafa menengadahkan tangan dan mengusapkannya ke wajah saat mengucap kata ‘Aamiin’. “Kenapa kau suka keponkan perempuan?” tanya Qizha.“Karena akalau perempuan tuh bisa didandani, diapakaikan baju cantik, sedangkan laki-laki nggak asik,” jawab Wafa sambil nyengir.Seisi ruangan tertawa.“Baiklah, mama setuju kamu menempati rumah ini jika memang kamu merasa lebih baik mandiri tinggal bersama keluarga kecilmu. Mama pikir memang lebih b
Setelah keputusan Qasam untuk tinggal di rumah miliknya, kini ia dan Qizha menjalani keseharian di rumah itu. Sudah ada tiga asisten rumah tangga yang bertugas di rumah itu. Satu orang tukang masak, satu orang tukang beres-beres rumah, satu lagi tukang cuci baju. Dan seorang lelaki sebagai tukang kebun. Qizha nyaris seperti ratu di rumah itu semuanya dilayani. Sedangkan tugasnya adalah melayani suami saja. Urusan menyediakan makan dan mencucikan baju suami boleh sajs dilakukan oleh orang lain, namun urusan menyiapkan baju kerja dan segala privasi tentang suaminya, hanya Qizha yang boleh melakukannya. “Kalian harus tahu tanggung jawab masing-masing! Tugas kerja sudah dibagi!” tukas Qasam di hadapan tiga asisten rumah tangganya yang berdiri berjejer di hadapannya. Ketiganya menunduk. Mengenakan pakaian seragam warna hitam. Semuanya mengenakan hijab rapi. “Yang punya tugas memasak, maka harus bertanggung jawab pada masakan. Yang punya tugas beresin rumah, maka bertanggung jawab p
Qizha menatap Qasam dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya mendadak mendung. Ia tak menyangka Qasam bisa bicara tentang masa depan yang kekal, ini bukan masa depan di dunia, tapi masa depan di hari nanti. Siapa sangka lelaki yang kelihatan tak kenal dengan Agama dan dipenuhi dengan nafsu dendam, ternyata malah memiliki niat semulia itu. Qizha bahkan selama ini hatinya dipenuhi dengan ambisi untuk dapat membuat kehidupannya menjadi lebih baik dengan bekerja.Sekarang kehidupan itu sudah dia dapatkan, lalu apa lagi yang dia kejar? Seharusnya ia memikirkan akhirat. Hidup di dunia ini hanya sementara, kekalnya di akhirat kelak.“Kalau kau mengijinkan, aku ingin punya banyak anak tanpa perlu kamu KB. Kita tidak perlu menghalangi rezki yang Allah berikan melalui anak. Soal harta dan kesejahteraan anak-anak, semoga bisa didapatkan dari hasil kerja kerasku selama ini. itu pun jika kamu berkehendak, kalau kamu tidak mau, aku juga tidak akan memaksakan. Aku tahu kodrat wanita mengandung