“Kamu lelah?” tanya Qasam sambil berjalan masuk ke kamar. “Enggak kok.” Qizha mengikuti Qasam masuk kamar. Kamar itu luas dan bagus. Isinya lengkap. Bersih lagi. Ada tukang bersih-bersih rumah yang datang dan pergi pada waktunya. Dialah yang menjaga rumah. Tinggalnya tidak jauh dari rumah ini, tepatnya di depan hanya berseberangan jalan saja. Inilah rumah yang ditempati oleh Qansha waktu itu. Sewaktu tinggal di sini, Qansha tidur di kamar sebelah. “Makanan dan minuman lengkap di kulkas bawah. Kalau lapar, kamu bisa ambil buah atau makanan instan yang bisa digoreng cepat. Roti dan kue juga ada,” jelas Qasam.“Jadi sebelum Qansha di sini, siapa yang menempati rumah ini?” tanya Qizha.“Tidak ada yang menempati. Aku sesekali saja kemari, kadang Fahri juga kemari menginap. Palingan tukang bersih-bersih rumah saja yang selalu beresin rumah.”“Oh. Aku buatkan kamu minum hangat ya, Mas?”Qasam menatap istrinya sejenak. Qizha memang istri yang baik, selalu menawarkan kenyamanan untuknya.“
Baru saja Qasam hampir memulai adegan percintaan dengan Qizha, bel pintu berbunyi.“Ada tamu, Mas,” bisik Qizha menghentikan gerakan Qasam. Telapak tangannya menahan dada bidang pria itu.“Malam-malam begini bertamu? Gila.” Qasam tak peduli. Dia tetap melanjutkan kegiatannya, membuat Qizha menggigit bibir merasakan gerakan indah. Bel pintu tak henti berbunyi. Qasam masih melanjutkan tanpa peduli dengan suara bel. Qizha pun mengimbangi setiap gerakan sang suami. Benak Qasam kesal sekali, bisa-bisanya larut malam begini bertamu.“Mas, belnya nghak berhenti,” bisik Qizha ditengah gempuran yang tak henti, ia tak tahan mendengar bel pintu. “Biarkan saja dulu. Kalau penting, pasti tamunya menunggu. Memangnya siapa yang bertamu kemari malam-malam begini?”“Orang-orang tahunya rumah ini sering kosong, lalu siapa yang datang bertamu kalau bukan orang yang tahu di sini ada penghuninya malam ini? Nggak banyak orang yang tahu siapa penghuni rumah ini kan? Artinya tamu itu tahu siapa yang seka
“Qansha tadi mengajak kami ke kontrakanmu, dan ternyata kamu sudah tidak tinggal di sana lagi, itulah sebabnya Qansha langsung mengajak kami ke rumah ini karena meyakini kalian tinggal di sini,” ucap Habiba. “Memangnya ini rumah siapa?”Oh jadi Qansha belum sempat bercerita tentang rumah ini. Pikir Qasam. “Ini rumahku,” sahut Qasam.“Hmm… mama sampai tidak tahu kalau kamu beli rumah sebagus ini.” Habiba mengedarkan pandangan ke seisi rumah elit itu. “Bukan beli rumah, lwbih tepatnya beli tanah dan membangun rumah ini sendiri.”“Kau cerdas juga. Selama bekerja, kau membeli barang-barang dan properti penting. Itu bagus! Kulihat tadi di garasi juga sudah ada beberapa mobil,” tukas Husein yang sempat mengintip garasi yang dilapisi kaca hitam.Qasam hanya tersenyum saja.“Lalu, selain rumah dan mobil, apa saja yang sudah kau beli?” tanya Husein.Ini adalah kali pertamanya Qasam dan Husein mengobrol lebih dekat, bahkan membicarakan hal- hal mengenai probadi Qasam. Mereka jarang bertemu ka
“Jadi, kau bersungguh- sungguh untuk tinggal di rumah ini?” tanya Habiba ingin memastikan.Qasam mengangguk, lalu menggenggam tangan Qizha dan berkata, “Lihatlah, aku sudah pantas menjadi seorang ayah bukan?”Semua orang bertukar pandang dan tersenyum.“Sudah cocok, Mas. Cocok banget. Kalian itu ganteng sama cantik, jadi nanti anaknya bakalan menggemaskan!” sahut Qansha sambil tertawa gemas.“Memang sudah dua tahun lalu seharusnya kau menikah, dan sekarang setidaknya sudah punya satu anak,” komentar Husein.“Mudah-mudahan anaknya perempuan. Aamiin…” Wafa menengadahkan tangan dan mengusapkannya ke wajah saat mengucap kata ‘Aamiin’. “Kenapa kau suka keponkan perempuan?” tanya Qizha.“Karena akalau perempuan tuh bisa didandani, diapakaikan baju cantik, sedangkan laki-laki nggak asik,” jawab Wafa sambil nyengir.Seisi ruangan tertawa.“Baiklah, mama setuju kamu menempati rumah ini jika memang kamu merasa lebih baik mandiri tinggal bersama keluarga kecilmu. Mama pikir memang lebih b
Setelah keputusan Qasam untuk tinggal di rumah miliknya, kini ia dan Qizha menjalani keseharian di rumah itu. Sudah ada tiga asisten rumah tangga yang bertugas di rumah itu. Satu orang tukang masak, satu orang tukang beres-beres rumah, satu lagi tukang cuci baju. Dan seorang lelaki sebagai tukang kebun. Qizha nyaris seperti ratu di rumah itu semuanya dilayani. Sedangkan tugasnya adalah melayani suami saja. Urusan menyediakan makan dan mencucikan baju suami boleh sajs dilakukan oleh orang lain, namun urusan menyiapkan baju kerja dan segala privasi tentang suaminya, hanya Qizha yang boleh melakukannya. “Kalian harus tahu tanggung jawab masing-masing! Tugas kerja sudah dibagi!” tukas Qasam di hadapan tiga asisten rumah tangganya yang berdiri berjejer di hadapannya. Ketiganya menunduk. Mengenakan pakaian seragam warna hitam. Semuanya mengenakan hijab rapi. “Yang punya tugas memasak, maka harus bertanggung jawab pada masakan. Yang punya tugas beresin rumah, maka bertanggung jawab p
Qizha menatap Qasam dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya mendadak mendung. Ia tak menyangka Qasam bisa bicara tentang masa depan yang kekal, ini bukan masa depan di dunia, tapi masa depan di hari nanti. Siapa sangka lelaki yang kelihatan tak kenal dengan Agama dan dipenuhi dengan nafsu dendam, ternyata malah memiliki niat semulia itu. Qizha bahkan selama ini hatinya dipenuhi dengan ambisi untuk dapat membuat kehidupannya menjadi lebih baik dengan bekerja.Sekarang kehidupan itu sudah dia dapatkan, lalu apa lagi yang dia kejar? Seharusnya ia memikirkan akhirat. Hidup di dunia ini hanya sementara, kekalnya di akhirat kelak.“Kalau kau mengijinkan, aku ingin punya banyak anak tanpa perlu kamu KB. Kita tidak perlu menghalangi rezki yang Allah berikan melalui anak. Soal harta dan kesejahteraan anak-anak, semoga bisa didapatkan dari hasil kerja kerasku selama ini. itu pun jika kamu berkehendak, kalau kamu tidak mau, aku juga tidak akan memaksakan. Aku tahu kodrat wanita mengandung
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti
Qizha menatap ekspresi wajah adik tirinya yang tak pernah dia lihat selama ini, wajah itu tampak jajh lebih menyedihkan, penuh penyesalan, dan tatapan iba. Ini adalah pemandangan pertama kalinya. Wajah Sina benar-benar tampak sangat mengenaskan. Bahkan tampilannya pun berbada, dia memakai kerudung untuk menutup auratnya. Apakah ini adalah awal bagi Sina untuk taubat? Dari mata adiknya, Qizha tidak melihat dendam dan tatapan kebencian seperti dulu. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.Qizha meraih pundak Sina. “Bawa anakmu ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu.”Sina mengangguk dengan senyum dan air matanya langsung berurai. “Iya, Kak. Makasih.”***Di rumah sakit itu, Qizha dan Sina duduk di depan balita yang terbujur dengan selang infus menusuk di kaki. Si kecil tidur pulas. Qizha didampingi oleh Arini, asisten rumah tangga yang satu itu tak diijinkan jauh dari Qizha. Selalu diminta Qasam untuk mendampingi Qizha. Wajah Sina yang tadinya murung, kini
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p