Qizha berlari melewati halan rumah luas, ia sudah tak sabar ingin bertemu dengan Habiba dan menjelaskan semuanya. Tak perlu ia merasa takut pada Qasam atau pun Qansha untuk mengungkapkan kebenaran ini. Habiba dan Husein harus tahu kalau Qansha masih hidup. Mereka telah menyembunyikan kenyataan besar ini. Qizha mendorong pintu tinggi yang kemudian dia lewati. Tidak ada siapa- siapa di ruangan utama. Sepi. Rumah besar itu seperti tak berpenghuni. Qizha mencari ke ruangan lain. Siapa pun orang pertama yang dia temui, maka dia akan mengatakannya langsung. Namun ia tak menemukan siapa pun.Qizha menaiki anak tangga sambil menelepon Habiba. “Halo! Ada apa, Qizha?” sahut Habiba di seberang telepon. “Mama dimana?” tanya Qizha. “Mama di rumah. Tumben telepon mama. Kemarilah.”Qizha setengah berlari menuju ke lantai dua. Dia menurunkan ponsel dari telinga ketika mendapati Habiba tengah duduk berdua bersama dengan Husein di ruang santai itu. Tersaji makanan enak di meja, sepiring kue gur
Qizha menatap Qasam tajam. Kebohongan Qasam yang dianggap fatal, membuatnya pasrah jika harus berujung dengan perpisahan. Pernikahan mereka sudah sangat menyakitkan sejak Qizha disakiti terus- terusan hanya karena dianggap sebagai pembunuh. Setelah Qasam tahu bahwa Qizha bukanlah pembunuh, apa salahnya Qasam mengatakan yang sejujurnya bahwa Qansha masih hidup. Sedangkan Qasam masih menyembunyikan Qansha dari Qizha. “Sekarang aku sudah bisa mengukur seberapa besar kamu menganggapku sebagai istri. Setelah tahu kalau kamu sembunyikan Qansha, aku baru tahu kalau sampai detik ini aku bukanlah bagian dari hidupmu. Kamu sembunyikan Qansha dari aku karena sebenarnya kamu menganggap aku bukanlah orang yang berharga pada bagian hidupmu,” kesal Qizha.“Tidak ada kaitan antara Qansha dan kamu.”“Sangat berkaitan. Saat kamu menganggap kalau aku adalah orang yang berharga di hidupmu, maka kamu pasti akan langsung kasih tahu hal penting ini ke aku, bukan malah menyembunyikannya,” cecar Qizha yang
Qasam mengemudikan mobil. Sekilas ia melirik Qizha yang duduk di sisinya, istrinya itu diam saja. Wajah Qizha terus- terusan menghadap ke jendela. Sunyi.Tak ada pembicaraan diantara keduanya. Mereka membisu. Qasam menarik sudut bibirnya melihat istrinya yang terus mendiamkannya. Ia malah merasa tertantang, gemas sekali dengan sikap Qizha yang mulai berani marah padanya. Mobil berhenti di lampu merah. Tampak badut menari- nari di lampu merah sambil menawarkan boneka kuda, boneka kucing dan banyak boneka- boneka lainnya berukuran kecil. Qasam tak pernah peduli dengan orang-orang yang menawarkan barang- barang seperti itu. Namun, kali ini ia tertarik. Mendadak Qasam merasa ingin memegang boneka itu. Ia menutunkan kaca dan melambaikan tangan pada badut berbentuk katak. “Berapa harga bonekanya?” tanya Qasam pada badut yang menghampirinya. “Dua puluh lima ribu, Mas,” jawab badut sambil menunjukkan boneka-boneka yang dia pegangi. “Aku ambil yang itu!” Qasam menunjuk boneka kucing wa
“Kamu terus berusaha membujukku hanya karena kesalahanmu sudah terlanjur ketahuan. Ini benar- benar nggak akan mengubah hatiku. Aku sudah tahu siapa kamu yang sebenarnya, Mas,” ucap Qizha yang pendiriannya tak goyah. “Aku menyayangimu.”“Terus saja katakan itu. Tetap saja tidak akan mengubah pandangan dan penilaianki terhadapmu. Semua sudah terbongkar.”“Aku tidak sedang mengubah penilainmu terhadapku. Terserah saja penilaianmu kepadaku bagaimana. Aku tidak akan memaksakannya hanya supaya penilaianmu terhadapku bisa berubah. Hanya saja, aku ingin menunjukkan kalau aku sekarang sudah benar- benar mencintaimu.”“Setelah kamu tidak jujur padaku dan kamu masih bisa bilang kalau kamu cinta? Oke, memang ada cinta, tapi hanya sedikit. kalau kamu sungguh- sungguh cinta, pasti hal sebesar ini tidak akan kamu sembunyikan kepadaku,” sahut Qizha datar.“Pola pikirmu dan cara pandangmu itu jauh berbeda denganku. Kita tidak bisa disamakan. Kau juga tidak bisa memaksakan aku supaya bisa sejalan den
Qasam mendorong tubuh Qizha ke kasur, membuat wanita itu terbanting kecil di kasur empuk. Tatapan Qizha tajam pada Qasam. Dia sudah memendam kekesalan itu terlalu lama. "Aku sudah cukup kesal padamu, jangan membuatku makin kesal," tegas Qizha sambil bangkit hendak melompat turun dari kasur. "Biarkan saja kau kesal. Silakan marah." Qasam menyusul naik ke kasur, menimpa tubuh qizha cepat saat wanita itu hendak kabur. Sigap sekali Qasam menduduki paha Qizha dan memegangi kedua lengan wanita itu. Wajah Qizha di bawah tampak sangat kesal. "Kamu itu jahat, Mas. Kamu sudah hancurkan perasaanku. Kamu lumpuhkan hatiku dnegan cara ini. Kamu bahkan tidak jujur ke aku kalau Qansha ternyata masih hidup. Coba saja kamu bilang sejak awal, tentu aku tidak akan smearah ini. Kamu berduata. Kamu berbohong." Qizha menjerit kesal. "Qansha tidak mau kembali ke rumah," tegas Qasam cepat. Kening Qizha bertaut. Mulai berpikir tentang apa yang dikatakan suaminya. "Lalu, kalau Qansha tidak mau
Napas Qizha yang tersengal sudah tidak terdengar lagi. Dia mulai terlihat tenang. Wajahnya yang berpaling, kini menatap ke arah Qasam di atasnya. “Qansha memang masih hidup, tapi bukan semata- mata karena keinginanku menyembunyikannya dari mama dan papa, mengertilah! Toh Qansha sekarang hidupnya dalam keadaan terjamin, dia baik-baik saja dan aku terus menjaganya,” ucap Qasam. Prang!Sebuah gelas terjatuh, pecah. Suara gaduh itu membuat Qasam dan Qizha sontak menoleh ke sumber suara. Qasam menyingkir dari atas paha Qizha, sedangkan Qizha bangkit duduk. Tampak Habiba berdiri di ambang pintu. Dia baru saja membawa segelas monuman sehat yang sengaja dibikin dengan tangannya sendiri, berniat akan menyerahkannya kepada Qizha. Namun, tanpa sengaja ia malah mendengar pembicaraan barusan. “Apa katamu? Qansha masih hidup?” Habiba nyaris terlihat seperti patung dnegan membeku di tempat. Wajahnya memucat. Tubuhnya lemas. “Mama?” Qasam tak bisa berkata- kata.Lama Habiba terdiam, sampai akhi
Beberapa detik terdiam, akhirnya Qizha berlari mengejar Qasam keluar. Langkahnya sangat cepat sekali menuruni anak tangga. Sesekali kakinya samoai tersandung akibat terburu- butmru, bahkan sempat terhutjng hampir jatuh saat menginjak anak tangga terakhir kali dan menapakkan kaki ke lantai bawah. “Mas Qasam!” Qizha berseru memanggil suaminya. Ia terus berlari namun tak menemukan suaminya. Cepat sekali pria itu berlu pergi. Qizha melewati pintu utama, melewati teras dan berlari di halaman luas mengejar Qasam. Berharap masih bisa menemukan jejak suaminya. Sudut hatinya tak tega membiarkan suaminya pergi meninggalkannya. Kalau Qasam pergi, pria itu akan tinggal di mana? Suaminya tidak membawa uang sepeser pun. Bahkan sudah tidak ada lagi pemasukan mengingat fasilitan dan keuangannya sudah diputus. Lalu, bagaimana caranya pria itu bertahan hidup di tengah kerasnya dunia luar?Qizha memang marah pada Qasam, namun sejak Qasam menjelaskan situasi yang sebenarnya, kemarahannya memuai. H
Di meja makan itu, Qizha tak selera menyantap makan. Sebenarnya makanan yang disajikan enak sekali. Namun nafsu makannya memudar entah kemana. Ada Habiba yang juga tengah makan bersamanya. Sejak tadi keduanya membisu. Habiba fokus sekali dengan isi piringnya. Sedangkan Qizha terlalu sering menatap ke arah Habiba. Qizha sedang ancang- ancang memcari waktu yang tepat untuk bisa bicara tentang Qasam. Qizha ingin memberi pengertian pada Habiba agar bisa memaafkan dan memaklumi sikap Qasam mengingat Qizha sedang hamil dan sangay membutuhkan suami. Namun, sepertinya waktunya tidak tepat. Suasana hati Habiba sedang tidak kondusif. Bawaannya marah terus dan bersedih. Qizha harus mencari pembahasan yang tepat untuk kemudian bisa melipir membahas mengenai Qasam. “Mama sudah menemukan Qansha?” tanya Qizha. Habiba menatap Qizha. Ia menghela napas. “Tadi malam mama dan papa susah mencari kemana- mana tapi belum menemukan titik terang. Hasan sempat menemui mama dan bilang kalau Qansha disemb