“Kamu terus berusaha membujukku hanya karena kesalahanmu sudah terlanjur ketahuan. Ini benar- benar nggak akan mengubah hatiku. Aku sudah tahu siapa kamu yang sebenarnya, Mas,” ucap Qizha yang pendiriannya tak goyah. “Aku menyayangimu.”“Terus saja katakan itu. Tetap saja tidak akan mengubah pandangan dan penilaianki terhadapmu. Semua sudah terbongkar.”“Aku tidak sedang mengubah penilainmu terhadapku. Terserah saja penilaianmu kepadaku bagaimana. Aku tidak akan memaksakannya hanya supaya penilaianmu terhadapku bisa berubah. Hanya saja, aku ingin menunjukkan kalau aku sekarang sudah benar- benar mencintaimu.”“Setelah kamu tidak jujur padaku dan kamu masih bisa bilang kalau kamu cinta? Oke, memang ada cinta, tapi hanya sedikit. kalau kamu sungguh- sungguh cinta, pasti hal sebesar ini tidak akan kamu sembunyikan kepadaku,” sahut Qizha datar.“Pola pikirmu dan cara pandangmu itu jauh berbeda denganku. Kita tidak bisa disamakan. Kau juga tidak bisa memaksakan aku supaya bisa sejalan den
Qasam mendorong tubuh Qizha ke kasur, membuat wanita itu terbanting kecil di kasur empuk. Tatapan Qizha tajam pada Qasam. Dia sudah memendam kekesalan itu terlalu lama. "Aku sudah cukup kesal padamu, jangan membuatku makin kesal," tegas Qizha sambil bangkit hendak melompat turun dari kasur. "Biarkan saja kau kesal. Silakan marah." Qasam menyusul naik ke kasur, menimpa tubuh qizha cepat saat wanita itu hendak kabur. Sigap sekali Qasam menduduki paha Qizha dan memegangi kedua lengan wanita itu. Wajah Qizha di bawah tampak sangat kesal. "Kamu itu jahat, Mas. Kamu sudah hancurkan perasaanku. Kamu lumpuhkan hatiku dnegan cara ini. Kamu bahkan tidak jujur ke aku kalau Qansha ternyata masih hidup. Coba saja kamu bilang sejak awal, tentu aku tidak akan smearah ini. Kamu berduata. Kamu berbohong." Qizha menjerit kesal. "Qansha tidak mau kembali ke rumah," tegas Qasam cepat. Kening Qizha bertaut. Mulai berpikir tentang apa yang dikatakan suaminya. "Lalu, kalau Qansha tidak mau
Napas Qizha yang tersengal sudah tidak terdengar lagi. Dia mulai terlihat tenang. Wajahnya yang berpaling, kini menatap ke arah Qasam di atasnya. “Qansha memang masih hidup, tapi bukan semata- mata karena keinginanku menyembunyikannya dari mama dan papa, mengertilah! Toh Qansha sekarang hidupnya dalam keadaan terjamin, dia baik-baik saja dan aku terus menjaganya,” ucap Qasam. Prang!Sebuah gelas terjatuh, pecah. Suara gaduh itu membuat Qasam dan Qizha sontak menoleh ke sumber suara. Qasam menyingkir dari atas paha Qizha, sedangkan Qizha bangkit duduk. Tampak Habiba berdiri di ambang pintu. Dia baru saja membawa segelas monuman sehat yang sengaja dibikin dengan tangannya sendiri, berniat akan menyerahkannya kepada Qizha. Namun, tanpa sengaja ia malah mendengar pembicaraan barusan. “Apa katamu? Qansha masih hidup?” Habiba nyaris terlihat seperti patung dnegan membeku di tempat. Wajahnya memucat. Tubuhnya lemas. “Mama?” Qasam tak bisa berkata- kata.Lama Habiba terdiam, sampai akhi
Beberapa detik terdiam, akhirnya Qizha berlari mengejar Qasam keluar. Langkahnya sangat cepat sekali menuruni anak tangga. Sesekali kakinya samoai tersandung akibat terburu- butmru, bahkan sempat terhutjng hampir jatuh saat menginjak anak tangga terakhir kali dan menapakkan kaki ke lantai bawah. “Mas Qasam!” Qizha berseru memanggil suaminya. Ia terus berlari namun tak menemukan suaminya. Cepat sekali pria itu berlu pergi. Qizha melewati pintu utama, melewati teras dan berlari di halaman luas mengejar Qasam. Berharap masih bisa menemukan jejak suaminya. Sudut hatinya tak tega membiarkan suaminya pergi meninggalkannya. Kalau Qasam pergi, pria itu akan tinggal di mana? Suaminya tidak membawa uang sepeser pun. Bahkan sudah tidak ada lagi pemasukan mengingat fasilitan dan keuangannya sudah diputus. Lalu, bagaimana caranya pria itu bertahan hidup di tengah kerasnya dunia luar?Qizha memang marah pada Qasam, namun sejak Qasam menjelaskan situasi yang sebenarnya, kemarahannya memuai. H
Di meja makan itu, Qizha tak selera menyantap makan. Sebenarnya makanan yang disajikan enak sekali. Namun nafsu makannya memudar entah kemana. Ada Habiba yang juga tengah makan bersamanya. Sejak tadi keduanya membisu. Habiba fokus sekali dengan isi piringnya. Sedangkan Qizha terlalu sering menatap ke arah Habiba. Qizha sedang ancang- ancang memcari waktu yang tepat untuk bisa bicara tentang Qasam. Qizha ingin memberi pengertian pada Habiba agar bisa memaafkan dan memaklumi sikap Qasam mengingat Qizha sedang hamil dan sangay membutuhkan suami. Namun, sepertinya waktunya tidak tepat. Suasana hati Habiba sedang tidak kondusif. Bawaannya marah terus dan bersedih. Qizha harus mencari pembahasan yang tepat untuk kemudian bisa melipir membahas mengenai Qasam. “Mama sudah menemukan Qansha?” tanya Qizha. Habiba menatap Qizha. Ia menghela napas. “Tadi malam mama dan papa susah mencari kemana- mana tapi belum menemukan titik terang. Hasan sempat menemui mama dan bilang kalau Qansha disemb
Di sisi lain, Qasam menemui Qansha ke apartemen. Dia bergerak sangat cepat. “Kemasi barang seperlunya. Kau harus segera pergi dari sini!” titah Qasam.“Sudah. Semua sudah aku kemasi. Sejak istrimu datang kemari, aku sudah berniat akan pergi. Tapi tidak tahu harus kemana. Aku menghubungimu tapi nomermu tidak aktif.” “Ayo, cepat!” Qasam menggandeng Qansha dan membawanya pergi dari sana. Mereka naik taksi. Tujuan Qasam memindahkan Qansha bukan karena ingin memisahkan Habiba dangan Qansha. Melainkan ingin menunjukkan pada Qansha bahwa Qansha tidak sendirian, Qansha masih memiliki sosok yang memihaknya. Dengan begitu, Qansha tidak akan merasa sendiri, dia merasa memiliki sosok yang memihak dan mendukungnya. Suatu saat kelak, Qasam yakin kalau Qansha akan menyadari dengan sendirinya untuk bisa kembali pada Habiba tanpa harus dipaksa. Jika saja Habiba tiba-tiba datang ke apartemen dan menemui Qansha, pasti Qansha akan membenci Qizha karena beranggapan bahwa Qizha adalah orang yang mem
Setelah pencarian Habiba terhadap Qansha ke apartemen, rupanya ia tidak menemukan putrinya di sana. Hasil pencariannya nihil. Qizha pun lega atas hasil pencarian itu. Seisi rumah ini sedang sibuk dan fokus pada pencarian Qansha, tak ada yang seorang pun yang memikirkan Qizha, bahwa dia membutuhkan Qasam. Sudah satu minggu Qasam pergi dari rumah dan tidak kembali. Bukan hanya di rumah saja Qizha tidak melihat Qasam, bahkan di kantor pun, pria itu tak kelihatan. Tentu saja Qasam tak lagi muncul di kantor, pria itu sudah tidak bekerja lagi di sana. Hari itu adalah hari pertama Qizha masuk kantor. Habiba sudah membersihkan nama Qizha semenjak Qizha terbukti tidak bersalah. Habiba memberikan pengumuman di kantor bahwa tuduhan pembunuh bagi Qizha adalah kesalah pahaman. Fahri memasuki ruangan Qizha. Pria itu menarik kursi di hadapan Qizha dan duduk di sana.“Aku tidak mengerti kenapa Qasam mendadak diberhentikan dari tugasnya,” ucap Fahri secara tiba- tiba. “Ada apa sebenarnya?
Qizha menatap ke kaca jendela kamarnya. Hujan rintik- rintik di luar. Disaat gerimis begini, apa yang dilakukan Qasam? Apakah dia tidur kedinginan? sebenarnya Qasam tinggal dimana? Kenapa dia tidak menelepon Qizha? Apakah Qasam beranggapan kalau Qizha benar- benar sudah sangat marah dan tidak mau memaafkannya sehingga dia tidak mau menelepon Qizha?Hati Qizha jadi gundah. Dunia luar sangat keras. Apakah suaminya mampu bertahan dengan tanpa uang sepeser pun?Bagaimana makannya? Bagaimana tidurnya? Bagaimana pula kesehariannya?Ya, mungkin Qasam beranggapan bahwa Qizha sudah snagat marah sehingga tidak perlu lagi berkomunikasi.Qizha berjalan keluar kamar. Dia menuju ke teras samping rumah. Dia berdiri di sana, menatap gerimis yang makin lama makin deras. Angin sangat kencang memainkan baju yang dia kenakan. Jilbabnya pun berkibar bebas. Qizha memeluk lengannya sendiri. membayangkan apa yang terjadi pada suaminya di luar sana. Mungkin Qasam kehujanan, atau bahkan ked