Qizha menatap ke kaca jendela kamarnya. Hujan rintik- rintik di luar. Disaat gerimis begini, apa yang dilakukan Qasam? Apakah dia tidur kedinginan? sebenarnya Qasam tinggal dimana? Kenapa dia tidak menelepon Qizha? Apakah Qasam beranggapan kalau Qizha benar- benar sudah sangat marah dan tidak mau memaafkannya sehingga dia tidak mau menelepon Qizha?Hati Qizha jadi gundah. Dunia luar sangat keras. Apakah suaminya mampu bertahan dengan tanpa uang sepeser pun?Bagaimana makannya? Bagaimana tidurnya? Bagaimana pula kesehariannya?Ya, mungkin Qasam beranggapan bahwa Qizha sudah snagat marah sehingga tidak perlu lagi berkomunikasi.Qizha berjalan keluar kamar. Dia menuju ke teras samping rumah. Dia berdiri di sana, menatap gerimis yang makin lama makin deras. Angin sangat kencang memainkan baju yang dia kenakan. Jilbabnya pun berkibar bebas. Qizha memeluk lengannya sendiri. membayangkan apa yang terjadi pada suaminya di luar sana. Mungkin Qasam kehujanan, atau bahkan ked
Fara muncul membawa segelas teh hangat. Dengan senyum dia berkata, “Sialakan diminum, Non!”Qizha mengangguk, lalu meneguk separuh. “Makasih, Bi.”“Dihabiskan, Non,” bisik Fara, lalu manik matanya melirik ke arah Amira dan berbisik, “Dari pada kena sentil mami ciriwit!”Qizha tersenyum. Akhirnya meneguk sampai habis.“Mantap!” Fara mengacungkan jempol. Membawa gelas ke belakang.Qizha menatap ke arah hp nya, kemudian mengirim pesan kepada Fahri.‘Apakah sudah mendapat info tentang Mas Qasam?’Tak ada balasan. Mungkin Fahri sedang sibuk. Sebenarnya Qizha tak perlu menanyakan hal ini kepda Fahri, sebab tak mungkin Fahri diam saja jika dia sudah menemukan kabar tentang Qasam. Pasti Fahri duluan mengabari.Tak lama kemudian, Fahri membalas.‘Aku sedang usahakan. Akan aku kabari jika sudah mendapatkan informasi akurat.’“Pergilah kau ke kamar! Apa lagi yang kau tunggu? Qasam tidak akan kembali dengan kau menunggu diam di kursi begitu!” titah Amira.Qizha bangkit dari sofa, berge
Habiba menghela napas panjang. Bingung. Dia menaruh iba pada Qizha, namun juga tak ingin melepaskan Qasam dari hukuman. Qasam baru saja memulai hukumannya, bagaimana ia bisa terdidik bila hukuman langsung dicabut. Setiap orang yang bersalah harus mendapat hukuman. Dan orang yang baik akan mendapat imbalan baik pula. Begitulah pemikiran Habiba.Demikian juga Tuhan yang pastinya akan memberikan imbalan kebaikan bagi manusia yang berbuat baik, kemudian memberikan hukuman bagi orang yang melakukan dosa. Sama halnya juga pendidikan di sekolah, semua murid tentunya dihukum bila melakukan kesalahan dan melanggar aturan sekolah. Begitulah cara mereka mendidik jiwa- jiwa supaya menjadi pribadi yang lebih baik.“Aku akan memberikan pengertian pada Qizha, bhawa dia masih mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari semua orang, bukan harus dari suaminya,” ucap Habiba pada akhirnya setelah beberapa menit berpikir sangat panjang. “It’s oke.” Husein mngedikkan pundak.“Aku dan Qizha bis
“Fahri, katkan dimana Qasam?” desak Qizha tak sabar.Fahri di sberang malah diam.“Fahri, kenapa kamu diam? Ayo katakan dimana Qasam?” ulang Qizha makin tak sabar.“Aku sebenarnya kesulitan mengatakan ini kepadamu melalui via telepon begini, itulah sebabnya aku minta supaya kamu menemuiku. Aku sendiri pun tidak punya banyak waktu untuk menggerakkan kendaraanku menuju ke tempatmu saat ini. klien sudah menungguku di kafe sekarang,” sebut Fahri.“Sudahlah, tidak masalah bagiku kita bicara via telepon. Kamu hanya tinggal jelaskan saja kepadaku dimana dia,” desak Qizha lagi. “Tanpa sengaja aku menabrak seseorang yang berjalan di pingir jalan, dia berkaos putih, celana jeans dan rambut tanpa minyak. Lukanya tidak begitu parah, lututnya berdarah karena terantuk aspal. Tapi dia jadi pincang. Dialah Qasam,” jelas Fahri membuat hati Qizha nyeri.“Lalu?” tanya Qizha lirih, snagat penasaran.“Aku mengajak Qasam ke dokter, namun dia menolak. Dia mengatakan kalau dia baik- baik saja. Dia
“Stop di sini, Pak!” titah Qizha pada supir taksi yang ditumpanginya.Qizha keluar dari taksi, melangkah cepat meniti gang sempit. Pandangannya mengedar ke sekeliling. Berusaha memastikan bahwa alamat yang diberikan Fahri tidak salah.Gang begitu sempit, di kiri kanan terdapat perumahan padat penduduk, sangat rapat jarak antara satu rumah kecil dengan rumah lainnya.Jemuran pakaian tergantung tak beraturan di depan rumah, banyak juga berderet di pinggir jalan.Anak-anak berlarian, ibu- ibu berdaster duduk-duduk mengerumpi. Bapak-bapak duduk di depan rumah sambil merokok dan ngopi.Orang-orang menatapnya dengan aneh.Apakah ada yang salah dengan dirinya? Tempat ini sangat asing, membuat Qizha merasa tak nyaman. Mungkinkah Qasam betah tinggal di daerah seperti ini?Qizha menganggukkan kepala seraya melempar senyum saat berpapasan dengan orang-orang di sekitar sana. Ada yang membalas sapaannya dengan senyum ramah, ada pula yang membalas dengan raut sinis.Qizha terus melangkah di
“Ini adalah suami saya, Pak,” ucap Qizha ambil menunjuk gambar di hp nya.“Ooh… Jadi itu suaminya Mbak? Kemungkinan nanti sore dia kembali kemari lagi. Soalnya biasanya begitu.”“Apa dia nggak bilang mau kemana setiap dia pergi, Pak?” tanya Qizha.“Tidak. Saya Cuma tanya kerja dimana, dia bilang tidak bekerja karena pengangguran. Jadi ya saya pikir dia mencari pekerjaan.”“Baiklah. Aku akan tunggu di sini sampai sore nanti.”“Tunggu saja di rumah. Ayo, kerumah! Istri saya ada di rumah kok,” tawar bapak itu dengan ramah.Qizha menggeleng. “Saya di sini saja, Pak.”Bapak itu terlalu baik, dia bahkan tidak mau mencari tahu alasan apa yang membuat Qasam pergi dari rumah. Tidak ada rasa kepo yang membuatnya banyak tanya. Dia berlalu pergi memasuki rumahnya.Sampai senja tiba, Qizha masih setia menunggu. Bahkan sudah dua kali ia mengikuti shalat berjamaah di masjid itu, dhuhur dan ashar, namun batang hidung Qasam belum juga muncul.Apakah Qasam pergi menghindar saat tahu Qizha me
"Aku pikir, kau tidak bisa memaafkan aku. Dan mungkin butuh waktu lama untuk membuatmu bisa memahamiku, jadi aku merasa lebih baik jauh darimu dulu. Aku juga mengira kau tak akan peduli padaku saat aku pergi dari rumah, jadi aku merasa tidak membutuhkan hp untuk menghubungi siapa pun," sambung Qasam. "Terakhir kali aku sudah tidak marah lagi sama kamu. Aku merasa kesepian. Aku ingin bertemu denganmu.""Kau sudah memaafkan aku?" tanya Qasam."Iya. Aku sudah memaafkanmu sejak kamu menjelaskan tentang Qansha kepadaku. Tapi kamu keburu pergi.""Makanya, lain kali dengarkan dulu penjelasan orang lain, apa pun bentuk kesalahannya, kau mesti mendengar penjelasannya dulu." "Maaf!" polos Qizha.Qasam menjepit hidung Qizha dengan jarinya. Membuat Qizha langsung tersenyum. "Jangan menangis lagi." Qasam mengusap air mata di pipi Qizha.Hati Qizha berdesir diusap begitu. Sebelumnya, tak pernah ia diperlakukan selembut itu oleh suaminya. Dia hanya tahu kalau suaminya adalah orang yang kasar dan
“Kamu mau tinggal di sini nggak? Rumahnya biasa saja ini,” ucap Qizha sambil memutar kunci rumah kontrakan sederhana, kecil namun bersih. “Aku dimana saja tidak masalah.” Qasam memasuki rumah, mengikuti Qizha. Tidak ada Ac di rumah itu. Hanya ada kipas angin. “Tidur di jalanan pun tidak masalah bagiku. Bukan berarti aku terbiasa hidup mewah, lantas aku akan kaget saat hidup miskin. Aku terbiasa naik gunung, tersesat di hutan, makan daun saat kelaparan, tidur di bawah pohon beralas tanah, aku minum air laut. Aku ini hobi berpetualang. Jadi tidak akan kaget saat hidup susah,” sahut Qasam dengan santai. “Baiklah, kamu mandi saja dulu. Aku ambilkan handuk ya. Ini tadi aku beli di jalan.” Qizha mengambil handuk dadi tas yang baru dibeli. Semua barang yang dia bawa adalah barang yang baru dibeli di jalan. Termasuk pakaian milik Qasam dan juga pakaian Qizha yang nantinya akan dipakai untuk sehari-hari mereka. Qizha menyerahkan handuk yang langsung disambut oleh Qasam. Pria itu langsung