“Kamu mau tinggal di sini nggak? Rumahnya biasa saja ini,” ucap Qizha sambil memutar kunci rumah kontrakan sederhana, kecil namun bersih. “Aku dimana saja tidak masalah.” Qasam memasuki rumah, mengikuti Qizha. Tidak ada Ac di rumah itu. Hanya ada kipas angin. “Tidur di jalanan pun tidak masalah bagiku. Bukan berarti aku terbiasa hidup mewah, lantas aku akan kaget saat hidup miskin. Aku terbiasa naik gunung, tersesat di hutan, makan daun saat kelaparan, tidur di bawah pohon beralas tanah, aku minum air laut. Aku ini hobi berpetualang. Jadi tidak akan kaget saat hidup susah,” sahut Qasam dengan santai. “Baiklah, kamu mandi saja dulu. Aku ambilkan handuk ya. Ini tadi aku beli di jalan.” Qizha mengambil handuk dadi tas yang baru dibeli. Semua barang yang dia bawa adalah barang yang baru dibeli di jalan. Termasuk pakaian milik Qasam dan juga pakaian Qizha yang nantinya akan dipakai untuk sehari-hari mereka. Qizha menyerahkan handuk yang langsung disambut oleh Qasam. Pria itu langsung
“Apa kau yakin berjalan kaki? Ini bisa saja melelahkan. Kau tidak boleh kelelahan karena kau sedang hamil muda,” tutur Qasam memperingatkan Qizha. “Tidak apa-apa. Hanya berjalan ringan begini saja tidak akan membuatku keguguran. Ini rileks saja kok,” sahut Qizha dengan senyum. “Atau kau mau aku gendong?” “Hei, aku masih kuat. Kalau aku kecapekan nanti, baru aku mau minta gendong.” Qizha terkekeh. Qasam mengambil tangan Qizha dan mengalungkannya ke lengannya. Qizha tersenyum. Dengan mengenakan celana pendek selutut dipadu kaos putih, penampilan Qasam tampak sangat santai sekali. Tak akan ada seorang pun yang tahu kalau pria berpenampilan sesantai itu adalah seorang sultan. Eh tapi sekarang sultannya sedang diusir dari rumah, jadi dia sedang tidak punya apa- apa. Pandangan orang-orang di gang yang berpapasan tampak menatap mereka dengan iri. Mereka terlihat sebagai pasangan pasutri yang berbahagia, bikin hati ngiri. Wajar saja emak- emak dan para gadis pun iri melihat
“Mulutnya belepotan tuh!” Qasam mengambil tisu dan mengelap sudut bibir Qizha.“Duh, aku jadi malu. Makan bisa sampai belepotan.” Qizha tersipu. Ia mengambil alih tisu dari tangan Qasam. Lalu mengelap sekeliling mulutnya sendiri. Qasam menatap Qizha tanpa kedip, bibirnya sedikit tertarik membentuk senyum. “Mas, jangan lihatin aku begitu dong!” Qizha memalingkan wajahnya yang merah semu. Ditatap suami seintens itu membuatnya jadi salah tingkah.Qasam tidak menyahuti. Ia masih terus mengawasi wajah istrinya dan senyum kecilnya tak berubah.“Mas, ini makannya nggak habis- habis loh kalau kamu malah ngelihatin aku terus.” Qizha menempelkan telapak tangannya ke mata Qasam.Senyum Qasam makin melebar. Dia tidak menurunkan tangan Qizha, dia biarkan saja telapak tangan Qizha terus menempel di matanya. “Kita sama- sama tidak akan bisa menghabiskan makan kalau begini caranya,” tukas Qasam. “Habisnya Mas Qasam ngelihatin aku terus sih.” Qizha mneurunkan tangannya.Qasam mengali
Pagi hari, Qizha tidak menemukan Qasam di sisinya. Kemana pria itu?Qizha menggeliat sebentar setelah berdoa mengucap syukur karena saat bangun masih diberi kesempatan untuk bernapas.Qizha bangkit bangun.Begitu membuka pintu kamar, ia mencium aroma yang khas. Seperti aroma…Qizha melangkah ke dapur. Pemandangan menarik langsung menyambutnya. Qasam terlihat sedang menggoreng mie.Loh?Pria itu mengaduk- aduk mie di atas kuali.Tak lama, ia mematikan kompor, lalu menuangkan mie ke piring yang dibagi menjadi dua.“Hei, sudah bangun?” Qasam menoleh, mendapati istrinya yang berdiri di dekat meja makan dengan pandangan keheranan. Rambutnya yang lurus itu tetap terlihat rapi meski ia baru bangun tidur.“Mas, apa yang kamu lakukan? Biar aku saja.” Qizha mendekat pada Qasam ingin mengambil kuali.“Sudah sleesai. Duduklah dan makan!” Qasam meletakkan kuali ke atas kompor. Lalu duduk di kursi sambil menyodorkan mie yang telah siap saji.Qizha termenung menatap mie panas itu. warna
Qasam tetap rileks. Tak ada reaksi apa pun meski melihat Habiba menelepon Qizha.“Gimana? Aku jawab?” Qizha meminta persetujuan Qasam.“Terserah kamu saja,” jawab Qasam santai“Tt tapi… aku takut mama marah. Aku pergi tidak berpamitan. Apa lagi kalau mama tahu aku tinggal bersmaamu, apakah mam tidak akan memarahiu?” Qizha ketakutan.“Santai saja. Kamu tinggal jelaskan saja letak permasalahanmu, jangan panikan begitu!” sahut Qasam. “Jawab saja! jangan biarkan mama mencemaskanmu.”Qizha mengangguk meski ragu. Jempol mungilnya menggeser tombol hijau. Ia menekan loudspeaker supaya Qasam juga mendnegar suara Habiba di seberang. Terlebih dahulu ia mengucap salam.“Halo, Ma!”“Qizha, beberapa hari ini mma tidak melihatmu. Apa benar kau pergi dari rumah?” tanya Habiba di seberang.“Ma, maaf. maafkan aku. Aku tidak bisa jauh dari Mas Qasam. Aku menyusul Mas Qasam.”“Menyusul? Maksudmu?”“Iya, aku tinggal bersama dengan Mas Qasam. Aku tahu Mas Qasam bersalah, tapi aku ini istrin
“Mas, aku mau berangkat kerja dulu!” Qizha sudah mengenakan pakaian rapi, blazer cokelat dipadu jilbab warna senada. Ia menyalami tangan suaminya yang baru saja selesai mandi.“Kmau naik apa?”“Angkot.”“Dimana kamu menunggu angkot?”“Aku akan jalan kaki dulu keluar gang. Nanti di jalan raya kan ada angkot. Atau mungkin ojek.”“Aku antar kamu ke kantor! Jangan pergi sendiri,” ucap Qasam sambil melewati Qizha.“Mas Qasam mau antar pakai apa? Jalan kaki? Lah, kita malah jalan kaki berduaan dong? Nggak lucu ah, Mas,” protes Qizha sambil tertawa mengikuti Qasam melangkah ke luar.“Aku pinjam motor.” Qasam menuju ke rumah tetangga. Rupanya teman kerjanya. Tampak Qasam mengobrol sebentar dengan teman kerjanya. “Kau mau pergi kemana?” tanya teman Qasam sambil mendorong motor matic miliknya keluar rumah, menuruni teras dan distandart-kan di halaman.“Aku mau antar istriku pergi kerja,” jawab Qasam.“Kerja? Binimu kerja?”“Ya.”“Kerja dimana?”“Di kantor perusahaan.”Lelaki beram
Sesampainya di rumah, Qasam mengembalikan motor ke pemiliknya. Tak lupa bensin diisi penuh. Qizha menunggu di teras. Pintu rumah sudah dia buka. “Bro, dari mana sih pagi pinjam motor punya Kiting dan sore pinjam lagi sama aku?” tanya Gendon, pemilik motor yang berdiri di teras rumahnya, bersebelahan dengan rumah kontrakan yang ditempati Qasam. “Antar jemput istri kerja.” “Istrimu kerja di mana?” Pertanyaan yang sama dengan yang diajukan oleh Kiting. “Di kantor perusahaan,” jawab Qasam. “Di kantor tuh bagian apa?” Gendon kepo, sama seperti Kiting. “OB juga di kantor loh, cleaning service juga di kantor.” Qasam tersenyum. “Sekretaris.” “Wih!” Gendon takjub. “Dapetinnya juga susah itu. Habis ban motor enam buah.” “Ha haaaa…” Gendon terbahak. “Binimu kan cantik, berkerier lagi. Jagain tuh jamgan sampe diambil orang. Pantesan kamu antar jemput terus sampai rela pinjam pinjam motor, rupanya buat jagain bini.” “Makasih ya motornya.” “Amanlah itu.” “Minyak motor s
“Kau…? Kenapa kemari?” tanya Wasam menatap sosok di hadapannya. Qansha. Wajah adiknya itu tampak sayu. Qansha menunduk setelah beberapa detik menatap kakak laki- lakinya itu. “Bagaimana kau bisa tahu alamat ini?” tanya Qasam masih bingung dengan kedatangan adknya. Qansha kembali mengangjat wajah, menatap Qasam. “Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?” tanya Qasam lagi. Bingung melihat adiknya yang seperti sedang memendam sesuatu. “Masuklah,” ajak Qasam. “Mas!” Qansha bukannya masuk, malah memeluk Qasam. Tangisnya pecah. Qasam makin bingung. Ada apa dengan adiknya ini? Dia membalas pelukan Qansha, menepuk-nepuk punggungnya. Qasam membiatkan saja Qansha memeluknya erat. Biarkan Qansha menyalurkan apa pun yang dia rasakan. Qanhs asedang hutuh sandaran. “Mas, aku sayang sama kamu,” ucap Qansha sesenggukan. Qizha bangkit berdiri, mendekat pada Qasam. Dia mengernyit, tak kalah bingung menatap Qansha yang tiba-tiba muncul dan bersijap begini. Namun Qizha diam saja, membiatkan