Di meja makan itu, Qizha tak selera menyantap makan. Sebenarnya makanan yang disajikan enak sekali. Namun nafsu makannya memudar entah kemana. Ada Habiba yang juga tengah makan bersamanya. Sejak tadi keduanya membisu. Habiba fokus sekali dengan isi piringnya. Sedangkan Qizha terlalu sering menatap ke arah Habiba. Qizha sedang ancang- ancang memcari waktu yang tepat untuk bisa bicara tentang Qasam. Qizha ingin memberi pengertian pada Habiba agar bisa memaafkan dan memaklumi sikap Qasam mengingat Qizha sedang hamil dan sangay membutuhkan suami. Namun, sepertinya waktunya tidak tepat. Suasana hati Habiba sedang tidak kondusif. Bawaannya marah terus dan bersedih. Qizha harus mencari pembahasan yang tepat untuk kemudian bisa melipir membahas mengenai Qasam. “Mama sudah menemukan Qansha?” tanya Qizha. Habiba menatap Qizha. Ia menghela napas. “Tadi malam mama dan papa susah mencari kemana- mana tapi belum menemukan titik terang. Hasan sempat menemui mama dan bilang kalau Qansha disemb
Di sisi lain, Qasam menemui Qansha ke apartemen. Dia bergerak sangat cepat. “Kemasi barang seperlunya. Kau harus segera pergi dari sini!” titah Qasam.“Sudah. Semua sudah aku kemasi. Sejak istrimu datang kemari, aku sudah berniat akan pergi. Tapi tidak tahu harus kemana. Aku menghubungimu tapi nomermu tidak aktif.” “Ayo, cepat!” Qasam menggandeng Qansha dan membawanya pergi dari sana. Mereka naik taksi. Tujuan Qasam memindahkan Qansha bukan karena ingin memisahkan Habiba dangan Qansha. Melainkan ingin menunjukkan pada Qansha bahwa Qansha tidak sendirian, Qansha masih memiliki sosok yang memihaknya. Dengan begitu, Qansha tidak akan merasa sendiri, dia merasa memiliki sosok yang memihak dan mendukungnya. Suatu saat kelak, Qasam yakin kalau Qansha akan menyadari dengan sendirinya untuk bisa kembali pada Habiba tanpa harus dipaksa. Jika saja Habiba tiba-tiba datang ke apartemen dan menemui Qansha, pasti Qansha akan membenci Qizha karena beranggapan bahwa Qizha adalah orang yang mem
Setelah pencarian Habiba terhadap Qansha ke apartemen, rupanya ia tidak menemukan putrinya di sana. Hasil pencariannya nihil. Qizha pun lega atas hasil pencarian itu. Seisi rumah ini sedang sibuk dan fokus pada pencarian Qansha, tak ada yang seorang pun yang memikirkan Qizha, bahwa dia membutuhkan Qasam. Sudah satu minggu Qasam pergi dari rumah dan tidak kembali. Bukan hanya di rumah saja Qizha tidak melihat Qasam, bahkan di kantor pun, pria itu tak kelihatan. Tentu saja Qasam tak lagi muncul di kantor, pria itu sudah tidak bekerja lagi di sana. Hari itu adalah hari pertama Qizha masuk kantor. Habiba sudah membersihkan nama Qizha semenjak Qizha terbukti tidak bersalah. Habiba memberikan pengumuman di kantor bahwa tuduhan pembunuh bagi Qizha adalah kesalah pahaman. Fahri memasuki ruangan Qizha. Pria itu menarik kursi di hadapan Qizha dan duduk di sana.“Aku tidak mengerti kenapa Qasam mendadak diberhentikan dari tugasnya,” ucap Fahri secara tiba- tiba. “Ada apa sebenarnya?
Qizha menatap ke kaca jendela kamarnya. Hujan rintik- rintik di luar. Disaat gerimis begini, apa yang dilakukan Qasam? Apakah dia tidur kedinginan? sebenarnya Qasam tinggal dimana? Kenapa dia tidak menelepon Qizha? Apakah Qasam beranggapan kalau Qizha benar- benar sudah sangat marah dan tidak mau memaafkannya sehingga dia tidak mau menelepon Qizha?Hati Qizha jadi gundah. Dunia luar sangat keras. Apakah suaminya mampu bertahan dengan tanpa uang sepeser pun?Bagaimana makannya? Bagaimana tidurnya? Bagaimana pula kesehariannya?Ya, mungkin Qasam beranggapan bahwa Qizha sudah snagat marah sehingga tidak perlu lagi berkomunikasi.Qizha berjalan keluar kamar. Dia menuju ke teras samping rumah. Dia berdiri di sana, menatap gerimis yang makin lama makin deras. Angin sangat kencang memainkan baju yang dia kenakan. Jilbabnya pun berkibar bebas. Qizha memeluk lengannya sendiri. membayangkan apa yang terjadi pada suaminya di luar sana. Mungkin Qasam kehujanan, atau bahkan ked
Fara muncul membawa segelas teh hangat. Dengan senyum dia berkata, “Sialakan diminum, Non!”Qizha mengangguk, lalu meneguk separuh. “Makasih, Bi.”“Dihabiskan, Non,” bisik Fara, lalu manik matanya melirik ke arah Amira dan berbisik, “Dari pada kena sentil mami ciriwit!”Qizha tersenyum. Akhirnya meneguk sampai habis.“Mantap!” Fara mengacungkan jempol. Membawa gelas ke belakang.Qizha menatap ke arah hp nya, kemudian mengirim pesan kepada Fahri.‘Apakah sudah mendapat info tentang Mas Qasam?’Tak ada balasan. Mungkin Fahri sedang sibuk. Sebenarnya Qizha tak perlu menanyakan hal ini kepda Fahri, sebab tak mungkin Fahri diam saja jika dia sudah menemukan kabar tentang Qasam. Pasti Fahri duluan mengabari.Tak lama kemudian, Fahri membalas.‘Aku sedang usahakan. Akan aku kabari jika sudah mendapatkan informasi akurat.’“Pergilah kau ke kamar! Apa lagi yang kau tunggu? Qasam tidak akan kembali dengan kau menunggu diam di kursi begitu!” titah Amira.Qizha bangkit dari sofa, berge
Habiba menghela napas panjang. Bingung. Dia menaruh iba pada Qizha, namun juga tak ingin melepaskan Qasam dari hukuman. Qasam baru saja memulai hukumannya, bagaimana ia bisa terdidik bila hukuman langsung dicabut. Setiap orang yang bersalah harus mendapat hukuman. Dan orang yang baik akan mendapat imbalan baik pula. Begitulah pemikiran Habiba.Demikian juga Tuhan yang pastinya akan memberikan imbalan kebaikan bagi manusia yang berbuat baik, kemudian memberikan hukuman bagi orang yang melakukan dosa. Sama halnya juga pendidikan di sekolah, semua murid tentunya dihukum bila melakukan kesalahan dan melanggar aturan sekolah. Begitulah cara mereka mendidik jiwa- jiwa supaya menjadi pribadi yang lebih baik.“Aku akan memberikan pengertian pada Qizha, bhawa dia masih mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari semua orang, bukan harus dari suaminya,” ucap Habiba pada akhirnya setelah beberapa menit berpikir sangat panjang. “It’s oke.” Husein mngedikkan pundak.“Aku dan Qizha bis
“Fahri, katkan dimana Qasam?” desak Qizha tak sabar.Fahri di sberang malah diam.“Fahri, kenapa kamu diam? Ayo katakan dimana Qasam?” ulang Qizha makin tak sabar.“Aku sebenarnya kesulitan mengatakan ini kepadamu melalui via telepon begini, itulah sebabnya aku minta supaya kamu menemuiku. Aku sendiri pun tidak punya banyak waktu untuk menggerakkan kendaraanku menuju ke tempatmu saat ini. klien sudah menungguku di kafe sekarang,” sebut Fahri.“Sudahlah, tidak masalah bagiku kita bicara via telepon. Kamu hanya tinggal jelaskan saja kepadaku dimana dia,” desak Qizha lagi. “Tanpa sengaja aku menabrak seseorang yang berjalan di pingir jalan, dia berkaos putih, celana jeans dan rambut tanpa minyak. Lukanya tidak begitu parah, lututnya berdarah karena terantuk aspal. Tapi dia jadi pincang. Dialah Qasam,” jelas Fahri membuat hati Qizha nyeri.“Lalu?” tanya Qizha lirih, snagat penasaran.“Aku mengajak Qasam ke dokter, namun dia menolak. Dia mengatakan kalau dia baik- baik saja. Dia
“Stop di sini, Pak!” titah Qizha pada supir taksi yang ditumpanginya.Qizha keluar dari taksi, melangkah cepat meniti gang sempit. Pandangannya mengedar ke sekeliling. Berusaha memastikan bahwa alamat yang diberikan Fahri tidak salah.Gang begitu sempit, di kiri kanan terdapat perumahan padat penduduk, sangat rapat jarak antara satu rumah kecil dengan rumah lainnya.Jemuran pakaian tergantung tak beraturan di depan rumah, banyak juga berderet di pinggir jalan.Anak-anak berlarian, ibu- ibu berdaster duduk-duduk mengerumpi. Bapak-bapak duduk di depan rumah sambil merokok dan ngopi.Orang-orang menatapnya dengan aneh.Apakah ada yang salah dengan dirinya? Tempat ini sangat asing, membuat Qizha merasa tak nyaman. Mungkinkah Qasam betah tinggal di daerah seperti ini?Qizha menganggukkan kepala seraya melempar senyum saat berpapasan dengan orang-orang di sekitar sana. Ada yang membalas sapaannya dengan senyum ramah, ada pula yang membalas dengan raut sinis.Qizha terus melangkah di