Aneska Prameswari, wanita muda yang terpaksa menyetujui untuk menikah dengan Elvano Abraham Smith yang terpaut usia 15 tahun lebih tua darinya. Keterpaksaan tersebut adalah karena utang yang dimiliki oleh Ayah Aneska yang telah dituduh menggelapkan dana perusahaan tempatnya bekerja. Bahkan sikap dingin dan pengabaian yang ditunjukkan Elvan, tak sedikit pun mengurangi bakti Aneska sebagai seorang istri. Saat masa lalu Elvan kembali hadir di dalam pernikahannya, Aneska merasa cinta yang diam-diam hadir bertepuk sebelah tangan. Lantas, apakah Aneska akan menyerah dengan pernikahan mereka? Atau akan ada badai apa lagi yang menghampiri pernikahan mereka?
Voir plus“Papa mau kamu menikah dengan Elvano!”
Aneska terkesiap mendengar kalimat yang terlontar dari pria yang menjadi cinta pertamanya itu. Ada banyak tanya yang bercokol dalam tempurung kepalanya, tetapi tak ada daya untuk sekadar mengeluarkan suara. Mulutnya terkatup rapat dan memilih untuk beranjak. Namun, kalimat berikutnya yang dilontarkan pria itu berhasil menghentikan langkah Aneska.“Kalau kamu tidak mau menikah dengan Elvano, Papa akan masuk penjara, Nes.”Aneska bergeming sesaat sebelum kembali menatap sang ayah. Dia kembali mengempaskan tubuh di sofa dan tersenyum getir. Gadis dengan rambut sepunggung itu tersenyum tipis sambil menggeleng.“Apa maksud Papa? Anes enggak ngerti, Pa?”Pria yang berusia hampir setengah abad itu menghela napas panjang sebelum bangkit untuk mendekati anak semata wayangnya. Dia merengkuh tubuh kurus sang anak dan mencium kepalanya. Namun, belum sempat membuka kata, terdengar suara pintu diketuk.“Biar Papa saja yang buka pintunya.”Aneska memaku pandangan kepada Andi yang berjalan ke pintu dan membukanya. Lalu, mengernyit ketika melihat lima orang berdiri di ambang pintu sebelum dipersilakan masuk.“Bikinkan minum dulu, Nes.”Aneska mengangguk sebelum beranjak ke dapur untuk membuatkan minum. Lalu, kembali dan bergeming di antara sekat yang menghubungkan ruang makan dengan ruang tamu saat melihat aura ketegangan yang terpancar. Dia menajamkan telinga untuk mencuri dengar apa yang tengah dibahas para pria itu.“Saya sudah bilang akan mengganti uang itu secepatnya kepada Pak Elvano, Pak Danu.” Andi berkata sambil menunduk dalam dan meremas kedua jemarinya.Di depan Andi duduk seorang pria dengan memakai jas biru tua sedang menatap tajam dengan wajah memerah penuh amarah.“Kapan, Pak Andi? Pak Elvano sudah lelah menunggu janji-janji palsu yang selalu saja Bapak berikan. Beliau meminta kepastiannya sekarang juga!”“Saya tahu, Pak. Tolong, beri saya waktu sedikit lagi. Saya akan be—““Maaf, Pak Andi. Pak Elvano sudah terlalu lama menunggu, jadi ... silakan, Pak,” ucap Danu kepada dua petugas polisi yang duduk di sebelahnya. Kedua polisi itu bangkit dan mencekal Andi.Praaang!Sontak, orang-orang yang ada di ruang tamu menoleh ke sumber suara. Nampan beserta isinya sudah berserak di bawah kaki Aneska. Andi menatap pias anak semata wayangnya sebelum menunduk dan mengikuti lanngkah kedua polisi yang membawanya.Aneska bergegas mendekati sang ayah, kemudian mengguncang lengannya sambil berurai air mata. “Ada apa ini, Pa? Katakan ada apa!”“Bapak Andi sudah menggelapkan dana perusahaan. Karena belum mampu mengembalikan, maka kasus ini akan kami serahkan kepada pihak kepolisian.” Danu menjawab pertanyaan Aneska dengan tenang.Aneska menatap pria berkacamata itu sebelum beralih kepada ayahnya. “Ini enggak mungkin, kan, Pa? Katakan ini enggak mungkin!”Sayangnya ucapan Aneska hanya ditanggapi angin karena Andi memilih diam. Dua polisi yang mencekal Andi bergegas membawanya ke mobil. Tak percaya dengan yang dilakukan sang ayah, gadis dengan rambut sepunggung itu berlari dan menahan pintu mobil. Dia mengguncang bahu pria yang menjadi cinta pertamanya itu sambil berderai air mata.“Papa jangan diam saja. Katakan semua ini enggak benar, kan, Pa?”Polisi segera memasukkan Andi ke mobil dan menutup pintu tanpa memberikan Aneska kesempatan untuk mendapat jawaban. Lalu, deru mobil terdengar meninggalkan rumah diiringi tatapan penuh tanya para tetangga yang telah berkumpul sejak pertama kali mobil itu datang.Tak ingin memantik perhatian orang sekitar, Aneska memutar tumit dan segera masuk ke rumah. Tak lupa mengunci pintu dan merosot ke lantai sambil menutup telinga. Pikirannya buntu karena kejadian yang baru saja menimpanya.“Tidak mungkin Papa melakukan itu semua. Itu pasti hanya fitnah. Selama ini Papa selalu tampil apa adanya, lalu buat apa menggelapkan dana perusahaan? Iya, ini pasti hanya fitnah saja.”Berbagai penyangkalan terus berputar di tempurung kepala Aneska. Dia memukul kepala dan terus menggeleng untuk mengusir semua kelesah dalam dada. Tak ingin terus diperam tanya tak berkesudahan, Aneska bertekad mencari kebenaran tentang perbuatan yang dilakukan Andi. Dia bergegas menuju perusahaan di mana sang ayah telah bekerja selama sepuluh tahun.Aneska bergeming sesaat begitu sampai di depan gedung perkantoran The golden Grup. Hatinya meragu karena bingung harus mencari jawaban mengenai pertanyaan yang terus bercokol di tempurung kepalanya kepada siapa. Namun, gadis itu membulatkan tekad dan kembali melangkah ke dalam.“Bisa saya bertemu pimpinan di sini, bu?” tanya Aneska begitu sampai di depan resepsionis.“Sudah buat janji sebelumnya?”Bodohnya Aneska lupa kalau untuk bertemu dengan sang pimpinan perusahaan, dia harus membuat janji terlebih dahulu. Dia akhirnya menggeleng lemah menjawab pertanyaan resepsionis bernama Hani itu. Dia memutar tumit dan melangkah pergi dengan menunduk, menghitung setiap jengkal langkah yang dilewati sampai tanpa sadar menabrak orang.“Auw, maaf.”Aneska segera mundur sambil terus menunduk. Tampak sepasang sepatu hitam mengilat memenjarakan matanya. Lalu, tatapannya perlahan ke atas dan berhenti pada wajah orang yang berdiri di depannya. Wajah pria blasteran dengan mata biru yang dingin dan mampu menghipnotis siapa saja. Aneska menelan ludah dengan susah payah sebelum kembali mengucapkan maaf dan melewati orang itu. Lalu, kembali melangkah sampai telinganya mendengar sesuatu.“Selamat pagi, Pak Elvano.”Sontak, Aneska menoleh mendengar nama sang pimpinan The Golden Grup itu. Meskipun tak pernah bertemu langsung, Aneska pernah mendengar nama Elvano disebut beberapa kali oleh Andi. Tak ingin menyiakan kesempatan, Aneska bergegas mengejar pria yang sudah berdiri di depan lift. Dengan napas terengah-engah, gadis itu menghadang Elvano.“Bisa kita bicara sebentar, Pak. Saya Aneska, anaknya Andi Bagaskara, karyawan Bapak.”Elvano melirik sekilas sebelum menoleh kepada Danu yang berdiri satu jengkal di belakangnya. Seperti mengerti perintah sang atasan, pria yang memakai kacamata itu mencekal pergelangan tangan Aneska dan memaksanya keluar. Namun, gadis itu berontak dan kembali menghadang Abraham.“Saya mohon, Pak. Saya hanya butuh waktunya sebentar. Ini menyangkut papa saya.”Elvano kembali melirik pria di sampingnya sambil mengangguk. Lalu, memasuki lift begitu pintunya terbuka. Tak ingin menyiakan kesempatan itu, Aneska berusaha masuk, tetapi Danu kembali mencekalnya.“Saya mau bicara sebentar dengan Pak Elvano. Tolong, lepaskan saya!”“Pak Elvano akan menemui kamu. Tapi tidak sekarang. Ikut saya!”Aneska mengusap pergelangan tangannya yang terasa panas usai dicengkeram erat. Lalu, mengikuti Danu hingga sampai di ruang meeting yang terletak di lantai sepuluh. Aneska menunggu dengan gelisah sambil meremas kuat jemarinya. Menit yang berlalu terasa bagai sepanjang hari. Sesekali dia melirik jam dinding dan memastikannya tidak mati karena kehabisan baterai. Namun, sampai senja datang, pria yang bernama Elvano itu belum juga muncul.Aneska menoleh saat mendengar suara pintu dibuka. Lalu, tatapannya terpaku kepada sosok Danu.“Ikut saya, Pak Elvano menunggu di ruangannya.”Aneska segera bangkit dari duduk dan mengekor Danu sampai berada di depan pintu berwarna cokelat tua. Gadis itu melangkah masuk dan segera duduk di depan Elvano yang masih berkutat dengan berkas di depannya.Aneska menunduk dalam dan menganyam jemari karena tak berani menyela apa yang sedang dilakukan Elvano, sampai suara bariton pria itu terdengar menyapa rungu.“Jadi apa yang mau kamu katakan?”“A-apa yang sudah dilakukan papa saya sampai Bapak tega memasukkannya dalam penjara?”Elvano menyeringai sebelum melemparkan sebuah map tepat di depan Aneska. Lalu, dengan angkuhnya dia mengalihkan pandangan sambil bersedekap. Melihat sikap pria itu, Aneska menggeleng lemah sebelum meraih map di depannya.Saat masih tenggelam dalam deretan angka yang ada di tangannya, suara bariton Elvano kembali terdengar.“Andi sudah menggelapkan dana perusahaan sebesar dua milyar selama sepuluh bulan ini. Aku sudah memberinya waktu untuk membayar, tapi tak kunjung dilakukan. Salahkah jika polisi yang menanganinya?”“Itu pasti fitnah! Papa enggak mungkin melakukannya, Pak. Lalu, untuk apa Papa ambil uang sebanyak itu?”Elvano menggeleng lemah sebelum kembali fokus dengan lembaran kertas di depannya. Sementara, Aneska menggeram kesal sambil mencengkeram erat kertas yang ada di tangannya.“Apa yang bisa saya lakukan untuk menebus kesalahan papa saya, Pak?”“Kembalikan semua uang itu atau Andi akan mendekam di penjara selamanya!”“Apakah tidak ada jalan lainnya, Pak? Jujur, saya tidak punya uang sebanyak itu, jika menjual rumah pun pasti tak akan cukup menutup semua utang Papa.”Aneska diperam kelesah di tempat duduknya. Dia kembali meremas kuat jemarinya sebelum menatap Elvano yang mengabaikannya. Pikiran gadis itu berkecamuk karena semua jalan seperti buntu di hadapannya. Namun, di balik setiap musibah pasti ada secercah asa yang tersimpan.“Jadi bagaimana?”Sontak, Aneska gelagapan menanggapi pertanyaan yang dilontarkan Elvano. “Ehm, saya akan bekerja dan mencicil semua utang papa saya, Pak.”“Mau sampai kapan?” tanya Elvano diiringi tawa berderai. “Apa sanggup kamu mengembalikannya dalam waktu satu minggu?”Aneska menelan ludah dengan susah payah karena asanya kembali lindap. Dia memutar otak, tetapi kembali lagi semua buntu hingga tawaran yang diajukan Elvano berhasil membuatnya membeliak tak percaya.Kehidupan pernikahan Aneska dan Elvano makin penuh kehangatan usai semua halangan yang sempat menghadang menghilang. Tinggallah kebahagian yang tengah melingkupi. Shanka makin aktif dan pintar di sekolah, janin kembar yang ada dalam kandungan Aneska juga berkembang dengan baik dan sehat. Dua hal itu yang membuat Elvano makin menyayangi anak dan istrinya.Usai sembuh dari sakitnya dan pulih, Elvano kembali menyambangi perusahaan The Golden Grup dan mengawasi anak buahnya. Dia juga melebarkan usaha di beberapa bidang untuk menambah pundi-pundi rekeningnya.Hubungannya dengan berbagai relasi bisnis berjalan dengan baik, sehingga bisnis yang dijalankan Elvano mengalami kemajuan dengan pesat. Namun, dia tidak mau silau dengan semua kekayaan yang didapat. Pria itu selalu menyisihkan beberapa persen dari penghasilannya untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Semua itu tak luput dari perhatian Aneska yang selalu mengingatkannya.“Aku sudah engagk punya orang tua lagi, Mas. Aku merasakan b
Shanka kembali muntah dan membasahi ranjang. Dia menangis karena kerongkongannya sakit. Sambil menahan lemas di tubuh, dia menatap orang tuanya.“Enggak apa-apa, Sayang. Kita ke kamar mandi buat basuh tubuh kamu, ya? Biar Bunda yang bersihin ranjangnya.”Elvano memapah sang anak menuju kamar mandi untuk membilas tubuh dan menggantinya dengan baju yang bersih. Sementara, Aneska mengganti seprai dan segera membersihkannya. Lalu, membawa semua baju kotor itu ke tempat cuci sebelum kembali untuk melihat Shanka yang terbaring lemas di kamarnya.“Shanka bagaimana, Mas?”“Aku sudah memberi minyak angin dan mengurut punggungnya. Sepertinya sudah agak tenang. Mudah-mudahan dia bisa tidur setelah ini.”“Syukurlah kalau begitu.”Bertepatan dengan itu, terdengar suara pintu diketuk. Aneska menoleh dan mendapati Bi Minah sudah berdiri di ambang pintu. Wanita itu mendekat dan tersenyum.“Ada apa, Bi?”“Di bawah ada orang yang mau terapi Tuan, Nyonya.”“Makasih, ya, Bi. Tolong buatkan minum
Mendung menggelayut manja di langit pagi itu. Udara dingin perlahan membekap dan menyeruak di antara para pelayat yang datang ke area pemakaman. Tak ada air mata yang tampak mengiringi kepergian seorang wanita berparas cantik itu. perlahan, rintik turun membasahi bumi, mengisyaratkan bagaimana kewsedihan tengah menyelimuti orang-orang yang menghadiri pemakamannya.Aneska menggamit erat lengan Elvano yang berdiri sambil berpegangan pada kruk. Kacamata htam yang bertengger di hidungnya, mengaburkan gurat kesedihan yang membayangi selama prosesi pemakaman berlangsung. Sementara, di sebelahnya pria dengan manik mata biru itu menatap lurus gundukan tanah merah yang basah di depannya. Di balik kacamata hitam yang dikenakannya, tampak gurat kekecewaan yang kentara.Bersama pelayat yang pergi meninggalkan area pemakaman, Elvano berjalan tertatih menuju mobil bersama Aneska. Tak ada satu pun kata yang terucap dari mulut keduanya hingga sampai di dalam kendaraan.Aneska menggenggam erat jema
Aneska segera beranjak ke dapur dan kembali sambil membawa segelas air sebelum mengangsurkannya kepada Elvano.“Minum dulu, Mas. Tenangin diri kamu sebelum cerita apa yang sudah terjadi.”Elvano mengambil gelas dari tangan sang sitri sebelum meneguknya hingga tandas. Dia mengatur napas sejenak sebelum menatap lekat Aneska yang tampak cemas di sampingnya.“Aku tadi bermimpi, Sayang. Aku bermimpi kembali ke masa penyekapan Shanka di rumah orang tua Zaya. Aku melihat bagaimana mereka membuat anak kita ketakutan, Sayang.”Elvano menjeda ucapan karena perih kembali membayangkan apa yang sudah dilalui Shanka selama beberapa jam bersama Mazaya dan Arman. Dia menatap sang anak yang masih pulas tertidur di dekatnya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala bocah itu. tepat saat itulah Shanka terjaga dan langsung mengerjap pelan.“Ayah kenapa?” tanya Shanka sambil mengucek mata dan beringsut duduk.“Ayah mimpi buruk tadi, Sayang. Maafkan Ayah, ya?” Elvano kembali mengusap kepala Shanka seb
“Memicu apa, Sayang? Aku enggak paham apa yang kamu bicarakan?”Aneska tersenyum tipis menanggapi pertanyaan suaminya. Dia memilih tak memperpanjang lagi pertanyaan untuk mencecar sebuah kejujuran. Wanita itu tak ingin sang suami merasa tertekan dan berujung kepada sakit kepala yang akhirnya menyiksa.“Enggak usah dipikirin lagi soal itu, Mas. Sekarang kita ke belakang, yuk!”Aneska mendorong kursi roda Elvano menuju halaman belakang, kemudian mengajaknya duduk di ayunan yang terletak di dekat kolam renang.“Kamu ingat saat kita di sini bertiga, Mas? kamu sama Shanka renang berdua dan aku duduk di sini sambil baca buku.”“Hem. Ingin rasanya menarikmu untuk ikut berenang. Sayangnya, tak pernah bisa.”Elvano terkekeh, pun dengan Aneska. Lalu, keduanya saling menautkan jemari sambil menerawang jauh. Hening meningkahi keduanya hingga beberapa jenak sampai terdengar suara Shanka dari ambang pintu.“Bunda, Shanka boleh main bola enggak?”Aneska menoleh dan mengangguk sekilas sambil
“Kamu kenapa, Mas?” tanya Aneska dengan nada panik melihat Elvano makin meringis kesakitan.Wanita itu segera menyuruh sang sopir untuk berbelok arah menuju rumah alih-alih meneruskan lajunya sampai ke kantor. Sepanjang perjalanan, Aneska melihat wajah suaminya memucat dengan keringat dingin sebesar biji jagung memenuhi dahinya. Tangan pria itu sibuk memegangi kepala yang berdenyut hebat. Sementara, Aneska makin diperam kelesah sambil sesekali menatap jalanan.Setibanya di rumah, Aneska mendorong kursi roda sang suami hingga sampai di kamar. Lalu, membantunya berbaring di ranjang sebelum beranjak ke dapur untuk mengambil air minum.“Minum obatnya dulu, Mas.” Aneska berkata sambil menyerahkan obat pereda nyeri yang diberikan bersamaan dengan kepulangan Elvano dari rumah sakit.Elvano langsung meneggak obat bersama air minumnya, kemudian memejamkan mata sejenak untuk meredam nyeri yang terasa menyiksa. Melihat itu, Aneska langsung mengambil tisu dan mengelap keringat yang membasahi
Aneska tergagap dan langsung mendorong dada suaminya saat mendengar suara teriakan Shanka. Lalu, menoleh dan mendapati raut penuh kemarahan terpancar dari wajah sang anak. Sementara itu, Elvano terkekeh dan memanggil Shank dengan melambaikan tangannya.“Ke sini, Jagoan!” titahnya yang langsung dituruti sang anak. “Memang apa salahnya Ayah sama Bunda menunjukkan kasih sayang dengan berciuman, hem? Itu salah satu cara untuk mempererat hubungan kami.”“Benarkah?”“Tentu saja. Apakah perlu Ayah tunjukkan juga dengan menciummu?” tanya Elvano yang langsung menyematkan kecupan di pipi sang anak.Shanka terkekeh geli karena cambang halus yang menumbuhi dagu sang ayah menyentuh permukaan kulitnya. Sayangnya, Elvano tak menggubris dan makin sering menciumnya.“Geli, Ayah. Sudah cukup! Geli!” seru Shanka sambil mendorong dagu sang ayah agar menjauh. “Bersihkan dulu itu baru nanti Shanka cium balik.”Elvano tergelak sebelum melepaskan sang anak. “Mandilah! Nanti kita ketemu di meja makan un
Usai Elvano terjaga dari tidur panjangnya selama sebulan, terapi untuk kesembuhannya mulai dijadwalkan. Kaki yang kaku karena terlalu lama berbaring, mulai menjalani pemijatan sebelum belajar untuk berjalan.Melihat semangat kesembuhan yang terpancar dari wajah sang suami, Aneska selalu mendampinginya. Wanita itu ikut menyunggingkan senyum dan menyemangati Elvano. Tak ada yang berubah dari diri pria itu, kecuali ingatan tentang kejadian saat pembebasan sang anak. Trauma yang mendalam akibat luka yang ditorehkan Arman, membuat Elvano kehilangan memori hanya saat kejadian penganiayaan itu.Aneska bersyukur karena kejadian buruk itu yang menghilang dari ingatan seorang Elvano. Dia sendiri pun tak ingin sang suami merasa sangat bersalah karena melihat Shanka ikut merasakan sakitnya terluka. Wanita yang tengah hamil itu selalu mengalihkan perhatian setiap kali Elvano bertanya apa yang menyebabkannya terbaring lemah di rumah sakit. Hanya kecelakaan tunggal yang dia jadikan alasan sakitnya
Aneska langsung mendekat dan mengguncang tubuh Gavin. Namun, pria itu bergeming sejenak sebelum menghela napas panjang dan menatap lekat wanita di depannya.“Mas Elvan masih belum sadarkan diri, Nes. Tadi, dia sempat gagal napas. Untung saja, dia masih bisa kembali.”Aneska langsung membekap mulut dan meluruh ke lantai sambil terseduh. Hatinya berdentam lara karena bayangan buruk yang sempat melintas di kepalanya. Beruntungnya Tuhan masih berbaik hati memberikan kehidupan kepada sang suami.Gavin mendekat dan langsung membantu Aneska untuk berdiri, lantas memeluknya erat. “Sudah, Nes. Aku yakin sebentar lagi Mas Elvan pasti bangun dari tidurnya. Kamu jangan putus berdoa, ya?”Gavin melerai pelukan dan menatap lekat wajah wanita di depannya. Lalu, menuntun Aneska untuk duduk di bangku dan mengusap bahunya. Dia lakukan hal itu semata-mata hanya untuk menenangkan tanpa ada maksud lainnya. Melihat wanita di sampingnya sudah lebih tenang, Gavin bangkit dari duduk.“Pulanglah, Nes. Bia
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires