Aneska menatap lekat manik mata biru milik Elvano setelah mendengar ucapan yang terlontar dari bibirnya. Dia mengerjap pelan dan mencerna setiap kalimat yang terdengar rungunya. Melihat gadis itu masih bungkam, Elvano kembali mengulang ucapannya.
“Menikahlah denganku, maka semua utang Andi akan aku anggap lunas!”Aneska menunduk dalam. Dia menganyam jemari sambil berulang kali menghela napas berat. Jujur, dia bingung harus mengambil keputusan bagaimana. Dia bergeming cukup lama sebelum memberanikan diri untuk menatap Elvano.“Apakah tidak ada solusi lainnya, Pak? Jujur, saya masih belum ingin menikah.”“Apakah Andi tidak mengatakan apa pun kepadamu?” Melihat Aneska mengernyit heran, Elvano menggeleng lemah sambil tersenyum mengejek. “Andi sudah menyanggupi kalau tidak bisa mengembalikan uang perusahaan, maka kamu yang akan menjadi jaminannya.”“Maksudnya, Pak? Saya dijual Papa demi menutupi utang itu?”Melihat Elvano mengangguk, lemas sudah sekujur tubuh Aneska. Dia tidak menyangka bahwa sang ayah tega menjualnya. Ribuan kata yang sudah dipelajari sejak kecil, lesap begitu menyadari kenyataan yang tersaji di depan mata. Gadis itu perlahan menunduk dalam sambil meremas kuat ujung bajunya.Sakit masih merajai hati Aneska. Namun, dia juga tak mampu melihat pria yang menjadi cinta pertamanya harus mendekam di penjara. Tidur beralaskan lantai dingin dan keras serta berbagi ruangan yang pengap dengan beberapa orang tahanan. Kenyataan itu sungguh menguras emosi Aneska. Dengan mengesampingkan ego, Aneska kembali menatap Elvano. “Saya akan terima tawaran Bapak untuk menikah. Jadi, tolong bebaskan papa saya.”“Keputusan yang tepat. Aku akan tepati janji untuk membebaskan Andi. Sekarang siapkan diri kamu karena seminggu lagi pernikahan itu akan terjadi.”Bagai dihantam palu godam mendengar ucapan Elvano. Secepat itukah pernikahan karena keterpaksaan akan berlangsung. Namun, tak ada lagi yang patut disesali karena keputusan sudah diambil. Tak mengapa dia berkorban untuk kebebasan sang ayah.Meskipun bersedia menikah, Aneska dihinggapi beribu tanya yang bercokol dalam tempurung kepalanya."Bolehkah saya bertanya, Pak? Kenapa Bapak mau menikahi saya? Padahal kita baru saja bertemu." Elvano mengembuskan napas kasar mendengar pertanyaan Aneska. Sekejap mata, perjanjian tentang hak waris dan peralihan saham perusahaan yang terjadi antara dirinya dengan sang ayah kembali menyeruak dalam kepala. Jika pria itu tidak menikah dalam kurun waktu tiga bulan, maka seluruh aset dan saham perusahaan akan dialihkan kepada orang lain. Otomatis Elvano akan menderita, dan dia sangat benci akan hal itu."Aku butuh istri agar tetap menjadi ahli waris dari keluarga Abraham Smith."Aneska terkejut mendengar penuturan Elvano. Ada gemuruh dalam dada gadis itu, tetapi tak sanggup untuk mengatakan sesuatu. Dia hanya mampu menunduk dalam dengan tangan terkepal di paha."Kalau kamu sudah paham dengan penjelasanku, silakan keluar dan persiapkan dirimu mulai dari sekarang."Aneska menghela napas berat. Kepalanya mendadak berdenyut hebat karena merasakan beban yang teramat berat. Sekejap mata, bayangan Andi berkelebat di kepala.“Anes harus bagaimana, Pa? Anes bingung sekarang.”Tak ingin menambah beban makin berat, Aneska membawa langkah beratnya menuju rumah. Sedih yang sempat hinggap perlahan lesap begitu melihat Andi sudah duduk di teras. Perasaan lega sekaligus bahagia membawa langkahnya untuk segera menghambur memeluk sang cinta pertamanya.***Suasana riuh terdengar dari salah satu gedung tempat di mana resepsi pernikahan antara Aneska dan Elvano digelar secara mewah. Aneska menyematkan senyum penuh kepalsuan, sedangkan Elvano menunjukkan raut tak suka yang sangat kentara. Sesekali gadis itu melirik sang suami, tetapi langsung mengalihkan tatapan kepada para tamu. Usai keriuhan itu, Aneska langsung diboyong Elvano ke rumahnya.Pada ruang tamu, kedua pasangan pengantin baru itu saling duduk berhadapan. Aneska memilih menunduk dalam sambil meremas kuat jemarinya, sedangkan Elvano menatap tajam gadis di depannya.“Aku mau bicara denganmu.”Aneska mengangkat wajah dan menatap lekat wajah pria yang baru saja menghalalkannya beberapa jam lalu. Wajah tampan itu terlihat dingin dengan sorot mata yang tengah memindai dirinya. Namun, tak ada keinginan Aneska untuk membuka mulut, sehingga hanya diam yang bisa dilakukannya.“Kita sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini. Kita sama-sama punya kepentingan, sehingga pernikahan ini terjadi. Jadi, mari kita buat kesepakatan."Kalimat yang dilontarkan Elvano sontak membuat Aneska terkejut. “Kesepakatan apa, Mas?”Elvano menghela napas panjang. Jujur, dia muak dengan pernikahan karena keterpaksaan itu. Namun, demi mencapai tujuannya, mau tidak mau, dia harus mengalah.“Aku mau kita tidak saling mencampuri urusan masing-masing, tapi bersikap layaknya pasangan pengantin baru di depan semua orang. Pernikahan kita memang hanya karena terpaksa, tapi aku tak akan menelantarkanmu. Aku akan mencukupi semua kebutuhanmu.”Aneska hanya mengangguk, menyetujui semua ucapan yang terlontar dari mulut suaminya. Melihat sikap gadis itu, Elvano kembali melajutkan ucapannya.“Aku juga minta untuk saat ini kita tidak tidur sekamar dulu.”Lagi, Aneska hanya mampu mengangguk menyetujui apa pun yang diucapkan Elvano. Dia sendiri juga bingung harus bersikap bagaimana, sehingga mengiakan semua ucapan sang suami.“Boleh aku bicara juga, Mas?” Melihat Elvano hanya bungkam sambil menyandarkan punggung dan bersedekap, Aneska melanjutkan ucapannya. “Aku akan terima semua keputusanmu dengan ikhlas, Mas."Aneska menjeda ucapan untuk menetralisir gelebah dalam dada. Dia menghela napas panjang dan menatap pria yang duduk di depannya sebelum melanjutkan ucapan."Tapi, izinkan aku mengurus semua keperluanmu sebagai bakti seorang istri kepada suaminya."“Lakukan apa pun yang kamu mau. Asal jangan mengusik hidupku.”Elvano segera bangkit dari duduk dan berjalan menaiki tangga sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Di belakangnya ada Aneska yang mengikuti sambil menyeret koper. Ketika berhenti di depan pintu kamar berwarna putih, Elvano berhenti dan menatap istrinya.“Ini kamarmu.”Elvano segera berlalu ke kamar yang terletak tepat di samping kamar Aneska. Dia melenggang masuk dan meninggalkan istrinya tanpa kata. Gadis itu menghela napas panjang sebelum melangkah masuk dan bergeming di depan pintu.“Ya Tuhan, kuatkan aku menghadapi pernikahan ini. Aku tahu ini sudah menjadi ketetapan yang harus aku jalani dengan ikhlas."Aneska langsung menyusut sudut matanya yang berair. Lalu, melenggang masuk kamar dan mulai menyusun baju-bajunya di lemari sebelum mengempaskan tubuh di depan meja rias. Perlahan, dia menghapus riasan dan tersenyum getir menatap pantulan dirinya di cermin.“Enggak. Aku enggak boleh tunjukkan kesedihan ini ke semua orang. Aku harus kuat dan membuat semua orang percaya kalau aku bisa bahagia.”Dengan senyum tersumir, Aneska bangkit dari duduk dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Mungkin guyuran air dingin bisa menenangkan jiwanya yang sempat terkoyak karena ucapan Elvano. Sepuluh menit berlalu, Aneska menyudahi acara mandi dan segera berpakaian.Aneska keluar kamar bersamaan dengan Elvano. Mereka saling tatap sesaat sebelum Aneska memutus pandangan dengan menunduk. Lalu, kembali mendongak begitu mendengar langkah sang suami.“Mas mau ke mana?”“Ketemu teman.”Tepat saat itulah ponsel yang dipegang Elvano berdering. Pria itu bergegas menjawab panggilan sambil terus melangkah.“Iya. Sebentar lagi aku ke sana.”Aneska menghela napas panjang sambil menatap kepergian sang suami hingga menghilang di balik pintu utama. Dia kembali meneruskan langkah ke dapur untuk mengambil air minum dan membawanya ke kamar. Gadis itu meregangkan otot sejenak sebelum meneguk air, kemudian merebah dan memejamkan mata.Tepat jam dua dini hari, Aneska terjaga setelah mendengar suara pintu digedor. Dia bergegas bangkit dan menuruni tangga menuju pintu utama untuk membukanya. Melihat Elvano pulang dalam keadaan kacau dan bau alkohol yang menguar dari tubuhnya, Aneska mengernyit.“Mas dari mana? Kok, baru pulang jam segini? Mas mabuk, ya?”Elvano menggeram kesal dengan tangan terkepal mendengar rentetan pertanyaan yang dilontarkan Aneska. Dia menjambak rambut sebelum berbalik, lantas menatap Aneska penuh kebencian. Pria itu mengikis jarak, sedangkan Aneska mundur perlahan saat melihat mata sang suami memerah.Elvano langsung mencengkeram erat dagu Aneska dan menatapnya nyalang. Lalu, satu tindakan yang dilakukan Elvano berhasil membuat Aneska kembali terkesiap.“Apa yang kamu lakukan, Mas?” Aneska mengelap bibir setelah Elvano mencuri ciuman darinya dengan kasar. Dia menatap jijik sang suami yang tergelak di depannya. Dia terus menatap sang suami yang menyunggingkan senyum mengejek sebelum berjalan sempoyongan sambil menaiki tangga. Gadis itu menghela napas berat sebelum memasuki kamar dan kembali mengelap kasar bibirnya. Bayangan Elvano yang menciumnya kembali berkelebat di kepala, ditambah dengan bau alkohol yang tercium membuat gadis itu merasakan mual. Lelah mengeja sikap sang suami yang berubah, Aneska memilih segera merebah dan memejamkan mata hingga suara alarm terdengar tiga jam kemudian. Dia bergegas turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan. Dua porsi nasi goreng dengan telur mata sapi telah terhidang di meja bertepatan dengan Elvano yang terlihat menuruni tangga sambil mengaitkan kancing jas biru tuanya. “Sarapan dulu, Mas.” Aneska memasang senyum semanis mungkin untuk menyambut sang suami di meja makan
“Ada hubungan apa kamu sama dia, Mas?”Elvano tak menggubris ucapan Aneska. Dia meneruskan langkah sambil memapah wanita yang memakai dres di bawah lutut berwarna ungu muda. Wanita itu tampak pucat dan berjalan sambil memegang perutnya. Merasa diabaikan, Aneska mencekal lengan suaminya. “Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas? Dia siapa?” “Apa penting sekarang aku jawab pertanyaanmu? Dia sedang kesakitan.” “Tapi aku berhak tahu, Mas. Aku ini istrimu.” Elvano menggeram kesal sebelum menepis kasar tangan Aneska. Lalu, meneruskan langkah sambil memapah wanita dengan rambut sepunggung itu. Sekilas, Aneska bisa melihat tatapan penuh kemenangan yang diperlihat wanita itu saat berbelok sebelum menghilang di balik pintu kaca. Aneska menjerit dalam hati karena sakit melihat sikap sang suami yang begitu mengkhawatirkan wanita lain. Apakah dia juga bisa merasakan hal itu mengingat semua perkataan dan sikap Elvano yang begitu dingin, bahkan sudah ditunjukkan sejak pertama kali menikahinya. Aneska
“Kalau kamu mencintainya, kenapa mau menikahi aku, Mas?” “Mazaya terlalu sibuk dengan kariernya, sedangkan aku butuh istri dalam waktu cepat. Saat ada yang menawarkan anak gadisnya, salahkah kalau aku menerimanya?"Aneska menelan ludah yang terasa kelat di tenggorokan. Impian bisa membina rumah tangga bahagia seperti pasangan pengantin baru lainnya pupus sudah. Lelaki yang diharapkan bisa membawanya ke lembah kenikmatan, justru menusukkan belati tepat di hatinya. Aneska terguguk sambil mencengkeram erat baju bagian depannya. “Kenapa? Merasa tersakiti? Tapi itulah kenyataannya. Aku menikahimu hanya untuk mendapatkan hak waris dan peralihan saham The Golden Grup."Aneska segera menyusut air matanya sebelum menoleh kepada sang suami yang menatapnya sinis. Ada begitu banyak luka yang ditorehkan pria itu, tetapi Aneska meyakinkan diri bahwa semua itu hanya sementara. Elvano pasti akan berubah seiring berjalannya waktu. Ya, dia hanya perlu bersabar dan bertahan. “Apakah setelah mendapatka
[Sampai ketemu di tempat biasanya, Zaya.] Aneska membeliak membaca pesan yang dikirimkan Elvano. Dia sampai membekap mulut saking tak percaya dengan apa yang terpampang pada layar ponselnya. Namun, beberapa detik kemudian, pesan itu sudah terhapus. “Bukankah Mas Elvan bilang kalau mau keluar kota? Kenapa dia mengirimkan pesan seperti ini? Apa mereka janjian untuk bertemu?” tanya Aneska dalam hati. Aneska menggeleng lemah sebelum kembali menatap layar ponselnya. Dia membuka ruang percakapan singkat dan mencari kontak Elvano, kemudian mengetik pesan singkat. [Aku izin kuliah, ya, Mas.] Lima menit berselang, pesan singkat Aneska hanya berstatus centang satu. Gadis yang menguncir rambut ke atas itu menghela napas panjang sebelum memasukkan ponsel ke dalam tas dan bangkit dari duduk. “Lebih baik aku pergi kuliah sekarang juga sebelum terlambat.” Aneska bergegas keluar rumah dan memesan ojek online untuk mengantarkannya ke kampus. Satu jam berselang, gadis itu telah sampai di dalam ke
Aneska bergeming sesaat di ambang pintu melihat Mazaya kesusahan memapah Elvano. “Kenapa bengong saja di situ? Cepat tolong aku!” Aneska tergagap dan segera membantu Mazaya memapah Elvano ke kamarnya. Aroma alkohol bercampur asap rokok tercium dari tubuh pria itu. Namun, dia harus menahan napas sambil menahan berat tubuh sang suami, hingga berhasil merebahkannya ke ranjang. Napas Aneska terengah-engah sambil menatap lekat Elvano yang terpejam dengan napas teratur.Meskipun pulang dalam keadaan berantakan, ketampanan pria pemilik manik mata berwarna biru itu tetap terpancar. Rahang yang tegas dengan sedikit cambang menghiasi dagu hingga dekat telinganya. Untuk sesaat, Aneska terhipnotis dengan suaminya sendiri.“Titip Mas Elvan, aku pulang dulu, ya?” Aneska segera menoleh begitu mendengar suara Mazaya. Dia lupa jika masih ada wanita yang menjadi cinta pertama suaminya. Akhirnya, gadis itu mengangguk lemah dan mengekori Mazaya hingga sampai di pintu utama. Untuk sesaat, gadis itu bisa
“Aku ke sini cuma mau anterin bajunya Mas Elvan.”Mazaya berkata sambil menyerahkan koper yang kemarin dibawa oleh Elvano ke luar kota kepada Aneska. Setelahnya, dia berbalik dan melenggang ke mobil.Aneska menatap kepergian wanita itu dalam diam sebelum menarik koper ke dalam dan membukanya. Mengeluarkan semua isinya dan memasukkan ke mesin cuci. Saat tengah memilah baju kotor tersebut, tanpa sengaja matanya terpaku kepada benda segitiga berenda warna merah milik seorang wanita.Aneska menghela napas panjang sambil menggenggam erat benda itu sebelum memasukkan kasar ke dalam mesin cuci.“Sudah sejauh itukah hubungan mereka? Kenapa mereka tidak menikah saja, daripada harus sembunyi-sembunyi seperti ini?” tanya Aneska bermonolog.Aneska menggeleng lemah dan tertawa kering menyadari statusnya di rumah itu. Sebanyak apa pun dia berusaha menampilkan diri, tetap saja Mazaya pemenangnya. Setelahnya, gadis itu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lalu, kembali ke dapur untuk
Aneska menelan ludah dengan susah payah saat mencium aroma sabun yang menguar dari tubuh suaminya. Kedua tangan gadis itu saling menyilang di depan dada sambil menunduk dalam. Lalu, memejamkan mata ketika merasakan tangan Elvano terulur dan menyentuh pundaknya.“Bersihkan kamar ini setelah makan nanti.”Aneska mencelus mendengar ucapan Elvano. Dia mengangguk dan langsung keluar kamar begitu sang suami menjauh. Lalu, berlari menuruni tangga dan mengambil air minum dengan tangan bergetar. Sesaat merasa dilambungkan tinggi melihat tatapan hangat pria itu, tetapi langsung diempaskan ke jurang begitu perintah keluar dari mulutnya.“Jangan terlalu berharap, Nes. Ingat posisi kamu di sini sebagai apa.” Aneska menepuk dada dan menggeleng berulang kali. “Mana mungkin kamu bisa mengalahkan pesona Mazaya. Ibarat kata, kamu hanya bongkahan batu, sedangkan dia berlian. Sangat jauh perbedaannya, dan kamu tak akan pernah bisa menggantikannya di hati Mas Elvan."Aneska menghela napas berat mengin
Aneska bergeming di ambang pintu begitu melihat Mazaya sedang merangkul pinggang Elvano yang lemas di depan pintu kamar mandi.“Ngapain bengong di situ? Cepat tolong aku!” seru Mazaya menyentak lamunan Aneska.Gadis itu bergegas mendekat dan meraih tangan kiri Elvano sebelum mengalungkannya ke leher. Bersama, mereka membawa tubuh kekar pria bermanik mata biru itu kembali ke ranjang.“Kamu ke mana tadi? Diteriaki sampai suara aku serak, enggak dateng-dateng!” sentak Mazaya sambil melurubkan selimut ke tubuh Elvano. Lalu, menatap jijik Aneska karena bekas tumpahan bubur masih menempel di kepala dan baju bagian bahunya. “Jauh-jauh sana! Dasar jorok!”Aneska segera mundur sejengkal sambil menunduk. “Bukannya Mbak yang nyuruh aku untuk ....”“Sudah sana! Bikinin minuman hangat buat Mas Elvan!”Mazaya menarik lengan Aneska dan mendorongnya keluar kamar. Tak berselang lama ponselnya berdering nyaring. Dia beranjak ke dekat jendela dan menerima panggilan sambil sesekali melirik Elvano y
Kehidupan pernikahan Aneska dan Elvano makin penuh kehangatan usai semua halangan yang sempat menghadang menghilang. Tinggallah kebahagian yang tengah melingkupi. Shanka makin aktif dan pintar di sekolah, janin kembar yang ada dalam kandungan Aneska juga berkembang dengan baik dan sehat. Dua hal itu yang membuat Elvano makin menyayangi anak dan istrinya.Usai sembuh dari sakitnya dan pulih, Elvano kembali menyambangi perusahaan The Golden Grup dan mengawasi anak buahnya. Dia juga melebarkan usaha di beberapa bidang untuk menambah pundi-pundi rekeningnya.Hubungannya dengan berbagai relasi bisnis berjalan dengan baik, sehingga bisnis yang dijalankan Elvano mengalami kemajuan dengan pesat. Namun, dia tidak mau silau dengan semua kekayaan yang didapat. Pria itu selalu menyisihkan beberapa persen dari penghasilannya untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Semua itu tak luput dari perhatian Aneska yang selalu mengingatkannya.“Aku sudah engagk punya orang tua lagi, Mas. Aku merasakan b
Shanka kembali muntah dan membasahi ranjang. Dia menangis karena kerongkongannya sakit. Sambil menahan lemas di tubuh, dia menatap orang tuanya.“Enggak apa-apa, Sayang. Kita ke kamar mandi buat basuh tubuh kamu, ya? Biar Bunda yang bersihin ranjangnya.”Elvano memapah sang anak menuju kamar mandi untuk membilas tubuh dan menggantinya dengan baju yang bersih. Sementara, Aneska mengganti seprai dan segera membersihkannya. Lalu, membawa semua baju kotor itu ke tempat cuci sebelum kembali untuk melihat Shanka yang terbaring lemas di kamarnya.“Shanka bagaimana, Mas?”“Aku sudah memberi minyak angin dan mengurut punggungnya. Sepertinya sudah agak tenang. Mudah-mudahan dia bisa tidur setelah ini.”“Syukurlah kalau begitu.”Bertepatan dengan itu, terdengar suara pintu diketuk. Aneska menoleh dan mendapati Bi Minah sudah berdiri di ambang pintu. Wanita itu mendekat dan tersenyum.“Ada apa, Bi?”“Di bawah ada orang yang mau terapi Tuan, Nyonya.”“Makasih, ya, Bi. Tolong buatkan minum
Mendung menggelayut manja di langit pagi itu. Udara dingin perlahan membekap dan menyeruak di antara para pelayat yang datang ke area pemakaman. Tak ada air mata yang tampak mengiringi kepergian seorang wanita berparas cantik itu. perlahan, rintik turun membasahi bumi, mengisyaratkan bagaimana kewsedihan tengah menyelimuti orang-orang yang menghadiri pemakamannya.Aneska menggamit erat lengan Elvano yang berdiri sambil berpegangan pada kruk. Kacamata htam yang bertengger di hidungnya, mengaburkan gurat kesedihan yang membayangi selama prosesi pemakaman berlangsung. Sementara, di sebelahnya pria dengan manik mata biru itu menatap lurus gundukan tanah merah yang basah di depannya. Di balik kacamata hitam yang dikenakannya, tampak gurat kekecewaan yang kentara.Bersama pelayat yang pergi meninggalkan area pemakaman, Elvano berjalan tertatih menuju mobil bersama Aneska. Tak ada satu pun kata yang terucap dari mulut keduanya hingga sampai di dalam kendaraan.Aneska menggenggam erat jema
Aneska segera beranjak ke dapur dan kembali sambil membawa segelas air sebelum mengangsurkannya kepada Elvano.“Minum dulu, Mas. Tenangin diri kamu sebelum cerita apa yang sudah terjadi.”Elvano mengambil gelas dari tangan sang sitri sebelum meneguknya hingga tandas. Dia mengatur napas sejenak sebelum menatap lekat Aneska yang tampak cemas di sampingnya.“Aku tadi bermimpi, Sayang. Aku bermimpi kembali ke masa penyekapan Shanka di rumah orang tua Zaya. Aku melihat bagaimana mereka membuat anak kita ketakutan, Sayang.”Elvano menjeda ucapan karena perih kembali membayangkan apa yang sudah dilalui Shanka selama beberapa jam bersama Mazaya dan Arman. Dia menatap sang anak yang masih pulas tertidur di dekatnya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala bocah itu. tepat saat itulah Shanka terjaga dan langsung mengerjap pelan.“Ayah kenapa?” tanya Shanka sambil mengucek mata dan beringsut duduk.“Ayah mimpi buruk tadi, Sayang. Maafkan Ayah, ya?” Elvano kembali mengusap kepala Shanka seb
“Memicu apa, Sayang? Aku enggak paham apa yang kamu bicarakan?”Aneska tersenyum tipis menanggapi pertanyaan suaminya. Dia memilih tak memperpanjang lagi pertanyaan untuk mencecar sebuah kejujuran. Wanita itu tak ingin sang suami merasa tertekan dan berujung kepada sakit kepala yang akhirnya menyiksa.“Enggak usah dipikirin lagi soal itu, Mas. Sekarang kita ke belakang, yuk!”Aneska mendorong kursi roda Elvano menuju halaman belakang, kemudian mengajaknya duduk di ayunan yang terletak di dekat kolam renang.“Kamu ingat saat kita di sini bertiga, Mas? kamu sama Shanka renang berdua dan aku duduk di sini sambil baca buku.”“Hem. Ingin rasanya menarikmu untuk ikut berenang. Sayangnya, tak pernah bisa.”Elvano terkekeh, pun dengan Aneska. Lalu, keduanya saling menautkan jemari sambil menerawang jauh. Hening meningkahi keduanya hingga beberapa jenak sampai terdengar suara Shanka dari ambang pintu.“Bunda, Shanka boleh main bola enggak?”Aneska menoleh dan mengangguk sekilas sambil
“Kamu kenapa, Mas?” tanya Aneska dengan nada panik melihat Elvano makin meringis kesakitan.Wanita itu segera menyuruh sang sopir untuk berbelok arah menuju rumah alih-alih meneruskan lajunya sampai ke kantor. Sepanjang perjalanan, Aneska melihat wajah suaminya memucat dengan keringat dingin sebesar biji jagung memenuhi dahinya. Tangan pria itu sibuk memegangi kepala yang berdenyut hebat. Sementara, Aneska makin diperam kelesah sambil sesekali menatap jalanan.Setibanya di rumah, Aneska mendorong kursi roda sang suami hingga sampai di kamar. Lalu, membantunya berbaring di ranjang sebelum beranjak ke dapur untuk mengambil air minum.“Minum obatnya dulu, Mas.” Aneska berkata sambil menyerahkan obat pereda nyeri yang diberikan bersamaan dengan kepulangan Elvano dari rumah sakit.Elvano langsung meneggak obat bersama air minumnya, kemudian memejamkan mata sejenak untuk meredam nyeri yang terasa menyiksa. Melihat itu, Aneska langsung mengambil tisu dan mengelap keringat yang membasahi
Aneska tergagap dan langsung mendorong dada suaminya saat mendengar suara teriakan Shanka. Lalu, menoleh dan mendapati raut penuh kemarahan terpancar dari wajah sang anak. Sementara itu, Elvano terkekeh dan memanggil Shank dengan melambaikan tangannya.“Ke sini, Jagoan!” titahnya yang langsung dituruti sang anak. “Memang apa salahnya Ayah sama Bunda menunjukkan kasih sayang dengan berciuman, hem? Itu salah satu cara untuk mempererat hubungan kami.”“Benarkah?”“Tentu saja. Apakah perlu Ayah tunjukkan juga dengan menciummu?” tanya Elvano yang langsung menyematkan kecupan di pipi sang anak.Shanka terkekeh geli karena cambang halus yang menumbuhi dagu sang ayah menyentuh permukaan kulitnya. Sayangnya, Elvano tak menggubris dan makin sering menciumnya.“Geli, Ayah. Sudah cukup! Geli!” seru Shanka sambil mendorong dagu sang ayah agar menjauh. “Bersihkan dulu itu baru nanti Shanka cium balik.”Elvano tergelak sebelum melepaskan sang anak. “Mandilah! Nanti kita ketemu di meja makan un
Usai Elvano terjaga dari tidur panjangnya selama sebulan, terapi untuk kesembuhannya mulai dijadwalkan. Kaki yang kaku karena terlalu lama berbaring, mulai menjalani pemijatan sebelum belajar untuk berjalan.Melihat semangat kesembuhan yang terpancar dari wajah sang suami, Aneska selalu mendampinginya. Wanita itu ikut menyunggingkan senyum dan menyemangati Elvano. Tak ada yang berubah dari diri pria itu, kecuali ingatan tentang kejadian saat pembebasan sang anak. Trauma yang mendalam akibat luka yang ditorehkan Arman, membuat Elvano kehilangan memori hanya saat kejadian penganiayaan itu.Aneska bersyukur karena kejadian buruk itu yang menghilang dari ingatan seorang Elvano. Dia sendiri pun tak ingin sang suami merasa sangat bersalah karena melihat Shanka ikut merasakan sakitnya terluka. Wanita yang tengah hamil itu selalu mengalihkan perhatian setiap kali Elvano bertanya apa yang menyebabkannya terbaring lemah di rumah sakit. Hanya kecelakaan tunggal yang dia jadikan alasan sakitnya
Aneska langsung mendekat dan mengguncang tubuh Gavin. Namun, pria itu bergeming sejenak sebelum menghela napas panjang dan menatap lekat wanita di depannya.“Mas Elvan masih belum sadarkan diri, Nes. Tadi, dia sempat gagal napas. Untung saja, dia masih bisa kembali.”Aneska langsung membekap mulut dan meluruh ke lantai sambil terseduh. Hatinya berdentam lara karena bayangan buruk yang sempat melintas di kepalanya. Beruntungnya Tuhan masih berbaik hati memberikan kehidupan kepada sang suami.Gavin mendekat dan langsung membantu Aneska untuk berdiri, lantas memeluknya erat. “Sudah, Nes. Aku yakin sebentar lagi Mas Elvan pasti bangun dari tidurnya. Kamu jangan putus berdoa, ya?”Gavin melerai pelukan dan menatap lekat wajah wanita di depannya. Lalu, menuntun Aneska untuk duduk di bangku dan mengusap bahunya. Dia lakukan hal itu semata-mata hanya untuk menenangkan tanpa ada maksud lainnya. Melihat wanita di sampingnya sudah lebih tenang, Gavin bangkit dari duduk.“Pulanglah, Nes. Bia