“Papa mau kamu menikah dengan Elvano!”
Aneska terkesiap mendengar kalimat yang terlontar dari pria yang menjadi cinta pertamanya itu. Ada banyak tanya yang bercokol dalam tempurung kepalanya, tetapi tak ada daya untuk sekadar mengeluarkan suara. Mulutnya terkatup rapat dan memilih untuk beranjak. Namun, kalimat berikutnya yang dilontarkan pria itu berhasil menghentikan langkah Aneska.“Kalau kamu tidak mau menikah dengan Elvano, Papa akan masuk penjara, Nes.”Aneska bergeming sesaat sebelum kembali menatap sang ayah. Dia kembali mengempaskan tubuh di sofa dan tersenyum getir. Gadis dengan rambut sepunggung itu tersenyum tipis sambil menggeleng.“Apa maksud Papa? Anes enggak ngerti, Pa?”Pria yang berusia hampir setengah abad itu menghela napas panjang sebelum bangkit untuk mendekati anak semata wayangnya. Dia merengkuh tubuh kurus sang anak dan mencium kepalanya. Namun, belum sempat membuka kata, terdengar suara pintu diketuk.“Biar Papa saja yang buka pintunya.”Aneska memaku pandangan kepada Andi yang berjalan ke pintu dan membukanya. Lalu, mengernyit ketika melihat lima orang berdiri di ambang pintu sebelum dipersilakan masuk.“Bikinkan minum dulu, Nes.”Aneska mengangguk sebelum beranjak ke dapur untuk membuatkan minum. Lalu, kembali dan bergeming di antara sekat yang menghubungkan ruang makan dengan ruang tamu saat melihat aura ketegangan yang terpancar. Dia menajamkan telinga untuk mencuri dengar apa yang tengah dibahas para pria itu.“Saya sudah bilang akan mengganti uang itu secepatnya kepada Pak Elvano, Pak Danu.” Andi berkata sambil menunduk dalam dan meremas kedua jemarinya.Di depan Andi duduk seorang pria dengan memakai jas biru tua sedang menatap tajam dengan wajah memerah penuh amarah.“Kapan, Pak Andi? Pak Elvano sudah lelah menunggu janji-janji palsu yang selalu saja Bapak berikan. Beliau meminta kepastiannya sekarang juga!”“Saya tahu, Pak. Tolong, beri saya waktu sedikit lagi. Saya akan be—““Maaf, Pak Andi. Pak Elvano sudah terlalu lama menunggu, jadi ... silakan, Pak,” ucap Danu kepada dua petugas polisi yang duduk di sebelahnya. Kedua polisi itu bangkit dan mencekal Andi.Praaang!Sontak, orang-orang yang ada di ruang tamu menoleh ke sumber suara. Nampan beserta isinya sudah berserak di bawah kaki Aneska. Andi menatap pias anak semata wayangnya sebelum menunduk dan mengikuti lanngkah kedua polisi yang membawanya.Aneska bergegas mendekati sang ayah, kemudian mengguncang lengannya sambil berurai air mata. “Ada apa ini, Pa? Katakan ada apa!”“Bapak Andi sudah menggelapkan dana perusahaan. Karena belum mampu mengembalikan, maka kasus ini akan kami serahkan kepada pihak kepolisian.” Danu menjawab pertanyaan Aneska dengan tenang.Aneska menatap pria berkacamata itu sebelum beralih kepada ayahnya. “Ini enggak mungkin, kan, Pa? Katakan ini enggak mungkin!”Sayangnya ucapan Aneska hanya ditanggapi angin karena Andi memilih diam. Dua polisi yang mencekal Andi bergegas membawanya ke mobil. Tak percaya dengan yang dilakukan sang ayah, gadis dengan rambut sepunggung itu berlari dan menahan pintu mobil. Dia mengguncang bahu pria yang menjadi cinta pertamanya itu sambil berderai air mata.“Papa jangan diam saja. Katakan semua ini enggak benar, kan, Pa?”Polisi segera memasukkan Andi ke mobil dan menutup pintu tanpa memberikan Aneska kesempatan untuk mendapat jawaban. Lalu, deru mobil terdengar meninggalkan rumah diiringi tatapan penuh tanya para tetangga yang telah berkumpul sejak pertama kali mobil itu datang.Tak ingin memantik perhatian orang sekitar, Aneska memutar tumit dan segera masuk ke rumah. Tak lupa mengunci pintu dan merosot ke lantai sambil menutup telinga. Pikirannya buntu karena kejadian yang baru saja menimpanya.“Tidak mungkin Papa melakukan itu semua. Itu pasti hanya fitnah. Selama ini Papa selalu tampil apa adanya, lalu buat apa menggelapkan dana perusahaan? Iya, ini pasti hanya fitnah saja.”Berbagai penyangkalan terus berputar di tempurung kepala Aneska. Dia memukul kepala dan terus menggeleng untuk mengusir semua kelesah dalam dada. Tak ingin terus diperam tanya tak berkesudahan, Aneska bertekad mencari kebenaran tentang perbuatan yang dilakukan Andi. Dia bergegas menuju perusahaan di mana sang ayah telah bekerja selama sepuluh tahun.Aneska bergeming sesaat begitu sampai di depan gedung perkantoran The golden Grup. Hatinya meragu karena bingung harus mencari jawaban mengenai pertanyaan yang terus bercokol di tempurung kepalanya kepada siapa. Namun, gadis itu membulatkan tekad dan kembali melangkah ke dalam.“Bisa saya bertemu pimpinan di sini, bu?” tanya Aneska begitu sampai di depan resepsionis.“Sudah buat janji sebelumnya?”Bodohnya Aneska lupa kalau untuk bertemu dengan sang pimpinan perusahaan, dia harus membuat janji terlebih dahulu. Dia akhirnya menggeleng lemah menjawab pertanyaan resepsionis bernama Hani itu. Dia memutar tumit dan melangkah pergi dengan menunduk, menghitung setiap jengkal langkah yang dilewati sampai tanpa sadar menabrak orang.“Auw, maaf.”Aneska segera mundur sambil terus menunduk. Tampak sepasang sepatu hitam mengilat memenjarakan matanya. Lalu, tatapannya perlahan ke atas dan berhenti pada wajah orang yang berdiri di depannya. Wajah pria blasteran dengan mata biru yang dingin dan mampu menghipnotis siapa saja. Aneska menelan ludah dengan susah payah sebelum kembali mengucapkan maaf dan melewati orang itu. Lalu, kembali melangkah sampai telinganya mendengar sesuatu.“Selamat pagi, Pak Elvano.”Sontak, Aneska menoleh mendengar nama sang pimpinan The Golden Grup itu. Meskipun tak pernah bertemu langsung, Aneska pernah mendengar nama Elvano disebut beberapa kali oleh Andi. Tak ingin menyiakan kesempatan, Aneska bergegas mengejar pria yang sudah berdiri di depan lift. Dengan napas terengah-engah, gadis itu menghadang Elvano.“Bisa kita bicara sebentar, Pak. Saya Aneska, anaknya Andi Bagaskara, karyawan Bapak.”Elvano melirik sekilas sebelum menoleh kepada Danu yang berdiri satu jengkal di belakangnya. Seperti mengerti perintah sang atasan, pria yang memakai kacamata itu mencekal pergelangan tangan Aneska dan memaksanya keluar. Namun, gadis itu berontak dan kembali menghadang Abraham.“Saya mohon, Pak. Saya hanya butuh waktunya sebentar. Ini menyangkut papa saya.”Elvano kembali melirik pria di sampingnya sambil mengangguk. Lalu, memasuki lift begitu pintunya terbuka. Tak ingin menyiakan kesempatan itu, Aneska berusaha masuk, tetapi Danu kembali mencekalnya.“Saya mau bicara sebentar dengan Pak Elvano. Tolong, lepaskan saya!”“Pak Elvano akan menemui kamu. Tapi tidak sekarang. Ikut saya!”Aneska mengusap pergelangan tangannya yang terasa panas usai dicengkeram erat. Lalu, mengikuti Danu hingga sampai di ruang meeting yang terletak di lantai sepuluh. Aneska menunggu dengan gelisah sambil meremas kuat jemarinya. Menit yang berlalu terasa bagai sepanjang hari. Sesekali dia melirik jam dinding dan memastikannya tidak mati karena kehabisan baterai. Namun, sampai senja datang, pria yang bernama Elvano itu belum juga muncul.Aneska menoleh saat mendengar suara pintu dibuka. Lalu, tatapannya terpaku kepada sosok Danu.“Ikut saya, Pak Elvano menunggu di ruangannya.”Aneska segera bangkit dari duduk dan mengekor Danu sampai berada di depan pintu berwarna cokelat tua. Gadis itu melangkah masuk dan segera duduk di depan Elvano yang masih berkutat dengan berkas di depannya.Aneska menunduk dalam dan menganyam jemari karena tak berani menyela apa yang sedang dilakukan Elvano, sampai suara bariton pria itu terdengar menyapa rungu.“Jadi apa yang mau kamu katakan?”“A-apa yang sudah dilakukan papa saya sampai Bapak tega memasukkannya dalam penjara?”Elvano menyeringai sebelum melemparkan sebuah map tepat di depan Aneska. Lalu, dengan angkuhnya dia mengalihkan pandangan sambil bersedekap. Melihat sikap pria itu, Aneska menggeleng lemah sebelum meraih map di depannya.Saat masih tenggelam dalam deretan angka yang ada di tangannya, suara bariton Elvano kembali terdengar.“Andi sudah menggelapkan dana perusahaan sebesar dua milyar selama sepuluh bulan ini. Aku sudah memberinya waktu untuk membayar, tapi tak kunjung dilakukan. Salahkah jika polisi yang menanganinya?”“Itu pasti fitnah! Papa enggak mungkin melakukannya, Pak. Lalu, untuk apa Papa ambil uang sebanyak itu?”Elvano menggeleng lemah sebelum kembali fokus dengan lembaran kertas di depannya. Sementara, Aneska menggeram kesal sambil mencengkeram erat kertas yang ada di tangannya.“Apa yang bisa saya lakukan untuk menebus kesalahan papa saya, Pak?”“Kembalikan semua uang itu atau Andi akan mendekam di penjara selamanya!”“Apakah tidak ada jalan lainnya, Pak? Jujur, saya tidak punya uang sebanyak itu, jika menjual rumah pun pasti tak akan cukup menutup semua utang Papa.”Aneska diperam kelesah di tempat duduknya. Dia kembali meremas kuat jemarinya sebelum menatap Elvano yang mengabaikannya. Pikiran gadis itu berkecamuk karena semua jalan seperti buntu di hadapannya. Namun, di balik setiap musibah pasti ada secercah asa yang tersimpan.“Jadi bagaimana?”Sontak, Aneska gelagapan menanggapi pertanyaan yang dilontarkan Elvano. “Ehm, saya akan bekerja dan mencicil semua utang papa saya, Pak.”“Mau sampai kapan?” tanya Elvano diiringi tawa berderai. “Apa sanggup kamu mengembalikannya dalam waktu satu minggu?”Aneska menelan ludah dengan susah payah karena asanya kembali lindap. Dia memutar otak, tetapi kembali lagi semua buntu hingga tawaran yang diajukan Elvano berhasil membuatnya membeliak tak percaya.Aneska menatap lekat manik mata biru milik Elvano setelah mendengar ucapan yang terlontar dari bibirnya. Dia mengerjap pelan dan mencerna setiap kalimat yang terdengar rungunya. Melihat gadis itu masih bungkam, Elvano kembali mengulang ucapannya. “Menikahlah denganku, maka semua utang Andi akan aku anggap lunas!” Aneska menunduk dalam. Dia menganyam jemari sambil berulang kali menghela napas berat. Jujur, dia bingung harus mengambil keputusan bagaimana. Dia bergeming cukup lama sebelum memberanikan diri untuk menatap Elvano. “Apakah tidak ada solusi lainnya, Pak? Jujur, saya masih belum ingin menikah.” “Apakah Andi tidak mengatakan apa pun kepadamu?” Melihat Aneska mengernyit heran, Elvano menggeleng lemah sambil tersenyum mengejek. “Andi sudah menyanggupi kalau tidak bisa mengembalikan uang perusahaan, maka kamu yang akan menjadi jaminannya.” “Maksudnya, Pak? Saya dijual Papa demi menutupi utang itu?” Melihat Elvano mengangguk, lemas sudah sekujur tubuh Aneska. Dia tidak menyan
“Apa yang kamu lakukan, Mas?” Aneska mengelap bibir setelah Elvano mencuri ciuman darinya dengan kasar. Dia menatap jijik sang suami yang tergelak di depannya. Dia terus menatap sang suami yang menyunggingkan senyum mengejek sebelum berjalan sempoyongan sambil menaiki tangga. Gadis itu menghela napas berat sebelum memasuki kamar dan kembali mengelap kasar bibirnya. Bayangan Elvano yang menciumnya kembali berkelebat di kepala, ditambah dengan bau alkohol yang tercium membuat gadis itu merasakan mual. Lelah mengeja sikap sang suami yang berubah, Aneska memilih segera merebah dan memejamkan mata hingga suara alarm terdengar tiga jam kemudian. Dia bergegas turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan. Dua porsi nasi goreng dengan telur mata sapi telah terhidang di meja bertepatan dengan Elvano yang terlihat menuruni tangga sambil mengaitkan kancing jas biru tuanya. “Sarapan dulu, Mas.” Aneska memasang senyum semanis mungkin untuk menyambut sang suami di meja makan
“Ada hubungan apa kamu sama dia, Mas?”Elvano tak menggubris ucapan Aneska. Dia meneruskan langkah sambil memapah wanita yang memakai dres di bawah lutut berwarna ungu muda. Wanita itu tampak pucat dan berjalan sambil memegang perutnya. Merasa diabaikan, Aneska mencekal lengan suaminya. “Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas? Dia siapa?” “Apa penting sekarang aku jawab pertanyaanmu? Dia sedang kesakitan.” “Tapi aku berhak tahu, Mas. Aku ini istrimu.” Elvano menggeram kesal sebelum menepis kasar tangan Aneska. Lalu, meneruskan langkah sambil memapah wanita dengan rambut sepunggung itu. Sekilas, Aneska bisa melihat tatapan penuh kemenangan yang diperlihat wanita itu saat berbelok sebelum menghilang di balik pintu kaca. Aneska menjerit dalam hati karena sakit melihat sikap sang suami yang begitu mengkhawatirkan wanita lain. Apakah dia juga bisa merasakan hal itu mengingat semua perkataan dan sikap Elvano yang begitu dingin, bahkan sudah ditunjukkan sejak pertama kali menikahinya. Aneska
“Kalau kamu mencintainya, kenapa mau menikahi aku, Mas?” “Mazaya terlalu sibuk dengan kariernya, sedangkan aku butuh istri dalam waktu cepat. Saat ada yang menawarkan anak gadisnya, salahkah kalau aku menerimanya?"Aneska menelan ludah yang terasa kelat di tenggorokan. Impian bisa membina rumah tangga bahagia seperti pasangan pengantin baru lainnya pupus sudah. Lelaki yang diharapkan bisa membawanya ke lembah kenikmatan, justru menusukkan belati tepat di hatinya. Aneska terguguk sambil mencengkeram erat baju bagian depannya. “Kenapa? Merasa tersakiti? Tapi itulah kenyataannya. Aku menikahimu hanya untuk mendapatkan hak waris dan peralihan saham The Golden Grup."Aneska segera menyusut air matanya sebelum menoleh kepada sang suami yang menatapnya sinis. Ada begitu banyak luka yang ditorehkan pria itu, tetapi Aneska meyakinkan diri bahwa semua itu hanya sementara. Elvano pasti akan berubah seiring berjalannya waktu. Ya, dia hanya perlu bersabar dan bertahan. “Apakah setelah mendapatka
[Sampai ketemu di tempat biasanya, Zaya.] Aneska membeliak membaca pesan yang dikirimkan Elvano. Dia sampai membekap mulut saking tak percaya dengan apa yang terpampang pada layar ponselnya. Namun, beberapa detik kemudian, pesan itu sudah terhapus. “Bukankah Mas Elvan bilang kalau mau keluar kota? Kenapa dia mengirimkan pesan seperti ini? Apa mereka janjian untuk bertemu?” tanya Aneska dalam hati. Aneska menggeleng lemah sebelum kembali menatap layar ponselnya. Dia membuka ruang percakapan singkat dan mencari kontak Elvano, kemudian mengetik pesan singkat. [Aku izin kuliah, ya, Mas.] Lima menit berselang, pesan singkat Aneska hanya berstatus centang satu. Gadis yang menguncir rambut ke atas itu menghela napas panjang sebelum memasukkan ponsel ke dalam tas dan bangkit dari duduk. “Lebih baik aku pergi kuliah sekarang juga sebelum terlambat.” Aneska bergegas keluar rumah dan memesan ojek online untuk mengantarkannya ke kampus. Satu jam berselang, gadis itu telah sampai di dalam ke
Aneska bergeming sesaat di ambang pintu melihat Mazaya kesusahan memapah Elvano. “Kenapa bengong saja di situ? Cepat tolong aku!” Aneska tergagap dan segera membantu Mazaya memapah Elvano ke kamarnya. Aroma alkohol bercampur asap rokok tercium dari tubuh pria itu. Namun, dia harus menahan napas sambil menahan berat tubuh sang suami, hingga berhasil merebahkannya ke ranjang. Napas Aneska terengah-engah sambil menatap lekat Elvano yang terpejam dengan napas teratur.Meskipun pulang dalam keadaan berantakan, ketampanan pria pemilik manik mata berwarna biru itu tetap terpancar. Rahang yang tegas dengan sedikit cambang menghiasi dagu hingga dekat telinganya. Untuk sesaat, Aneska terhipnotis dengan suaminya sendiri.“Titip Mas Elvan, aku pulang dulu, ya?” Aneska segera menoleh begitu mendengar suara Mazaya. Dia lupa jika masih ada wanita yang menjadi cinta pertama suaminya. Akhirnya, gadis itu mengangguk lemah dan mengekori Mazaya hingga sampai di pintu utama. Untuk sesaat, gadis itu bisa
“Aku ke sini cuma mau anterin bajunya Mas Elvan.”Mazaya berkata sambil menyerahkan koper yang kemarin dibawa oleh Elvano ke luar kota kepada Aneska. Setelahnya, dia berbalik dan melenggang ke mobil.Aneska menatap kepergian wanita itu dalam diam sebelum menarik koper ke dalam dan membukanya. Mengeluarkan semua isinya dan memasukkan ke mesin cuci. Saat tengah memilah baju kotor tersebut, tanpa sengaja matanya terpaku kepada benda segitiga berenda warna merah milik seorang wanita.Aneska menghela napas panjang sambil menggenggam erat benda itu sebelum memasukkan kasar ke dalam mesin cuci.“Sudah sejauh itukah hubungan mereka? Kenapa mereka tidak menikah saja, daripada harus sembunyi-sembunyi seperti ini?” tanya Aneska bermonolog.Aneska menggeleng lemah dan tertawa kering menyadari statusnya di rumah itu. Sebanyak apa pun dia berusaha menampilkan diri, tetap saja Mazaya pemenangnya. Setelahnya, gadis itu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lalu, kembali ke dapur untuk
Aneska menelan ludah dengan susah payah saat mencium aroma sabun yang menguar dari tubuh suaminya. Kedua tangan gadis itu saling menyilang di depan dada sambil menunduk dalam. Lalu, memejamkan mata ketika merasakan tangan Elvano terulur dan menyentuh pundaknya.“Bersihkan kamar ini setelah makan nanti.”Aneska mencelus mendengar ucapan Elvano. Dia mengangguk dan langsung keluar kamar begitu sang suami menjauh. Lalu, berlari menuruni tangga dan mengambil air minum dengan tangan bergetar. Sesaat merasa dilambungkan tinggi melihat tatapan hangat pria itu, tetapi langsung diempaskan ke jurang begitu perintah keluar dari mulutnya.“Jangan terlalu berharap, Nes. Ingat posisi kamu di sini sebagai apa.” Aneska menepuk dada dan menggeleng berulang kali. “Mana mungkin kamu bisa mengalahkan pesona Mazaya. Ibarat kata, kamu hanya bongkahan batu, sedangkan dia berlian. Sangat jauh perbedaannya, dan kamu tak akan pernah bisa menggantikannya di hati Mas Elvan."Aneska menghela napas berat mengin