“Ada hubungan apa kamu sama dia, Mas?”
Elvano tak menggubris ucapan Aneska. Dia meneruskan langkah sambil memapah wanita yang memakai dres di bawah lutut berwarna ungu muda. Wanita itu tampak pucat dan berjalan sambil memegang perutnya. Merasa diabaikan, Aneska mencekal lengan suaminya.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas? Dia siapa?”“Apa penting sekarang aku jawab pertanyaanmu? Dia sedang kesakitan.”“Tapi aku berhak tahu, Mas. Aku ini istrimu.”Elvano menggeram kesal sebelum menepis kasar tangan Aneska. Lalu, meneruskan langkah sambil memapah wanita dengan rambut sepunggung itu. Sekilas, Aneska bisa melihat tatapan penuh kemenangan yang diperlihat wanita itu saat berbelok sebelum menghilang di balik pintu kaca.Aneska menjerit dalam hati karena sakit melihat sikap sang suami yang begitu mengkhawatirkan wanita lain. Apakah dia juga bisa merasakan hal itu mengingat semua perkataan dan sikap Elvano yang begitu dingin, bahkan sudah ditunjukkan sejak pertama kali menikahinya. Aneska menggeleng lemah sebelum membawa langkah untuk menemui Andi.“Bagaimana kondisi papa saya, Dok?” tanya Aneska begitu bertemu dokter yang memeriksa Andi.“Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Hari ini juga langsung bisa pulang.”Usai mengurus administrasi Andi, Aneska mengantarnya hingga sampai di rumah. Melihat ada mendung di wajah sang anak, pria yang masih tampak pucat itu membuka mulut.“Kamu enggak apa-apa, Nes? Papa lihat kamu murung sejak meninggalkan rumah sakit.”“Enggak ada apa-apa, Pa. Aku cuma merasa sedikit pusing, mungkin karena kurang tidur semalam.”“Biasalah itu buat pengantin baru. Papa juga pernah merasakannya.” Andi mengerling kepada sang anak sambil tersenyum penuh arti.Aneska tersenyum getir menanggapi ucapan sang ayah. Sebisa mungkin dia akan menyembunyikan kehidupan pernikahannya yang kelam dari siapa pun. Mereka hanya perlu tahu kalau dia bahagia bersama Elvano.Hening meningkahi kedua ayah dan anak itu. Hanya suara detik jarum jam yang terdengar memenuhi ruangan hingga suara bas Andi terdengar menyapa rungu.“Maafkan Papa harus melibatkanmu dalam kasus Papa, Nes. Papa khilaf waktu itu karena Mama butuh biaya besar selama pengobatan, tapi Papa enggak tahu harus cari uangnya di mana dalam waktu singkat.”Aneska hanya mengangguk lemah menanggapi ucapan sang ayah. Memang selama sang ibu sakit, keuangan keluarga sedang terpuruk. Namun, Andi selalu saja bisa mendapatkan uang untuk membiayai pengobatan istrinya. Ada rasa penasaran dalam diri gadis itu, tetapi tak sanggup untuk bertanya kepada sang ayah.Hening meningkahi keduanya. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing sampai suara Aneska terdengar memecah kesunyian.“Ehm, Papa mau makan? Biar aku buatkan dulu, abis itu minum obat biar Papa cepat sembuh, ya?”Aneska bergegas bangkit dari duduk dan beranjak ke dapur. Dia mulai mengolah bahan makanan yang ditemukan di lemari pendingin sebelum menghidangkannya kepada sang ayah yang menunggu di kamar.“Bihun goreng sama mendoan siap dinikmati,” ucap Aneska semringah sambil mengangsurkan nampan di pangkuan Andi.“Wah, sudah lama Papa enggak makan ini, Nes. Jadi kangen Mama rasanya.”Aneska tersenyum getir dengan mata yang mengembun. Bayangan tentang malaikat tak bersayap yang selalu memeluknya sebelum tertidur kembali hadir di pelupuk mata. Namun, tak ingin membuat suasana bertambah haru, dia mengulas senyum lebar dan mengusap bahu Andi.“Papa buruan makan terus minum obat. Aku keluar dulu, Pa.”“Nes ....”Aneska menoleh dan kembali tersenyum. “Iya, Pa?”“Kamu bahagia menikah dengan Elvano?”“Bahagia, Pa. Aku sangat bahagia bisa bertemu dan menikah dengan Mas Elvan. Papa jangan khawatir lagi sekarang karena aku sudah ada yang menjaga.”“Syukurlah. Papa bisa tenang sekarang. Satu pesan Papa sama kamu, Nes. Bagaimanapun Elvano itu sekarang adalah suami kamu. Jadi, kamu harus berbakti dan menurut padanya, maka Papa akan ringan untuk melepasmu padanya.”Aneska segera beranjak keluar kamar dan mengempaskan tubuh di teras. Dia menghela napas panjang saat mengingat bayangan tentang Elvano dengan wanita yang ditemuinya di rumah sakit.“Siapa dia, ya? Sepertinya tak asing.” Aneska bermonolog sambil menatap langit dengan gumpalan awan yang berarak pergi.Sekejap mata bayangan tentang sosok wanita yang datang di hari pernikahannya dengan Elvano tempo hari menyeruak. Wanita yang memakai gaun hitam, tampak sempurna membungkus tubuhnya yang sintal. Dia cantik dan berhasil mengalihkan perhatian sang suami saat berhadapan dengannya.Dari semua yang diingat Aneska pada sosok itu adalah matanya yang sangat mendamba Elvano. Mata yang memerah karena menahan tangis itu sesaat menatap bawah sebelum setetes air matanya luruh. Tangan sang suami sudah terulur untuk mengusap bulir bening itu, tetapi sang wanita segera berlalu.“Ya, dialah wanita itu. Tapi, ada hubungan apa Mas Elvano sama dia?”Berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam dada Aneska. Dia meraup oksigen dengan rakus untuk memenuhi rongga dada yang terasa menyempit. Namun, belum sempat menetralisir gelebah dalam dada, ponsel yang diletakkannya di meja ruang tamu berdering.“Iya, Mas,” ucap Aneska begitu menjawab panggilan dari Elvano.“Kamu di mana?”“Aku lagi di rumah Papa, Mas. Darah tinggi Papa kambuh, tadi sudah sempat berobat. Tapi, aku enggak tega ninggalin Papa sendirian di—“Telepon terputus. Aneska menggeram kesal sebelum terduduk lemas di kursi tamu. Dia menatap hampa layar ponsel yang menggelap sebelum mengembuskan napas kasar. Lalu, membawa langkahnya menuju kamar. Namun, gerakannya pada gagang pintu terhenti ketika mendengar deru mobil yang memasuki pekarangan rumah.Aneska menoleh dan bergegas berjalan ke pintu begitu mendengar suara suaminya. Matanya membeliak sempurna melihat pria yang berhasil menggoreskan luka tadi, sudah berdiri di depannya.“Mas mau jemput aku?”“Terpaksa! Karena acara ini mewajibkan kita pergi bersama."Senyum semringah yang sejak tadi tersumir di bibir Aneska, mendadak lesap mendengar ucapan sang suami.“Memangnya ada acara apa, Mas?”“Ulang tahun Papi."Elvano bergegas berbalik dan melangkah menuju mobil. Dia membunyikan klakson berulang kali karena kesal melihat Aneska tak kunjung beranjak.Aneska segera tersadar dan berlari ke dalam untuk berpamitan kepada Andi, lalu menyambar tas selempang dan setengah berlari menuju mobil. Setelahnya, mobil bergerak perlahan meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, hanya hening yang meningkahi keduanya. Aneska menunduk sambil memainkan jemarinya, sedangkan Elvano menatap jalanan.Tepat saat itulah ponsel Elvano berdering nyaring. Dia bergegas menjawab panggilan setelah menepikan mobil.“Iya, nanti aku mampir setelah acara. Hem, terpaksa aku mengajaknya karena permintaan Papi. Kamu jangan cemburu, ya? Bagaimanapun, kamu tetaplah yang utama.”Elvano melirik sekilas sang istri yang menunduk dalam sambil meremas baju bagian depannya. Dia menyeringai dan kembali meletakkan ponsel ke saku jas. Sementara, Aneska tak mampu lagi menahan sesak yang terus membebat dada. Dia sakit saat melihat suaminya justru bersikap lemah lembut kepada wanita lain.“Kenapa? Cemburu?” tanya Elvano sambil menelisik gadis di sampingnya. “Aku mengenalnya lebih dulu daripada kamu!”“Siapa dia, Mas?” tanya Aneska balik sambil menatap Elvano dengan mata berkabut karena dipenuhi air mata.“Dia Mazaya, cinta pertamaku.”“Kalau kamu mencintainya, kenapa mau menikahi aku, Mas?” “Mazaya terlalu sibuk dengan kariernya, sedangkan aku butuh istri dalam waktu cepat. Saat ada yang menawarkan anak gadisnya, salahkah kalau aku menerimanya?"Aneska menelan ludah yang terasa kelat di tenggorokan. Impian bisa membina rumah tangga bahagia seperti pasangan pengantin baru lainnya pupus sudah. Lelaki yang diharapkan bisa membawanya ke lembah kenikmatan, justru menusukkan belati tepat di hatinya. Aneska terguguk sambil mencengkeram erat baju bagian depannya. “Kenapa? Merasa tersakiti? Tapi itulah kenyataannya. Aku menikahimu hanya untuk mendapatkan hak waris dan peralihan saham The Golden Grup."Aneska segera menyusut air matanya sebelum menoleh kepada sang suami yang menatapnya sinis. Ada begitu banyak luka yang ditorehkan pria itu, tetapi Aneska meyakinkan diri bahwa semua itu hanya sementara. Elvano pasti akan berubah seiring berjalannya waktu. Ya, dia hanya perlu bersabar dan bertahan. “Apakah setelah mendapatka
[Sampai ketemu di tempat biasanya, Zaya.] Aneska membeliak membaca pesan yang dikirimkan Elvano. Dia sampai membekap mulut saking tak percaya dengan apa yang terpampang pada layar ponselnya. Namun, beberapa detik kemudian, pesan itu sudah terhapus. “Bukankah Mas Elvan bilang kalau mau keluar kota? Kenapa dia mengirimkan pesan seperti ini? Apa mereka janjian untuk bertemu?” tanya Aneska dalam hati. Aneska menggeleng lemah sebelum kembali menatap layar ponselnya. Dia membuka ruang percakapan singkat dan mencari kontak Elvano, kemudian mengetik pesan singkat. [Aku izin kuliah, ya, Mas.] Lima menit berselang, pesan singkat Aneska hanya berstatus centang satu. Gadis yang menguncir rambut ke atas itu menghela napas panjang sebelum memasukkan ponsel ke dalam tas dan bangkit dari duduk. “Lebih baik aku pergi kuliah sekarang juga sebelum terlambat.” Aneska bergegas keluar rumah dan memesan ojek online untuk mengantarkannya ke kampus. Satu jam berselang, gadis itu telah sampai di dalam ke
Aneska bergeming sesaat di ambang pintu melihat Mazaya kesusahan memapah Elvano. “Kenapa bengong saja di situ? Cepat tolong aku!” Aneska tergagap dan segera membantu Mazaya memapah Elvano ke kamarnya. Aroma alkohol bercampur asap rokok tercium dari tubuh pria itu. Namun, dia harus menahan napas sambil menahan berat tubuh sang suami, hingga berhasil merebahkannya ke ranjang. Napas Aneska terengah-engah sambil menatap lekat Elvano yang terpejam dengan napas teratur.Meskipun pulang dalam keadaan berantakan, ketampanan pria pemilik manik mata berwarna biru itu tetap terpancar. Rahang yang tegas dengan sedikit cambang menghiasi dagu hingga dekat telinganya. Untuk sesaat, Aneska terhipnotis dengan suaminya sendiri.“Titip Mas Elvan, aku pulang dulu, ya?” Aneska segera menoleh begitu mendengar suara Mazaya. Dia lupa jika masih ada wanita yang menjadi cinta pertama suaminya. Akhirnya, gadis itu mengangguk lemah dan mengekori Mazaya hingga sampai di pintu utama. Untuk sesaat, gadis itu bisa
“Aku ke sini cuma mau anterin bajunya Mas Elvan.”Mazaya berkata sambil menyerahkan koper yang kemarin dibawa oleh Elvano ke luar kota kepada Aneska. Setelahnya, dia berbalik dan melenggang ke mobil.Aneska menatap kepergian wanita itu dalam diam sebelum menarik koper ke dalam dan membukanya. Mengeluarkan semua isinya dan memasukkan ke mesin cuci. Saat tengah memilah baju kotor tersebut, tanpa sengaja matanya terpaku kepada benda segitiga berenda warna merah milik seorang wanita.Aneska menghela napas panjang sambil menggenggam erat benda itu sebelum memasukkan kasar ke dalam mesin cuci.“Sudah sejauh itukah hubungan mereka? Kenapa mereka tidak menikah saja, daripada harus sembunyi-sembunyi seperti ini?” tanya Aneska bermonolog.Aneska menggeleng lemah dan tertawa kering menyadari statusnya di rumah itu. Sebanyak apa pun dia berusaha menampilkan diri, tetap saja Mazaya pemenangnya. Setelahnya, gadis itu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lalu, kembali ke dapur untuk
Aneska menelan ludah dengan susah payah saat mencium aroma sabun yang menguar dari tubuh suaminya. Kedua tangan gadis itu saling menyilang di depan dada sambil menunduk dalam. Lalu, memejamkan mata ketika merasakan tangan Elvano terulur dan menyentuh pundaknya.“Bersihkan kamar ini setelah makan nanti.”Aneska mencelus mendengar ucapan Elvano. Dia mengangguk dan langsung keluar kamar begitu sang suami menjauh. Lalu, berlari menuruni tangga dan mengambil air minum dengan tangan bergetar. Sesaat merasa dilambungkan tinggi melihat tatapan hangat pria itu, tetapi langsung diempaskan ke jurang begitu perintah keluar dari mulutnya.“Jangan terlalu berharap, Nes. Ingat posisi kamu di sini sebagai apa.” Aneska menepuk dada dan menggeleng berulang kali. “Mana mungkin kamu bisa mengalahkan pesona Mazaya. Ibarat kata, kamu hanya bongkahan batu, sedangkan dia berlian. Sangat jauh perbedaannya, dan kamu tak akan pernah bisa menggantikannya di hati Mas Elvan."Aneska menghela napas berat mengin
Aneska bergeming di ambang pintu begitu melihat Mazaya sedang merangkul pinggang Elvano yang lemas di depan pintu kamar mandi.“Ngapain bengong di situ? Cepat tolong aku!” seru Mazaya menyentak lamunan Aneska.Gadis itu bergegas mendekat dan meraih tangan kiri Elvano sebelum mengalungkannya ke leher. Bersama, mereka membawa tubuh kekar pria bermanik mata biru itu kembali ke ranjang.“Kamu ke mana tadi? Diteriaki sampai suara aku serak, enggak dateng-dateng!” sentak Mazaya sambil melurubkan selimut ke tubuh Elvano. Lalu, menatap jijik Aneska karena bekas tumpahan bubur masih menempel di kepala dan baju bagian bahunya. “Jauh-jauh sana! Dasar jorok!”Aneska segera mundur sejengkal sambil menunduk. “Bukannya Mbak yang nyuruh aku untuk ....”“Sudah sana! Bikinin minuman hangat buat Mas Elvan!”Mazaya menarik lengan Aneska dan mendorongnya keluar kamar. Tak berselang lama ponselnya berdering nyaring. Dia beranjak ke dekat jendela dan menerima panggilan sambil sesekali melirik Elvano y
Aneska berjalan mondar-mandir sambil sesekali menggigit kuku karena gelisah. Keinginan Viona untuk menginap membuatnya frustasi. Bagaimana tidak, selama ini Aneska dan Elvano tak pernah tidur dalam kamar yang sama. Namun, malam ini semua itu akan terjadi karena tak ingin menimbulkan kecurigaan Viona.“Nes ....”Aneska menoleh dan berjalan lesu menuju pintu untuk membukanya. “Iya, Oma.”“Sudah beres bersihin kamarnya? Kamu juga jangan lama-lama di sini, kasihan Elvan.”Aneska menelan ludah dengan susah payah sebelum tersenyum canggung. “Iya, Oma. Sebentar lagi Anes ke sebelah.”“Boleh Oma bicara sebentar, Nes?”“Tentu saja, Oma.”Viona masuk dan mengusap kedua lengan Aneska. Mata tua wanita itu tampak berbinar menatap gadis di depannya. Lalu, menggandeng Aneska dan mengajaknya duduk di tepi ranjang.“Oma bahagia akhirnya Elvan bisa menikah dengan wanita yang tepat seperti kamu, Nes. Semoga saja Elvan segera bisa melupakan Mazaya.”Lagi, Aneska mengernyit heran mendengar ucapan
“Siapa kamu?” tanya Viona sambil mengurut dada karena terkejut setelah melihat wanita di depannya langsung berteriak begitu pintu dibuka.“Oh, Eh, maaf, Bu. Saya Mala, temannya Anes. Ehm, Anes ada, Bu?” tanya Mala balik sambil mengusap tengkuk karena jengah telah membuat wanita tua di depannya sangat terkejut.“Mala?”Kedua wanita beda generasi itu kompak menoleh setelah mendengar suara Aneska. “Masuk, La.”Viona berjalan lebih dulu dan duduk di sofa, sedangkan Mala menggemit lengan Aneska dan menunduk saat ikut duduk di sofa.“Oma, kenalin ini Mala. Dia sahabat Anes di kampus sejak semester satu sampai sekarang.”Mala perlahan menatap wajah Viona. Dia tersenyum canggung dan mengangguk lemah. “Sa-saya minta maaf, Bu. Tadi saya kira Anes sendirian di rumah, makanya saya langsung ngagetin. Enggak tahunya Ibu yang bukain pintu. Maaf sekali lagi.”Mala mengatupkan kedua tangan di dada melihat wajah dingin Viona. Matanya berkaca-kaca karena takut akan dimarahi oleh wanita tua itu. T
Kehidupan pernikahan Aneska dan Elvano makin penuh kehangatan usai semua halangan yang sempat menghadang menghilang. Tinggallah kebahagian yang tengah melingkupi. Shanka makin aktif dan pintar di sekolah, janin kembar yang ada dalam kandungan Aneska juga berkembang dengan baik dan sehat. Dua hal itu yang membuat Elvano makin menyayangi anak dan istrinya.Usai sembuh dari sakitnya dan pulih, Elvano kembali menyambangi perusahaan The Golden Grup dan mengawasi anak buahnya. Dia juga melebarkan usaha di beberapa bidang untuk menambah pundi-pundi rekeningnya.Hubungannya dengan berbagai relasi bisnis berjalan dengan baik, sehingga bisnis yang dijalankan Elvano mengalami kemajuan dengan pesat. Namun, dia tidak mau silau dengan semua kekayaan yang didapat. Pria itu selalu menyisihkan beberapa persen dari penghasilannya untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Semua itu tak luput dari perhatian Aneska yang selalu mengingatkannya.“Aku sudah engagk punya orang tua lagi, Mas. Aku merasakan b
Shanka kembali muntah dan membasahi ranjang. Dia menangis karena kerongkongannya sakit. Sambil menahan lemas di tubuh, dia menatap orang tuanya.“Enggak apa-apa, Sayang. Kita ke kamar mandi buat basuh tubuh kamu, ya? Biar Bunda yang bersihin ranjangnya.”Elvano memapah sang anak menuju kamar mandi untuk membilas tubuh dan menggantinya dengan baju yang bersih. Sementara, Aneska mengganti seprai dan segera membersihkannya. Lalu, membawa semua baju kotor itu ke tempat cuci sebelum kembali untuk melihat Shanka yang terbaring lemas di kamarnya.“Shanka bagaimana, Mas?”“Aku sudah memberi minyak angin dan mengurut punggungnya. Sepertinya sudah agak tenang. Mudah-mudahan dia bisa tidur setelah ini.”“Syukurlah kalau begitu.”Bertepatan dengan itu, terdengar suara pintu diketuk. Aneska menoleh dan mendapati Bi Minah sudah berdiri di ambang pintu. Wanita itu mendekat dan tersenyum.“Ada apa, Bi?”“Di bawah ada orang yang mau terapi Tuan, Nyonya.”“Makasih, ya, Bi. Tolong buatkan minum
Mendung menggelayut manja di langit pagi itu. Udara dingin perlahan membekap dan menyeruak di antara para pelayat yang datang ke area pemakaman. Tak ada air mata yang tampak mengiringi kepergian seorang wanita berparas cantik itu. perlahan, rintik turun membasahi bumi, mengisyaratkan bagaimana kewsedihan tengah menyelimuti orang-orang yang menghadiri pemakamannya.Aneska menggamit erat lengan Elvano yang berdiri sambil berpegangan pada kruk. Kacamata htam yang bertengger di hidungnya, mengaburkan gurat kesedihan yang membayangi selama prosesi pemakaman berlangsung. Sementara, di sebelahnya pria dengan manik mata biru itu menatap lurus gundukan tanah merah yang basah di depannya. Di balik kacamata hitam yang dikenakannya, tampak gurat kekecewaan yang kentara.Bersama pelayat yang pergi meninggalkan area pemakaman, Elvano berjalan tertatih menuju mobil bersama Aneska. Tak ada satu pun kata yang terucap dari mulut keduanya hingga sampai di dalam kendaraan.Aneska menggenggam erat jema
Aneska segera beranjak ke dapur dan kembali sambil membawa segelas air sebelum mengangsurkannya kepada Elvano.“Minum dulu, Mas. Tenangin diri kamu sebelum cerita apa yang sudah terjadi.”Elvano mengambil gelas dari tangan sang sitri sebelum meneguknya hingga tandas. Dia mengatur napas sejenak sebelum menatap lekat Aneska yang tampak cemas di sampingnya.“Aku tadi bermimpi, Sayang. Aku bermimpi kembali ke masa penyekapan Shanka di rumah orang tua Zaya. Aku melihat bagaimana mereka membuat anak kita ketakutan, Sayang.”Elvano menjeda ucapan karena perih kembali membayangkan apa yang sudah dilalui Shanka selama beberapa jam bersama Mazaya dan Arman. Dia menatap sang anak yang masih pulas tertidur di dekatnya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala bocah itu. tepat saat itulah Shanka terjaga dan langsung mengerjap pelan.“Ayah kenapa?” tanya Shanka sambil mengucek mata dan beringsut duduk.“Ayah mimpi buruk tadi, Sayang. Maafkan Ayah, ya?” Elvano kembali mengusap kepala Shanka seb
“Memicu apa, Sayang? Aku enggak paham apa yang kamu bicarakan?”Aneska tersenyum tipis menanggapi pertanyaan suaminya. Dia memilih tak memperpanjang lagi pertanyaan untuk mencecar sebuah kejujuran. Wanita itu tak ingin sang suami merasa tertekan dan berujung kepada sakit kepala yang akhirnya menyiksa.“Enggak usah dipikirin lagi soal itu, Mas. Sekarang kita ke belakang, yuk!”Aneska mendorong kursi roda Elvano menuju halaman belakang, kemudian mengajaknya duduk di ayunan yang terletak di dekat kolam renang.“Kamu ingat saat kita di sini bertiga, Mas? kamu sama Shanka renang berdua dan aku duduk di sini sambil baca buku.”“Hem. Ingin rasanya menarikmu untuk ikut berenang. Sayangnya, tak pernah bisa.”Elvano terkekeh, pun dengan Aneska. Lalu, keduanya saling menautkan jemari sambil menerawang jauh. Hening meningkahi keduanya hingga beberapa jenak sampai terdengar suara Shanka dari ambang pintu.“Bunda, Shanka boleh main bola enggak?”Aneska menoleh dan mengangguk sekilas sambil
“Kamu kenapa, Mas?” tanya Aneska dengan nada panik melihat Elvano makin meringis kesakitan.Wanita itu segera menyuruh sang sopir untuk berbelok arah menuju rumah alih-alih meneruskan lajunya sampai ke kantor. Sepanjang perjalanan, Aneska melihat wajah suaminya memucat dengan keringat dingin sebesar biji jagung memenuhi dahinya. Tangan pria itu sibuk memegangi kepala yang berdenyut hebat. Sementara, Aneska makin diperam kelesah sambil sesekali menatap jalanan.Setibanya di rumah, Aneska mendorong kursi roda sang suami hingga sampai di kamar. Lalu, membantunya berbaring di ranjang sebelum beranjak ke dapur untuk mengambil air minum.“Minum obatnya dulu, Mas.” Aneska berkata sambil menyerahkan obat pereda nyeri yang diberikan bersamaan dengan kepulangan Elvano dari rumah sakit.Elvano langsung meneggak obat bersama air minumnya, kemudian memejamkan mata sejenak untuk meredam nyeri yang terasa menyiksa. Melihat itu, Aneska langsung mengambil tisu dan mengelap keringat yang membasahi
Aneska tergagap dan langsung mendorong dada suaminya saat mendengar suara teriakan Shanka. Lalu, menoleh dan mendapati raut penuh kemarahan terpancar dari wajah sang anak. Sementara itu, Elvano terkekeh dan memanggil Shank dengan melambaikan tangannya.“Ke sini, Jagoan!” titahnya yang langsung dituruti sang anak. “Memang apa salahnya Ayah sama Bunda menunjukkan kasih sayang dengan berciuman, hem? Itu salah satu cara untuk mempererat hubungan kami.”“Benarkah?”“Tentu saja. Apakah perlu Ayah tunjukkan juga dengan menciummu?” tanya Elvano yang langsung menyematkan kecupan di pipi sang anak.Shanka terkekeh geli karena cambang halus yang menumbuhi dagu sang ayah menyentuh permukaan kulitnya. Sayangnya, Elvano tak menggubris dan makin sering menciumnya.“Geli, Ayah. Sudah cukup! Geli!” seru Shanka sambil mendorong dagu sang ayah agar menjauh. “Bersihkan dulu itu baru nanti Shanka cium balik.”Elvano tergelak sebelum melepaskan sang anak. “Mandilah! Nanti kita ketemu di meja makan un
Usai Elvano terjaga dari tidur panjangnya selama sebulan, terapi untuk kesembuhannya mulai dijadwalkan. Kaki yang kaku karena terlalu lama berbaring, mulai menjalani pemijatan sebelum belajar untuk berjalan.Melihat semangat kesembuhan yang terpancar dari wajah sang suami, Aneska selalu mendampinginya. Wanita itu ikut menyunggingkan senyum dan menyemangati Elvano. Tak ada yang berubah dari diri pria itu, kecuali ingatan tentang kejadian saat pembebasan sang anak. Trauma yang mendalam akibat luka yang ditorehkan Arman, membuat Elvano kehilangan memori hanya saat kejadian penganiayaan itu.Aneska bersyukur karena kejadian buruk itu yang menghilang dari ingatan seorang Elvano. Dia sendiri pun tak ingin sang suami merasa sangat bersalah karena melihat Shanka ikut merasakan sakitnya terluka. Wanita yang tengah hamil itu selalu mengalihkan perhatian setiap kali Elvano bertanya apa yang menyebabkannya terbaring lemah di rumah sakit. Hanya kecelakaan tunggal yang dia jadikan alasan sakitnya
Aneska langsung mendekat dan mengguncang tubuh Gavin. Namun, pria itu bergeming sejenak sebelum menghela napas panjang dan menatap lekat wanita di depannya.“Mas Elvan masih belum sadarkan diri, Nes. Tadi, dia sempat gagal napas. Untung saja, dia masih bisa kembali.”Aneska langsung membekap mulut dan meluruh ke lantai sambil terseduh. Hatinya berdentam lara karena bayangan buruk yang sempat melintas di kepalanya. Beruntungnya Tuhan masih berbaik hati memberikan kehidupan kepada sang suami.Gavin mendekat dan langsung membantu Aneska untuk berdiri, lantas memeluknya erat. “Sudah, Nes. Aku yakin sebentar lagi Mas Elvan pasti bangun dari tidurnya. Kamu jangan putus berdoa, ya?”Gavin melerai pelukan dan menatap lekat wajah wanita di depannya. Lalu, menuntun Aneska untuk duduk di bangku dan mengusap bahunya. Dia lakukan hal itu semata-mata hanya untuk menenangkan tanpa ada maksud lainnya. Melihat wanita di sampingnya sudah lebih tenang, Gavin bangkit dari duduk.“Pulanglah, Nes. Bia