“Siapa kamu?” tanya Viona sambil mengurut dada karena terkejut setelah melihat wanita di depannya langsung berteriak begitu pintu dibuka.“Oh, Eh, maaf, Bu. Saya Mala, temannya Anes. Ehm, Anes ada, Bu?” tanya Mala balik sambil mengusap tengkuk karena jengah telah membuat wanita tua di depannya sangat terkejut.“Mala?”Kedua wanita beda generasi itu kompak menoleh setelah mendengar suara Aneska. “Masuk, La.”Viona berjalan lebih dulu dan duduk di sofa, sedangkan Mala menggemit lengan Aneska dan menunduk saat ikut duduk di sofa.“Oma, kenalin ini Mala. Dia sahabat Anes di kampus sejak semester satu sampai sekarang.”Mala perlahan menatap wajah Viona. Dia tersenyum canggung dan mengangguk lemah. “Sa-saya minta maaf, Bu. Tadi saya kira Anes sendirian di rumah, makanya saya langsung ngagetin. Enggak tahunya Ibu yang bukain pintu. Maaf sekali lagi.”Mala mengatupkan kedua tangan di dada melihat wajah dingin Viona. Matanya berkaca-kaca karena takut akan dimarahi oleh wanita tua itu. T
“Apa yang terjadi, Zaya? Kenapa bisa begini?” tanya Elvano dengan nada khawatir.Bukannya menjawab pertanyaan, Mazaya langsung memeluk erat tubuh Elvano begitu melihatnya datang. Tak ada kata yang terucap dari mulut wanita itu kecuali isak tangis tertahannya. Dengan lembut, Elvano mengusap punggung wanita itu dan mengecup kepalanya. “Katakan apa yang terjadi, Zaya? Siapa yang telah membuatmu begini?”“A-ayahku ....”Elvano melerai pelukan dan menelisik wajah Mazaya. “Bisma Pradipta?”Melihat Mazaya mengangguk, Elvano menghela napas panjang sebelum kembali merengkuhnya dalam dekapan. Pria itu bungkam dan memberi kekuatan lewat sentuhan di punggung Mazaya.Usai tangisannya reda, Mazaya melerai pelukan dan menghapus air matanya. Dia menatap lekat pria yang duduk di tepi brankar sebelum meraih jemari dan menggenggamnya erat.“Makasih, Mas. Maaf kalau aku enggak bisa nepatin janji.”“Lupakan soal itu, Zaya. Yang penting kamu sudah tidak apa-apa sekarang. Sebenarnya apa yang sudah
Aneska terkejut melihat suaminya tergeletak di samping ranjang dengan poisisi miring menghadap jendela. Gadis yang mencepol rambutnya asal itu langsung meletakkan nampan berisi sarapan ke nakas dan mendekati suaminya.“Mas, bangun, Mas! Mas kenapa?”Aneska menepuk pelan pipi Elvano sebelum susah payah mengangkatnya ke ranjang. Melihat wajah pucat dengan keringat dingin yang memenuhi wajah pria itu, Aneska bergerak ke kamar mandi dan kembali dengan lap yang sudah dibasahi air hangat.Dengen telaten, Aneska mengelap wajah suaminya. Lalu, memejamkan mata saat mengganti dan memakaikan baju ganti kepada Elvano. senyum tersumir di bibir merah alaminya ketika selesai melaksanakan tugasnya.“Zaya ....”Senyum di bibir Aneska perlahan lesap mendengar nama wanita lain yang justru disebut oleh Elvano. gadis yang memakai kaos lengan panjang berwarna hitam itu menghela napas panjang sebelum menggeleng lemah.Tangannya terulur untuk menyentuh dahi Elvano. “Demam.”Aneska hendak beranjak kelu
Pria dengan rambut hitam, garis rahang yang tegas serta mata hazel itu berjalan mendekati Viona dan mencium pipi kanannya. Lalu, menyalami Abraham serta Kasih sebelum duduk di depan Elvano. Senyum tak pernah lepas dari bibir merah alaminya. “Bagaimana perjalananmu, Gavin? Masihkah jetlag?” tanya Viona sambil melempar senyum. “Semuanya lancar, Oma. Kecuali sopir yang telat menjemput ke bandara karena mengantar kakak iparku yang cantik terlebih dahulu. Akhirnya, aku memilih naik taksi daripada melewatkan makan malam ini." Aneska terkejut mendengar ucapan yang terlontar dari mulut pria yang dipanggil Gavin oleh Viona. Dia bersitatap dengan pria itu sebelum memutus pandangan dengan menunduk. “Jangan berlebihan memuji. Kamu tidak tahu bagaimana aslinya dia, kan?” Kasih, istri Abraham itu menatap tajam Aneska dengan senyum sangat tipis menghiasi bibir bergincu merahnya. “Kasih, tak baik berkata begitu kepada Anes. Dia memang cantik, begitu juga hatinya. Kamu saja yang belum tahu.” Viona
“Mas Gavin,” ucap Aneska balik saat mendapati sosok pria yang semalam baru saja dilihatnya. “Pa-Papa yang sakit, Mas. Papa enggak respons pas aku bangunin tadi. Aku takut sesuatu terjadi sama Papa, makanya aku bawa ke sini.”“Biar aku periksa kalau begitu.”Aneska mengangguk dan memaku pandangan kepada punggung Gavin yang perlahan memasuki ruang UGD. Setelahnya, gadis itu memilih duduk di bangku besi sambil terus merapalkan doa.“Sembuhkan Papa, Tuhan. Hanya dia yang aku punya sekarang.”Aneska meremas kuat jemarinya sambil sesekali menatap pintu yang masih tertutup sejak tadi. Dadanya bergemuruh hebat membayangkan hal buruk yang akan menimpa sang ayah. Namun, melihat Gavin keluar dengan wajah yang tenang, gadis itu segera bangkit dan mendekat.“Papaku bagaimana, Mas? Baik-baik saja, kan? Papa enggak apa-apa, kan?”Sambil mengangguk, pria itu menyunggingkan senyuman. “Tekanan darahnya tinggi banget, Nes. Untung saja cepat dibawa ke sini, jadi bisa cepat ditangani. Tapi, untuk du
Elvano terus berlalu tanpa mengindahkan pertanyaan Aneska. Dia bergegas ke kamar untuk mengambil jaket dan kunci moil sebelum membawa kendaraan roda empat itu pergi meninggalkan rumah. Melihat itu, Aneska hanya bisa menghela napas panjang sebelum membawa teh hangat ke meja makan.Tanpa sadar, gadis itu meraba dada kirinya dan meringis. Seonggok daging berwarna merah bernama hati itu berdenyut nyeri. Sakit sekali kembali diabaikan suaminya sendiri.“Kapan kamu mau melihat keberadaanku, Mas? Apakah kamu begitu membenciku karena ulah Papa? Apakah ini caramu membalas perbuatan Papa, dengan menganggapku tak pernah ada?”Aneska menengadah, berusaha untuk menghalau bulir bening yang hendak meluncur turun. Namun, sekuat apa pun berusaha, dia tak sanggup menahan perih. Akhirnya, air mata itu luruh seiring tubuh yang bergetar hebat. Aneska menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Suara isak tangisnya terdengar menyayat hati.Sementara dalam mobil yang berjalan, Elvano terus menghubungi Ma
“Butuh sesuatu, Mas?” tanya Aneska sambil memasang senyum semringah.Di depannya Elvano berdiri dengan tatapan dingin. Masih tampak jelas bekas jejak kesedihan yang menumpuk di mata sebening madu milik istrinya. Namun, merasakan ponselnya terus saja bergetar, pria itu segera berbalik dan memasuki kamarnya untuk menjawab panggilan.“Iya, Zaya. Ada apa?”“Mas sudah sampai rumah?”“Iya, baru saja. Kenapa? Kangenkah? Bukankah baru saja kita bertemu?”“Ih, Mas Elvan bisa saja. Iya, aku selalu saja kangen sama kamu. Rasanya enggak mau pisah.”“Sabar, Zaya. Sebentar lagi kita akan bersama selamanya.”“Bener, ya? Awas saja kalau kamu bohong. Jangan sampai gadis kampungan itu membuatmu melupakan aku.”“Tentu tidak, Zaya. Cintaku hanya untukmu seorang.”Mazaya terdengar tergelak di ujung telepon. “Ya, sudah, Mas. Selamat istirahat, have a nice dream.”Elvano terkekeh sambil menggeleng sebelum memutus panggilan. Lalu, mengempaskan tubuh ke ranjang sambil menatap langit-langit kamarnya.
Aneska mengernyit heran. Dia hendak membuka mulut, tetapi suara Mala segera mengalihkan perhatiannya.“Nes, bukannya itu suami bule kamu, ya? Sama siapa dia? Kok, kelihatan mesra banget, sih.”Aneska berusaha melongok melewati punggung Gavin. Namun, pria itu menggeser tubuhnya hingga menutupi penglihatan kakak iparnya.“Minggir, Mas. Aku mau lihat. Apa benar itu Mas Elvan."“Enggak usah, Nes. Lebih baik kamu cepat pulang, kan? Takutnya Mas Elvan sudah nungguin.”Aneska mendengkus kesal karena terus dihalangi pandangannya. Dia mencebik sebelum menggeser paksa tubuh Gavin. Namun, pria itu bergeming. Dia bahkan memaksa Aneska untuk berbalik dengan memegang kedua bahunya.“Lepasin, Mas!” seru Aneska sambil berusaha melepaskan tangan Gavin. “Aku mau lihat untuk memastikan apa benar itu Mas Elvan.”“Kamu yakin, Nes?”Melihat Aneska mengangguk, Gavin perlahan melepaskan tangannya. Dia menyingkir sambil terus menatap dan memperhatikan ekspresi gadis di depannya. Sementara itu, Aneska