“Apa yang kamu lakukan, Mas?”
Aneska mengelap bibir setelah Elvano mencuri ciuman darinya dengan kasar. Dia menatap jijik sang suami yang tergelak di depannya. Dia terus menatap sang suami yang menyunggingkan senyum mengejek sebelum berjalan sempoyongan sambil menaiki tangga. Gadis itu menghela napas berat sebelum memasuki kamar dan kembali mengelap kasar bibirnya. Bayangan Elvano yang menciumnya kembali berkelebat di kepala, ditambah dengan bau alkohol yang tercium membuat gadis itu merasakan mual.Lelah mengeja sikap sang suami yang berubah, Aneska memilih segera merebah dan memejamkan mata hingga suara alarm terdengar tiga jam kemudian. Dia bergegas turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan. Dua porsi nasi goreng dengan telur mata sapi telah terhidang di meja bertepatan dengan Elvano yang terlihat menuruni tangga sambil mengaitkan kancing jas biru tuanya.“Sarapan dulu, Mas.”Aneska memasang senyum semanis mungkin untuk menyambut sang suami di meja makan. Namun, bukan senyum dengan binar mata bahagia yang didapat, melainkan dengkusan napas kesal yang ditunjukkan Elvano.“Aku tak terbiasa makan nasi pagi-pagi.”“Maaf, Mas. Aku tak tahu kalau kamu tak terbiasa makan nasi pagi-pagi. Ehm, mau aku buatkan roti pakai selai stroberi?”Elvano kembali mendengkus kesal sambil menatap jam di pergelangan tangan kirinya. Dia mengempaskan kasar tubuhnya ke kursi dan menatap enggan nasi goreng di depannya sebelum membuang pandangan.Melihat sikap sang suami, Aneska bergegas ke dapur untuk mengambil setangkup roti dan mengoleskan selai stroberi. Namun, saat membawanya ke meja makan, sosok Elvano sudah tidak ada. Aneska membawa langkahnya tergesa ke depan, tetapi semuanya terlambat karena sang suami sudah lebih dulu melajukan mobilnya meninggalkan rumah.“Apa salahnya menunggu lima menit saja, Mas?”Aneska berbalik dan mengempaskan tubuhnya di meja makan. Dia menghela napas panjang saat menatap piring yang disodorkan kepada Elvano.“Padahal aku sudah susah payah membuatnya, kenapa kamu tak menyentuhnya, Mas?”Aneska kembali menghela napas panjang sebelum menarik piring dan melahap nasi goreng sambil bercucuran air mata. Perih kembali menyapa seonggok daging yang bernama hati.“Enggak. Aku enggak boleh nangis di depan makanan karena tandanya aku tidak bersyukur.”Aneska menghapus air mata dan memasang senyum sebelum melanjutkan makan hingga habis tak bersisa. Setelahnya, dia membereskan meja makan dan segera membersihkan rumah.“Masih ada waktu untuk membuat makan siang. Kira-kira Mas Elvan mau makan apa?”Aneska bergegas membuka lemari pendingin, tetapi kecewa merajai hati ketika melihat tak ada bahan makanan yang tersedia. Dia menghela napas panjang sebelum berlari ke kamar dan mengambil uang yang sempat diberikan Andi tempo hari. Lalu, bergegas keluar rumah menuju supermarket yang terletak di ujung kompleks perumahan.Usai mendapatkan belanjaan, Aneska bergegas mengolahnya menjadi makanan. Tak butuh waktu lama, seporsi daging bulgogi dan capjay bakso telah matang dan menggugah selera. Aneska segera menata dalam kotak makan, memotong buah dan terakhir memasukkan sebotol kecil yogurt.“Semoga Mas Elvan suka dengan masakan aku. Dia tidak sarapan, pasti sangat lapar sekarang.”Aneska bergegas memesan taksi online dan mengatakan tujuannya kepada sang sopir. Lalu, mendekap erat kotak makan sambil terus menyunggingkan senyuman. Empat puluh lima menit kemudian, gadis itu sampai di depan gedung The golden Grup. Dia menghela napas panjang sebelum melangkah masuk.Langkah Aneska ringan menuju ruangan sang suami. Senyum lebar menghiasi bibir karena membalas sapaan yang dilayangkan semua karyawan kepadanya. Namun, senyum itu lesap ketika mendengar suara sang sekretaris yang mengatakan kalau Elvano belum kembali sejak bertemu dengan klien.“Boleh saya titip ini di dalam, Bu. Biar nanti kalau Pak Elvan datang, bisa langsung dimakan.”Usai dipersilakan, Aneska masuk dan meletakkan kotak makan di meja. Dia tersenyum sambil menggeleng lemah melihat kertas bertebaran di meja. Tangannya terulur untuk merapikan kertas itu, tetapi tanpa sengaja menyenggol cangkir teh dan membasahi meja.“Siapa yang menyuruhmu masuk?” tanya Elvano sambil melangkah tergesa mendekati meja dan menyambar kertas yang ada di tangan Aneska."Apa yang kamu lakukan? Ini semua berkas penting."“Ma-maaf, Mas. Aku enggak sengaja, tadinya cuma mau merapikan. Tapi ....”Aneska bergeming dan merasa bersalah melihat Elvano menggeram kesal sambil mengeringkan meja yang basah dengan tisu. Lalu, membuang kasar kertas yang terkena bekas teh ke tempat sampah sebelum menelepon seseorang.“Bawakan lagi salinan kerja sama dengan PT. Sukses Bersama, sekarang!”Elvano membanting gagang telepon sebelum menatap Aneska penuh kebencian. Dia menjambak rambut, kemudian mencekal lengan sang istri.“Mau apa lagi kamu di sini? Keluarlah!” sungut Elvano sambil menarik istrinya. Namun, sebelum membuka pintu, suara Aneska terdengar.“Maaf, Mas.”“Sekarang keluarlah!”Elvano mendengkus kesal sebelum membuka pintu, kemudian mendorong Aneska keluar ruangan sebelum membanting pintu tepat di depan wajah istrinya. Aneska bergeming sejenak di depan pintu dan terkejut mendengar teriakan sang suami yang sedang meluapkan kekesalannya.Aneska tersenyum getir saat mendapati tatapan iba sekretaris suaminya. Dia bergegas melangkah meninggalkan kantor dan menaiki taksi yang akan membawanya kembali ke rumah. Sementara itu, Elvano mengempaskan kasar tubuhnya ke kursi kebesaran dan memijat pelan pangkal hidungnya. Dia menoleh saat mendengar pintu dibuka, kemudian menadahkan tangannya.“Lain kali jangan biarkan wanita itu masuk kalau aku tidak ada di ruangan, Mer!”Elvano langsung mengibaskan tangan, bermaksud mengusir sang sekretaris usai membawakan berkas perjanjian yang dimaksud. Lalu, fokus mempelajari hingga suara dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Melihat nama yang tertera di layar, pria itu mengulas senyum sesaat sebelum menjawab panggilan.“Iya. Apa? Aku ke sana sekarang juga.”Elvano memasukkan ponsel ke saku jas dan bangkit. Namun, tatapannya terpaku kepada kotak makan yang teronggok di sudut meja. Tangannya meraih kotak itu dan langsung melemparnya ke tempat sampah. Lalu, melangkah meninggalkan ruangan dengan tergesa.Sementara di rumah, Aneska melangkah lesu menuju kamar sebelum merebah. Dia menerawang langit-langit dan tersenyum getir melihat seekor cicak yang bersuara seolah-olah sedang menertawakan kehidupan barunya.Aneska meraih bantal dan menutupkan ke wajah, tepat saat itulah ponselnya berdering. Dia melirik layar benda pipih yang berkedip sebelum menjawab panggilan setelah melihat nama sang ayah.“Iya, Pa. Darah tinggi Papa kambuh? Iya, aku ke sana sekarang.”Aneska bergegas menyambar tas selempang dan berlari keluar rumah. Usai taksi online yang dipesan datang, dia segera masuk dan duduk dengan gelisah sampai tiba di rumah sakit. Aneska mempercepat langkah menuju ruang UGD. Namun, langkahnya terhenti seketika kala melihat orang yang telah menikahinya sedang memapah seorang wanita muda. Mereka berserobok sesaat sebelum Aneska membekap mulut karena terkejut.“Ada hubungan apa kamu sama dia, Mas?”“Ada hubungan apa kamu sama dia, Mas?”Elvano tak menggubris ucapan Aneska. Dia meneruskan langkah sambil memapah wanita yang memakai dres di bawah lutut berwarna ungu muda. Wanita itu tampak pucat dan berjalan sambil memegang perutnya. Merasa diabaikan, Aneska mencekal lengan suaminya. “Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas? Dia siapa?” “Apa penting sekarang aku jawab pertanyaanmu? Dia sedang kesakitan.” “Tapi aku berhak tahu, Mas. Aku ini istrimu.” Elvano menggeram kesal sebelum menepis kasar tangan Aneska. Lalu, meneruskan langkah sambil memapah wanita dengan rambut sepunggung itu. Sekilas, Aneska bisa melihat tatapan penuh kemenangan yang diperlihat wanita itu saat berbelok sebelum menghilang di balik pintu kaca. Aneska menjerit dalam hati karena sakit melihat sikap sang suami yang begitu mengkhawatirkan wanita lain. Apakah dia juga bisa merasakan hal itu mengingat semua perkataan dan sikap Elvano yang begitu dingin, bahkan sudah ditunjukkan sejak pertama kali menikahinya. Aneska
“Kalau kamu mencintainya, kenapa mau menikahi aku, Mas?” “Mazaya terlalu sibuk dengan kariernya, sedangkan aku butuh istri dalam waktu cepat. Saat ada yang menawarkan anak gadisnya, salahkah kalau aku menerimanya?"Aneska menelan ludah yang terasa kelat di tenggorokan. Impian bisa membina rumah tangga bahagia seperti pasangan pengantin baru lainnya pupus sudah. Lelaki yang diharapkan bisa membawanya ke lembah kenikmatan, justru menusukkan belati tepat di hatinya. Aneska terguguk sambil mencengkeram erat baju bagian depannya. “Kenapa? Merasa tersakiti? Tapi itulah kenyataannya. Aku menikahimu hanya untuk mendapatkan hak waris dan peralihan saham The Golden Grup."Aneska segera menyusut air matanya sebelum menoleh kepada sang suami yang menatapnya sinis. Ada begitu banyak luka yang ditorehkan pria itu, tetapi Aneska meyakinkan diri bahwa semua itu hanya sementara. Elvano pasti akan berubah seiring berjalannya waktu. Ya, dia hanya perlu bersabar dan bertahan. “Apakah setelah mendapatka
[Sampai ketemu di tempat biasanya, Zaya.] Aneska membeliak membaca pesan yang dikirimkan Elvano. Dia sampai membekap mulut saking tak percaya dengan apa yang terpampang pada layar ponselnya. Namun, beberapa detik kemudian, pesan itu sudah terhapus. “Bukankah Mas Elvan bilang kalau mau keluar kota? Kenapa dia mengirimkan pesan seperti ini? Apa mereka janjian untuk bertemu?” tanya Aneska dalam hati. Aneska menggeleng lemah sebelum kembali menatap layar ponselnya. Dia membuka ruang percakapan singkat dan mencari kontak Elvano, kemudian mengetik pesan singkat. [Aku izin kuliah, ya, Mas.] Lima menit berselang, pesan singkat Aneska hanya berstatus centang satu. Gadis yang menguncir rambut ke atas itu menghela napas panjang sebelum memasukkan ponsel ke dalam tas dan bangkit dari duduk. “Lebih baik aku pergi kuliah sekarang juga sebelum terlambat.” Aneska bergegas keluar rumah dan memesan ojek online untuk mengantarkannya ke kampus. Satu jam berselang, gadis itu telah sampai di dalam ke
Aneska bergeming sesaat di ambang pintu melihat Mazaya kesusahan memapah Elvano. “Kenapa bengong saja di situ? Cepat tolong aku!” Aneska tergagap dan segera membantu Mazaya memapah Elvano ke kamarnya. Aroma alkohol bercampur asap rokok tercium dari tubuh pria itu. Namun, dia harus menahan napas sambil menahan berat tubuh sang suami, hingga berhasil merebahkannya ke ranjang. Napas Aneska terengah-engah sambil menatap lekat Elvano yang terpejam dengan napas teratur.Meskipun pulang dalam keadaan berantakan, ketampanan pria pemilik manik mata berwarna biru itu tetap terpancar. Rahang yang tegas dengan sedikit cambang menghiasi dagu hingga dekat telinganya. Untuk sesaat, Aneska terhipnotis dengan suaminya sendiri.“Titip Mas Elvan, aku pulang dulu, ya?” Aneska segera menoleh begitu mendengar suara Mazaya. Dia lupa jika masih ada wanita yang menjadi cinta pertama suaminya. Akhirnya, gadis itu mengangguk lemah dan mengekori Mazaya hingga sampai di pintu utama. Untuk sesaat, gadis itu bisa
“Aku ke sini cuma mau anterin bajunya Mas Elvan.”Mazaya berkata sambil menyerahkan koper yang kemarin dibawa oleh Elvano ke luar kota kepada Aneska. Setelahnya, dia berbalik dan melenggang ke mobil.Aneska menatap kepergian wanita itu dalam diam sebelum menarik koper ke dalam dan membukanya. Mengeluarkan semua isinya dan memasukkan ke mesin cuci. Saat tengah memilah baju kotor tersebut, tanpa sengaja matanya terpaku kepada benda segitiga berenda warna merah milik seorang wanita.Aneska menghela napas panjang sambil menggenggam erat benda itu sebelum memasukkan kasar ke dalam mesin cuci.“Sudah sejauh itukah hubungan mereka? Kenapa mereka tidak menikah saja, daripada harus sembunyi-sembunyi seperti ini?” tanya Aneska bermonolog.Aneska menggeleng lemah dan tertawa kering menyadari statusnya di rumah itu. Sebanyak apa pun dia berusaha menampilkan diri, tetap saja Mazaya pemenangnya. Setelahnya, gadis itu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lalu, kembali ke dapur untuk
Aneska menelan ludah dengan susah payah saat mencium aroma sabun yang menguar dari tubuh suaminya. Kedua tangan gadis itu saling menyilang di depan dada sambil menunduk dalam. Lalu, memejamkan mata ketika merasakan tangan Elvano terulur dan menyentuh pundaknya.“Bersihkan kamar ini setelah makan nanti.”Aneska mencelus mendengar ucapan Elvano. Dia mengangguk dan langsung keluar kamar begitu sang suami menjauh. Lalu, berlari menuruni tangga dan mengambil air minum dengan tangan bergetar. Sesaat merasa dilambungkan tinggi melihat tatapan hangat pria itu, tetapi langsung diempaskan ke jurang begitu perintah keluar dari mulutnya.“Jangan terlalu berharap, Nes. Ingat posisi kamu di sini sebagai apa.” Aneska menepuk dada dan menggeleng berulang kali. “Mana mungkin kamu bisa mengalahkan pesona Mazaya. Ibarat kata, kamu hanya bongkahan batu, sedangkan dia berlian. Sangat jauh perbedaannya, dan kamu tak akan pernah bisa menggantikannya di hati Mas Elvan."Aneska menghela napas berat mengin
Aneska bergeming di ambang pintu begitu melihat Mazaya sedang merangkul pinggang Elvano yang lemas di depan pintu kamar mandi.“Ngapain bengong di situ? Cepat tolong aku!” seru Mazaya menyentak lamunan Aneska.Gadis itu bergegas mendekat dan meraih tangan kiri Elvano sebelum mengalungkannya ke leher. Bersama, mereka membawa tubuh kekar pria bermanik mata biru itu kembali ke ranjang.“Kamu ke mana tadi? Diteriaki sampai suara aku serak, enggak dateng-dateng!” sentak Mazaya sambil melurubkan selimut ke tubuh Elvano. Lalu, menatap jijik Aneska karena bekas tumpahan bubur masih menempel di kepala dan baju bagian bahunya. “Jauh-jauh sana! Dasar jorok!”Aneska segera mundur sejengkal sambil menunduk. “Bukannya Mbak yang nyuruh aku untuk ....”“Sudah sana! Bikinin minuman hangat buat Mas Elvan!”Mazaya menarik lengan Aneska dan mendorongnya keluar kamar. Tak berselang lama ponselnya berdering nyaring. Dia beranjak ke dekat jendela dan menerima panggilan sambil sesekali melirik Elvano y
Aneska berjalan mondar-mandir sambil sesekali menggigit kuku karena gelisah. Keinginan Viona untuk menginap membuatnya frustasi. Bagaimana tidak, selama ini Aneska dan Elvano tak pernah tidur dalam kamar yang sama. Namun, malam ini semua itu akan terjadi karena tak ingin menimbulkan kecurigaan Viona.“Nes ....”Aneska menoleh dan berjalan lesu menuju pintu untuk membukanya. “Iya, Oma.”“Sudah beres bersihin kamarnya? Kamu juga jangan lama-lama di sini, kasihan Elvan.”Aneska menelan ludah dengan susah payah sebelum tersenyum canggung. “Iya, Oma. Sebentar lagi Anes ke sebelah.”“Boleh Oma bicara sebentar, Nes?”“Tentu saja, Oma.”Viona masuk dan mengusap kedua lengan Aneska. Mata tua wanita itu tampak berbinar menatap gadis di depannya. Lalu, menggandeng Aneska dan mengajaknya duduk di tepi ranjang.“Oma bahagia akhirnya Elvan bisa menikah dengan wanita yang tepat seperti kamu, Nes. Semoga saja Elvan segera bisa melupakan Mazaya.”Lagi, Aneska mengernyit heran mendengar ucapan