Primadona Kesayangan CEO Dingin

Primadona Kesayangan CEO Dingin

Oleh:  Dee Rahayu   Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
32Bab
159Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Jonathan Setiadi tidak pernah bahagia dalam pernikahan bisnis yang diatur oleh keluarganya. Pria dingin itu justru makin kesepian. Saat butuh telinga yang mau mendengarkannya, Jonathan ternyata menemukan kenyamanan dari Evita, primadona lokalisasi. Dari curhat, Jo jatuh cinta dan ingin memiliki Evita. Walau harus membayar, ia terus ingin bertemu dengannya. Tapi, apakah semudah itu? Maukah Evita menerimanya?

Lihat lebih banyak
Primadona Kesayangan CEO Dingin Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
32 Bab

1. Pertemuan Pertama

Evi merapikan pakaiannya terburu-buru. Mengabaikan pria yang masih terbaring di ranjang empuk itu. "Tunai atau transfer?" tembaknya langsung. "Kau to the point sekali." "Aku gak ada waktu basa-basi. Biasanya, aku minta bayaran di muka. Karena kau teman baik Mami Riska, jadi aku memberimu servis lebih dulu. Bagaimana, mau cash?' tanya Evi lagi. Lelaki berwajah oriental di hadapan Evi tersenyum lebar. Ia meraih ponsel di meja lalu mengetikkan sesuatu di sana. Beberapa detik kemudian ia mengangkat wajah menatap Evi. "Ke rekening siapa? Riska atau punyamu?' "Punyaku." Evi menyebutkan serangkai nomor yang segera diketik oleh pria itu dengan cepat. Layar ponsel dihadapkan pada Evi . "Ini. Sudah masuk." Evi menatap layar ponsel di depannya dan mengangguk. "Baik. Terima kasih." "Aku akan kembali lagi," kata pria itu tiba-tiba. "Jangan terlalu berharap. Aku gak berencana kerja seperti ini terus.' Lelaki di ranjang itu duduk. Tampak dadanya terbuka dan six pack perutnya terliha
Baca selengkapnya

2. Wanita Sumber Uang

Suara orang mencuci piring membangunkan Evi dari tidur lelap. Ia membuka mata dan segera melihat ke sisi kanannya. Ada Ibu sedang duduk bersandar ke dinding, membaca Al Qur'an. Perlahan Evi bergeser mendekati Ibu lalu berbaring memeluk kaki Ibu. Wajahnya ia selipkan di kain batik yang membungkus satu kaki milik wanita beraroma minyak kayu putih itu. Tangan Evi mengusap kaki kanan Ibu yang hanya sampai lutut. Ibu menghentikan bacaannya. Sambil tersenyum ia usap rambut Evi yang kusut. "Anak gadis, bangun tidur itu segera ke kamar mandi. Bersihin tubuhmu terus salat Subuh." "Iya. Nanti." Evi masih menikmati kenyamanan memeluk Ibu. Matanya terpejam. "Adikmu sudah bangun dari jam empat. Nyuci baju, masak, nyapu. Gak malu kamu sama Eda?" "Enggak." Cubitan tangan Ibu hinggap di hidung Evi. Gadis itu tertawa. Ia memijit kaki kiri Ibu. "Hari ini Ibu mau makan malam lauk apa?" tanya Evi dengan mata terpejam. "Apa saja. Ibu gak minta yang aneh-aneh, kok, Vi." "Ibu suka sate aya
Baca selengkapnya

3. Dendam Sang Kakak

Evi masih melotot melihat ke arah Jo. Pria tampan itu tertawa melihat ekspresi Evi. "Jangan mendelik begitu. Kau jadi tambah cantik!" kata Jo sambil melambaikan tangan di depan wajah Evi. "Eh, maaf," sahut Evi salah tingkah. Ia mencoba tersenyum untuk menutupi kegugupannya. "Aku pikir kau bujangan." "Kadang aku merasa masih bujangan. Dulu aku menikah karena dijodohkan. Demi kelanjutan bisnis ayahku." "Oh, begitu. Seperti cerita dalam film, ya? Kau pasti gak cinta sama istrimu dan begitu juga sebaliknya. Benar begitu?" "Analisamu tajam. Bagaimana kalau kau jadi sekretaris pribadiku?" "Apa kamu sanggup kasih aku gaji gede?" Evi mengerling jenaka. Jo gemas sekali melihatnya. "Berapa yang kau minta?" "Seratus juta sebulan." "Boleh, tapi kau jangan pulang, tinggal bersamaku di apartemenku." Evi tertawa lagi. Sudah cukup bercandanya, ucapnya dalam hati. Jo menatap tajam seolah menebak seberapa serius Evi tadi. "Kemana tujuan pertama kita?" "Ayo ke kantorku di lantai t
Baca selengkapnya

4. Rapat Romansa

Wanita cantik bertubuh tinggi langsing itu masuk ke ruang tamu. Ia berhadapan dengan Evi. Insting di otak Evi langsung memerintahkan dirinya untuk mengangguk sopan pada wanita itu. "Mau kemana, Mas?" tanya si cantik tanpa peduli pada Evi, pandangannya tertuju pada Jo. Evi sempat melirik Jo dan melihat betapa tenangnya lelaki itu. "Ada rapat, San. Di kantor cabang. Kamu ngapain ke sini?" Sandra, istri Jo, menatap Evi dari atas ke bawah. Evi benci sekali dengan jenis tatapan seperti itu. "Ini karyawan baru? Kok aku baru lihat?" Sandra balik bertanya. "Iya. Namanya Evita. Sekretaris pribadiku." "Liana kemana?" Sandra masih melirik judes pada Evi. Liana adalah sekretaris Jo yang dikenal baik oleh Sandra. "Dia resign setelah menikah." "Sekretaris baru ini satu ruangan denganmu?" Evi sempat khawatir apa jawaban Jo. Suasana begitu tegang. "Enggak. Evita duduk di ruang karyawan di sebelah sana. Dia datang kalau aku panggil saja," sahut Jo sambil menunjuk ruang penuh kubike
Baca selengkapnya

5. Jo Bertindak

Erman menyambut kedatangan Evi dan Jo di ambang pintu rumah. Senyumnya lebar sekali. Evi yang terengah-engah karena berjalan cepat dari ujung gang, sekitar seratus meter dari rumahnya, berdiri berhadapan dengan Erman. Wajah Evi merah padam. Jo berdiri di belakang Evi, menatap Erman, seperti biasanya Jo selalu tampak tenang. "Kenapa buru-buru? Takut adek lu gua jual juga?" tanya Erman sambil tersenyum sinis. "Gua cuma becanda aja, Vi. Baper banget sih lu." "Ku rang a jar, lu, Man," kata Evi, ia berusaha menenangkan diri. Dari dalam rumah muncul Ibu mengayuh kursi rodanya. Wajah Ibu tampak khawatir. Erman menoleh pada wanita enam puluh tahun itu. "Gua cuma nyoba aja, bro. Kalo gua ngomong sama Tante ini, tembus apa kaga ke elu, Vi. Eh ternyata iya. Tante tukang ngadu, nih!" Erman seperti berkelakar ringan tapi pilihan katanya sangat menusuk hati Evi. Ibu menatap Evi dan Jo. "Ajak temanmu masuk, Vi," kata Ibu dengan suara gemetar. Erman tertawa. "Itu bukan temannya Evi, Tante! I
Baca selengkapnya

6. Kebakaran

Evi mengunci pintu rumah. Papan gypsum berlapis itu sebenarnya tidak layak disebut pintu, tidak kokoh juga tidak maksimal melindungi apa yang ada dalam rumah. Kalau memang ada yang berniat ja hat, pintu gypsum itu akan hancur kena satu kali tendangan. Ibu dan Eda sudah tidur. Evi menuju ruang makan. Tanpa menimbulkan banyak suara, ia menutup sisa hidangan makan malam dengan tudung saji. Evi duduk di kursi makan, termenung. Seharusnya sekarang ia sedang menemani Jo di tempat yang diinginkan lelaki itu. Sejak pergi meninggalkannya tadi sore, Jo tidak menelepon Evi atau sekedar mengirim pesan. Hati Evi mengharapkan ponselnya berbunyi dan ada sesuatu dari Jo di sana. Ia meraih ponsel hitam yang tergeletak di hadapannya lalu mengetik sebuah pesan. [Hai Jo, lagi dimana sekarang?] Hampir saja ia tekan tombol send tapi lalu dengan cepat ia hapus pesan itu. Untuk apa ia menghubungi Jo? Mungkin saja lelaki itu sedang asyik dilayani penghibur lain yang ia booking sebagai pengganti Evi. At
Baca selengkapnya

7. Evi Hilang!

Lingkungan kampung mendadak ramai. Suasana menjelang tengah malam yang biasanya sepi kini seperti ada pasar, penuh orang. Teriakan dan perintah bersahut-sahutan dari segala arah. Setelah satu jam sejak awal api menyala, sudah lima rumah terbakar. Untunglah angin berhembus kecil jadi api tidak terlalu cepat merembet. Api melalap banyak rumah karena bahan pembuat rumah mudah terbakar. Pemadam kebakaran sudah datang tapi karena lokasi api berada dalam gang sempit, mobil-mobil besar itu tidak bisa masuk. Petugas menyemprotkan air dari ujung gang. Warga membantu menyiram air ke rumah yang belum terbakar untuk membasahi dinding papan, berharap api tidak bisa melahapnya. Erman menangis dikelilingi warga di pos ronda. Ia bersama sanak keluarga lain yang rumahnya terbakar berkumpul menunggu kabar. Erman kelihatan bingung dan sangat sedih. "Ini kebakarannya disengaja, Pak," seorang warga berkata dengan suara keras. Ucapannya menarik minat warga lain. "Disengaja bagaimana?" "Ada yang li
Baca selengkapnya

8. Sembunyi Dari Masa Lalu

"Maksudmu?" Kening Jo mengernyit, ia tidak paham ucapan Evi. Tangan Evi menghapus air mata, setelah menarik napas panjang, ia menjawab pelan. "Ini kesempatanku melarikan diri dari Erman, Jo. Semoga dia mengira aku sudah ma ti terbakar." "Kamu mau sembunyi?" tanya Jo, ia mengerti pikiran Evi. Ini memang kesempatan baik. "Kamu mau kemana?" Evi menatap Jo dengan mata memohon. Tiga detik membalas pandang gadis itu, Jo paham lagi bahwa Evi mengandalkannya. Jo menggeleng pelan. "Aku gak bisa janjikan apapun untukmu, Vi. Kalau soal tempat tinggal, kau bisa tinggal di sini semaumu. Soal pekerjaan, aku bisa tempatkan kau jadi staf kantorku. Soal keamanan, itu yang aku gak bisa jamin. Kamu bilang sendiri kalau Mami Riska dan Erman punya banyak mata-mata." Evi menunduk. Ia membenarkan ucapan Jo itu. Bukan sekali dua kali Evi mencoba kabur dari dunia hitam tapi Mami Riska dan Erman selalu bisa menangkapnya lagi. Kalau mau sembunyi, sekolah Eda pun harus pindah. Eda sudah kelas XII, susah
Baca selengkapnya

9. Awas Kalau Ibu Sampai Tahu!

Dada Evi berdegup keras mendengar ucapan Jo. Bicara jujur, tentang apa? "Aku mau jujur padamu, Vi," kata Jo. Ia bahkan belum masuk ke dalam rumah, masih berdiri di ambang pintu. "A-apa itu?" Evi bersiap, hatinya berbunga. Apakah .... "Istriku mengirim orang untuk mengikuti aku dan dia tahu tentangmu. Sepertinya akan sangat beresiko buat kita berdua kalau kau bekerja di kantorku. Istriku akan tahu dan kau yang akan dapat makiannya." Oh, jujur tentang itu. Evi merasa wajahnya panas karena malu. Apakah tadi ia sempat melambung tinggi karena berharap Jo menyatakan cinta? Ah, betapa lugunya aku, pikir Evi. "Begitu, ya. Jadi, aku batal bekerja di kantormu? Gak apa-apa, Jo. Aku paham." "Aku pikirkan jalan keluarnya lagi nanti. Untuk sementara, kau dan keluargamu aku jamin aman di sini." "Oke. Aku menurut apa aturanmu." "Tetaplah diam di rumah ini. Jangan keluar." "Aku berpikir tentang sekolah Eda, Jo. Dia harus sekolah, tapi keadaan belum aman. Erman pasti mencarinya di sekolah hari
Baca selengkapnya

10. Perasaan yang menyiksa

Rumah yang disebut villa peristirahatan itu terlihat biasa saja dari luar. Bentuk bangunannya juga biasa saja, seperti umumnya rumah dua lantai. Penyejuk mata berupa taman depan yang hijau sangat segar dan asri, ditata oleh orang yang paham pertamanan. Hal yang menonjol dari rumah yang katanya kosong itu adalah adanya dua petugas sekuriti di pos gerbangnya. Erman menyadari itu. Buat apa sekuriti berjaga di rumah kosong? Mungkin karena di dalamnya banyak barang berharga, si pemilik rumah itu adalah pengusaha sukses. Erman tahu, barang berharga yang dijaga itu bukan berupa berlian atau guci antik, tapi seorang primadona lokalisasi beserta ibu dan adiknya. Erman mencari cara masuk ke rumah itu tanpa harus berurusan dengan para penjaga. Ia sudah memutari rumah dan melihat sendiri bahwa rumah itu dikelilingi tembok setinggi tiga meter dengan kawat berduri di atasnya, ada juga papan bertuliskan warning, kawat diatas tembok itu dialiri listrik. Seperti kamp militer, pikir Erman. Sejak s
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status