Share

5. Jo Bertindak

Erman menyambut kedatangan Evi dan Jo di ambang pintu rumah. Senyumnya lebar sekali. Evi yang terengah-engah karena berjalan cepat dari ujung gang, sekitar seratus meter dari rumahnya, berdiri berhadapan dengan Erman. Wajah Evi merah padam. Jo berdiri di belakang Evi, menatap Erman, seperti biasanya Jo selalu tampak tenang.

"Kenapa buru-buru? Takut adek lu gua jual juga?" tanya Erman sambil tersenyum sinis. "Gua cuma becanda aja, Vi. Baper banget sih lu."

"Ku rang a jar, lu, Man," kata Evi, ia berusaha menenangkan diri. Dari dalam rumah muncul Ibu mengayuh kursi rodanya. Wajah Ibu tampak khawatir. Erman menoleh pada wanita enam puluh tahun itu.

"Gua cuma nyoba aja, bro. Kalo gua ngomong sama Tante ini, tembus apa kaga ke elu, Vi. Eh ternyata iya. Tante tukang ngadu, nih!" Erman seperti berkelakar ringan tapi pilihan katanya sangat menusuk hati Evi. Ibu menatap Evi dan Jo.

"Ajak temanmu masuk, Vi," kata Ibu dengan suara gemetar. Erman tertawa.

"Itu bukan temannya Evi, Tante! Itu boss-nya! Dia yang bayar Evi!" Erman menekan kata 'bayar' sedemikian rupa hingga menimbulkan rasa cemas di hati Evi. Gadis itu menoleh pada Jo dan berusaha tersenyum manis. Wajah Jo datar dan kaku.

"Oh, itu boss kamu, Vi! Ayo diajak masuk! Ibu buatkan minuman!" Ibu mengayuh kursi rodanya hendak masuk ke ruang tengah. Evi menghampiri Ibu, sambil lewat ia senggol kasar lengan Erman. Kursi roda Ibu didorong oleh Evi hingga ke ruang makan.

Erman dan Jo berdiri berhadapan dekat. Semula Jo menatap ke arah Evi yang terus masuk ke rumah. Menyadari bahwa Erman menatapnya tajam, perlahan Jo balas melihat ke arah lelaki di depannya itu.

"Berapa lu bayar Evi ni malam, Boss?" tanya Erman.

"Bukan urusanmu." Jo berkata ketus. Erman kelihatan kaget sebentar tapi segera bisa memunculkan percaya dirinya lagi.

"Ya urusan gua lah. Evi itu anak buah gua! Dia dapat berapa dari elu, setornya ke gua!"

"Bukan. Evi anak buah Mami Riska. Dia gak ada kewajiban lapor sama kamu."

Erman tertawa sumbang.

"Kayaknya lu langganan bener sama si Riska, Boss! Seminggu sekali, ya, pijat plus plus? Tampang lu ganteng banget gitu, wah, gua yakin anak buahnya Riska rebutan minta lu booking. Ya kan?"

"Jaga mulutmu. Evi sudah cerita siapa kamu. Mulai hari ini Evi ada dalam pengawasanku. Sampai aku tahu kamu nyakitin dia atau adiknya atau ibunya, kita akan berhadapan."

Erman bertepuk tangan.

"Wah! Wah! Keren! Evi ditaksir konglomerat! Lu naksir sama dia? Aduh, jangan! Udah bekas ratusan lelaki dia itu!"

Jo maju dan mencengkeram leher kaus Erman. Ketenangan dan sikap dingin Jo membuat Erman gentar tapi ia berusaha bersikap sok jago.

"Seharusnya kamu malu, sebagai kakak lelaki gak bisa jaga adik perempuan. Kamu bukan lelaki, Erman. Ban ci, kamu!"

Erman menghentak tangan Jo di lehernya hingga lepas. Ia terpancing emosi. Segera saja tubuhnya pasang kuda-kuda.

"Berani lu sama gua?"

"Nenek-nenek juga gak bakal takut sama ban ci kayak kamu," sahut Jo.

Erman menyerang Jo dengan cepat. Tinjunya mengarah ke wajah Jo. Gerakan itu ternyata dengan mudah dihalau oleh Jo dengan menangkap tinju Erman, memiting lengannya dan memutarnya ke belakang punggung si preman. Erman jatuh ke tanah, Jo menginjak punggung Erman dengan lutut kanannya. Wajah Erman menempel di tanah halaman rumah Ibu

"Hei!" Erman berusaha melepaskan diri tapi pitingan Jo menahannya sangat kuat.

"Jangan ganggu Evi lagi, atau kamu bakal nyesal selamanya."

Erman segera bangun setelah Jo melepas kunciannya. Dua lelaki bertubuh jangkung itu kembali saling berhadapan. Erman kalah secara mental, kali ini lawannya lebih jago.

"Pergi. Jangan datang ke sini lagi. Aku bakal suruh Evi meneleponku kalau kamu datang lagi," kata Jo. Erman meludah dengan cuek lalu pergi tanpa berkata apapun lagi.

Ibu dan Evi datang dari ruang dalam. Evi membawa nampan kecil berisi satu cangkir teh manis panas dan toples kue kering. Gadis cantik itu meletakkan nampan di atas meja.

"Ayo masuk, nak Boss. Kok masih berdiri di luar! Masuk, nak!" Ibu menghampiri pintu dan melambaikan tangan pada Jo. Senyum Ibu membuat Jo juga tersenyum. Lelaki berkulit putih itu mengangguk lalu melangkah masuk ke ruang tamu.

"Duduk dulu, Jo. Silakan diminum," kata Evi. Ia tampak canggung melihat tubuh tinggi kekar Jo ada di dalam rumahnya yang sesak. Setelan baju seharga puluhan juta yang dipakai Jo sore itu tampak kontras dengan suasana rumah lusuh tempat tinggal Evi. Jo duduk di sofa ruang tamu yang sudah banyak bolongnya.

"Saya ibunya Evi, nak Boss," kata Ibu. Kursi rodanya parkir di depan Jo.

"Jangan panggil saya begitu, Ibu. Nama saya Jo."

Tiba-tiba Evi merasa hatinya begitu sejuk mendengar Jo berkata sopan kepada Ibu. Ia menatap wajah lelaki itu, memindai apa yang mungkin dipikirkan oleh Jo tentang keluarganya.

"Masa saya manggil nama saja, Nak Boss? Gak sopan, kan?" Ibu tertawa kecil.

"Gak apa, Bu. Panggil saja Jo."

"Mana Erman, Jo?" Tiba-tiba Evi menyadari bahwa Erman tidak ada di teras lagi. Jo mengangkat bahunya dengan gaya cuek.

"Entahlah, dia pergi gitu aja."

Di mobil tadi Evi bercerita tentang siapa Erman pada Jo. Ia mengatakan semua tanpa ada yang ditutupi, semua hal tentang Erman yang membuat keluarganya takut pada pria itu. Termasuk perbuatan Erman padanya yang menjadi pintu masuk Evi ke dalam dunia prostitusi.

"Eda aman di rumah Bude Asri, Vi. Ibu sempat kirim SMS ke dia supaya jangan pulang dulu," kata Ibu dengan suara pelan pada Evi. Bude Asri adalah sepupu Ibu yang tinggal di tempat berbeda kecamatan dengan mereka. Ibu adalah anak tunggal dan kedua orangtuanya telah tiada. Hanya Bude Asri saja sanak keluarga yang masih ada.

"Aku tetap khawatir, Bu. Tolong bilang ke Eda untuk waspada dimanapun dia berada. Jangan mau diajak Erman."

"Dia sudah tahu, Vi. Insyaa Allah dia aman. Sebenarnya Erman sayang kok sama kalian. Erman kan yang bawa kamu kerja di tempat boss Jo ini? Lihat, sekarang kita bisa hidup layak karena gajimu gede." Ibu menatap Jo. "Terima kasih, nak Boss. Sudah mau menerima Evi kerja di perusahaan nak Boss."

Jo tersenyum dan mengangguk. Ia menatap Evi, gadis itu menunduk, berusaha menghapus air yang mulai melapisi bola mata indahnya.

"Bu, aku mau berangkat lagi, rapat penting sampai besok. Ibu gak apa-apa kan di rumah? Itu tadi aku sudah belikan sate ayam sama capcay buat lauk makan malam. Eda disuruh pulang saja, Bu. Kunci pintu dan jangan bukakan untuk siapapun sampai aku pulang." Evi menghampiri Ibu, berlutut di sisi kursi rodanya. Ibu mengangguk.

"Evi ini anak yang sangat berbakti, nak Boss. Dia sayang betul sama saya dan Eda, adiknya. Setiap pulang kerja dia beli sate ayam karena tahu itu makanan kesukaan saya dan Eda. Saya minta apa saja, dia belikan!" Ibu berkata pada Jo.

"Ah, Ibu gak pernah minta apa-apa dari aku! Selalu bilang, gajimu ditabung, gajimu ditabung!" Evi menyela ucapan ibunya sambil tersenyum lebar. Jo tersenyum juga melihat anak dan ibu yang begitu kelihatan saling menyayangi itu. Ia ingat ibunya sendiri di rumah. Jo memanggilnya Mama. Wanita sabar yang tidak pernah terdengar mengeluh walau diperlakukan bagai budak oleh Papa.

"Aku pergi dulu ya, Bu." Evi berdiri. Ia meraih tangan kanan Ibu lalu menciumnya dengan takzim. Jo ikut berdiri.

"Saya pamit, Bu," kata Jo sambil mengangguk sopan. Ibu tersenyum.

"Iya, hati-hati di jalan."

Evi berjalan satu langkah di belakang Jo. Mereka tidak berkata apapun sepanjang gang menuju jalan besar tempat mobil Jo terparkir. Setelah duduk di dalam mobil, Jo menatap Evi.

"Pulanglah. Jaga ibumu."

Evi kaget mendengar ucapan lembut itu.

"Apa maksudmu?"

"Kau turun dan pulang saja. Tunggu adikmu datang. Aku khawatir Erman akan datang lagi."

"Ibu dan Eda sudah biasa, Jo. Mereka tahu caranya menghadapi Erman. Ayo kita berangkat."

Jo menatap Evi dengan mata yang aneh, Evi tidak nyaman dipandang sedemikian rupa oleh Jo.

"Pulang saja. Kecuali kalau kau memang menginginkan aku."

Pipi Evi langsung merah padam dan ia salah tingkah. Jo tersenyum. Evi cantik sekali dengan wajah tersipu malu begitu. Jujur saja, Jo gemas melihatnya.

"Kau ingin bersamaku?" tanya Jo.

"Ya. Karena kau sudah bayar banyak pada Mami Riska. Kalau aku pulang dan membiarkan kau pergi tanpa aku, lalu Mami tahu, nyawaku taruhannya, Jo."

"Mami Riska hanya akan tahu kalau aku mengadu padanya. Itu tidak akan aku lakukan."

Evi menatap mata coklat indah milik Jo. Ia menebak apa yang diinginkan lelaki itu darinya. Di pertemuan pertama, Jo hanya bercerita sepanjang jam booking yang sudah ia bayar. Evi yang mengira Jo sama seperti klien lain sudah tampil maksimal tanpa apapun di tubuh, menunggu Jo beraksi, tapi Jo malah memintanya berpakaian lagi. Dua jam pertemuan pertama mereka menjadi pengalaman aneh buat Evi yang sudah terbiasa melayani lelaki liar. Kali ini malah lebih aneh. Jo menyuruhnya pulang.

"Jo, ini pekerjaanku. Biarkan aku melakukannya. Kau sudah bayar banyak sekali untuk aku, dan kau berhak mendapatkan apa yang seharusnya aku berikan."

"Aku khawatir pada Ibu dan adikmu."

Ucapan itu membuat pertahanan hati Evi runtuh. Ia tidak menyangka Jo yang mengatakan itu, bukan Erman. Air mata mengalir di pipi mulus Evi. Ia membuang pandang ke jalan di depan. Suasana sore ramai sekali di daerah tempat tinggalnya. Anak-anak kecil melewati mobil Jo dan mereka tidak tahan untuk tidak memukul atau mengelus bodi mulus mobil mewah itu.

"Kalau kau mau pulang dan menjaga keluargamu, turunlah. Aku gak akan lapor pada Mami Riska. Aku gak akan ambil lagi uangku. Kalau Mami Riska memberikan bagianmu, ambil saja. Oke?"

Evi menghapus air matanya. Ia kembali menatap Jo.

"Kau serius, Jo?"

"Apa mukaku kelihatan bercanda?"

"Enggak. Mukamu kelihatan ganteng."

Mereka tertawa sekilas. Jo memberi kode dengan gerakan dagunya, memerintah Evi turun. Evi mengangguk. Ia ambil tasnya di jok.

"Aku hutang budi padamu, Jo. Aku gak akan lupa ini."

"Aku akan menagihnya suatu saat nanti."

"Aku akan lakukan apapun yang kau inginkan."

Jo mengangguk. Pintu di sebelah Evi terbuka. Gadis itu beranjak turun dari mobil. Jo melongokkan wajah agar bisa melihat Evi.

"Hati-hati. Waspada selalu. Erman itu jahat."

Evi mengangguk pelan. Jendela mobil naik lagi dan pintunya tertutup. Jo menginjak pedal gas dan mobil seharga 3 milyar itu bergerak pergi. Evi termangu menatap mobil Jo sampai tak terlihat lagi

Entah apa nama perasaannya sekarang. Jo adalah klien, lelaki yang mungkin menginginkan tubuhnya saja, tapi entah kenapa ada sesuatu yang indah dalam hati Evi sore ini, dan itu tentang Jo.

Jangan berkhayal, Evita Maharani, bisik Evi dalam hati. Jo itu pria beristri, dari kalangan atas, kau hanya wanita panggilan yang ia pilih dari buku katalog Mami Riska. Jangan menyakiti hatimu sendiri!

Evi berbalik kembali masuk ke gang dan berjalan cepat ke arah rumah. Ia tidak menoleh lagi, hingga tak tahu ada tiga lelaki di warung bakso seberang jalan yang menatapnya lekat dengan mata liar.

"Jam sepuluh malam lingkungan sini biasanya sudah sepi," kata seorang pria pada dua temannya. "Lakukan apa yang tadi aku suruh. Pe la cur itu harus diberi pelajaran!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status