Erman menyambut kedatangan Evi dan Jo di ambang pintu rumah. Senyumnya lebar sekali. Evi yang terengah-engah karena berjalan cepat dari ujung gang, sekitar seratus meter dari rumahnya, berdiri berhadapan dengan Erman. Wajah Evi merah padam. Jo berdiri di belakang Evi, menatap Erman, seperti biasanya Jo selalu tampak tenang.
"Kenapa buru-buru? Takut adek lu gua jual juga?" tanya Erman sambil tersenyum sinis. "Gua cuma becanda aja, Vi. Baper banget sih lu." "Ku rang a jar, lu, Man," kata Evi, ia berusaha menenangkan diri. Dari dalam rumah muncul Ibu mengayuh kursi rodanya. Wajah Ibu tampak khawatir. Erman menoleh pada wanita enam puluh tahun itu. "Gua cuma nyoba aja, bro. Kalo gua ngomong sama Tante ini, tembus apa kaga ke elu, Vi. Eh ternyata iya. Tante tukang ngadu, nih!" Erman seperti berkelakar ringan tapi pilihan katanya sangat menusuk hati Evi. Ibu menatap Evi dan Jo. "Ajak temanmu masuk, Vi," kata Ibu dengan suara gemetar. Erman tertawa. "Itu bukan temannya Evi, Tante! Itu boss-nya! Dia yang bayar Evi!" Erman menekan kata 'bayar' sedemikian rupa hingga menimbulkan rasa cemas di hati Evi. Gadis itu menoleh pada Jo dan berusaha tersenyum manis. Wajah Jo datar dan kaku. "Oh, itu boss kamu, Vi! Ayo diajak masuk! Ibu buatkan minuman!" Ibu mengayuh kursi rodanya hendak masuk ke ruang tengah. Evi menghampiri Ibu, sambil lewat ia senggol kasar lengan Erman. Kursi roda Ibu didorong oleh Evi hingga ke ruang makan. Erman dan Jo berdiri berhadapan dekat. Semula Jo menatap ke arah Evi yang terus masuk ke rumah. Menyadari bahwa Erman menatapnya tajam, perlahan Jo balas melihat ke arah lelaki di depannya itu. "Berapa lu bayar Evi ni malam, Boss?" tanya Erman. "Bukan urusanmu." Jo berkata ketus. Erman kelihatan kaget sebentar tapi segera bisa memunculkan percaya dirinya lagi. "Ya urusan gua lah. Evi itu anak buah gua! Dia dapat berapa dari elu, setornya ke gua!" "Bukan. Evi anak buah Mami Riska. Dia gak ada kewajiban lapor sama kamu." Erman tertawa sumbang. "Kayaknya lu langganan bener sama si Riska, Boss! Seminggu sekali, ya, pijat plus plus? Tampang lu ganteng banget gitu, wah, gua yakin anak buahnya Riska rebutan minta lu booking. Ya kan?" "Jaga mulutmu. Evi sudah cerita siapa kamu. Mulai hari ini Evi ada dalam pengawasanku. Sampai aku tahu kamu nyakitin dia atau adiknya atau ibunya, kita akan berhadapan." Erman bertepuk tangan. "Wah! Wah! Keren! Evi ditaksir konglomerat! Lu naksir sama dia? Aduh, jangan! Udah bekas ratusan lelaki dia itu!" Jo maju dan mencengkeram leher kaus Erman. Ketenangan dan sikap dingin Jo membuat Erman gentar tapi ia berusaha bersikap sok jago. "Seharusnya kamu malu, sebagai kakak lelaki gak bisa jaga adik perempuan. Kamu bukan lelaki, Erman. Ban ci, kamu!" Erman menghentak tangan Jo di lehernya hingga lepas. Ia terpancing emosi. Segera saja tubuhnya pasang kuda-kuda. "Berani lu sama gua?" "Nenek-nenek juga gak bakal takut sama ban ci kayak kamu," sahut Jo. Erman menyerang Jo dengan cepat. Tinjunya mengarah ke wajah Jo. Gerakan itu ternyata dengan mudah dihalau oleh Jo dengan menangkap tinju Erman, memiting lengannya dan memutarnya ke belakang punggung si preman. Erman jatuh ke tanah, Jo menginjak punggung Erman dengan lutut kanannya. Wajah Erman menempel di tanah halaman rumah Ibu "Hei!" Erman berusaha melepaskan diri tapi pitingan Jo menahannya sangat kuat. "Jangan ganggu Evi lagi, atau kamu bakal nyesal selamanya." Erman segera bangun setelah Jo melepas kunciannya. Dua lelaki bertubuh jangkung itu kembali saling berhadapan. Erman kalah secara mental, kali ini lawannya lebih jago. "Pergi. Jangan datang ke sini lagi. Aku bakal suruh Evi meneleponku kalau kamu datang lagi," kata Jo. Erman meludah dengan cuek lalu pergi tanpa berkata apapun lagi. Ibu dan Evi datang dari ruang dalam. Evi membawa nampan kecil berisi satu cangkir teh manis panas dan toples kue kering. Gadis cantik itu meletakkan nampan di atas meja. "Ayo masuk, nak Boss. Kok masih berdiri di luar! Masuk, nak!" Ibu menghampiri pintu dan melambaikan tangan pada Jo. Senyum Ibu membuat Jo juga tersenyum. Lelaki berkulit putih itu mengangguk lalu melangkah masuk ke ruang tamu. "Duduk dulu, Jo. Silakan diminum," kata Evi. Ia tampak canggung melihat tubuh tinggi kekar Jo ada di dalam rumahnya yang sesak. Setelan baju seharga puluhan juta yang dipakai Jo sore itu tampak kontras dengan suasana rumah lusuh tempat tinggal Evi. Jo duduk di sofa ruang tamu yang sudah banyak bolongnya. "Saya ibunya Evi, nak Boss," kata Ibu. Kursi rodanya parkir di depan Jo. "Jangan panggil saya begitu, Ibu. Nama saya Jo." Tiba-tiba Evi merasa hatinya begitu sejuk mendengar Jo berkata sopan kepada Ibu. Ia menatap wajah lelaki itu, memindai apa yang mungkin dipikirkan oleh Jo tentang keluarganya. "Masa saya manggil nama saja, Nak Boss? Gak sopan, kan?" Ibu tertawa kecil. "Gak apa, Bu. Panggil saja Jo." "Mana Erman, Jo?" Tiba-tiba Evi menyadari bahwa Erman tidak ada di teras lagi. Jo mengangkat bahunya dengan gaya cuek. "Entahlah, dia pergi gitu aja." Di mobil tadi Evi bercerita tentang siapa Erman pada Jo. Ia mengatakan semua tanpa ada yang ditutupi, semua hal tentang Erman yang membuat keluarganya takut pada pria itu. Termasuk perbuatan Erman padanya yang menjadi pintu masuk Evi ke dalam dunia prostitusi. "Eda aman di rumah Bude Asri, Vi. Ibu sempat kirim SMS ke dia supaya jangan pulang dulu," kata Ibu dengan suara pelan pada Evi. Bude Asri adalah sepupu Ibu yang tinggal di tempat berbeda kecamatan dengan mereka. Ibu adalah anak tunggal dan kedua orangtuanya telah tiada. Hanya Bude Asri saja sanak keluarga yang masih ada. "Aku tetap khawatir, Bu. Tolong bilang ke Eda untuk waspada dimanapun dia berada. Jangan mau diajak Erman." "Dia sudah tahu, Vi. Insyaa Allah dia aman. Sebenarnya Erman sayang kok sama kalian. Erman kan yang bawa kamu kerja di tempat boss Jo ini? Lihat, sekarang kita bisa hidup layak karena gajimu gede." Ibu menatap Jo. "Terima kasih, nak Boss. Sudah mau menerima Evi kerja di perusahaan nak Boss." Jo tersenyum dan mengangguk. Ia menatap Evi, gadis itu menunduk, berusaha menghapus air yang mulai melapisi bola mata indahnya. "Bu, aku mau berangkat lagi, rapat penting sampai besok. Ibu gak apa-apa kan di rumah? Itu tadi aku sudah belikan sate ayam sama capcay buat lauk makan malam. Eda disuruh pulang saja, Bu. Kunci pintu dan jangan bukakan untuk siapapun sampai aku pulang." Evi menghampiri Ibu, berlutut di sisi kursi rodanya. Ibu mengangguk. "Evi ini anak yang sangat berbakti, nak Boss. Dia sayang betul sama saya dan Eda, adiknya. Setiap pulang kerja dia beli sate ayam karena tahu itu makanan kesukaan saya dan Eda. Saya minta apa saja, dia belikan!" Ibu berkata pada Jo. "Ah, Ibu gak pernah minta apa-apa dari aku! Selalu bilang, gajimu ditabung, gajimu ditabung!" Evi menyela ucapan ibunya sambil tersenyum lebar. Jo tersenyum juga melihat anak dan ibu yang begitu kelihatan saling menyayangi itu. Ia ingat ibunya sendiri di rumah. Jo memanggilnya Mama. Wanita sabar yang tidak pernah terdengar mengeluh walau diperlakukan bagai budak oleh Papa. "Aku pergi dulu ya, Bu." Evi berdiri. Ia meraih tangan kanan Ibu lalu menciumnya dengan takzim. Jo ikut berdiri. "Saya pamit, Bu," kata Jo sambil mengangguk sopan. Ibu tersenyum. "Iya, hati-hati di jalan." Evi berjalan satu langkah di belakang Jo. Mereka tidak berkata apapun sepanjang gang menuju jalan besar tempat mobil Jo terparkir. Setelah duduk di dalam mobil, Jo menatap Evi. "Pulanglah. Jaga ibumu." Evi kaget mendengar ucapan lembut itu. "Apa maksudmu?" "Kau turun dan pulang saja. Tunggu adikmu datang. Aku khawatir Erman akan datang lagi." "Ibu dan Eda sudah biasa, Jo. Mereka tahu caranya menghadapi Erman. Ayo kita berangkat." Jo menatap Evi dengan mata yang aneh, Evi tidak nyaman dipandang sedemikian rupa oleh Jo. "Pulang saja. Kecuali kalau kau memang menginginkan aku." Pipi Evi langsung merah padam dan ia salah tingkah. Jo tersenyum. Evi cantik sekali dengan wajah tersipu malu begitu. Jujur saja, Jo gemas melihatnya. "Kau ingin bersamaku?" tanya Jo. "Ya. Karena kau sudah bayar banyak pada Mami Riska. Kalau aku pulang dan membiarkan kau pergi tanpa aku, lalu Mami tahu, nyawaku taruhannya, Jo." "Mami Riska hanya akan tahu kalau aku mengadu padanya. Itu tidak akan aku lakukan." Evi menatap mata coklat indah milik Jo. Ia menebak apa yang diinginkan lelaki itu darinya. Di pertemuan pertama, Jo hanya bercerita sepanjang jam booking yang sudah ia bayar. Evi yang mengira Jo sama seperti klien lain sudah tampil maksimal tanpa apapun di tubuh, menunggu Jo beraksi, tapi Jo malah memintanya berpakaian lagi. Dua jam pertemuan pertama mereka menjadi pengalaman aneh buat Evi yang sudah terbiasa melayani lelaki liar. Kali ini malah lebih aneh. Jo menyuruhnya pulang. "Jo, ini pekerjaanku. Biarkan aku melakukannya. Kau sudah bayar banyak sekali untuk aku, dan kau berhak mendapatkan apa yang seharusnya aku berikan." "Aku khawatir pada Ibu dan adikmu." Ucapan itu membuat pertahanan hati Evi runtuh. Ia tidak menyangka Jo yang mengatakan itu, bukan Erman. Air mata mengalir di pipi mulus Evi. Ia membuang pandang ke jalan di depan. Suasana sore ramai sekali di daerah tempat tinggalnya. Anak-anak kecil melewati mobil Jo dan mereka tidak tahan untuk tidak memukul atau mengelus bodi mulus mobil mewah itu. "Kalau kau mau pulang dan menjaga keluargamu, turunlah. Aku gak akan lapor pada Mami Riska. Aku gak akan ambil lagi uangku. Kalau Mami Riska memberikan bagianmu, ambil saja. Oke?" Evi menghapus air matanya. Ia kembali menatap Jo. "Kau serius, Jo?" "Apa mukaku kelihatan bercanda?" "Enggak. Mukamu kelihatan ganteng." Mereka tertawa sekilas. Jo memberi kode dengan gerakan dagunya, memerintah Evi turun. Evi mengangguk. Ia ambil tasnya di jok. "Aku hutang budi padamu, Jo. Aku gak akan lupa ini." "Aku akan menagihnya suatu saat nanti." "Aku akan lakukan apapun yang kau inginkan." Jo mengangguk. Pintu di sebelah Evi terbuka. Gadis itu beranjak turun dari mobil. Jo melongokkan wajah agar bisa melihat Evi. "Hati-hati. Waspada selalu. Erman itu jahat." Evi mengangguk pelan. Jendela mobil naik lagi dan pintunya tertutup. Jo menginjak pedal gas dan mobil seharga 3 milyar itu bergerak pergi. Evi termangu menatap mobil Jo sampai tak terlihat lagi Entah apa nama perasaannya sekarang. Jo adalah klien, lelaki yang mungkin menginginkan tubuhnya saja, tapi entah kenapa ada sesuatu yang indah dalam hati Evi sore ini, dan itu tentang Jo. Jangan berkhayal, Evita Maharani, bisik Evi dalam hati. Jo itu pria beristri, dari kalangan atas, kau hanya wanita panggilan yang ia pilih dari buku katalog Mami Riska. Jangan menyakiti hatimu sendiri! Evi berbalik kembali masuk ke gang dan berjalan cepat ke arah rumah. Ia tidak menoleh lagi, hingga tak tahu ada tiga lelaki di warung bakso seberang jalan yang menatapnya lekat dengan mata liar. "Jam sepuluh malam lingkungan sini biasanya sudah sepi," kata seorang pria pada dua temannya. "Lakukan apa yang tadi aku suruh. Pe la cur itu harus diberi pelajaran!"Evi mengunci pintu rumah. Papan gypsum berlapis itu sebenarnya tidak layak disebut pintu, tidak kokoh juga tidak maksimal melindungi apa yang ada dalam rumah. Kalau memang ada yang berniat ja hat, pintu gypsum itu akan hancur kena satu kali tendangan. Ibu dan Eda sudah tidur. Evi menuju ruang makan. Tanpa menimbulkan banyak suara, ia menutup sisa hidangan makan malam dengan tudung saji. Evi duduk di kursi makan, termenung. Seharusnya sekarang ia sedang menemani Jo di tempat yang diinginkan lelaki itu. Sejak pergi meninggalkannya tadi sore, Jo tidak menelepon Evi atau sekedar mengirim pesan. Hati Evi mengharapkan ponselnya berbunyi dan ada sesuatu dari Jo di sana. Ia meraih ponsel hitam yang tergeletak di hadapannya lalu mengetik sebuah pesan. [Hai Jo, lagi dimana sekarang?] Hampir saja ia tekan tombol send tapi lalu dengan cepat ia hapus pesan itu. Untuk apa ia menghubungi Jo? Mungkin saja lelaki itu sedang asyik dilayani penghibur lain yang ia booking sebagai pengganti Evi. At
Lingkungan kampung mendadak ramai. Suasana menjelang tengah malam yang biasanya sepi kini seperti ada pasar, penuh orang. Teriakan dan perintah bersahut-sahutan dari segala arah. Setelah satu jam sejak awal api menyala, sudah lima rumah terbakar. Untunglah angin berhembus kecil jadi api tidak terlalu cepat merembet. Api melalap banyak rumah karena bahan pembuat rumah mudah terbakar. Pemadam kebakaran sudah datang tapi karena lokasi api berada dalam gang sempit, mobil-mobil besar itu tidak bisa masuk. Petugas menyemprotkan air dari ujung gang. Warga membantu menyiram air ke rumah yang belum terbakar untuk membasahi dinding papan, berharap api tidak bisa melahapnya. Erman menangis dikelilingi warga di pos ronda. Ia bersama sanak keluarga lain yang rumahnya terbakar berkumpul menunggu kabar. Erman kelihatan bingung dan sangat sedih. "Ini kebakarannya disengaja, Pak," seorang warga berkata dengan suara keras. Ucapannya menarik minat warga lain. "Disengaja bagaimana?" "Ada yang li
"Maksudmu?" Kening Jo mengernyit, ia tidak paham ucapan Evi. Tangan Evi menghapus air mata, setelah menarik napas panjang, ia menjawab pelan. "Ini kesempatanku melarikan diri dari Erman, Jo. Semoga dia mengira aku sudah ma ti terbakar." "Kamu mau sembunyi?" tanya Jo, ia mengerti pikiran Evi. Ini memang kesempatan baik. "Kamu mau kemana?" Evi menatap Jo dengan mata memohon. Tiga detik membalas pandang gadis itu, Jo paham lagi bahwa Evi mengandalkannya. Jo menggeleng pelan. "Aku gak bisa janjikan apapun untukmu, Vi. Kalau soal tempat tinggal, kau bisa tinggal di sini semaumu. Soal pekerjaan, aku bisa tempatkan kau jadi staf kantorku. Soal keamanan, itu yang aku gak bisa jamin. Kamu bilang sendiri kalau Mami Riska dan Erman punya banyak mata-mata." Evi menunduk. Ia membenarkan ucapan Jo itu. Bukan sekali dua kali Evi mencoba kabur dari dunia hitam tapi Mami Riska dan Erman selalu bisa menangkapnya lagi. Kalau mau sembunyi, sekolah Eda pun harus pindah. Eda sudah kelas XII, susah
Dada Evi berdegup keras mendengar ucapan Jo. Bicara jujur, tentang apa? "Aku mau jujur padamu, Vi," kata Jo. Ia bahkan belum masuk ke dalam rumah, masih berdiri di ambang pintu. "A-apa itu?" Evi bersiap, hatinya berbunga. Apakah .... "Istriku mengirim orang untuk mengikuti aku dan dia tahu tentangmu. Sepertinya akan sangat beresiko buat kita berdua kalau kau bekerja di kantorku. Istriku akan tahu dan kau yang akan dapat makiannya." Oh, jujur tentang itu. Evi merasa wajahnya panas karena malu. Apakah tadi ia sempat melambung tinggi karena berharap Jo menyatakan cinta? Ah, betapa lugunya aku, pikir Evi. "Begitu, ya. Jadi, aku batal bekerja di kantormu? Gak apa-apa, Jo. Aku paham." "Aku pikirkan jalan keluarnya lagi nanti. Untuk sementara, kau dan keluargamu aku jamin aman di sini." "Oke. Aku menurut apa aturanmu." "Tetaplah diam di rumah ini. Jangan keluar." "Aku berpikir tentang sekolah Eda, Jo. Dia harus sekolah, tapi keadaan belum aman. Erman pasti mencarinya di sekolah hari
Rumah yang disebut villa peristirahatan itu terlihat biasa saja dari luar. Bentuk bangunannya juga biasa saja, seperti umumnya rumah dua lantai. Penyejuk mata berupa taman depan yang hijau sangat segar dan asri, ditata oleh orang yang paham pertamanan. Hal yang menonjol dari rumah yang katanya kosong itu adalah adanya dua petugas sekuriti di pos gerbangnya. Erman menyadari itu. Buat apa sekuriti berjaga di rumah kosong? Mungkin karena di dalamnya banyak barang berharga, si pemilik rumah itu adalah pengusaha sukses. Erman tahu, barang berharga yang dijaga itu bukan berupa berlian atau guci antik, tapi seorang primadona lokalisasi beserta ibu dan adiknya. Erman mencari cara masuk ke rumah itu tanpa harus berurusan dengan para penjaga. Ia sudah memutari rumah dan melihat sendiri bahwa rumah itu dikelilingi tembok setinggi tiga meter dengan kawat berduri di atasnya, ada juga papan bertuliskan warning, kawat diatas tembok itu dialiri listrik. Seperti kamp militer, pikir Erman. Sejak s
"Apa maksudmu kirim pesan begitu?" Pertanyaan Sandra dibarengi tatapan dingin wanita cantik itu tepat di mata Jo. Sang suami santai duduk bersandar ke tumpukan bantal, bahkan tidak melihat ke arah Sandra, sibuk dengan ponselnya. Geram bukan main hati Sandra melihat ulah suaminya itu. Setelah membaca pesan yang dikirim oleh Jo, Sandra meninggalkan teman-temannya begitu saja dan langsung mencari Jo. "Jelaskan, Jo!" pekik Sandra membahana. Jo baru melirik istrinya, membalas tatapan tajam Sandra padanya. "Apa itu masih kurang jelas? Aku mau bercerai. Itu saja maksudku." "Apa ini karena pe la cur itu?" Jo menegakkan duduk, ponselnya ia letakkan di nakas. "Kau selalu bilang begitu. Pe la cur mana yang kau maksud?" "Perempuan yang kau bawa ke kantor dan kau bilang itu sekretarismu, pengganti Liana!" Jo tahu yang dimaksud Sandra adalah Evi. "Dia wanita baik-baik, bukan pe la cur!" bentak Jo. Sandra malah jadi tambah murka. Ia tam par pipi kiri Jo. "Aku jadi makin yakin ini semua kar
Dua hari sekali Erman datang ke depan villa Jo di pinggiran kota, ia mengintai gerakan penghuni rumah. Sampai dua Minggu rutinitas itu ia lakukan, Erman tidak mendapat hasil apapun. Orang yang rutin datang dan pergi hanya Jo sendirian. Dua sekuriti penjaga gerbang bergantian shift, Erman kadang heran bagaimana bisa petugas keamanan itu tidak bosan menjaga rumah yang sepertinya kosong. Hari ini Erman tertawa puas melihat pemandangan yang tersaji di depan villa mewah itu. Ia melihat Evi dijemput Jo, berpakaian resmi kantoran. Eda juga keluar memakai seragam SMA. Jo dan Evi naik di mobil hitam dan Eda naik di mobil lain yang berwarna putih, sepertinya Eda dapat supir pribadi. Erman dan motornya mundur, ia mengamati dari seberang jalan, di balik sebuah pohon asam besar. Gerbang ditutup dan dikunci lagi oleh Ris, sang satpam. Erman memutar akal, ia harus bisa masuk ke rumah itu. Setelah semua pergi berarti hanya ada Ibu di dalam. Ibu selalu ada di pihaknya. Apapun yang Erman lakukan, Ibu
Pukul sebelas siang, menjelang istirahat, meja Evi didatangi tamu istimewa. Seorang pria tinggi besar berpakaian serba hitam muncul di hadapan Evi. "Nona Evita Maharani, anda diharapkan datang ke ruang CEO sekarang juga. Bawa semua barang milik anda," kata lelaki itu. Evi terpana kaget mendengar perintah itu. "Ada masalah apa?" "Nanti dijelaskan di ruang CEO bersama Pak Jonathan. Ayo." Tidak banyak barang yang dikemas oleh Evi karena ia baru delapan hari menghuni kubikelnya. Hanya satu dus kecil saja bawaannya. Ia melangkah mengikuti bodyguard yang menjemputnya. Evi menyeberangi koridor memasuki ruang berdinding kaca di depan ruang pegawai. Ia terus dipersilakan berjalan melintasi ruang tamu menuju sebuah ruang di sudut yang pintunya diberi tulisan nama Jonathan Setiadi. Membaca nama itu, ada yang bergetar dalam hati Evi. "Silakan masuk." Sang bodyguard membukakan pintu. Evi masuk ke ruang pimpinan untuk pertama kalinya. Ruang itu bernuansa hitam putih dan luas. Ada sepa
Ibu tertawa melihat isi piring besar yang disodorkan oleh Tini, asisten rumah tangga di rumah Jo. Sate ayam berlumur bumbu kacang pekat harum penuh di piring panjang itu."Silakan dimakan, Bu. Itu kata Pak Jo khusus buat Ibu saja." Tini tersenyum pada Ibu. "Boss Jo sampai hapal kesukaan Ibu, sate ayam!" Eda ikut tertawa melihat mata Ibu berbinar. "Awas makan kacang, ingat asam urat!""Saya pamit ke belakang dulu ya, Bu," kata Tini lagi."Silakan, Mbak. Terima kasih satenya!" Ibu mengangguk pada Tini.Tidak menunggu perintah lagi, Ibu dan Eda menyantap nasi hangat berlauk sate ayam kesukaan Ibu. "Boss Jo dan kakakmu belum bangun, Da?" tanya Ibu setelah menelan suapan pertamanya. Eda menggeleng."Ya belum keluar dari kamar lah, Bu. Namanya juga penganten baru!""Kayak ngerti saja kamu!""Tahu lah!"Sudah seminggu berlalu sejak pesta pernikahan sederhana digelar di rumah Jo. Evi sah jadi istrinya. Ibu dan Eda juga diboyong tinggal di rumah warisan dari ibunda Jo itu. Jo memastikan Ibu
Koridor menuju kamar jenazah Rumah Sakit Daerah lengang di sore hari. Evi tergopoh melangkah mengikuti seorang polisi. Administrasi pemulangan jenazah sedang diurus oleh Jo di kantor RSUD. Mereka juga masih perlu membereskan beberapa masalah di kantor polisi.Semalam terjadi kebakaran yang menghanguskan satu deret kamar kontrakan di daerah pinggir kota. Ditemukan tiga korban jiwa dalam satu unit kamar, semuanya diidentifikasi berjenis kelamin pria.Bahan bakar yang menjadi sebab kebakaran hanya disiramkan di dinding depan satu kamar, sumber nyala api, sedangkan bangunan lain hanya menerima rembetan api dan tidak seluruhnya hangus. Kamar sumber nyala api juga menyisakan dinding belakang yang tidak habis terbakar. Tiga korban jiwa ditemukan berpelukan di dalam kamar mandi, kondisi mereka mengalami luka bakar 80%.Polisi juga menemukan sebuah tas yang separuh dilalap api, di dalamnya ada sebuah dompet hampir meleleh yang berisi kartu identitas atas nama Erman Setiabudi, beralamat di ruma
Ketiga orang di dalam kamar gelap itu berhenti bicara ketika mereka mendengar bunyi langkah kaki yang ribut di luar. Banyak suara bisik-bisik dan mesin motor yang berhenti."Man, mereka datang, Man," bisik Doni.Erman dan Rere saling pandang di bawah lampu layar ponsel."Anak buah Gundul gak bisa diajak main-main, Man. Lu kenapa lari kesini, sih?" Kaki Doni menyepak paha Erman."Gua gak punya tempat lain buat dituju!" bentak Erman dalam bisikan."Dengar!" Rere memukul bahu Erman.Sepertinya kamar di kanan kiri terbuka dan ada suara orang berlari, beberapa pekikan kecil juga barang jatuh. Rere menebak penghuni kamar tetangga lari menyelamatkan diri. "Bagaimana kalau kita lari keluar? Kamar ini gak ada pintu belakangnya!" kata Erman."Mau lari lewat mana?" sahut Doni. "Lihat itu di bawah pintu!"Cahaya teras kamar yang terang menyinari kaki-kaki yang berdiri tepat di depan kamar Doni. Erman merasa dingin sekujur tubuhnya. Bagaimana cara lari dari sini?Gundul memberinya waktu seminggu
Wajah Ibu menampakkan kebahagiaan yang nyata. Wanita yang lebih banyak diam daripada bicara itu terus tersenyum saat Evi menjelaskan padanya bahwa mulai besok akan bekerja jadi staf kantor. Bukan pegawai biasa, malah, tapi sebagai kepala divisi."Siapa bossnya, Vi?" tanya Ibu. Evi menghela napas, melegakan dadanya yang sesak oleh bahagia."Perusahaannya milik Jo, Bu."Senyum Ibu sesaat hilang, tapi lalu muncul lagi. Ibu mengangguk-angguk pelan."Sepertinya persangkaan Ibu padanya selama ini salah. Semoga dia benar-benar orang baik.""Jo ingin bulan depan kami menikah."Mata Ibu sedikit melotot, kaget. Air mukanya berubah-ubah, antara senang dan sedih. Evi meraih tangan Ibu dan menggenggamnya."Jo dan aku saling mencintai, Bu. Kami tidak peduli pada masa lalu. Restui kami, Ibu.""Kau yakin, Vi? Ibu hanya khawatir kau cuma dia jadikan mainan, iseng sambil dia mencari yang lain. Ibu takut kau disakiti.""Semoga tidak, Bu. Aku bisa lihat dia sungguh serius pada janjinya.""Maafin ucapan I
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Ibu menyambut Eda pulang sekolah. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Eda langsung menuju meja makan. Ada semangkuk sup ayam dan perkedel kentang tersaji. Eda mengambil makanan lalu membawanya ke kamar."Ibu sudah makan?""Sudah. Kakakmu menelepon?""Mbak Evi? Tidak. Kemana dia?""Tadi perginya pamit mau ke apartemen ngambil perabot yang masih ada di sana. Kok belum balik lagi ya? Lama sekali.""Sekalian belanja kalik, Bu.""Iya mungkin." Ibu kelihatan tenang lagi. Eda makan di kamar sambil menemani ibu mengobrol.Ibu bahagia bukan kepalang sewaktu Evi mengajaknya pindah ke Lampung Pandansari. Apalagi ketika Evi berjanji akan memulai hidup baru dan meninggalkan pekerjaannya yang lama. Apalagi yang jadi doa Ibu selama ini kalau bukan kedua hal itu?"Ibu merasa Evi jadi begitu ya karena Ibu juga, Da. Ibu jadi beban kakakmu. Untungnya Evi itu pekerja keras, dia gak pernah ngeluh.""Aku juga ngerasa bersalah sama Mbak Evi, Bu. Aku banyak permintaan. Gak mau bantuin dia kerja."Ibu me
Status Jo sekarang adalah pengangguran. Ia benar-benar tidak punya pekerjaan. Sejak diusir dari kantor, Jo belum pulang ke rumah. Ia ingin bertemu Mamanya sebentar tapi takut jika terpergok Papa. Hanya dua hari ia menumpang tidur di apartemen Evi lalu keliling kota mencari rumah kontrakan.Jo membayar uang kontrakan selama setahun ke depan secara cash. Uang tabungannya masih banyak sekali. Namun begitu, Jo tetap harus bekerja karena suatu hari nanti uang tabungannya akan habis. Apa yang bisa Jo kerjakan? Ia hanya punya pengalaman jadi Boss saja, tidak pernah bekerja dengan otot.Rumah kontrakannya yang baru berupa sebuah rumah satu kamar yang mungil. Harga sewanya lumayan tinggi. Jo berhitung, andai ia hanya mengandalkan tabungan saja tanpa menambah saldo, rekeningnya akan jadi nol dalam waktu dua tahun. Untuk itulah Jo harus bekerja.Pikiran Jo masih tertambat pada Evi. Ia masih mencarinya dengan berbagai cara, sampai dengan mengintai rumah Mami Riska sepanjang hari tapi tetap nihil
"Apa maksud kalian? Siapa yang menyuruhku pergi?" Jo bangun dari tempatnya duduk di balik meja kerja. Para bodyguard menentang tatapan mata Jo tanpa gentar."Atasan kami, pak Salman Setiadi memerintahkan demikian, Pak Jonathan. Anda diberi waktu satu jam dari sekarang untuk berkemas. Ini surat pemecatan anda." Sebuah amplop putih panjang dengan kop surat nama perusahaan induk tertera diletakkan di meja kerja. Jo menatap surat itu. Dia dipecat oleh ayah sendiri. Lucu sekali hidup ini."Tolong sampaikan pada Papa, saya ....""Kami tidak diperintah untuk menyampaikan pesan balik, Pak Jonathan. Kami ada di sini untuk memastikan Anda berkemas dengan baik tanpa ada barang tertinggal." Si kepala bodyguard memutus ucapan Jo."Dimana Papa sekarang? Antar saya ke sana.""Silakan berkemas saja dan pergi, Pak Jonathan."Ini keterlaluan, gumam Jo dalam batin. Apa ini semua karena Evi? Bagaimana bisa seorang ayah memecat anak sendiri hanya karena rebutan wanita! Jo bergerak maju tanpa permisi pada