Share

4. Rapat Romansa

Wanita cantik bertubuh tinggi langsing itu masuk ke ruang tamu. Ia berhadapan dengan Evi. Insting di otak Evi langsung memerintahkan dirinya untuk mengangguk sopan pada wanita itu.

"Mau kemana, Mas?" tanya si cantik tanpa peduli pada Evi, pandangannya tertuju pada Jo. Evi sempat melirik Jo dan melihat betapa tenangnya lelaki itu.

"Ada rapat, San. Di kantor cabang. Kamu ngapain ke sini?"

Sandra, istri Jo, menatap Evi dari atas ke bawah. Evi benci sekali dengan jenis tatapan seperti itu.

"Ini karyawan baru? Kok aku baru lihat?" Sandra balik bertanya.

"Iya. Namanya Evita. Sekretaris pribadiku."

"Liana kemana?" Sandra masih melirik judes pada Evi. Liana adalah sekretaris Jo yang dikenal baik oleh Sandra.

"Dia resign setelah menikah."

"Sekretaris baru ini satu ruangan denganmu?"

Evi sempat khawatir apa jawaban Jo. Suasana begitu tegang.

"Enggak. Evita duduk di ruang karyawan di sebelah sana. Dia datang kalau aku panggil saja," sahut Jo sambil menunjuk ruang penuh kubikel di seberang lorong. Sandra menghampiri Jo.

"Sebenarnya aku mau ajak kamu nonton pameran berlian di museum. Rapatnya penting gak sih, Jo? Si Evita ini saja yang kau suruh berangkat."

Jo menepis pelan tangan Sandra yang terulur ke kerah jasnya. Evi ingin sekali keluar dari ruang itu. Ia jengah walau itu bukan pertama kali ia terpaksa bertemu dengan istri klien.

"Semua rapatku itu penting, San. Konyol pertanyaanmu. Ajak temanmu si Ingrid saja untuk temani kamu ke pameran, ya. Malam ini aku gak pulang."

"Mohon maaf, Pak. Kalau boleh, saya duluan ke bawah," kata Evi menyela. Jo dan Sandra menatapnya.

"Oke, silakan. Tunggu aku dan team di parkiran saja." Jo tersenyum padanya. Evi mengangguk hormat pada suami istri itu lalu bergegas pergi. Lega rasanya bisa meninggalkan tatapan curiga dari istri Jo.

Profesi Evi membuat dia terpaksa harus biasa dilabrak istri orang. Entah sudah berapa ratus kali ia berhadapan dengan istri-istri yang mengamuk. Dua kali ia pernah digerebek istri klien saat sedang puncak permainan di kamar hotel. Pernah juga istri klien menggebrak sambil mengajak polisi dan Evi terpaksa ikut ke kantor polisi. Mami Riska selalu sigap membela dan membantunya keluar dari masalah semacam itu walau dengan uang sogokan.

Hal paling menyakitkan untuk Evi adalah melihat tatapan menghina dari istri klien, seperti yang baru saja diterimanya dari Sandra. Evi selalu berpakaian rapi dan sopan saat bertemu kliennya, tidak pernah berpakaian seksi terbuka seperti umumnya rekan seprofesinya. Hal itu tidak selalu bisa mengalihkan perhatian orang. Ada yang bilang, aura wanita penghibur itu tetap akan terasa kuat walau apapun bentuk samarannya.

Evi duduk di kursi tunggu yang berjejer dekat dinding kaca lantai satu. Ia menggunakan waktu yang sedikit itu untuk membetulkan riasan wajah. Evi menatap wajahnya di cermin bedak two way cake dari merk kelas atas. Kecantikannya sempurna. Ia tahu ia mewarisi paras elok itu dari Ibu.

Evi ingin sekali minum kopi. Ada sebuah cafe di lobby gedung tapi Jo pasti akan turun sebentar lagi.

Benar saja, tak lama kemudian Jo datang setengah berlari menuju tempat Evi duduk.

"Maaf membuatmu menunggu!"

"Gak apa. Siapa wanita cantik tadi?" Evi tersenyum. Jo membalas senyum itu.

"Itu istriku. Namanya Sandra."

"Cantik sekali istrimu.'

"Kau lebih cantik."

Evi tertawa lepas. Ia suka humor Jo. Lelaki di hadapannya itu diam menunggunya tertawa. Hanya ada senyum tipis di bibir indah Jo.

"Sudah, sudah! Aku sampai sakit perut! Ayo kita pergi!" Evi bangkit dari duduknya. "Eh, kemana istrimu?"

"Ke ruang CEO, ketemu ayahnya."

"Oh, Sandra anak CEO perusahaanmu?"

"Begitulah. Seperti yang pernah aku ceritakan di pertemuan pertama kita. Aku dan Sandra dijodohkan demi suksesnya merger dua perusahaan. Mereka yang hujan uang, aku disebut pun tidak. Aku selalu berpikir akan menceraikan Sandra, tapi Ibuku sangat menyayanginya."

Evi paham posisi Jo dalam pernikahan itu. Anak berbakti.

"Kenapa kau sampai punya ide untuk menggunakan jasaku?" Mata Evi yang dinaungi bulu-bulu lentik menatap lelaki tampan di hadapannya. Jo tersenyum.

"Aku kan sudah bilang, aku butuh teman. Aku ini introvert, susah berteman. Padahal aku juga punya banyak masalah dan ingin curhat. Aku membayarmu untuk mendengarkan curhatku."

"Kamu membosankan, tahu nggak?" Evi melengos pergi mendahului Jo. Pria bertubuh jangkung itu tersenyum lebar dan menyusul langkah Evi.

*****

Ibu menatap Erman yang duduk santai mengangkat satu kaki di kursi makan. Lelaki itu asyik menyantap nasi disiram kuah sayur asam, masakan Eda tadi pagi.

"Kemana saja kau, Man? Ibu hitung kau ada dua bulan gak pulang," kata Ibu. Erman meliriknya.

"Ngapain aku pulang? Kalian kan lebih suka aku pergi dan gak datang lagi?"

"Jangan bilang begitu. Kalian bertiga anak Ibu, Ibu sayang pada kalian," sahut Ibu.

"Aku bukan anakmu."

Ibu menarik napas panjang. Sejak di bangku SMP, Erman tidak pernah lagi bersikap baik padanya. Entah siapa yang meracuni pikirannya dan menceritakan asal-usul keluarganya, Erman langsung saja mendakwa Ibu dan dua putrinya sebagai pen ja hat yang mem bu nuh ibu kandungnya.

"Aku ke sini bukan kangen sama kalian, apalagi sama kau, Tante. Aku mau nunggu Eda pulang sekolah, mau aku ajak jalan-jalan," kata Erman setelah makannya selesai dan meneguk segelas air putih yang disajikan Ibu. "Lumayan ini masakan Eda, enak. Laku dia disuruh kerja di warteg."

"Jangan, Man. Biar Eda selesai SMA dulu baru kau ajak dia kerja."

"Ah, lama! Dia sudah besar, cantik, aku mau kenalkan dia sama temanku yang boss warteg di terminal bus. Lagi cari peladen, gajinya dua juta sebulan!"

"Kau sudah bilang sama Evi?"

"Mana mungkin? Dia pasti gak kasih izin! Sombong dia itu, selalu bilang mau sekolahin Eda sampai sarjana. Buat apa? Buang uang saja!"

Ibu menggeleng pelan melihat sikap lelaki yang sudah ia anggap anak sendiri itu. Erman lalu fokus pada ponselnya sambil makan kue kering yang juga buatan Eda. Ibu mengayuh kursi rodanya yang sudah usang dan sering macet ke ruang tamu, ia akan menunggu Eda pulang dan menyuruhnya pergi lagi. Entah apa sebabnya, Ibu punya firasat tidak baik.

[Kamu masih di kantor, Vi? Ada Erman di rumah lagi nunggu Eda pulang. Katanya mau diajak kerja di warteg.]

Ibu mengirim pesan yang diketiknya di ponsel model kuno ke nomor Evi. Hanya ponsel itu yang bisa Ibu pakai walaupun Evi membelikannya handphone canggih.

Pesan itu terbaca oleh Evi saat gadis itu berada dalam mobil sedan mewah yang dikendarai Jo menuju daerah pegunungan di barat kota. Evi seketika panik. Ia menoleh pada Jo beberapa kali, pria itu diam dan fokus mengemudi.

"Jo, aku mau minta izin sesuatu. Boleh?" Akhirnya Evi memberanikan diri. Jo menoleh padanya sebentar.

"Boleh. Ada apa?"

"Aku turun di sini dulu. Aku harus pulang segera. Ada yang terjadi di rumah dan aku harus menyelesaikannya. Aku janji begitu urusannya selesai aku akan menyusulmu ke tempat rapat."

"Tidak ada rapat, Vi. Kita gak menuju tempat rapat. Kita akan ke hotel di pegunungan."

"Oh. Oke. Kasih aku alamatnya, aku akan menyusul."

"Naik apa? Tidak ada kendaraan umum ke sana. Mobil online juga gak mau karena jauh dan susah sinyal. Memangnya ada apa di rumahmu?"

Evi ragu apakah ia akan menceritakan semua pada Jo agar lelaki itu mau memakluminya. Jika ia meneruskan perjalanan dan membiarkan Eda serta Ibu di rumah tanpa perlindungan, apa yang akan terjadi? Ya Tuhan, apakah ini teguran dari-Mu? Bisik hati Evi. Keselamatan adiknya terancam, tapi jika ia nekat minta pulang pada Jo lalu Jo mengadu pada Mami Riska, ia bisa tamat. Mami memang baik tapi Evi tahu membuat klien kecewa masuk ke pasal pelanggaran berat di undang- undang kerja Mami Riska, hukumannya terlalu seram untuk dibayangkan apalagi dijalani.

"Nyawa adikku terancam, Jo. Cuma aku yang bisa melindunginya. Aku bersumpah, aku janji akan segera menyusulmu setelah adikku aman. Tolong, Jo."

Mobil terus meluncur dan menjauh dari kota. Jaraknya semakin membuat Evi khawatir, benar kata Jo tadi, di jalur ini tidak ada kendaraan umum. Jalur wisata yang mulai menanjak dan berkelak-kelok.

"Please, Jo. Aku harus pulang dulu," kata Evi melihat Jo diam saja dan terus mengemudi.

Perlahan mobil menepi dan akhirnya berhenti. Jo memutar posisinya sampai wajahnya bisa lurus menghadap ke wajah Evi. Ditatapnya kecantikan wanita itu beberapa detik lamanya.

"Ceritakan dulu padaku apa masalahnya. Kalau aku bisa paham, kita putar balik dan aku antar kau pulang dulu. Kalau aku merasa kau mengada-ada hanya untuk lari dariku, aku akan komplain pada agenmu. Aku sudah bayar empat puluh juta hanya untuk mendapatkanmu, Evita."

"Baiklah," sahut Evi. Ia lalu menceritakan bagaimana sikap Erman pada Eda dan Ibu juga padanya. Kakak lelaki yang sebenarnya tidak ada hubungan darah sedikitpun dengannya itu selalu mengusik ketenangan keluarga kecil Evi. Sekarang Erman ada di rumahnya dan menunggu Eda pulang untuk dibawa kerja ke warteg. Evi tahu, tidak akan ada warteg. Erman akan menjual Eda ke agen seperti Mami Riska.

"Adikmu pulang jam berapa? Apa kita bisa mengejar waktu dari sini? Ini sudah sekitar dua puluh kilometer dari kota dan menuju rumahmu perlu waktu lama. Apa sebaiknya lapor polisi sambil kita meluncur pulang?"

Evi membenarkan ucapan Jo. Daripada tidak ada usaha sama sekali, pikirnya kemudian.

"Tolong, Jo, putar balik dan antar aku pulang dulu sekarang juga. Aku janji akan kasih kau layanan ekstra."

Jo tersenyum dengan sebelah bibir. Evi masih menatap dengan mata memohon padanya. Akhirnya Jo kembali duduk menghadap kemudi.

"Kencangkan sabuk pengamanmu. Kita ngebut!"

"Makasih, Jo!" Evi bernapas lega. Ketika mobil Jo sudah berbalik arah dan melaju kencang, dalam hati Evi berdoa, kepada Tuhan, walaupun sudah lama ia tidak menyapa Tuhan. Selamatkan adik dan ibuku, bisiknya dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status