Share

4. Rapat Romansa

Penulis: Dee Rahayu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Wanita cantik bertubuh tinggi langsing itu masuk ke ruang tamu. Ia berhadapan dengan Evi. Insting di otak Evi langsung memerintahkan dirinya untuk mengangguk sopan pada wanita itu.

"Mau kemana, Mas?" tanya si cantik tanpa peduli pada Evi, pandangannya tertuju pada Jo. Evi sempat melirik Jo dan melihat betapa tenangnya lelaki itu.

"Ada rapat, San. Di kantor cabang. Kamu ngapain ke sini?"

Sandra, istri Jo, menatap Evi dari atas ke bawah. Evi benci sekali dengan jenis tatapan seperti itu.

"Ini karyawan baru? Kok aku baru lihat?" Sandra balik bertanya.

"Iya. Namanya Evita. Sekretaris pribadiku."

"Liana kemana?" Sandra masih melirik judes pada Evi. Liana adalah sekretaris Jo yang dikenal baik oleh Sandra.

"Dia resign setelah menikah."

"Sekretaris baru ini satu ruangan denganmu?"

Evi sempat khawatir apa jawaban Jo. Suasana begitu tegang.

"Enggak. Evita duduk di ruang karyawan di sebelah sana. Dia datang kalau aku panggil saja," sahut Jo sambil menunjuk ruang penuh kubikel di seberang lorong. Sandra menghampiri Jo.

"Sebenarnya aku mau ajak kamu nonton pameran berlian di museum. Rapatnya penting gak sih, Jo? Si Evita ini saja yang kau suruh berangkat."

Jo menepis pelan tangan Sandra yang terulur ke kerah jasnya. Evi ingin sekali keluar dari ruang itu. Ia jengah walau itu bukan pertama kali ia terpaksa bertemu dengan istri klien.

"Semua rapatku itu penting, San. Konyol pertanyaanmu. Ajak temanmu si Ingrid saja untuk temani kamu ke pameran, ya. Malam ini aku gak pulang."

"Mohon maaf, Pak. Kalau boleh, saya duluan ke bawah," kata Evi menyela. Jo dan Sandra menatapnya.

"Oke, silakan. Tunggu aku dan team di parkiran saja." Jo tersenyum padanya. Evi mengangguk hormat pada suami istri itu lalu bergegas pergi. Lega rasanya bisa meninggalkan tatapan curiga dari istri Jo.

Profesi Evi membuat dia terpaksa harus biasa dilabrak istri orang. Entah sudah berapa ratus kali ia berhadapan dengan istri-istri yang mengamuk. Dua kali ia pernah digerebek istri klien saat sedang puncak permainan di kamar hotel. Pernah juga istri klien menggebrak sambil mengajak polisi dan Evi terpaksa ikut ke kantor polisi. Mami Riska selalu sigap membela dan membantunya keluar dari masalah semacam itu walau dengan uang sogokan.

Hal paling menyakitkan untuk Evi adalah melihat tatapan menghina dari istri klien, seperti yang baru saja diterimanya dari Sandra. Evi selalu berpakaian rapi dan sopan saat bertemu kliennya, tidak pernah berpakaian seksi terbuka seperti umumnya rekan seprofesinya. Hal itu tidak selalu bisa mengalihkan perhatian orang. Ada yang bilang, aura wanita penghibur itu tetap akan terasa kuat walau apapun bentuk samarannya.

Evi duduk di kursi tunggu yang berjejer dekat dinding kaca lantai satu. Ia menggunakan waktu yang sedikit itu untuk membetulkan riasan wajah. Evi menatap wajahnya di cermin bedak two way cake dari merk kelas atas. Kecantikannya sempurna. Ia tahu ia mewarisi paras elok itu dari Ibu.

Evi ingin sekali minum kopi. Ada sebuah cafe di lobby gedung tapi Jo pasti akan turun sebentar lagi.

Benar saja, tak lama kemudian Jo datang setengah berlari menuju tempat Evi duduk.

"Maaf membuatmu menunggu!"

"Gak apa. Siapa wanita cantik tadi?" Evi tersenyum. Jo membalas senyum itu.

"Itu istriku. Namanya Sandra."

"Cantik sekali istrimu.'

"Kau lebih cantik."

Evi tertawa lepas. Ia suka humor Jo. Lelaki di hadapannya itu diam menunggunya tertawa. Hanya ada senyum tipis di bibir indah Jo.

"Sudah, sudah! Aku sampai sakit perut! Ayo kita pergi!" Evi bangkit dari duduknya. "Eh, kemana istrimu?"

"Ke ruang CEO, ketemu ayahnya."

"Oh, Sandra anak CEO perusahaanmu?"

"Begitulah. Seperti yang pernah aku ceritakan di pertemuan pertama kita. Aku dan Sandra dijodohkan demi suksesnya merger dua perusahaan. Mereka yang hujan uang, aku disebut pun tidak. Aku selalu berpikir akan menceraikan Sandra, tapi Ibuku sangat menyayanginya."

Evi paham posisi Jo dalam pernikahan itu. Anak berbakti.

"Kenapa kau sampai punya ide untuk menggunakan jasaku?" Mata Evi yang dinaungi bulu-bulu lentik menatap lelaki tampan di hadapannya. Jo tersenyum.

"Aku kan sudah bilang, aku butuh teman. Aku ini introvert, susah berteman. Padahal aku juga punya banyak masalah dan ingin curhat. Aku membayarmu untuk mendengarkan curhatku."

"Kamu membosankan, tahu nggak?" Evi melengos pergi mendahului Jo. Pria bertubuh jangkung itu tersenyum lebar dan menyusul langkah Evi.

*****

Ibu menatap Erman yang duduk santai mengangkat satu kaki di kursi makan. Lelaki itu asyik menyantap nasi disiram kuah sayur asam, masakan Eda tadi pagi.

"Kemana saja kau, Man? Ibu hitung kau ada dua bulan gak pulang," kata Ibu. Erman meliriknya.

"Ngapain aku pulang? Kalian kan lebih suka aku pergi dan gak datang lagi?"

"Jangan bilang begitu. Kalian bertiga anak Ibu, Ibu sayang pada kalian," sahut Ibu.

"Aku bukan anakmu."

Ibu menarik napas panjang. Sejak di bangku SMP, Erman tidak pernah lagi bersikap baik padanya. Entah siapa yang meracuni pikirannya dan menceritakan asal-usul keluarganya, Erman langsung saja mendakwa Ibu dan dua putrinya sebagai pen ja hat yang mem bu nuh ibu kandungnya.

"Aku ke sini bukan kangen sama kalian, apalagi sama kau, Tante. Aku mau nunggu Eda pulang sekolah, mau aku ajak jalan-jalan," kata Erman setelah makannya selesai dan meneguk segelas air putih yang disajikan Ibu. "Lumayan ini masakan Eda, enak. Laku dia disuruh kerja di warteg."

"Jangan, Man. Biar Eda selesai SMA dulu baru kau ajak dia kerja."

"Ah, lama! Dia sudah besar, cantik, aku mau kenalkan dia sama temanku yang boss warteg di terminal bus. Lagi cari peladen, gajinya dua juta sebulan!"

"Kau sudah bilang sama Evi?"

"Mana mungkin? Dia pasti gak kasih izin! Sombong dia itu, selalu bilang mau sekolahin Eda sampai sarjana. Buat apa? Buang uang saja!"

Ibu menggeleng pelan melihat sikap lelaki yang sudah ia anggap anak sendiri itu. Erman lalu fokus pada ponselnya sambil makan kue kering yang juga buatan Eda. Ibu mengayuh kursi rodanya yang sudah usang dan sering macet ke ruang tamu, ia akan menunggu Eda pulang dan menyuruhnya pergi lagi. Entah apa sebabnya, Ibu punya firasat tidak baik.

[Kamu masih di kantor, Vi? Ada Erman di rumah lagi nunggu Eda pulang. Katanya mau diajak kerja di warteg.]

Ibu mengirim pesan yang diketiknya di ponsel model kuno ke nomor Evi. Hanya ponsel itu yang bisa Ibu pakai walaupun Evi membelikannya handphone canggih.

Pesan itu terbaca oleh Evi saat gadis itu berada dalam mobil sedan mewah yang dikendarai Jo menuju daerah pegunungan di barat kota. Evi seketika panik. Ia menoleh pada Jo beberapa kali, pria itu diam dan fokus mengemudi.

"Jo, aku mau minta izin sesuatu. Boleh?" Akhirnya Evi memberanikan diri. Jo menoleh padanya sebentar.

"Boleh. Ada apa?"

"Aku turun di sini dulu. Aku harus pulang segera. Ada yang terjadi di rumah dan aku harus menyelesaikannya. Aku janji begitu urusannya selesai aku akan menyusulmu ke tempat rapat."

"Tidak ada rapat, Vi. Kita gak menuju tempat rapat. Kita akan ke hotel di pegunungan."

"Oh. Oke. Kasih aku alamatnya, aku akan menyusul."

"Naik apa? Tidak ada kendaraan umum ke sana. Mobil online juga gak mau karena jauh dan susah sinyal. Memangnya ada apa di rumahmu?"

Evi ragu apakah ia akan menceritakan semua pada Jo agar lelaki itu mau memakluminya. Jika ia meneruskan perjalanan dan membiarkan Eda serta Ibu di rumah tanpa perlindungan, apa yang akan terjadi? Ya Tuhan, apakah ini teguran dari-Mu? Bisik hati Evi. Keselamatan adiknya terancam, tapi jika ia nekat minta pulang pada Jo lalu Jo mengadu pada Mami Riska, ia bisa tamat. Mami memang baik tapi Evi tahu membuat klien kecewa masuk ke pasal pelanggaran berat di undang- undang kerja Mami Riska, hukumannya terlalu seram untuk dibayangkan apalagi dijalani.

"Nyawa adikku terancam, Jo. Cuma aku yang bisa melindunginya. Aku bersumpah, aku janji akan segera menyusulmu setelah adikku aman. Tolong, Jo."

Mobil terus meluncur dan menjauh dari kota. Jaraknya semakin membuat Evi khawatir, benar kata Jo tadi, di jalur ini tidak ada kendaraan umum. Jalur wisata yang mulai menanjak dan berkelak-kelok.

"Please, Jo. Aku harus pulang dulu," kata Evi melihat Jo diam saja dan terus mengemudi.

Perlahan mobil menepi dan akhirnya berhenti. Jo memutar posisinya sampai wajahnya bisa lurus menghadap ke wajah Evi. Ditatapnya kecantikan wanita itu beberapa detik lamanya.

"Ceritakan dulu padaku apa masalahnya. Kalau aku bisa paham, kita putar balik dan aku antar kau pulang dulu. Kalau aku merasa kau mengada-ada hanya untuk lari dariku, aku akan komplain pada agenmu. Aku sudah bayar empat puluh juta hanya untuk mendapatkanmu, Evita."

"Baiklah," sahut Evi. Ia lalu menceritakan bagaimana sikap Erman pada Eda dan Ibu juga padanya. Kakak lelaki yang sebenarnya tidak ada hubungan darah sedikitpun dengannya itu selalu mengusik ketenangan keluarga kecil Evi. Sekarang Erman ada di rumahnya dan menunggu Eda pulang untuk dibawa kerja ke warteg. Evi tahu, tidak akan ada warteg. Erman akan menjual Eda ke agen seperti Mami Riska.

"Adikmu pulang jam berapa? Apa kita bisa mengejar waktu dari sini? Ini sudah sekitar dua puluh kilometer dari kota dan menuju rumahmu perlu waktu lama. Apa sebaiknya lapor polisi sambil kita meluncur pulang?"

Evi membenarkan ucapan Jo. Daripada tidak ada usaha sama sekali, pikirnya kemudian.

"Tolong, Jo, putar balik dan antar aku pulang dulu sekarang juga. Aku janji akan kasih kau layanan ekstra."

Jo tersenyum dengan sebelah bibir. Evi masih menatap dengan mata memohon padanya. Akhirnya Jo kembali duduk menghadap kemudi.

"Kencangkan sabuk pengamanmu. Kita ngebut!"

"Makasih, Jo!" Evi bernapas lega. Ketika mobil Jo sudah berbalik arah dan melaju kencang, dalam hati Evi berdoa, kepada Tuhan, walaupun sudah lama ia tidak menyapa Tuhan. Selamatkan adik dan ibuku, bisiknya dalam hati.

Bab terkait

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   5. Jo Bertindak

    Erman menyambut kedatangan Evi dan Jo di ambang pintu rumah. Senyumnya lebar sekali. Evi yang terengah-engah karena berjalan cepat dari ujung gang, sekitar seratus meter dari rumahnya, berdiri berhadapan dengan Erman. Wajah Evi merah padam. Jo berdiri di belakang Evi, menatap Erman, seperti biasanya Jo selalu tampak tenang. "Kenapa buru-buru? Takut adek lu gua jual juga?" tanya Erman sambil tersenyum sinis. "Gua cuma becanda aja, Vi. Baper banget sih lu." "Ku rang a jar, lu, Man," kata Evi, ia berusaha menenangkan diri. Dari dalam rumah muncul Ibu mengayuh kursi rodanya. Wajah Ibu tampak khawatir. Erman menoleh pada wanita enam puluh tahun itu. "Gua cuma nyoba aja, bro. Kalo gua ngomong sama Tante ini, tembus apa kaga ke elu, Vi. Eh ternyata iya. Tante tukang ngadu, nih!" Erman seperti berkelakar ringan tapi pilihan katanya sangat menusuk hati Evi. Ibu menatap Evi dan Jo. "Ajak temanmu masuk, Vi," kata Ibu dengan suara gemetar. Erman tertawa. "Itu bukan temannya Evi, Tante! I

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   6. Kebakaran

    Evi mengunci pintu rumah. Papan gypsum berlapis itu sebenarnya tidak layak disebut pintu, tidak kokoh juga tidak maksimal melindungi apa yang ada dalam rumah. Kalau memang ada yang berniat ja hat, pintu gypsum itu akan hancur kena satu kali tendangan. Ibu dan Eda sudah tidur. Evi menuju ruang makan. Tanpa menimbulkan banyak suara, ia menutup sisa hidangan makan malam dengan tudung saji. Evi duduk di kursi makan, termenung. Seharusnya sekarang ia sedang menemani Jo di tempat yang diinginkan lelaki itu. Sejak pergi meninggalkannya tadi sore, Jo tidak menelepon Evi atau sekedar mengirim pesan. Hati Evi mengharapkan ponselnya berbunyi dan ada sesuatu dari Jo di sana. Ia meraih ponsel hitam yang tergeletak di hadapannya lalu mengetik sebuah pesan. [Hai Jo, lagi dimana sekarang?] Hampir saja ia tekan tombol send tapi lalu dengan cepat ia hapus pesan itu. Untuk apa ia menghubungi Jo? Mungkin saja lelaki itu sedang asyik dilayani penghibur lain yang ia booking sebagai pengganti Evi. At

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   7. Evi Hilang!

    Lingkungan kampung mendadak ramai. Suasana menjelang tengah malam yang biasanya sepi kini seperti ada pasar, penuh orang. Teriakan dan perintah bersahut-sahutan dari segala arah. Setelah satu jam sejak awal api menyala, sudah lima rumah terbakar. Untunglah angin berhembus kecil jadi api tidak terlalu cepat merembet. Api melalap banyak rumah karena bahan pembuat rumah mudah terbakar. Pemadam kebakaran sudah datang tapi karena lokasi api berada dalam gang sempit, mobil-mobil besar itu tidak bisa masuk. Petugas menyemprotkan air dari ujung gang. Warga membantu menyiram air ke rumah yang belum terbakar untuk membasahi dinding papan, berharap api tidak bisa melahapnya. Erman menangis dikelilingi warga di pos ronda. Ia bersama sanak keluarga lain yang rumahnya terbakar berkumpul menunggu kabar. Erman kelihatan bingung dan sangat sedih. "Ini kebakarannya disengaja, Pak," seorang warga berkata dengan suara keras. Ucapannya menarik minat warga lain. "Disengaja bagaimana?" "Ada yang li

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   8. Sembunyi Dari Masa Lalu

    "Maksudmu?" Kening Jo mengernyit, ia tidak paham ucapan Evi. Tangan Evi menghapus air mata, setelah menarik napas panjang, ia menjawab pelan. "Ini kesempatanku melarikan diri dari Erman, Jo. Semoga dia mengira aku sudah ma ti terbakar." "Kamu mau sembunyi?" tanya Jo, ia mengerti pikiran Evi. Ini memang kesempatan baik. "Kamu mau kemana?" Evi menatap Jo dengan mata memohon. Tiga detik membalas pandang gadis itu, Jo paham lagi bahwa Evi mengandalkannya. Jo menggeleng pelan. "Aku gak bisa janjikan apapun untukmu, Vi. Kalau soal tempat tinggal, kau bisa tinggal di sini semaumu. Soal pekerjaan, aku bisa tempatkan kau jadi staf kantorku. Soal keamanan, itu yang aku gak bisa jamin. Kamu bilang sendiri kalau Mami Riska dan Erman punya banyak mata-mata." Evi menunduk. Ia membenarkan ucapan Jo itu. Bukan sekali dua kali Evi mencoba kabur dari dunia hitam tapi Mami Riska dan Erman selalu bisa menangkapnya lagi. Kalau mau sembunyi, sekolah Eda pun harus pindah. Eda sudah kelas XII, susah

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   9. Awas Kalau Ibu Sampai Tahu!

    Dada Evi berdegup keras mendengar ucapan Jo. Bicara jujur, tentang apa? "Aku mau jujur padamu, Vi," kata Jo. Ia bahkan belum masuk ke dalam rumah, masih berdiri di ambang pintu. "A-apa itu?" Evi bersiap, hatinya berbunga. Apakah .... "Istriku mengirim orang untuk mengikuti aku dan dia tahu tentangmu. Sepertinya akan sangat beresiko buat kita berdua kalau kau bekerja di kantorku. Istriku akan tahu dan kau yang akan dapat makiannya." Oh, jujur tentang itu. Evi merasa wajahnya panas karena malu. Apakah tadi ia sempat melambung tinggi karena berharap Jo menyatakan cinta? Ah, betapa lugunya aku, pikir Evi. "Begitu, ya. Jadi, aku batal bekerja di kantormu? Gak apa-apa, Jo. Aku paham." "Aku pikirkan jalan keluarnya lagi nanti. Untuk sementara, kau dan keluargamu aku jamin aman di sini." "Oke. Aku menurut apa aturanmu." "Tetaplah diam di rumah ini. Jangan keluar." "Aku berpikir tentang sekolah Eda, Jo. Dia harus sekolah, tapi keadaan belum aman. Erman pasti mencarinya di sekolah hari

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   10. Perasaan yang menyiksa

    Rumah yang disebut villa peristirahatan itu terlihat biasa saja dari luar. Bentuk bangunannya juga biasa saja, seperti umumnya rumah dua lantai. Penyejuk mata berupa taman depan yang hijau sangat segar dan asri, ditata oleh orang yang paham pertamanan. Hal yang menonjol dari rumah yang katanya kosong itu adalah adanya dua petugas sekuriti di pos gerbangnya. Erman menyadari itu. Buat apa sekuriti berjaga di rumah kosong? Mungkin karena di dalamnya banyak barang berharga, si pemilik rumah itu adalah pengusaha sukses. Erman tahu, barang berharga yang dijaga itu bukan berupa berlian atau guci antik, tapi seorang primadona lokalisasi beserta ibu dan adiknya. Erman mencari cara masuk ke rumah itu tanpa harus berurusan dengan para penjaga. Ia sudah memutari rumah dan melihat sendiri bahwa rumah itu dikelilingi tembok setinggi tiga meter dengan kawat berduri di atasnya, ada juga papan bertuliskan warning, kawat diatas tembok itu dialiri listrik. Seperti kamp militer, pikir Erman. Sejak s

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   11. Boss Galak

    "Apa maksudmu kirim pesan begitu?" Pertanyaan Sandra dibarengi tatapan dingin wanita cantik itu tepat di mata Jo. Sang suami santai duduk bersandar ke tumpukan bantal, bahkan tidak melihat ke arah Sandra, sibuk dengan ponselnya. Geram bukan main hati Sandra melihat ulah suaminya itu. Setelah membaca pesan yang dikirim oleh Jo, Sandra meninggalkan teman-temannya begitu saja dan langsung mencari Jo. "Jelaskan, Jo!" pekik Sandra membahana. Jo baru melirik istrinya, membalas tatapan tajam Sandra padanya. "Apa itu masih kurang jelas? Aku mau bercerai. Itu saja maksudku." "Apa ini karena pe la cur itu?" Jo menegakkan duduk, ponselnya ia letakkan di nakas. "Kau selalu bilang begitu. Pe la cur mana yang kau maksud?" "Perempuan yang kau bawa ke kantor dan kau bilang itu sekretarismu, pengganti Liana!" Jo tahu yang dimaksud Sandra adalah Evi. "Dia wanita baik-baik, bukan pe la cur!" bentak Jo. Sandra malah jadi tambah murka. Ia tam par pipi kiri Jo. "Aku jadi makin yakin ini semua kar

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   12. Siapa yang Jatuh Cinta?

    Dua hari sekali Erman datang ke depan villa Jo di pinggiran kota, ia mengintai gerakan penghuni rumah. Sampai dua Minggu rutinitas itu ia lakukan, Erman tidak mendapat hasil apapun. Orang yang rutin datang dan pergi hanya Jo sendirian. Dua sekuriti penjaga gerbang bergantian shift, Erman kadang heran bagaimana bisa petugas keamanan itu tidak bosan menjaga rumah yang sepertinya kosong. Hari ini Erman tertawa puas melihat pemandangan yang tersaji di depan villa mewah itu. Ia melihat Evi dijemput Jo, berpakaian resmi kantoran. Eda juga keluar memakai seragam SMA. Jo dan Evi naik di mobil hitam dan Eda naik di mobil lain yang berwarna putih, sepertinya Eda dapat supir pribadi. Erman dan motornya mundur, ia mengamati dari seberang jalan, di balik sebuah pohon asam besar. Gerbang ditutup dan dikunci lagi oleh Ris, sang satpam. Erman memutar akal, ia harus bisa masuk ke rumah itu. Setelah semua pergi berarti hanya ada Ibu di dalam. Ibu selalu ada di pihaknya. Apapun yang Erman lakukan, Ibu

Bab terbaru

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   32. Epilog

    Ibu tertawa melihat isi piring besar yang disodorkan oleh Tini, asisten rumah tangga di rumah Jo. Sate ayam berlumur bumbu kacang pekat harum penuh di piring panjang itu."Silakan dimakan, Bu. Itu kata Pak Jo khusus buat Ibu saja." Tini tersenyum pada Ibu. "Boss Jo sampai hapal kesukaan Ibu, sate ayam!" Eda ikut tertawa melihat mata Ibu berbinar. "Awas makan kacang, ingat asam urat!""Saya pamit ke belakang dulu ya, Bu," kata Tini lagi."Silakan, Mbak. Terima kasih satenya!" Ibu mengangguk pada Tini.Tidak menunggu perintah lagi, Ibu dan Eda menyantap nasi hangat berlauk sate ayam kesukaan Ibu. "Boss Jo dan kakakmu belum bangun, Da?" tanya Ibu setelah menelan suapan pertamanya. Eda menggeleng."Ya belum keluar dari kamar lah, Bu. Namanya juga penganten baru!""Kayak ngerti saja kamu!""Tahu lah!"Sudah seminggu berlalu sejak pesta pernikahan sederhana digelar di rumah Jo. Evi sah jadi istrinya. Ibu dan Eda juga diboyong tinggal di rumah warisan dari ibunda Jo itu. Jo memastikan Ibu

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   31. Senang dan Sedih

    Koridor menuju kamar jenazah Rumah Sakit Daerah lengang di sore hari. Evi tergopoh melangkah mengikuti seorang polisi. Administrasi pemulangan jenazah sedang diurus oleh Jo di kantor RSUD. Mereka juga masih perlu membereskan beberapa masalah di kantor polisi.Semalam terjadi kebakaran yang menghanguskan satu deret kamar kontrakan di daerah pinggir kota. Ditemukan tiga korban jiwa dalam satu unit kamar, semuanya diidentifikasi berjenis kelamin pria.Bahan bakar yang menjadi sebab kebakaran hanya disiramkan di dinding depan satu kamar, sumber nyala api, sedangkan bangunan lain hanya menerima rembetan api dan tidak seluruhnya hangus. Kamar sumber nyala api juga menyisakan dinding belakang yang tidak habis terbakar. Tiga korban jiwa ditemukan berpelukan di dalam kamar mandi, kondisi mereka mengalami luka bakar 80%.Polisi juga menemukan sebuah tas yang separuh dilalap api, di dalamnya ada sebuah dompet hampir meleleh yang berisi kartu identitas atas nama Erman Setiabudi, beralamat di ruma

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   30. Bahagia Bersama Duka

    Ketiga orang di dalam kamar gelap itu berhenti bicara ketika mereka mendengar bunyi langkah kaki yang ribut di luar. Banyak suara bisik-bisik dan mesin motor yang berhenti."Man, mereka datang, Man," bisik Doni.Erman dan Rere saling pandang di bawah lampu layar ponsel."Anak buah Gundul gak bisa diajak main-main, Man. Lu kenapa lari kesini, sih?" Kaki Doni menyepak paha Erman."Gua gak punya tempat lain buat dituju!" bentak Erman dalam bisikan."Dengar!" Rere memukul bahu Erman.Sepertinya kamar di kanan kiri terbuka dan ada suara orang berlari, beberapa pekikan kecil juga barang jatuh. Rere menebak penghuni kamar tetangga lari menyelamatkan diri. "Bagaimana kalau kita lari keluar? Kamar ini gak ada pintu belakangnya!" kata Erman."Mau lari lewat mana?" sahut Doni. "Lihat itu di bawah pintu!"Cahaya teras kamar yang terang menyinari kaki-kaki yang berdiri tepat di depan kamar Doni. Erman merasa dingin sekujur tubuhnya. Bagaimana cara lari dari sini?Gundul memberinya waktu seminggu

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   29. Kisah Erman

    Wajah Ibu menampakkan kebahagiaan yang nyata. Wanita yang lebih banyak diam daripada bicara itu terus tersenyum saat Evi menjelaskan padanya bahwa mulai besok akan bekerja jadi staf kantor. Bukan pegawai biasa, malah, tapi sebagai kepala divisi."Siapa bossnya, Vi?" tanya Ibu. Evi menghela napas, melegakan dadanya yang sesak oleh bahagia."Perusahaannya milik Jo, Bu."Senyum Ibu sesaat hilang, tapi lalu muncul lagi. Ibu mengangguk-angguk pelan."Sepertinya persangkaan Ibu padanya selama ini salah. Semoga dia benar-benar orang baik.""Jo ingin bulan depan kami menikah."Mata Ibu sedikit melotot, kaget. Air mukanya berubah-ubah, antara senang dan sedih. Evi meraih tangan Ibu dan menggenggamnya."Jo dan aku saling mencintai, Bu. Kami tidak peduli pada masa lalu. Restui kami, Ibu.""Kau yakin, Vi? Ibu hanya khawatir kau cuma dia jadikan mainan, iseng sambil dia mencari yang lain. Ibu takut kau disakiti.""Semoga tidak, Bu. Aku bisa lihat dia sungguh serius pada janjinya.""Maafin ucapan I

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   28. Batal Dilamar

    Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   27. Cinta Tak Bahagia

    Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   26. Beradu Dendam

    Ibu menyambut Eda pulang sekolah. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Eda langsung menuju meja makan. Ada semangkuk sup ayam dan perkedel kentang tersaji. Eda mengambil makanan lalu membawanya ke kamar."Ibu sudah makan?""Sudah. Kakakmu menelepon?""Mbak Evi? Tidak. Kemana dia?""Tadi perginya pamit mau ke apartemen ngambil perabot yang masih ada di sana. Kok belum balik lagi ya? Lama sekali.""Sekalian belanja kalik, Bu.""Iya mungkin." Ibu kelihatan tenang lagi. Eda makan di kamar sambil menemani ibu mengobrol.Ibu bahagia bukan kepalang sewaktu Evi mengajaknya pindah ke Lampung Pandansari. Apalagi ketika Evi berjanji akan memulai hidup baru dan meninggalkan pekerjaannya yang lama. Apalagi yang jadi doa Ibu selama ini kalau bukan kedua hal itu?"Ibu merasa Evi jadi begitu ya karena Ibu juga, Da. Ibu jadi beban kakakmu. Untungnya Evi itu pekerja keras, dia gak pernah ngeluh.""Aku juga ngerasa bersalah sama Mbak Evi, Bu. Aku banyak permintaan. Gak mau bantuin dia kerja."Ibu me

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   25. Bertemu Lagi

    Status Jo sekarang adalah pengangguran. Ia benar-benar tidak punya pekerjaan. Sejak diusir dari kantor, Jo belum pulang ke rumah. Ia ingin bertemu Mamanya sebentar tapi takut jika terpergok Papa. Hanya dua hari ia menumpang tidur di apartemen Evi lalu keliling kota mencari rumah kontrakan.Jo membayar uang kontrakan selama setahun ke depan secara cash. Uang tabungannya masih banyak sekali. Namun begitu, Jo tetap harus bekerja karena suatu hari nanti uang tabungannya akan habis. Apa yang bisa Jo kerjakan? Ia hanya punya pengalaman jadi Boss saja, tidak pernah bekerja dengan otot.Rumah kontrakannya yang baru berupa sebuah rumah satu kamar yang mungil. Harga sewanya lumayan tinggi. Jo berhitung, andai ia hanya mengandalkan tabungan saja tanpa menambah saldo, rekeningnya akan jadi nol dalam waktu dua tahun. Untuk itulah Jo harus bekerja.Pikiran Jo masih tertambat pada Evi. Ia masih mencarinya dengan berbagai cara, sampai dengan mengintai rumah Mami Riska sepanjang hari tapi tetap nihil

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   24. Kampung Pandansari

    "Apa maksud kalian? Siapa yang menyuruhku pergi?" Jo bangun dari tempatnya duduk di balik meja kerja. Para bodyguard menentang tatapan mata Jo tanpa gentar."Atasan kami, pak Salman Setiadi memerintahkan demikian, Pak Jonathan. Anda diberi waktu satu jam dari sekarang untuk berkemas. Ini surat pemecatan anda." Sebuah amplop putih panjang dengan kop surat nama perusahaan induk tertera diletakkan di meja kerja. Jo menatap surat itu. Dia dipecat oleh ayah sendiri. Lucu sekali hidup ini."Tolong sampaikan pada Papa, saya ....""Kami tidak diperintah untuk menyampaikan pesan balik, Pak Jonathan. Kami ada di sini untuk memastikan Anda berkemas dengan baik tanpa ada barang tertinggal." Si kepala bodyguard memutus ucapan Jo."Dimana Papa sekarang? Antar saya ke sana.""Silakan berkemas saja dan pergi, Pak Jonathan."Ini keterlaluan, gumam Jo dalam batin. Apa ini semua karena Evi? Bagaimana bisa seorang ayah memecat anak sendiri hanya karena rebutan wanita! Jo bergerak maju tanpa permisi pada

DMCA.com Protection Status