Lingkungan kampung mendadak ramai. Suasana menjelang tengah malam yang biasanya sepi kini seperti ada pasar, penuh orang. Teriakan dan perintah bersahut-sahutan dari segala arah. Setelah satu jam sejak awal api menyala, sudah lima rumah terbakar. Untunglah angin berhembus kecil jadi api tidak terlalu cepat merembet. Api melalap banyak rumah karena bahan pembuat rumah mudah terbakar.
Pemadam kebakaran sudah datang tapi karena lokasi api berada dalam gang sempit, mobil-mobil besar itu tidak bisa masuk. Petugas menyemprotkan air dari ujung gang. Warga membantu menyiram air ke rumah yang belum terbakar untuk membasahi dinding papan, berharap api tidak bisa melahapnya. Erman menangis dikelilingi warga di pos ronda. Ia bersama sanak keluarga lain yang rumahnya terbakar berkumpul menunggu kabar. Erman kelihatan bingung dan sangat sedih. "Ini kebakarannya disengaja, Pak," seorang warga berkata dengan suara keras. Ucapannya menarik minat warga lain. "Disengaja bagaimana?" "Ada yang lihat dua orang lelaki pakai baju hitam, masker dan topi nyiramin sesuatu ke dinding rumah Evi." "Memang apinya berasal dari sana, ya." "Evi beserta keluarganya belum diketahui gimana nasibnya. Rumahnya sih sudah habis kebakar. Kebetulan nih si Erman lagi main keluar makanya selamat!" "Kita tunggu pendataan korban selamat dan gak selamat aja nanti setelah api padam total!" Erman mendengarkan semua obrolan tetangganya tanpa menjawab apapun. Semua orang bisa melihat betapa sedih dirinya karena kehilangan ibu dan dua adiknya. Beberapa orang bapak menepuk bahu Erman dan memberikan ucapan penyemangat. Dua setengah jam kemudian api dinyatakan padam. Delapan rumah terbakar, lima habis total dan tiga rumah terbakar separuh. Desain rumah kontrakan yang tanpa pintu belakang membuat banyak orang cemas akan adanya korban jiwa. Aparat kelurahan beserta polisi segera melakukan pendataan korban. Sementara tidak ditemukan korban jiwa, hanya beberapa orang mengalami luka. Semua penghuni berhasil keluar dengan caranya masing-masing. Erman datang ke posko pengungsian korban. Ia melihat tetangganya berkumpul di sana. Ketua RT menghampiri Erman. "Mas Erman! Ibu dan adik-adikmu tidak ditemukan!" kata Pak Adnan, sang ketua RT. Wajah Erman langsung terlihat panik. "Bagaimana bisa begitu, Pak? Ibu saya kan susah berjalan, yang ada di rumah cuma Evi sama Eda, mana bisa mereka menggendong ibu keluar? Katanya yang terbakar duluan itu pintu depan, Pak?" "Kenyataannya begitu, Man! Di puing bekas rumahmu gak ada jasad. Gak ada manusia di dalamnya!" Lalu kemana Ibu, Evi dan Eda? Erman memutuskan meninggalkan posko lalu pergi ke tempatnya memarkir motor. Ia tancap gas ke arah kota. Tujuan Erman adalah sebuah rumah kost di tengah kota. Ia masuk setelah pintu dibukakan seseorang. Erman duduk di sebuah kasur lantai yang tadi jadi tempat berbaring dua orang lelaki muda, Doni dan Rere. "Lu yakin si Evi sama adeknya ada di dalam rumah? Ibunya juga?" tanya Erman. Doni duduk di sebelah Erman. "Iya, Boss. Kita berdua ngamatin dari sore. Evi keluar sebentar habis maghrib, kayaknya beli makanan, terus dia pulang dan masuk lagi ke rumah. Mereka gak keluar lagi!" sahut Doni "Rumahnya habis kebakar. Gak sisa. Evi dan yang lainnya gak ditemukan, Don! Gua harap mereka ma ti kebakar tapi gak ada jasad di puing rumah!" kata Erman dengan nada gemas. Doni dan Rere saling berpandangan. "Rumah lu gak punya pintu belakang, kan, Boss?" tanya Rere. Erman menggelengkan kepala. "Gak ada. Beberapa orang bisa keluar lewat atap rumah, Re. Atap rumah gua udah hangus semua jadi gak ketahuan apa gentengnya sempat dijebol untuk keluar. Masalahnya, mereka bertiga gak ada di posko pengungsian! Kemana mereka?" "Waduh. Misteri nih, boss." Doni berlagak mengusap dagu seperti detektif. Erman meninju lengannya. "Kerjaan lu sia-sia, be**go! Mana hasilnya? Rencana gua kan lu udah tau? Kalo si Evi ketemu masih hidup, dia jadi gem**bel karena rumahnya kebakar! Dia bakal datangin gua dan memohon minta tempat buat hidup. Gua bakal suruh dia kerja lebih keras lagi! Kalo ketemu udah pada ma ti, lebih bagus lagi! Lah, ini, ketemu ma yat engga, hidup juga gak tau. Payah lu pada!" "Menurut pendapat gua sih Evi gak bakal jadi gem**bel, Boss! Dia jutawan! Sekali goyang klien tarifnya empat juta lima juta! Uangnya banyak dia itu. Kalau malam ini dia selamat, dia bakal gampang aja dapat rumah lagi!" kata Rere. Erman menggeram. Benar apa kata Rere. Evi punya banyak uang. Apa mungkin dia dan keluarganya berhasil selamat dan kabur? Kenapa mereka tidak ditemukan? Erman berjanji pada dirinya sendiri untuk menemukan dimana Evi. ***** Mobil SUV berwarna putih mencolok itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah. Pintu di bagian pengemudi terbuka dan keluar seorang pria tampan berkulit putih, Jo. Jo memutari mobil dan membuka pintu belakang yang terbuka perlahan. Ia mengeluarkan sebuah kursi roda dari belakang mobil. Setelah membuka kursi roda, Jo membantu mengeluarkan Ibunda Evi dari mobil. Evi dan Eda menyusul keluar. "Ayo cepat masuk!" kata Jo sambil mendorong kursi roda Ibu. Evi berjalan sempoyongan sambil melihat ke kanan dan kiri. Ia memindai lingkungan barunya. Rumah itu lumayan nyaman. Ada dua kamar tidur di dalamnya. Perabotnya sedikit sekali. Di kamar, ada tempat tidur dengan kasur tebal tapi tanpa seprei. Jo membawa ibu ke kamar itu, mengangkat tubuh ibu dan membaringkannya di kasur. "Seadanya dulu ya, Bu. Besok saya bawakan selimut dan bantal," kata Jo dengan senyum manis. Ibu mengangguk dan terisak menangis. "Apa di toiletnya ada air?" tanya Eda pada Jo yang berjalan keluar kamar. "Ada. Itu di sana toiletnya!" Jo menunjuk ke arah ruang dalam. Eda melangkah ke arah yang ditunjuk. Lampu rumah terang benderang dan rumah itu bersih. Rasanya mustahil rumah kosong bisa sebersih itu. Evi duduk di sofa ruang televisi, di depan kamar Ibu. ia.menangis di sana. Jo menghampirinya, duduk di sebelah Evi. "Terima kasih karena kau mengingatku di saat yang sangat berbahaya," kata Jo. "Aku yang harus bilang terima kasih, Jo. Maaf aku dan keluargaku jadi bikin kamu repot!" Evi kelihatan terguncang. "Aku berhutang budi lagi padamu." "Tinggallah di sini sesukamu. Rumah ini benar-benar kosong tapi rutin dibersihkan oleh warga sekitar yang aku beri bayaran bulanan. Aku akan telepon dia supaya cari makanan untuk kalian, sebentar lagi mungkin dia datang. Aku pamit dulu, ya." Evi cepat meraih lengan Jo. Ia peluk erat lengan kokoh itu. Wajahnya membenam di dada Jo. "Jangan pergi, Jo. Aku butuh kau di sini." Evi berkata lirih disela tangisnya. Eda lewat ruang itu, ia melihat kakaknya dan Jo berpelukan. Tubuh Eda juga masih lemas karena pelarian itu. Setelah berhasil keluar lewat atap, Eda berusaha turun dengan merayap di atas genteng. Setelah bisa melompat turun, Eda minta tolong pada beberapa lelaki yang menonton tapi semua tidak mau. Api sudah besar. Saat itu Eda panik sekali. Ia tarik paksa lengan seorang pria dan berlutut memohon agar pria itu mau menolong mengeluarkan Ibu dan Evi. Akhirnya si pria memanggil banyak temannya untuk berkumpul. Ibu diselamatkan dua pria yang masuk ke rumah yang sudah sangat pengap oleh asap. Mereka membuat simpul tali untuk dinaiki ibu. Usaha selanjutnya adalah menarik Ibu ke atas, itu harus dilakukan sangat hati-hati karena gentengnya bisa ambrol menahan berat tubuh orang-orang itu ditambah bobot Ibu. Puji Tuhan, mereka berhasil. Sebelum ikut naik, Evi nekat lari ke kamar dan karena hapal letak setiap barangnya, Evi berhasil mengambil tas di kamar. Ia sudah tidak bisa melihat dengan jelas, napasnya juga sesak karena asap. Ibu memaksa diri merayap di genteng dibantu oleh Evi dan seorang lelaki penyelamat berlomba dengan kecepatan api berkobar. Saat turun dari atap rumah paling ujung, sebuah ide muncul di benak Evi. Itu adalah momen ia bisa bebas dari Erman. Teriakan-teriakan warga agar korban kebakaran berkumpul di posko ronda tidak digubris oleh Evi. Ia mengajak Eda menggendong Ibu menjauh dari tempat ramai. Di depan sebuah rumah yang sepi, Ibu didudukkan di tanah. Evi menelepon Jo. Ibu sudah hampir pingsan karena kebanyakan menghirup asap. Eda pun mengkhawatirkan sekali keadaannya. Saat Jo datang, Evi dan keluarganya sudah kepayahan. Jo segera mengangkat mereka satu persatu masuk ke mobil dan membawa mereka ke rumah sakit. Dokter menyarankan mereka bertiga untuk opname tapi Evi tegas menolak. Kalau berada di rumah sakit, Erman akan tahu entah dengan cara apa. Erman seperti anjing pelacak. Evi minta Jo membawa dia dan keluarganya ke tempat dimana Erman tidak bisa menemukannya. Jo mengemudi jauh sekali di tengah malam, menuju villa miliknya pribadi di daerah pinggiran. Jo balas memeluk Evi. Ia biarkan gadis itu menangis di dadanya. Saat Evi menelepon, ia sedang tidur di sebelah Sandra. Jo bahkan tidak pamitan pada istrinya, ia langsung menuju tempat yang dikirim oleh Evi lewat shareloc. Di sinilah ia sekarang berada, di villa bersama Evi dan keluarganya. Villa itu adalah milik pribadi Jo, bukan pemberiannya ayah atau mertuanya. Jo beli dari tabungannya selama bertahun-tahun bekerja. Ia hanya datang ke villa itu jika sedang ingin menyepi. "Jangan pergi, Jo," bisik Evi lagi. "Ya. Aku di sini," sahut Jo. Beberapa menit kemudian, Evi melepas pelukannya di tubuh Jo. Ia tatap mata lelaki itu. "Bantu aku menghilang, Jo.""Maksudmu?" Kening Jo mengernyit, ia tidak paham ucapan Evi. Tangan Evi menghapus air mata, setelah menarik napas panjang, ia menjawab pelan. "Ini kesempatanku melarikan diri dari Erman, Jo. Semoga dia mengira aku sudah ma ti terbakar." "Kamu mau sembunyi?" tanya Jo, ia mengerti pikiran Evi. Ini memang kesempatan baik. "Kamu mau kemana?" Evi menatap Jo dengan mata memohon. Tiga detik membalas pandang gadis itu, Jo paham lagi bahwa Evi mengandalkannya. Jo menggeleng pelan. "Aku gak bisa janjikan apapun untukmu, Vi. Kalau soal tempat tinggal, kau bisa tinggal di sini semaumu. Soal pekerjaan, aku bisa tempatkan kau jadi staf kantorku. Soal keamanan, itu yang aku gak bisa jamin. Kamu bilang sendiri kalau Mami Riska dan Erman punya banyak mata-mata." Evi menunduk. Ia membenarkan ucapan Jo itu. Bukan sekali dua kali Evi mencoba kabur dari dunia hitam tapi Mami Riska dan Erman selalu bisa menangkapnya lagi. Kalau mau sembunyi, sekolah Eda pun harus pindah. Eda sudah kelas XII, susah
Dada Evi berdegup keras mendengar ucapan Jo. Bicara jujur, tentang apa? "Aku mau jujur padamu, Vi," kata Jo. Ia bahkan belum masuk ke dalam rumah, masih berdiri di ambang pintu. "A-apa itu?" Evi bersiap, hatinya berbunga. Apakah .... "Istriku mengirim orang untuk mengikuti aku dan dia tahu tentangmu. Sepertinya akan sangat beresiko buat kita berdua kalau kau bekerja di kantorku. Istriku akan tahu dan kau yang akan dapat makiannya." Oh, jujur tentang itu. Evi merasa wajahnya panas karena malu. Apakah tadi ia sempat melambung tinggi karena berharap Jo menyatakan cinta? Ah, betapa lugunya aku, pikir Evi. "Begitu, ya. Jadi, aku batal bekerja di kantormu? Gak apa-apa, Jo. Aku paham." "Aku pikirkan jalan keluarnya lagi nanti. Untuk sementara, kau dan keluargamu aku jamin aman di sini." "Oke. Aku menurut apa aturanmu." "Tetaplah diam di rumah ini. Jangan keluar." "Aku berpikir tentang sekolah Eda, Jo. Dia harus sekolah, tapi keadaan belum aman. Erman pasti mencarinya di sekolah hari
Rumah yang disebut villa peristirahatan itu terlihat biasa saja dari luar. Bentuk bangunannya juga biasa saja, seperti umumnya rumah dua lantai. Penyejuk mata berupa taman depan yang hijau sangat segar dan asri, ditata oleh orang yang paham pertamanan. Hal yang menonjol dari rumah yang katanya kosong itu adalah adanya dua petugas sekuriti di pos gerbangnya. Erman menyadari itu. Buat apa sekuriti berjaga di rumah kosong? Mungkin karena di dalamnya banyak barang berharga, si pemilik rumah itu adalah pengusaha sukses. Erman tahu, barang berharga yang dijaga itu bukan berupa berlian atau guci antik, tapi seorang primadona lokalisasi beserta ibu dan adiknya. Erman mencari cara masuk ke rumah itu tanpa harus berurusan dengan para penjaga. Ia sudah memutari rumah dan melihat sendiri bahwa rumah itu dikelilingi tembok setinggi tiga meter dengan kawat berduri di atasnya, ada juga papan bertuliskan warning, kawat diatas tembok itu dialiri listrik. Seperti kamp militer, pikir Erman. Sejak s
"Apa maksudmu kirim pesan begitu?" Pertanyaan Sandra dibarengi tatapan dingin wanita cantik itu tepat di mata Jo. Sang suami santai duduk bersandar ke tumpukan bantal, bahkan tidak melihat ke arah Sandra, sibuk dengan ponselnya. Geram bukan main hati Sandra melihat ulah suaminya itu. Setelah membaca pesan yang dikirim oleh Jo, Sandra meninggalkan teman-temannya begitu saja dan langsung mencari Jo. "Jelaskan, Jo!" pekik Sandra membahana. Jo baru melirik istrinya, membalas tatapan tajam Sandra padanya. "Apa itu masih kurang jelas? Aku mau bercerai. Itu saja maksudku." "Apa ini karena pe la cur itu?" Jo menegakkan duduk, ponselnya ia letakkan di nakas. "Kau selalu bilang begitu. Pe la cur mana yang kau maksud?" "Perempuan yang kau bawa ke kantor dan kau bilang itu sekretarismu, pengganti Liana!" Jo tahu yang dimaksud Sandra adalah Evi. "Dia wanita baik-baik, bukan pe la cur!" bentak Jo. Sandra malah jadi tambah murka. Ia tam par pipi kiri Jo. "Aku jadi makin yakin ini semua kar
Dua hari sekali Erman datang ke depan villa Jo di pinggiran kota, ia mengintai gerakan penghuni rumah. Sampai dua Minggu rutinitas itu ia lakukan, Erman tidak mendapat hasil apapun. Orang yang rutin datang dan pergi hanya Jo sendirian. Dua sekuriti penjaga gerbang bergantian shift, Erman kadang heran bagaimana bisa petugas keamanan itu tidak bosan menjaga rumah yang sepertinya kosong. Hari ini Erman tertawa puas melihat pemandangan yang tersaji di depan villa mewah itu. Ia melihat Evi dijemput Jo, berpakaian resmi kantoran. Eda juga keluar memakai seragam SMA. Jo dan Evi naik di mobil hitam dan Eda naik di mobil lain yang berwarna putih, sepertinya Eda dapat supir pribadi. Erman dan motornya mundur, ia mengamati dari seberang jalan, di balik sebuah pohon asam besar. Gerbang ditutup dan dikunci lagi oleh Ris, sang satpam. Erman memutar akal, ia harus bisa masuk ke rumah itu. Setelah semua pergi berarti hanya ada Ibu di dalam. Ibu selalu ada di pihaknya. Apapun yang Erman lakukan, Ibu
Pukul sebelas siang, menjelang istirahat, meja Evi didatangi tamu istimewa. Seorang pria tinggi besar berpakaian serba hitam muncul di hadapan Evi. "Nona Evita Maharani, anda diharapkan datang ke ruang CEO sekarang juga. Bawa semua barang milik anda," kata lelaki itu. Evi terpana kaget mendengar perintah itu. "Ada masalah apa?" "Nanti dijelaskan di ruang CEO bersama Pak Jonathan. Ayo." Tidak banyak barang yang dikemas oleh Evi karena ia baru delapan hari menghuni kubikelnya. Hanya satu dus kecil saja bawaannya. Ia melangkah mengikuti bodyguard yang menjemputnya. Evi menyeberangi koridor memasuki ruang berdinding kaca di depan ruang pegawai. Ia terus dipersilakan berjalan melintasi ruang tamu menuju sebuah ruang di sudut yang pintunya diberi tulisan nama Jonathan Setiadi. Membaca nama itu, ada yang bergetar dalam hati Evi. "Silakan masuk." Sang bodyguard membukakan pintu. Evi masuk ke ruang pimpinan untuk pertama kalinya. Ruang itu bernuansa hitam putih dan luas. Ada sepa
Apartemen tempat tinggal Erman sangat bagus bagi Ibu yang sejak kecil hidup susah. Pandangan matanya berkeliling mengamati keadaan sekitarnya. Perabot rumah Erman kelihatan mahal semua. Erman membantu Ibu duduk di sofa."Tante sudah makan?" tanya Erman sambil berjalan ke meja dapur."Sampai kapan kau panggil Ibu pakai sebutan Tante, Man?""Ya selamanya, lah! Memangnya aku harus panggil apa? Mbak?" Erman tersenyum lebar. Tangannya cekatan membuat teh panas."Panggil Ibu, Man."Erman tertawa ringan. Lelaki berambut panjang sebahu yang dikuncir satu itu menatap Ibu. Ia menghampiri Ibu di sofa sambil membawa dua gelas minuman. Satu gelas berisi teh panas ia letakkan di meja di depan Ibu. Satu lagi berisi minuman bersoda, ia teguk sampai tandas."Ibuku, oh, maksudku Mama, Mamaku sudah meninggal, Tante. Kita jujur saja, jangan saling berbohong.""Ibu selalu berdoa untukmu, Man.""Terima kasih. Sebaiknya doakan Evi saja, Tante. Dia sudah jauh tersesat. Evi pacaran sama suami orang!"Ibu meny
Eda menyentak lengan Erman yang mencekalnya. Gadis itu menatap Evi dan Erman bergantian."Cepat pilih, Da! Mau pulang sama aku dan ketemu Ibu atau ikut si Evi pulang ke rumah lelaki hidung belang itu!" Erman kembali memberi ultimatum."Sebenarnya ada apa sih, Mbak?" Eda mulai menangis. Ia bingung."Ikut aku, Eda. Kamu tahu siapa Erman, kan? Jangan ikut dia!" Evi berusaha meraih tangan Eda. Ia terkejut karena Eda menghindarinya."Jelaskan ada apa dengan Ibu, Mbak!"Evi menatap Jo sebentar. Jo terbatuk sebelum menjawab"Istriku mengusir ibumu. Dia salah paham dan mengira aku ada hubungan terlarang dengan Evi. Kebetulan Erman ada di sana saat kejadian dan membawa ibumu pulang ke apartemennya. Aku dan Evi akan menjemput Ibu kembali ke rumahku."Erman maju mendekati Jo. Matanya penuh amarah."Apa maksudmu? Kau mau ambil ibuku? Siapa kamu?""Ibumu layak dapat tempat yang lebih pantas. Aku masih ada rumah lain yang nyaman." Jo membalas tatap Erman."Enyahlah kau, hidung belang. Kamu belum bo
Ibu tertawa melihat isi piring besar yang disodorkan oleh Tini, asisten rumah tangga di rumah Jo. Sate ayam berlumur bumbu kacang pekat harum penuh di piring panjang itu."Silakan dimakan, Bu. Itu kata Pak Jo khusus buat Ibu saja." Tini tersenyum pada Ibu. "Boss Jo sampai hapal kesukaan Ibu, sate ayam!" Eda ikut tertawa melihat mata Ibu berbinar. "Awas makan kacang, ingat asam urat!""Saya pamit ke belakang dulu ya, Bu," kata Tini lagi."Silakan, Mbak. Terima kasih satenya!" Ibu mengangguk pada Tini.Tidak menunggu perintah lagi, Ibu dan Eda menyantap nasi hangat berlauk sate ayam kesukaan Ibu. "Boss Jo dan kakakmu belum bangun, Da?" tanya Ibu setelah menelan suapan pertamanya. Eda menggeleng."Ya belum keluar dari kamar lah, Bu. Namanya juga penganten baru!""Kayak ngerti saja kamu!""Tahu lah!"Sudah seminggu berlalu sejak pesta pernikahan sederhana digelar di rumah Jo. Evi sah jadi istrinya. Ibu dan Eda juga diboyong tinggal di rumah warisan dari ibunda Jo itu. Jo memastikan Ibu
Koridor menuju kamar jenazah Rumah Sakit Daerah lengang di sore hari. Evi tergopoh melangkah mengikuti seorang polisi. Administrasi pemulangan jenazah sedang diurus oleh Jo di kantor RSUD. Mereka juga masih perlu membereskan beberapa masalah di kantor polisi.Semalam terjadi kebakaran yang menghanguskan satu deret kamar kontrakan di daerah pinggir kota. Ditemukan tiga korban jiwa dalam satu unit kamar, semuanya diidentifikasi berjenis kelamin pria.Bahan bakar yang menjadi sebab kebakaran hanya disiramkan di dinding depan satu kamar, sumber nyala api, sedangkan bangunan lain hanya menerima rembetan api dan tidak seluruhnya hangus. Kamar sumber nyala api juga menyisakan dinding belakang yang tidak habis terbakar. Tiga korban jiwa ditemukan berpelukan di dalam kamar mandi, kondisi mereka mengalami luka bakar 80%.Polisi juga menemukan sebuah tas yang separuh dilalap api, di dalamnya ada sebuah dompet hampir meleleh yang berisi kartu identitas atas nama Erman Setiabudi, beralamat di ruma
Ketiga orang di dalam kamar gelap itu berhenti bicara ketika mereka mendengar bunyi langkah kaki yang ribut di luar. Banyak suara bisik-bisik dan mesin motor yang berhenti."Man, mereka datang, Man," bisik Doni.Erman dan Rere saling pandang di bawah lampu layar ponsel."Anak buah Gundul gak bisa diajak main-main, Man. Lu kenapa lari kesini, sih?" Kaki Doni menyepak paha Erman."Gua gak punya tempat lain buat dituju!" bentak Erman dalam bisikan."Dengar!" Rere memukul bahu Erman.Sepertinya kamar di kanan kiri terbuka dan ada suara orang berlari, beberapa pekikan kecil juga barang jatuh. Rere menebak penghuni kamar tetangga lari menyelamatkan diri. "Bagaimana kalau kita lari keluar? Kamar ini gak ada pintu belakangnya!" kata Erman."Mau lari lewat mana?" sahut Doni. "Lihat itu di bawah pintu!"Cahaya teras kamar yang terang menyinari kaki-kaki yang berdiri tepat di depan kamar Doni. Erman merasa dingin sekujur tubuhnya. Bagaimana cara lari dari sini?Gundul memberinya waktu seminggu
Wajah Ibu menampakkan kebahagiaan yang nyata. Wanita yang lebih banyak diam daripada bicara itu terus tersenyum saat Evi menjelaskan padanya bahwa mulai besok akan bekerja jadi staf kantor. Bukan pegawai biasa, malah, tapi sebagai kepala divisi."Siapa bossnya, Vi?" tanya Ibu. Evi menghela napas, melegakan dadanya yang sesak oleh bahagia."Perusahaannya milik Jo, Bu."Senyum Ibu sesaat hilang, tapi lalu muncul lagi. Ibu mengangguk-angguk pelan."Sepertinya persangkaan Ibu padanya selama ini salah. Semoga dia benar-benar orang baik.""Jo ingin bulan depan kami menikah."Mata Ibu sedikit melotot, kaget. Air mukanya berubah-ubah, antara senang dan sedih. Evi meraih tangan Ibu dan menggenggamnya."Jo dan aku saling mencintai, Bu. Kami tidak peduli pada masa lalu. Restui kami, Ibu.""Kau yakin, Vi? Ibu hanya khawatir kau cuma dia jadikan mainan, iseng sambil dia mencari yang lain. Ibu takut kau disakiti.""Semoga tidak, Bu. Aku bisa lihat dia sungguh serius pada janjinya.""Maafin ucapan I
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Ibu menyambut Eda pulang sekolah. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Eda langsung menuju meja makan. Ada semangkuk sup ayam dan perkedel kentang tersaji. Eda mengambil makanan lalu membawanya ke kamar."Ibu sudah makan?""Sudah. Kakakmu menelepon?""Mbak Evi? Tidak. Kemana dia?""Tadi perginya pamit mau ke apartemen ngambil perabot yang masih ada di sana. Kok belum balik lagi ya? Lama sekali.""Sekalian belanja kalik, Bu.""Iya mungkin." Ibu kelihatan tenang lagi. Eda makan di kamar sambil menemani ibu mengobrol.Ibu bahagia bukan kepalang sewaktu Evi mengajaknya pindah ke Lampung Pandansari. Apalagi ketika Evi berjanji akan memulai hidup baru dan meninggalkan pekerjaannya yang lama. Apalagi yang jadi doa Ibu selama ini kalau bukan kedua hal itu?"Ibu merasa Evi jadi begitu ya karena Ibu juga, Da. Ibu jadi beban kakakmu. Untungnya Evi itu pekerja keras, dia gak pernah ngeluh.""Aku juga ngerasa bersalah sama Mbak Evi, Bu. Aku banyak permintaan. Gak mau bantuin dia kerja."Ibu me
Status Jo sekarang adalah pengangguran. Ia benar-benar tidak punya pekerjaan. Sejak diusir dari kantor, Jo belum pulang ke rumah. Ia ingin bertemu Mamanya sebentar tapi takut jika terpergok Papa. Hanya dua hari ia menumpang tidur di apartemen Evi lalu keliling kota mencari rumah kontrakan.Jo membayar uang kontrakan selama setahun ke depan secara cash. Uang tabungannya masih banyak sekali. Namun begitu, Jo tetap harus bekerja karena suatu hari nanti uang tabungannya akan habis. Apa yang bisa Jo kerjakan? Ia hanya punya pengalaman jadi Boss saja, tidak pernah bekerja dengan otot.Rumah kontrakannya yang baru berupa sebuah rumah satu kamar yang mungil. Harga sewanya lumayan tinggi. Jo berhitung, andai ia hanya mengandalkan tabungan saja tanpa menambah saldo, rekeningnya akan jadi nol dalam waktu dua tahun. Untuk itulah Jo harus bekerja.Pikiran Jo masih tertambat pada Evi. Ia masih mencarinya dengan berbagai cara, sampai dengan mengintai rumah Mami Riska sepanjang hari tapi tetap nihil
"Apa maksud kalian? Siapa yang menyuruhku pergi?" Jo bangun dari tempatnya duduk di balik meja kerja. Para bodyguard menentang tatapan mata Jo tanpa gentar."Atasan kami, pak Salman Setiadi memerintahkan demikian, Pak Jonathan. Anda diberi waktu satu jam dari sekarang untuk berkemas. Ini surat pemecatan anda." Sebuah amplop putih panjang dengan kop surat nama perusahaan induk tertera diletakkan di meja kerja. Jo menatap surat itu. Dia dipecat oleh ayah sendiri. Lucu sekali hidup ini."Tolong sampaikan pada Papa, saya ....""Kami tidak diperintah untuk menyampaikan pesan balik, Pak Jonathan. Kami ada di sini untuk memastikan Anda berkemas dengan baik tanpa ada barang tertinggal." Si kepala bodyguard memutus ucapan Jo."Dimana Papa sekarang? Antar saya ke sana.""Silakan berkemas saja dan pergi, Pak Jonathan."Ini keterlaluan, gumam Jo dalam batin. Apa ini semua karena Evi? Bagaimana bisa seorang ayah memecat anak sendiri hanya karena rebutan wanita! Jo bergerak maju tanpa permisi pada