Eda menyentak lengan Erman yang mencekalnya. Gadis itu menatap Evi dan Erman bergantian."Cepat pilih, Da! Mau pulang sama aku dan ketemu Ibu atau ikut si Evi pulang ke rumah lelaki hidung belang itu!" Erman kembali memberi ultimatum."Sebenarnya ada apa sih, Mbak?" Eda mulai menangis. Ia bingung."Ikut aku, Eda. Kamu tahu siapa Erman, kan? Jangan ikut dia!" Evi berusaha meraih tangan Eda. Ia terkejut karena Eda menghindarinya."Jelaskan ada apa dengan Ibu, Mbak!"Evi menatap Jo sebentar. Jo terbatuk sebelum menjawab"Istriku mengusir ibumu. Dia salah paham dan mengira aku ada hubungan terlarang dengan Evi. Kebetulan Erman ada di sana saat kejadian dan membawa ibumu pulang ke apartemennya. Aku dan Evi akan menjemput Ibu kembali ke rumahku."Erman maju mendekati Jo. Matanya penuh amarah."Apa maksudmu? Kau mau ambil ibuku? Siapa kamu?""Ibumu layak dapat tempat yang lebih pantas. Aku masih ada rumah lain yang nyaman." Jo membalas tatap Erman."Enyahlah kau, hidung belang. Kamu belum bo
Suasana seketika hening. Evi menatap Erman seolah minta tolong. Setelah beberapa detik lewat, Erman menghampiri Ibu."Kok belum tidur, Tante?""Kalian ribut apa tadi? Kenapa sebut-sebut pe la cur? Siapa maksudnya?" Ibu menatap Erman."Itu, Tante, tetangga sebelah kelihatannya kaya raya banget padahal nyari uangnya pakai jual diri. Gitu.""Naudzubillah," bisik Ibu. Erman meraih kursi roda Ibu, memutarnya kembali ke arah kamar."Kalau sampai ada anak Tante uang ketahuan jual diri, gimana sikap Tante?" Erman bertanya sambil melirik dua gadis yang berdiri tegang berpelukan di dekat sofa. Wajah Evi pucat sekali."Ibu gak akan ngakuin anak lagi kalau sampai Evi atau Eda mengambil jalan itu," sahut Ibu dengan suara gemetar. Erman mengedipkan sebelah mata pada Evi sambil mendorong kursi roda Ibu kembali ke kamar. Lelaki itu ikut masuk.Eda mendorong tubuh Evi menjauh. Tatapannya aneh."Bang Erman bilang Mbak kerja jual diri," kata Eda pelan, takut Ibu dengar."Jangan percaya!" desis Evi. "Man
Kamar istirahatnya di tempat Riska belum diubah. Ranjang sempit berbau harum yang sangat ia benci masih ada di tengah ruangan, bersebelahan dengan nakas. Evi masuk ke ruangan itu diantar Riska."Bekerjalah semaksimal mungkin seperti biasanya dulu ya, Vi." Riska berdiri di ambang pintu sementara Evi masuk dan duduk di tepi tempat tidur. Kasur empuk itu adalah saksi bisu berapa ratus pria telah menyentuhnya. Kencan di kamar ini tarifnya delapan ratus ribu untuk satu jam. Itu tarif primadona. Jika level biasa, hanya lima ratus ribu saja.Jo tidak pernah masuk ke kamar ini, bisik hati Evi. Ia terpikir sesuatu. Ditatapnya wajah Riska."Mi, klien yang namanya Jonathan Setiadi pernah ke sini lagi selama aku gak ada?" tanya Evi. Riska menggeleng."Tidak. Dua hari yang lalu dia menelepon menanyakan apa kamu kesini. Karena kamu belum kesini, ya aku jawab apa adanya."Jo mencarinya. Ada rasa sejuk dalam hati Evi mengetahui hal itu. Entah rasa apa itu namanya."Kalau dia mau booking lagi, aku kas
"Tolong ya, Mi, kalau pak Salman itu cari aku lagi, bilang aja aku lagi sama tamu lain." Riska menghela napas panjang. Kalau Evi sudah ngambek begitu biasanya Riska mengalah dulu. Ia menebak apa yang terjadi antara Evi dan Salman. "Kenapa? Kamu gak kuat layanin dia?" "Salah satunya itu. Umurnya memang sudah tua, Mi, tapi tenaganya luar biasa. Aku gak sanggup. Terus, tadi dia maksa ngajak aku nikah. Gi la, kan?' Mata Riska melotot lebar. Dipukulnya pelan bahu Evi. "Serius kamu? Salman ngajak nikah?" "Iya. Aku tolak aja langsung." "Wah, wah, wah! Gak waras kamu, Vi! Kenapa kamu tolak? Salman itu pengusaha sukses! Aku kan sudah bilang dia itu konglomerat! Kalau dia serius ajak kamu nikah, itu anugerah, Vi!" "Jadi istri kedua, Mi! Istri yang disembunyikan!" "Sembunyi kek, terang-terangan kek! Buat perempuan kayak kamu, nikah sama klien tajir itu impian, Evi!" Evi cemberut. Ia tidak suka prinsipnya dicela oleh Riska. "Kalau aku nikah kan berarti aku gak kerja di Mami l
Andai Evi bisa lihat bayangan wajahnya sendiri di cermin saat itu, ia pasti akan ketakutan. Matanya melotot bulat dan mulutnya terbuka lebar, ia sangat terkejut.Ibu masih menatapnya, jelas melihat perubahan ekspresi Evi itu. Si anak gadis gugup sekali dan berusaha menutupinya dengan senyum yang dipaksakan."Si-siapa yang bilang gitu, Bu? Itu ... Jahat sekali!""Lelaki yang seret Ibu keluar yang pertama bilang begitu. Dia datangi Ibu di kamar terus bilang bahwa Ibu gak berhak tinggal di rumah boss Jo itu. Dia bilang, kamu adalah wanita panggilan langganan boss Jo dan selingkuhannya. Si orang gede tinggi itu suruhan Nyonya Sandra, istri boss Jo. Apa maksud semua itu, Vi? Coba jelaskan."Evi menunduk. Ia tidak sanggup menentang pandang Ibu. Apakah ini waktu yang tepat untuk bercerita tentang semuanya pada Ibu? Di saat itu terdengar suara batuk dari ruang tamu, Jo memberi kode. Evi lupa ada tamu di depan!"Aku akan jelaskan, Ibu. Semua itu tidak benar. Di depan ada Jo, Bu. Dia mau ketemu
Jam dua dinihari, Erman berjalan terhuyung menuju apartemennya, nomor 15 di lantai 3. Walau sedang tidak sepenuhnya sadar, Erman hapal jalan mana yang harus ia tempuh sampai ke pintu tempat tinggalnya.Itu dia nomor 15. Erman menekan tombol kode kunci pintu. Satu kali, gagal. Dua kali juga gagal. Erman mulai kesal dibuatnya. Kepalanya sudah pusing sekali dan ia ingin berbaring, kenapa pintu apartemennya tidak bisa dibuka? Apa dia lupa kodenya?Lelaki yang sedang mabuk itu mulai menggedor pintu dan berteriak. Erman memanggil nama Evi.Di dalam, di ruang tamu, Evi berdiri dan bersikap siaga. Sepertinya usahanya berhasil. Erman tidak bisa masuk. Tadi sore Evi mengganti kode kunci pintu. Ia mendapatkan ide itu mendadak saat sedang bersama Eda dan Ibu. Evi tidak takut andaikan nanti Erman memanggil pengawas apartemen dan mengadukannya. Apartemen itu disewa atas nama Evi dan pembayarannya juga didebit langsung dari rekening Evi. Erman tidak ada andil apapun dalam soal apartemen itu.Evi kem
"Sungguh saya gak tahu alamat rumah Evi yang sekarang, Pak Salman." Riska tersenyum manis menatap Salman yang duduk di depannya. Salman menghela napas."Kamu cuma tahu nomor teleponnya saja? Kamu gak cari tahu dimana alamat rumahnya?""Iya, saya ngontak dia hanya lewat ponsel, ngabarin ada klien nunggu dia atau jadwal acaranya. Saya belum sempat tanya alamatnya yang sekarang setelah rumah lamanya kebakaran."Salman kecewa karena niatnya memberi kejutan pada Evi harus gagal karena ia tidak tahu alamat tempat tinggal gadis itu sekarang. Ia sudah booking restoran untuk pertemuan nanti sore bersama Jo dan calon istrinya. Rencananya, ia ingin mengajak Evi ke pertemuan itu dan mengenalkannya pada Jo."Jam berapa biasanya Evi datang ke sini?" Sang konglomerat duduk tegak, matanya antusias menatap Riska."Gak tentu. Tergantung dia ada janji jam berapa dengan klien. Kadang dia langsung menuju tempat janjian, gak kesini dulu. Perlu saya panggil dia sekarang?"Mata Salman berbinar cerah. Usul Ri
Wajah Evi seakan tidak dialiri darah lagi, putih pucat pasi. Salman menjatuhkan tubuh tinggi tegapnya di kursi sebelah Jo, berhadapan dengan Evi. Mata pria tua yang tampan itu menghujam ke arah Evi. Ada api kemarahan berkobar di mata Salman Setiadi. Jo melihat suasana canggung itu dan menyangka itu terjadi karena Evi gugup bertemu Papanya."Pa, kenalkan ini Evita, dia ....""Papa sudah kenal dia, Jo. Gak perlu kau kenalkan lagi. Evi juga kenal sama Papa." Salman menjawab sambil matanya terus menatap Evi. Jo kaget."Oh, ya? Kebetulan! Papa kenal Evi dimana?"Dua detik setelah mengajukan pertanyaan itu, Jo disadarkan oleh sesuatu. Perasaannya tidak enak. Mungkinkah Papa dan Evi saling kenal sebagaimana yang ia pikirkan? Jo menatap Evi yang pucat dan menunduk, lalu menatap ayahnya."Aku mencarimu ke tempat Riska." Suara berat Salman terdengar, ditujukan pada Evi. "Riska tidak mau memberi tahu alamatmu. Dia bilang kamu ada janji dengan seseorang. Orang itu Jo?""Papa, tunggu, ini ada apa?