Suasana seketika hening. Evi menatap Erman seolah minta tolong. Setelah beberapa detik lewat, Erman menghampiri Ibu."Kok belum tidur, Tante?""Kalian ribut apa tadi? Kenapa sebut-sebut pe la cur? Siapa maksudnya?" Ibu menatap Erman."Itu, Tante, tetangga sebelah kelihatannya kaya raya banget padahal nyari uangnya pakai jual diri. Gitu.""Naudzubillah," bisik Ibu. Erman meraih kursi roda Ibu, memutarnya kembali ke arah kamar."Kalau sampai ada anak Tante uang ketahuan jual diri, gimana sikap Tante?" Erman bertanya sambil melirik dua gadis yang berdiri tegang berpelukan di dekat sofa. Wajah Evi pucat sekali."Ibu gak akan ngakuin anak lagi kalau sampai Evi atau Eda mengambil jalan itu," sahut Ibu dengan suara gemetar. Erman mengedipkan sebelah mata pada Evi sambil mendorong kursi roda Ibu kembali ke kamar. Lelaki itu ikut masuk.Eda mendorong tubuh Evi menjauh. Tatapannya aneh."Bang Erman bilang Mbak kerja jual diri," kata Eda pelan, takut Ibu dengar."Jangan percaya!" desis Evi. "Man
Kamar istirahatnya di tempat Riska belum diubah. Ranjang sempit berbau harum yang sangat ia benci masih ada di tengah ruangan, bersebelahan dengan nakas. Evi masuk ke ruangan itu diantar Riska."Bekerjalah semaksimal mungkin seperti biasanya dulu ya, Vi." Riska berdiri di ambang pintu sementara Evi masuk dan duduk di tepi tempat tidur. Kasur empuk itu adalah saksi bisu berapa ratus pria telah menyentuhnya. Kencan di kamar ini tarifnya delapan ratus ribu untuk satu jam. Itu tarif primadona. Jika level biasa, hanya lima ratus ribu saja.Jo tidak pernah masuk ke kamar ini, bisik hati Evi. Ia terpikir sesuatu. Ditatapnya wajah Riska."Mi, klien yang namanya Jonathan Setiadi pernah ke sini lagi selama aku gak ada?" tanya Evi. Riska menggeleng."Tidak. Dua hari yang lalu dia menelepon menanyakan apa kamu kesini. Karena kamu belum kesini, ya aku jawab apa adanya."Jo mencarinya. Ada rasa sejuk dalam hati Evi mengetahui hal itu. Entah rasa apa itu namanya."Kalau dia mau booking lagi, aku kas
"Tolong ya, Mi, kalau pak Salman itu cari aku lagi, bilang aja aku lagi sama tamu lain." Riska menghela napas panjang. Kalau Evi sudah ngambek begitu biasanya Riska mengalah dulu. Ia menebak apa yang terjadi antara Evi dan Salman. "Kenapa? Kamu gak kuat layanin dia?" "Salah satunya itu. Umurnya memang sudah tua, Mi, tapi tenaganya luar biasa. Aku gak sanggup. Terus, tadi dia maksa ngajak aku nikah. Gi la, kan?' Mata Riska melotot lebar. Dipukulnya pelan bahu Evi. "Serius kamu? Salman ngajak nikah?" "Iya. Aku tolak aja langsung." "Wah, wah, wah! Gak waras kamu, Vi! Kenapa kamu tolak? Salman itu pengusaha sukses! Aku kan sudah bilang dia itu konglomerat! Kalau dia serius ajak kamu nikah, itu anugerah, Vi!" "Jadi istri kedua, Mi! Istri yang disembunyikan!" "Sembunyi kek, terang-terangan kek! Buat perempuan kayak kamu, nikah sama klien tajir itu impian, Evi!" Evi cemberut. Ia tidak suka prinsipnya dicela oleh Riska. "Kalau aku nikah kan berarti aku gak kerja di Mami l
Andai Evi bisa lihat bayangan wajahnya sendiri di cermin saat itu, ia pasti akan ketakutan. Matanya melotot bulat dan mulutnya terbuka lebar, ia sangat terkejut.Ibu masih menatapnya, jelas melihat perubahan ekspresi Evi itu. Si anak gadis gugup sekali dan berusaha menutupinya dengan senyum yang dipaksakan."Si-siapa yang bilang gitu, Bu? Itu ... Jahat sekali!""Lelaki yang seret Ibu keluar yang pertama bilang begitu. Dia datangi Ibu di kamar terus bilang bahwa Ibu gak berhak tinggal di rumah boss Jo itu. Dia bilang, kamu adalah wanita panggilan langganan boss Jo dan selingkuhannya. Si orang gede tinggi itu suruhan Nyonya Sandra, istri boss Jo. Apa maksud semua itu, Vi? Coba jelaskan."Evi menunduk. Ia tidak sanggup menentang pandang Ibu. Apakah ini waktu yang tepat untuk bercerita tentang semuanya pada Ibu? Di saat itu terdengar suara batuk dari ruang tamu, Jo memberi kode. Evi lupa ada tamu di depan!"Aku akan jelaskan, Ibu. Semua itu tidak benar. Di depan ada Jo, Bu. Dia mau ketemu
Jam dua dinihari, Erman berjalan terhuyung menuju apartemennya, nomor 15 di lantai 3. Walau sedang tidak sepenuhnya sadar, Erman hapal jalan mana yang harus ia tempuh sampai ke pintu tempat tinggalnya.Itu dia nomor 15. Erman menekan tombol kode kunci pintu. Satu kali, gagal. Dua kali juga gagal. Erman mulai kesal dibuatnya. Kepalanya sudah pusing sekali dan ia ingin berbaring, kenapa pintu apartemennya tidak bisa dibuka? Apa dia lupa kodenya?Lelaki yang sedang mabuk itu mulai menggedor pintu dan berteriak. Erman memanggil nama Evi.Di dalam, di ruang tamu, Evi berdiri dan bersikap siaga. Sepertinya usahanya berhasil. Erman tidak bisa masuk. Tadi sore Evi mengganti kode kunci pintu. Ia mendapatkan ide itu mendadak saat sedang bersama Eda dan Ibu. Evi tidak takut andaikan nanti Erman memanggil pengawas apartemen dan mengadukannya. Apartemen itu disewa atas nama Evi dan pembayarannya juga didebit langsung dari rekening Evi. Erman tidak ada andil apapun dalam soal apartemen itu.Evi kem
"Sungguh saya gak tahu alamat rumah Evi yang sekarang, Pak Salman." Riska tersenyum manis menatap Salman yang duduk di depannya. Salman menghela napas."Kamu cuma tahu nomor teleponnya saja? Kamu gak cari tahu dimana alamat rumahnya?""Iya, saya ngontak dia hanya lewat ponsel, ngabarin ada klien nunggu dia atau jadwal acaranya. Saya belum sempat tanya alamatnya yang sekarang setelah rumah lamanya kebakaran."Salman kecewa karena niatnya memberi kejutan pada Evi harus gagal karena ia tidak tahu alamat tempat tinggal gadis itu sekarang. Ia sudah booking restoran untuk pertemuan nanti sore bersama Jo dan calon istrinya. Rencananya, ia ingin mengajak Evi ke pertemuan itu dan mengenalkannya pada Jo."Jam berapa biasanya Evi datang ke sini?" Sang konglomerat duduk tegak, matanya antusias menatap Riska."Gak tentu. Tergantung dia ada janji jam berapa dengan klien. Kadang dia langsung menuju tempat janjian, gak kesini dulu. Perlu saya panggil dia sekarang?"Mata Salman berbinar cerah. Usul Ri
Wajah Evi seakan tidak dialiri darah lagi, putih pucat pasi. Salman menjatuhkan tubuh tinggi tegapnya di kursi sebelah Jo, berhadapan dengan Evi. Mata pria tua yang tampan itu menghujam ke arah Evi. Ada api kemarahan berkobar di mata Salman Setiadi. Jo melihat suasana canggung itu dan menyangka itu terjadi karena Evi gugup bertemu Papanya."Pa, kenalkan ini Evita, dia ....""Papa sudah kenal dia, Jo. Gak perlu kau kenalkan lagi. Evi juga kenal sama Papa." Salman menjawab sambil matanya terus menatap Evi. Jo kaget."Oh, ya? Kebetulan! Papa kenal Evi dimana?"Dua detik setelah mengajukan pertanyaan itu, Jo disadarkan oleh sesuatu. Perasaannya tidak enak. Mungkinkah Papa dan Evi saling kenal sebagaimana yang ia pikirkan? Jo menatap Evi yang pucat dan menunduk, lalu menatap ayahnya."Aku mencarimu ke tempat Riska." Suara berat Salman terdengar, ditujukan pada Evi. "Riska tidak mau memberi tahu alamatmu. Dia bilang kamu ada janji dengan seseorang. Orang itu Jo?""Papa, tunggu, ini ada apa?
Sudah 2 Minggu Erman terpaksa menumpang di kamar kost sahabatnya, Doni. Ia belum bisa masuk ke apartemen. Dua kali Erman datang mengetuk dan menggedor pintu, bukannya dipersilakan masuk oleh Evi, malah Erman diseret pergi oleh sekuriti karena mengganggu ketentraman warga.Entah sudah berapa ratus kali Erman menelepon Evi dan Eda, juga ke nomor telepon apartemen tapi tidak ada yang menjawab. Kebencian dan dendam semakin membara di hati Erman. Ia merasa dibuang.Setiap kali mencari Evi di tempat Riska, Erman selalu datang di waktu yang tidak tepat. Kadang dia datang di waktu Evi tugas luar, atau di saat gadis itu tidak datang. Lima hari ini malah Riska selalu menjawab Evi menghilang tidak ada kabar.Sekali lagi Riska tidak tahu keberadaan Evi sang primadona andalan. Klien komplain karena mereka ingin Evi yang melayani. Ponsel Evi tidak aktif dan Riska tidak tahu kemana mencari gadis itu. Orang yang paling sering menghubungi Riska untuk menanyakan kabar Evi adalah Jo.Malam ini Erman ber
Ibu tertawa melihat isi piring besar yang disodorkan oleh Tini, asisten rumah tangga di rumah Jo. Sate ayam berlumur bumbu kacang pekat harum penuh di piring panjang itu."Silakan dimakan, Bu. Itu kata Pak Jo khusus buat Ibu saja." Tini tersenyum pada Ibu. "Boss Jo sampai hapal kesukaan Ibu, sate ayam!" Eda ikut tertawa melihat mata Ibu berbinar. "Awas makan kacang, ingat asam urat!""Saya pamit ke belakang dulu ya, Bu," kata Tini lagi."Silakan, Mbak. Terima kasih satenya!" Ibu mengangguk pada Tini.Tidak menunggu perintah lagi, Ibu dan Eda menyantap nasi hangat berlauk sate ayam kesukaan Ibu. "Boss Jo dan kakakmu belum bangun, Da?" tanya Ibu setelah menelan suapan pertamanya. Eda menggeleng."Ya belum keluar dari kamar lah, Bu. Namanya juga penganten baru!""Kayak ngerti saja kamu!""Tahu lah!"Sudah seminggu berlalu sejak pesta pernikahan sederhana digelar di rumah Jo. Evi sah jadi istrinya. Ibu dan Eda juga diboyong tinggal di rumah warisan dari ibunda Jo itu. Jo memastikan Ibu
Koridor menuju kamar jenazah Rumah Sakit Daerah lengang di sore hari. Evi tergopoh melangkah mengikuti seorang polisi. Administrasi pemulangan jenazah sedang diurus oleh Jo di kantor RSUD. Mereka juga masih perlu membereskan beberapa masalah di kantor polisi.Semalam terjadi kebakaran yang menghanguskan satu deret kamar kontrakan di daerah pinggir kota. Ditemukan tiga korban jiwa dalam satu unit kamar, semuanya diidentifikasi berjenis kelamin pria.Bahan bakar yang menjadi sebab kebakaran hanya disiramkan di dinding depan satu kamar, sumber nyala api, sedangkan bangunan lain hanya menerima rembetan api dan tidak seluruhnya hangus. Kamar sumber nyala api juga menyisakan dinding belakang yang tidak habis terbakar. Tiga korban jiwa ditemukan berpelukan di dalam kamar mandi, kondisi mereka mengalami luka bakar 80%.Polisi juga menemukan sebuah tas yang separuh dilalap api, di dalamnya ada sebuah dompet hampir meleleh yang berisi kartu identitas atas nama Erman Setiabudi, beralamat di ruma
Ketiga orang di dalam kamar gelap itu berhenti bicara ketika mereka mendengar bunyi langkah kaki yang ribut di luar. Banyak suara bisik-bisik dan mesin motor yang berhenti."Man, mereka datang, Man," bisik Doni.Erman dan Rere saling pandang di bawah lampu layar ponsel."Anak buah Gundul gak bisa diajak main-main, Man. Lu kenapa lari kesini, sih?" Kaki Doni menyepak paha Erman."Gua gak punya tempat lain buat dituju!" bentak Erman dalam bisikan."Dengar!" Rere memukul bahu Erman.Sepertinya kamar di kanan kiri terbuka dan ada suara orang berlari, beberapa pekikan kecil juga barang jatuh. Rere menebak penghuni kamar tetangga lari menyelamatkan diri. "Bagaimana kalau kita lari keluar? Kamar ini gak ada pintu belakangnya!" kata Erman."Mau lari lewat mana?" sahut Doni. "Lihat itu di bawah pintu!"Cahaya teras kamar yang terang menyinari kaki-kaki yang berdiri tepat di depan kamar Doni. Erman merasa dingin sekujur tubuhnya. Bagaimana cara lari dari sini?Gundul memberinya waktu seminggu
Wajah Ibu menampakkan kebahagiaan yang nyata. Wanita yang lebih banyak diam daripada bicara itu terus tersenyum saat Evi menjelaskan padanya bahwa mulai besok akan bekerja jadi staf kantor. Bukan pegawai biasa, malah, tapi sebagai kepala divisi."Siapa bossnya, Vi?" tanya Ibu. Evi menghela napas, melegakan dadanya yang sesak oleh bahagia."Perusahaannya milik Jo, Bu."Senyum Ibu sesaat hilang, tapi lalu muncul lagi. Ibu mengangguk-angguk pelan."Sepertinya persangkaan Ibu padanya selama ini salah. Semoga dia benar-benar orang baik.""Jo ingin bulan depan kami menikah."Mata Ibu sedikit melotot, kaget. Air mukanya berubah-ubah, antara senang dan sedih. Evi meraih tangan Ibu dan menggenggamnya."Jo dan aku saling mencintai, Bu. Kami tidak peduli pada masa lalu. Restui kami, Ibu.""Kau yakin, Vi? Ibu hanya khawatir kau cuma dia jadikan mainan, iseng sambil dia mencari yang lain. Ibu takut kau disakiti.""Semoga tidak, Bu. Aku bisa lihat dia sungguh serius pada janjinya.""Maafin ucapan I
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Ibu menyambut Eda pulang sekolah. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Eda langsung menuju meja makan. Ada semangkuk sup ayam dan perkedel kentang tersaji. Eda mengambil makanan lalu membawanya ke kamar."Ibu sudah makan?""Sudah. Kakakmu menelepon?""Mbak Evi? Tidak. Kemana dia?""Tadi perginya pamit mau ke apartemen ngambil perabot yang masih ada di sana. Kok belum balik lagi ya? Lama sekali.""Sekalian belanja kalik, Bu.""Iya mungkin." Ibu kelihatan tenang lagi. Eda makan di kamar sambil menemani ibu mengobrol.Ibu bahagia bukan kepalang sewaktu Evi mengajaknya pindah ke Lampung Pandansari. Apalagi ketika Evi berjanji akan memulai hidup baru dan meninggalkan pekerjaannya yang lama. Apalagi yang jadi doa Ibu selama ini kalau bukan kedua hal itu?"Ibu merasa Evi jadi begitu ya karena Ibu juga, Da. Ibu jadi beban kakakmu. Untungnya Evi itu pekerja keras, dia gak pernah ngeluh.""Aku juga ngerasa bersalah sama Mbak Evi, Bu. Aku banyak permintaan. Gak mau bantuin dia kerja."Ibu me
Status Jo sekarang adalah pengangguran. Ia benar-benar tidak punya pekerjaan. Sejak diusir dari kantor, Jo belum pulang ke rumah. Ia ingin bertemu Mamanya sebentar tapi takut jika terpergok Papa. Hanya dua hari ia menumpang tidur di apartemen Evi lalu keliling kota mencari rumah kontrakan.Jo membayar uang kontrakan selama setahun ke depan secara cash. Uang tabungannya masih banyak sekali. Namun begitu, Jo tetap harus bekerja karena suatu hari nanti uang tabungannya akan habis. Apa yang bisa Jo kerjakan? Ia hanya punya pengalaman jadi Boss saja, tidak pernah bekerja dengan otot.Rumah kontrakannya yang baru berupa sebuah rumah satu kamar yang mungil. Harga sewanya lumayan tinggi. Jo berhitung, andai ia hanya mengandalkan tabungan saja tanpa menambah saldo, rekeningnya akan jadi nol dalam waktu dua tahun. Untuk itulah Jo harus bekerja.Pikiran Jo masih tertambat pada Evi. Ia masih mencarinya dengan berbagai cara, sampai dengan mengintai rumah Mami Riska sepanjang hari tapi tetap nihil
"Apa maksud kalian? Siapa yang menyuruhku pergi?" Jo bangun dari tempatnya duduk di balik meja kerja. Para bodyguard menentang tatapan mata Jo tanpa gentar."Atasan kami, pak Salman Setiadi memerintahkan demikian, Pak Jonathan. Anda diberi waktu satu jam dari sekarang untuk berkemas. Ini surat pemecatan anda." Sebuah amplop putih panjang dengan kop surat nama perusahaan induk tertera diletakkan di meja kerja. Jo menatap surat itu. Dia dipecat oleh ayah sendiri. Lucu sekali hidup ini."Tolong sampaikan pada Papa, saya ....""Kami tidak diperintah untuk menyampaikan pesan balik, Pak Jonathan. Kami ada di sini untuk memastikan Anda berkemas dengan baik tanpa ada barang tertinggal." Si kepala bodyguard memutus ucapan Jo."Dimana Papa sekarang? Antar saya ke sana.""Silakan berkemas saja dan pergi, Pak Jonathan."Ini keterlaluan, gumam Jo dalam batin. Apa ini semua karena Evi? Bagaimana bisa seorang ayah memecat anak sendiri hanya karena rebutan wanita! Jo bergerak maju tanpa permisi pada