Andai Evi bisa lihat bayangan wajahnya sendiri di cermin saat itu, ia pasti akan ketakutan. Matanya melotot bulat dan mulutnya terbuka lebar, ia sangat terkejut.Ibu masih menatapnya, jelas melihat perubahan ekspresi Evi itu. Si anak gadis gugup sekali dan berusaha menutupinya dengan senyum yang dipaksakan."Si-siapa yang bilang gitu, Bu? Itu ... Jahat sekali!""Lelaki yang seret Ibu keluar yang pertama bilang begitu. Dia datangi Ibu di kamar terus bilang bahwa Ibu gak berhak tinggal di rumah boss Jo itu. Dia bilang, kamu adalah wanita panggilan langganan boss Jo dan selingkuhannya. Si orang gede tinggi itu suruhan Nyonya Sandra, istri boss Jo. Apa maksud semua itu, Vi? Coba jelaskan."Evi menunduk. Ia tidak sanggup menentang pandang Ibu. Apakah ini waktu yang tepat untuk bercerita tentang semuanya pada Ibu? Di saat itu terdengar suara batuk dari ruang tamu, Jo memberi kode. Evi lupa ada tamu di depan!"Aku akan jelaskan, Ibu. Semua itu tidak benar. Di depan ada Jo, Bu. Dia mau ketemu
Jam dua dinihari, Erman berjalan terhuyung menuju apartemennya, nomor 15 di lantai 3. Walau sedang tidak sepenuhnya sadar, Erman hapal jalan mana yang harus ia tempuh sampai ke pintu tempat tinggalnya.Itu dia nomor 15. Erman menekan tombol kode kunci pintu. Satu kali, gagal. Dua kali juga gagal. Erman mulai kesal dibuatnya. Kepalanya sudah pusing sekali dan ia ingin berbaring, kenapa pintu apartemennya tidak bisa dibuka? Apa dia lupa kodenya?Lelaki yang sedang mabuk itu mulai menggedor pintu dan berteriak. Erman memanggil nama Evi.Di dalam, di ruang tamu, Evi berdiri dan bersikap siaga. Sepertinya usahanya berhasil. Erman tidak bisa masuk. Tadi sore Evi mengganti kode kunci pintu. Ia mendapatkan ide itu mendadak saat sedang bersama Eda dan Ibu. Evi tidak takut andaikan nanti Erman memanggil pengawas apartemen dan mengadukannya. Apartemen itu disewa atas nama Evi dan pembayarannya juga didebit langsung dari rekening Evi. Erman tidak ada andil apapun dalam soal apartemen itu.Evi kem
"Sungguh saya gak tahu alamat rumah Evi yang sekarang, Pak Salman." Riska tersenyum manis menatap Salman yang duduk di depannya. Salman menghela napas."Kamu cuma tahu nomor teleponnya saja? Kamu gak cari tahu dimana alamat rumahnya?""Iya, saya ngontak dia hanya lewat ponsel, ngabarin ada klien nunggu dia atau jadwal acaranya. Saya belum sempat tanya alamatnya yang sekarang setelah rumah lamanya kebakaran."Salman kecewa karena niatnya memberi kejutan pada Evi harus gagal karena ia tidak tahu alamat tempat tinggal gadis itu sekarang. Ia sudah booking restoran untuk pertemuan nanti sore bersama Jo dan calon istrinya. Rencananya, ia ingin mengajak Evi ke pertemuan itu dan mengenalkannya pada Jo."Jam berapa biasanya Evi datang ke sini?" Sang konglomerat duduk tegak, matanya antusias menatap Riska."Gak tentu. Tergantung dia ada janji jam berapa dengan klien. Kadang dia langsung menuju tempat janjian, gak kesini dulu. Perlu saya panggil dia sekarang?"Mata Salman berbinar cerah. Usul Ri
Wajah Evi seakan tidak dialiri darah lagi, putih pucat pasi. Salman menjatuhkan tubuh tinggi tegapnya di kursi sebelah Jo, berhadapan dengan Evi. Mata pria tua yang tampan itu menghujam ke arah Evi. Ada api kemarahan berkobar di mata Salman Setiadi. Jo melihat suasana canggung itu dan menyangka itu terjadi karena Evi gugup bertemu Papanya."Pa, kenalkan ini Evita, dia ....""Papa sudah kenal dia, Jo. Gak perlu kau kenalkan lagi. Evi juga kenal sama Papa." Salman menjawab sambil matanya terus menatap Evi. Jo kaget."Oh, ya? Kebetulan! Papa kenal Evi dimana?"Dua detik setelah mengajukan pertanyaan itu, Jo disadarkan oleh sesuatu. Perasaannya tidak enak. Mungkinkah Papa dan Evi saling kenal sebagaimana yang ia pikirkan? Jo menatap Evi yang pucat dan menunduk, lalu menatap ayahnya."Aku mencarimu ke tempat Riska." Suara berat Salman terdengar, ditujukan pada Evi. "Riska tidak mau memberi tahu alamatmu. Dia bilang kamu ada janji dengan seseorang. Orang itu Jo?""Papa, tunggu, ini ada apa?
Sudah 2 Minggu Erman terpaksa menumpang di kamar kost sahabatnya, Doni. Ia belum bisa masuk ke apartemen. Dua kali Erman datang mengetuk dan menggedor pintu, bukannya dipersilakan masuk oleh Evi, malah Erman diseret pergi oleh sekuriti karena mengganggu ketentraman warga.Entah sudah berapa ratus kali Erman menelepon Evi dan Eda, juga ke nomor telepon apartemen tapi tidak ada yang menjawab. Kebencian dan dendam semakin membara di hati Erman. Ia merasa dibuang.Setiap kali mencari Evi di tempat Riska, Erman selalu datang di waktu yang tidak tepat. Kadang dia datang di waktu Evi tugas luar, atau di saat gadis itu tidak datang. Lima hari ini malah Riska selalu menjawab Evi menghilang tidak ada kabar.Sekali lagi Riska tidak tahu keberadaan Evi sang primadona andalan. Klien komplain karena mereka ingin Evi yang melayani. Ponsel Evi tidak aktif dan Riska tidak tahu kemana mencari gadis itu. Orang yang paling sering menghubungi Riska untuk menanyakan kabar Evi adalah Jo.Malam ini Erman ber
"Apa maksud kalian? Siapa yang menyuruhku pergi?" Jo bangun dari tempatnya duduk di balik meja kerja. Para bodyguard menentang tatapan mata Jo tanpa gentar."Atasan kami, pak Salman Setiadi memerintahkan demikian, Pak Jonathan. Anda diberi waktu satu jam dari sekarang untuk berkemas. Ini surat pemecatan anda." Sebuah amplop putih panjang dengan kop surat nama perusahaan induk tertera diletakkan di meja kerja. Jo menatap surat itu. Dia dipecat oleh ayah sendiri. Lucu sekali hidup ini."Tolong sampaikan pada Papa, saya ....""Kami tidak diperintah untuk menyampaikan pesan balik, Pak Jonathan. Kami ada di sini untuk memastikan Anda berkemas dengan baik tanpa ada barang tertinggal." Si kepala bodyguard memutus ucapan Jo."Dimana Papa sekarang? Antar saya ke sana.""Silakan berkemas saja dan pergi, Pak Jonathan."Ini keterlaluan, gumam Jo dalam batin. Apa ini semua karena Evi? Bagaimana bisa seorang ayah memecat anak sendiri hanya karena rebutan wanita! Jo bergerak maju tanpa permisi pada
Status Jo sekarang adalah pengangguran. Ia benar-benar tidak punya pekerjaan. Sejak diusir dari kantor, Jo belum pulang ke rumah. Ia ingin bertemu Mamanya sebentar tapi takut jika terpergok Papa. Hanya dua hari ia menumpang tidur di apartemen Evi lalu keliling kota mencari rumah kontrakan.Jo membayar uang kontrakan selama setahun ke depan secara cash. Uang tabungannya masih banyak sekali. Namun begitu, Jo tetap harus bekerja karena suatu hari nanti uang tabungannya akan habis. Apa yang bisa Jo kerjakan? Ia hanya punya pengalaman jadi Boss saja, tidak pernah bekerja dengan otot.Rumah kontrakannya yang baru berupa sebuah rumah satu kamar yang mungil. Harga sewanya lumayan tinggi. Jo berhitung, andai ia hanya mengandalkan tabungan saja tanpa menambah saldo, rekeningnya akan jadi nol dalam waktu dua tahun. Untuk itulah Jo harus bekerja.Pikiran Jo masih tertambat pada Evi. Ia masih mencarinya dengan berbagai cara, sampai dengan mengintai rumah Mami Riska sepanjang hari tapi tetap nihil
Ibu menyambut Eda pulang sekolah. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Eda langsung menuju meja makan. Ada semangkuk sup ayam dan perkedel kentang tersaji. Eda mengambil makanan lalu membawanya ke kamar."Ibu sudah makan?""Sudah. Kakakmu menelepon?""Mbak Evi? Tidak. Kemana dia?""Tadi perginya pamit mau ke apartemen ngambil perabot yang masih ada di sana. Kok belum balik lagi ya? Lama sekali.""Sekalian belanja kalik, Bu.""Iya mungkin." Ibu kelihatan tenang lagi. Eda makan di kamar sambil menemani ibu mengobrol.Ibu bahagia bukan kepalang sewaktu Evi mengajaknya pindah ke Lampung Pandansari. Apalagi ketika Evi berjanji akan memulai hidup baru dan meninggalkan pekerjaannya yang lama. Apalagi yang jadi doa Ibu selama ini kalau bukan kedua hal itu?"Ibu merasa Evi jadi begitu ya karena Ibu juga, Da. Ibu jadi beban kakakmu. Untungnya Evi itu pekerja keras, dia gak pernah ngeluh.""Aku juga ngerasa bersalah sama Mbak Evi, Bu. Aku banyak permintaan. Gak mau bantuin dia kerja."Ibu me