Share

8. Sembunyi Dari Masa Lalu

"Maksudmu?" Kening Jo mengernyit, ia tidak paham ucapan Evi. Tangan Evi menghapus air mata, setelah menarik napas panjang, ia menjawab pelan.

"Ini kesempatanku melarikan diri dari Erman, Jo. Semoga dia mengira aku sudah ma ti terbakar."

"Kamu mau sembunyi?" tanya Jo, ia mengerti pikiran Evi. Ini memang kesempatan baik. "Kamu mau kemana?"

Evi menatap Jo dengan mata memohon. Tiga detik membalas pandang gadis itu, Jo paham lagi bahwa Evi mengandalkannya. Jo menggeleng pelan.

"Aku gak bisa janjikan apapun untukmu, Vi. Kalau soal tempat tinggal, kau bisa tinggal di sini semaumu. Soal pekerjaan, aku bisa tempatkan kau jadi staf kantorku. Soal keamanan, itu yang aku gak bisa jamin. Kamu bilang sendiri kalau Mami Riska dan Erman punya banyak mata-mata."

Evi menunduk. Ia membenarkan ucapan Jo itu. Bukan sekali dua kali Evi mencoba kabur dari dunia hitam tapi Mami Riska dan Erman selalu bisa menangkapnya lagi. Kalau mau sembunyi, sekolah Eda pun harus pindah. Eda sudah kelas XII, susah kalau harus pindah sekolah.

"Iya, kau benar, Jo. Mungkin memang gak ada jalan untukku pergi," gumam Evi. Ia menatap Jo dan tersenyum getir.

"Paling tidak aku mau Ibu dan Eda ada di tempat aman, jadi Erman gak bisa menjadikan mereka sandera untuk memaksaku," kata Evi lagi. "Izinkan mereka tinggal di sini sampai aku bisa dapat rumah, Jo."

"Tentu saja. Kalau boleh aku kasih saran, kau juga sembunyi saja di sini. Jangan keluar."

"Jangan keluar? Bagaimana aku kasih makan keluargaku?"

"Itu urusanku."

"Memangnya kau siapa? Bagaimana bisa aku bergantung padamu? Diizinkan numpang di sini saja aku sudah beruntung!" Evi cemberut.

"Lalu kau mau apa?"

Evi menatap mata Jo. Lelaki itu punya bola mata berwarna coklat yang indah.

"Aku akan bekerja seperti biasa. Eda dan Ibu saja yang sembunyi," kata Evi.

"Kau menikmati pekerjaan itu, ya?" Jo mencibir. Perih terasa di hati Evi.

"Itu pekerjaan paling hina, Jo, tapi aku bisa apa lagi?"

Jo mengusap wajah tampannya dengan kedua tangan. Ia diam sebentar lalu berkata pelan.

"Mulai besok bekerjalah di kantorku jadi sekretaris pribadiku. Aku antar jemput kesini setiap hari."

Evi terpana mendengarnya. Semua ini sudah melebihi harapannya.

"Kau serius, Jo?" bisik Evi. Jo menoleh, menatapnya.

"Apa aku punya pilihan?" tanya Jo dengan nada sarkas.

"Ada pilihan kedua. Usir aku dan keluargaku. Lempar kami ke jalan, jangan pedulikan. Toh kau memang tidak punya kewajiban untuk menolongku."

Jo berdiri. Tubuhnya menjulang setinggi 185 sentimeter, tegap dan atletis. Wajahnya menunduk menatap Evi.

"Besok aku datang jam enam. Aku akan bawakan pakaian untuk kalian. Jangan bukakan pintu untuk siapapun selain aku."

Tanpa menunggu jawaban Evi, Jo melangkah ke arah luar. Evi menatap punggung kokoh milik pria itu. Betapa ingin ia menjadikannya sandaran kala terasa letih.

*****

Tatapan Sandra terasa menghakimi Jo. Jam menunjukkan pukul empay8 pagi, Jo baru masuk ke kamar tidurnya yang mewah. Sandra segera duduk melihat suaminya masuk. Lingerie ungu yang dikenakannya membuat kulit wanita itu tambah terlihat putih. Jo langsung menuju kamar mandi.

Setengah jam kemudian Jo muncul lagi. Ia berbaring tanpa mengenakan kaus di sebelah Sandra.

"Kamu gak nungguin aku, kan?" tanya Jo, matanya menatap Sandra. wanita cantik di sebelahnya itu balas mengg guyatap.

"Darimana kamu?"

"Ada urusan. Aku ngantuk sekali."

"Asyik sekali sama pe la cur itu sampai lupa tidur?"

"Siapa maksudmu?" Tatapan Jo menyiratkan kemarahan mendengar pertanyaan istrinya. Sandra turun dari tempat tidur.

"Kau pikir aku gak tahu kamu lagi nyimpan perempuan lain? Aku punya mata-mata, Jo! Aku tahu akhir-akhir ini kamu lagi sibuk sama pe la cur kelas atas!"

"Sok tahu! Jangan gampang diadu domba!" Jo memejamkan mata.

"Aku istri sahmu, Jonathan. Dalam sebulan berapa kali kau sentuh aku? Satu kali? Dua kali? Sama perempuan itu, setiap malam kalian ketemuan! Jangan bantah, aku sudah bilang aku punya mata-mata!"

"Terserah kau sajalah. Aku mau istirahat sebentar." Jo memejamkan mata.

"Jam delapan pagi aku bikin janji dengan dokter Ivonne di rumah sakit Daerah. Kau harus ikut, ini sesi pertama."

Jo membuka mata lagi. Ia menatap Sandra tajam.

"Siapa dokter Ivonne? Kenapa aku harus ikut? Sesi pertama apa?"

"Dia dokter kandungan paling ahli di kota ini. Aku sudah daftar dan bayar dimuka untuk sepuluh sesi persiapan program bayi tabung." Sandra berjalan menuju lemari handuk. Jo duduk, kantuknya hilang.

"Apa? Bayi tabung?"

"Ya. Kenapa? Aku ingin punya anak!"

"Buat apa? Kamu gak cocok jadi ibu!"

"Aku mau punya anak, bukan jadi ibu! Papaku janji kalau aku punya anak darimu, perusahaan dan pabrik yang di Australia akan jadi milikku."

Mood Jo langsung berantakan. Bahkan kantuknya pun hilang. Sandra mandi lalu melakukan rutinitas pagi seperti biasa. Pelayan meladeni keperluan sang nyonya.

Pukul enam, Jo yang belum sempat istirahat langsung berpakaian rapi lagi. Ia menyuruh seorang asisten mengambil dua setel baju kerja Sandra di kamar pakaian, juga beberapa setel baju rumahan untuk wanita. Setelah mall buka, Jo akan membelikan pakaian untuk Evi, adik dan ibunya di butik.

Sandra sedang minum jus brokoli di meja makan ketika Jo muncul dan hanya meneguk kopi susu di cangkirnya satu kali saja.

"Aku berangkat," kata Jo tanpa menatap istrinya. Sandra mendadak berdiri.

"Apa kamu gak dengar omonganku tadi? Hari ini kita berdua akan ketemu dokter Ivonne! Mau kemana kamu?"

"Kau sendiri saja yang ketemu dia. Aku ada janji penting."

"Ketemu perempuanmu?"

"Jaga bicaramu!" bentak Jo. "Aku gak mau punya anak kalau cuma jadi syarat bisnis. Terserah kau mau punya anak dari siapa, aku gak mau jadi ayah anakmu!"

"Jonathan!" Sandra berteriak karena Jo lalu keluar ruang makan dengan langkah tegas.

Jo tidak peduli pada teriakan Sandra yang memanggil namanya. Kali ini ia tidak akan menuruti kemauan Sandra. Wanita itu menganggap anak adalah mainan, pikir Jo. Ia bisa membayangkan anaknya tidak terurus karena Sandra pasti akan menyerahkan pengasuhan pada babysitter.

Jo naik ke mobilnya lalu mengemudi dengan kecepatan tinggi ke arah villanya di pinggir kota. Ia tersenyum sendiri membayangkan Evi kini ada bersamanya, tinggal di rumahnya. Evi, gadis yang dilihatnya di buku katalog wanita penghibur milik Mami Riska. Gadis yang sudah membuatnya terpesona saat pertama kali melihatnya.

Dua kali membooking Evi, Jo tidak berbuat apapun yang melanggar susila pada gadis itu. Bukan karena tidak ingin, penampilan Evi membuat lelaki manapun ingin menyentuhnya, termasuk Jo. Ada sesuatu dalam hati Jo yang membuatnya tidak tega meminta Evi melakukan hal selain bicara dan mengobrol. Sampai sekarang. Walaupun Jo tahu Evi tidak akan menolak jika ia meminta layanan maksimal darinya, untuk itulah Evi dibayar mahal.

Sampai di villa, Evi sendiri yang membukakan pintu untuk Jo. Senyum gadis itu cerah sekali walau matanya masih sembab.

"Aku mau jujur padamu, Vi." Jo menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status