"Maksudmu?" Kening Jo mengernyit, ia tidak paham ucapan Evi. Tangan Evi menghapus air mata, setelah menarik napas panjang, ia menjawab pelan.
"Ini kesempatanku melarikan diri dari Erman, Jo. Semoga dia mengira aku sudah ma ti terbakar." "Kamu mau sembunyi?" tanya Jo, ia mengerti pikiran Evi. Ini memang kesempatan baik. "Kamu mau kemana?" Evi menatap Jo dengan mata memohon. Tiga detik membalas pandang gadis itu, Jo paham lagi bahwa Evi mengandalkannya. Jo menggeleng pelan. "Aku gak bisa janjikan apapun untukmu, Vi. Kalau soal tempat tinggal, kau bisa tinggal di sini semaumu. Soal pekerjaan, aku bisa tempatkan kau jadi staf kantorku. Soal keamanan, itu yang aku gak bisa jamin. Kamu bilang sendiri kalau Mami Riska dan Erman punya banyak mata-mata." Evi menunduk. Ia membenarkan ucapan Jo itu. Bukan sekali dua kali Evi mencoba kabur dari dunia hitam tapi Mami Riska dan Erman selalu bisa menangkapnya lagi. Kalau mau sembunyi, sekolah Eda pun harus pindah. Eda sudah kelas XII, susah kalau harus pindah sekolah. "Iya, kau benar, Jo. Mungkin memang gak ada jalan untukku pergi," gumam Evi. Ia menatap Jo dan tersenyum getir. "Paling tidak aku mau Ibu dan Eda ada di tempat aman, jadi Erman gak bisa menjadikan mereka sandera untuk memaksaku," kata Evi lagi. "Izinkan mereka tinggal di sini sampai aku bisa dapat rumah, Jo." "Tentu saja. Kalau boleh aku kasih saran, kau juga sembunyi saja di sini. Jangan keluar." "Jangan keluar? Bagaimana aku kasih makan keluargaku?" "Itu urusanku." "Memangnya kau siapa? Bagaimana bisa aku bergantung padamu? Diizinkan numpang di sini saja aku sudah beruntung!" Evi cemberut. "Lalu kau mau apa?" Evi menatap mata Jo. Lelaki itu punya bola mata berwarna coklat yang indah. "Aku akan bekerja seperti biasa. Eda dan Ibu saja yang sembunyi," kata Evi. "Kau menikmati pekerjaan itu, ya?" Jo mencibir. Perih terasa di hati Evi. "Itu pekerjaan paling hina, Jo, tapi aku bisa apa lagi?" Jo mengusap wajah tampannya dengan kedua tangan. Ia diam sebentar lalu berkata pelan. "Mulai besok bekerjalah di kantorku jadi sekretaris pribadiku. Aku antar jemput kesini setiap hari." Evi terpana mendengarnya. Semua ini sudah melebihi harapannya. "Kau serius, Jo?" bisik Evi. Jo menoleh, menatapnya. "Apa aku punya pilihan?" tanya Jo dengan nada sarkas. "Ada pilihan kedua. Usir aku dan keluargaku. Lempar kami ke jalan, jangan pedulikan. Toh kau memang tidak punya kewajiban untuk menolongku." Jo berdiri. Tubuhnya menjulang setinggi 185 sentimeter, tegap dan atletis. Wajahnya menunduk menatap Evi. "Besok aku datang jam enam. Aku akan bawakan pakaian untuk kalian. Jangan bukakan pintu untuk siapapun selain aku." Tanpa menunggu jawaban Evi, Jo melangkah ke arah luar. Evi menatap punggung kokoh milik pria itu. Betapa ingin ia menjadikannya sandaran kala terasa letih. ***** Tatapan Sandra terasa menghakimi Jo. Jam menunjukkan pukul empay8 pagi, Jo baru masuk ke kamar tidurnya yang mewah. Sandra segera duduk melihat suaminya masuk. Lingerie ungu yang dikenakannya membuat kulit wanita itu tambah terlihat putih. Jo langsung menuju kamar mandi. Setengah jam kemudian Jo muncul lagi. Ia berbaring tanpa mengenakan kaus di sebelah Sandra. "Kamu gak nungguin aku, kan?" tanya Jo, matanya menatap Sandra. wanita cantik di sebelahnya itu balas mengg guyatap. "Darimana kamu?" "Ada urusan. Aku ngantuk sekali." "Asyik sekali sama pe la cur itu sampai lupa tidur?" "Siapa maksudmu?" Tatapan Jo menyiratkan kemarahan mendengar pertanyaan istrinya. Sandra turun dari tempat tidur. "Kau pikir aku gak tahu kamu lagi nyimpan perempuan lain? Aku punya mata-mata, Jo! Aku tahu akhir-akhir ini kamu lagi sibuk sama pe la cur kelas atas!" "Sok tahu! Jangan gampang diadu domba!" Jo memejamkan mata. "Aku istri sahmu, Jonathan. Dalam sebulan berapa kali kau sentuh aku? Satu kali? Dua kali? Sama perempuan itu, setiap malam kalian ketemuan! Jangan bantah, aku sudah bilang aku punya mata-mata!" "Terserah kau sajalah. Aku mau istirahat sebentar." Jo memejamkan mata. "Jam delapan pagi aku bikin janji dengan dokter Ivonne di rumah sakit Daerah. Kau harus ikut, ini sesi pertama." Jo membuka mata lagi. Ia menatap Sandra tajam. "Siapa dokter Ivonne? Kenapa aku harus ikut? Sesi pertama apa?" "Dia dokter kandungan paling ahli di kota ini. Aku sudah daftar dan bayar dimuka untuk sepuluh sesi persiapan program bayi tabung." Sandra berjalan menuju lemari handuk. Jo duduk, kantuknya hilang. "Apa? Bayi tabung?" "Ya. Kenapa? Aku ingin punya anak!" "Buat apa? Kamu gak cocok jadi ibu!" "Aku mau punya anak, bukan jadi ibu! Papaku janji kalau aku punya anak darimu, perusahaan dan pabrik yang di Australia akan jadi milikku." Mood Jo langsung berantakan. Bahkan kantuknya pun hilang. Sandra mandi lalu melakukan rutinitas pagi seperti biasa. Pelayan meladeni keperluan sang nyonya. Pukul enam, Jo yang belum sempat istirahat langsung berpakaian rapi lagi. Ia menyuruh seorang asisten mengambil dua setel baju kerja Sandra di kamar pakaian, juga beberapa setel baju rumahan untuk wanita. Setelah mall buka, Jo akan membelikan pakaian untuk Evi, adik dan ibunya di butik. Sandra sedang minum jus brokoli di meja makan ketika Jo muncul dan hanya meneguk kopi susu di cangkirnya satu kali saja. "Aku berangkat," kata Jo tanpa menatap istrinya. Sandra mendadak berdiri. "Apa kamu gak dengar omonganku tadi? Hari ini kita berdua akan ketemu dokter Ivonne! Mau kemana kamu?" "Kau sendiri saja yang ketemu dia. Aku ada janji penting." "Ketemu perempuanmu?" "Jaga bicaramu!" bentak Jo. "Aku gak mau punya anak kalau cuma jadi syarat bisnis. Terserah kau mau punya anak dari siapa, aku gak mau jadi ayah anakmu!" "Jonathan!" Sandra berteriak karena Jo lalu keluar ruang makan dengan langkah tegas. Jo tidak peduli pada teriakan Sandra yang memanggil namanya. Kali ini ia tidak akan menuruti kemauan Sandra. Wanita itu menganggap anak adalah mainan, pikir Jo. Ia bisa membayangkan anaknya tidak terurus karena Sandra pasti akan menyerahkan pengasuhan pada babysitter. Jo naik ke mobilnya lalu mengemudi dengan kecepatan tinggi ke arah villanya di pinggir kota. Ia tersenyum sendiri membayangkan Evi kini ada bersamanya, tinggal di rumahnya. Evi, gadis yang dilihatnya di buku katalog wanita penghibur milik Mami Riska. Gadis yang sudah membuatnya terpesona saat pertama kali melihatnya. Dua kali membooking Evi, Jo tidak berbuat apapun yang melanggar susila pada gadis itu. Bukan karena tidak ingin, penampilan Evi membuat lelaki manapun ingin menyentuhnya, termasuk Jo. Ada sesuatu dalam hati Jo yang membuatnya tidak tega meminta Evi melakukan hal selain bicara dan mengobrol. Sampai sekarang. Walaupun Jo tahu Evi tidak akan menolak jika ia meminta layanan maksimal darinya, untuk itulah Evi dibayar mahal. Sampai di villa, Evi sendiri yang membukakan pintu untuk Jo. Senyum gadis itu cerah sekali walau matanya masih sembab. "Aku mau jujur padamu, Vi." Jo menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya.Dada Evi berdegup keras mendengar ucapan Jo. Bicara jujur, tentang apa? "Aku mau jujur padamu, Vi," kata Jo. Ia bahkan belum masuk ke dalam rumah, masih berdiri di ambang pintu. "A-apa itu?" Evi bersiap, hatinya berbunga. Apakah .... "Istriku mengirim orang untuk mengikuti aku dan dia tahu tentangmu. Sepertinya akan sangat beresiko buat kita berdua kalau kau bekerja di kantorku. Istriku akan tahu dan kau yang akan dapat makiannya." Oh, jujur tentang itu. Evi merasa wajahnya panas karena malu. Apakah tadi ia sempat melambung tinggi karena berharap Jo menyatakan cinta? Ah, betapa lugunya aku, pikir Evi. "Begitu, ya. Jadi, aku batal bekerja di kantormu? Gak apa-apa, Jo. Aku paham." "Aku pikirkan jalan keluarnya lagi nanti. Untuk sementara, kau dan keluargamu aku jamin aman di sini." "Oke. Aku menurut apa aturanmu." "Tetaplah diam di rumah ini. Jangan keluar." "Aku berpikir tentang sekolah Eda, Jo. Dia harus sekolah, tapi keadaan belum aman. Erman pasti mencarinya di sekolah hari
Rumah yang disebut villa peristirahatan itu terlihat biasa saja dari luar. Bentuk bangunannya juga biasa saja, seperti umumnya rumah dua lantai. Penyejuk mata berupa taman depan yang hijau sangat segar dan asri, ditata oleh orang yang paham pertamanan. Hal yang menonjol dari rumah yang katanya kosong itu adalah adanya dua petugas sekuriti di pos gerbangnya. Erman menyadari itu. Buat apa sekuriti berjaga di rumah kosong? Mungkin karena di dalamnya banyak barang berharga, si pemilik rumah itu adalah pengusaha sukses. Erman tahu, barang berharga yang dijaga itu bukan berupa berlian atau guci antik, tapi seorang primadona lokalisasi beserta ibu dan adiknya. Erman mencari cara masuk ke rumah itu tanpa harus berurusan dengan para penjaga. Ia sudah memutari rumah dan melihat sendiri bahwa rumah itu dikelilingi tembok setinggi tiga meter dengan kawat berduri di atasnya, ada juga papan bertuliskan warning, kawat diatas tembok itu dialiri listrik. Seperti kamp militer, pikir Erman. Sejak s
"Apa maksudmu kirim pesan begitu?" Pertanyaan Sandra dibarengi tatapan dingin wanita cantik itu tepat di mata Jo. Sang suami santai duduk bersandar ke tumpukan bantal, bahkan tidak melihat ke arah Sandra, sibuk dengan ponselnya. Geram bukan main hati Sandra melihat ulah suaminya itu. Setelah membaca pesan yang dikirim oleh Jo, Sandra meninggalkan teman-temannya begitu saja dan langsung mencari Jo. "Jelaskan, Jo!" pekik Sandra membahana. Jo baru melirik istrinya, membalas tatapan tajam Sandra padanya. "Apa itu masih kurang jelas? Aku mau bercerai. Itu saja maksudku." "Apa ini karena pe la cur itu?" Jo menegakkan duduk, ponselnya ia letakkan di nakas. "Kau selalu bilang begitu. Pe la cur mana yang kau maksud?" "Perempuan yang kau bawa ke kantor dan kau bilang itu sekretarismu, pengganti Liana!" Jo tahu yang dimaksud Sandra adalah Evi. "Dia wanita baik-baik, bukan pe la cur!" bentak Jo. Sandra malah jadi tambah murka. Ia tam par pipi kiri Jo. "Aku jadi makin yakin ini semua kar
Dua hari sekali Erman datang ke depan villa Jo di pinggiran kota, ia mengintai gerakan penghuni rumah. Sampai dua Minggu rutinitas itu ia lakukan, Erman tidak mendapat hasil apapun. Orang yang rutin datang dan pergi hanya Jo sendirian. Dua sekuriti penjaga gerbang bergantian shift, Erman kadang heran bagaimana bisa petugas keamanan itu tidak bosan menjaga rumah yang sepertinya kosong. Hari ini Erman tertawa puas melihat pemandangan yang tersaji di depan villa mewah itu. Ia melihat Evi dijemput Jo, berpakaian resmi kantoran. Eda juga keluar memakai seragam SMA. Jo dan Evi naik di mobil hitam dan Eda naik di mobil lain yang berwarna putih, sepertinya Eda dapat supir pribadi. Erman dan motornya mundur, ia mengamati dari seberang jalan, di balik sebuah pohon asam besar. Gerbang ditutup dan dikunci lagi oleh Ris, sang satpam. Erman memutar akal, ia harus bisa masuk ke rumah itu. Setelah semua pergi berarti hanya ada Ibu di dalam. Ibu selalu ada di pihaknya. Apapun yang Erman lakukan, Ibu
Pukul sebelas siang, menjelang istirahat, meja Evi didatangi tamu istimewa. Seorang pria tinggi besar berpakaian serba hitam muncul di hadapan Evi. "Nona Evita Maharani, anda diharapkan datang ke ruang CEO sekarang juga. Bawa semua barang milik anda," kata lelaki itu. Evi terpana kaget mendengar perintah itu. "Ada masalah apa?" "Nanti dijelaskan di ruang CEO bersama Pak Jonathan. Ayo." Tidak banyak barang yang dikemas oleh Evi karena ia baru delapan hari menghuni kubikelnya. Hanya satu dus kecil saja bawaannya. Ia melangkah mengikuti bodyguard yang menjemputnya. Evi menyeberangi koridor memasuki ruang berdinding kaca di depan ruang pegawai. Ia terus dipersilakan berjalan melintasi ruang tamu menuju sebuah ruang di sudut yang pintunya diberi tulisan nama Jonathan Setiadi. Membaca nama itu, ada yang bergetar dalam hati Evi. "Silakan masuk." Sang bodyguard membukakan pintu. Evi masuk ke ruang pimpinan untuk pertama kalinya. Ruang itu bernuansa hitam putih dan luas. Ada sepa
Apartemen tempat tinggal Erman sangat bagus bagi Ibu yang sejak kecil hidup susah. Pandangan matanya berkeliling mengamati keadaan sekitarnya. Perabot rumah Erman kelihatan mahal semua. Erman membantu Ibu duduk di sofa."Tante sudah makan?" tanya Erman sambil berjalan ke meja dapur."Sampai kapan kau panggil Ibu pakai sebutan Tante, Man?""Ya selamanya, lah! Memangnya aku harus panggil apa? Mbak?" Erman tersenyum lebar. Tangannya cekatan membuat teh panas."Panggil Ibu, Man."Erman tertawa ringan. Lelaki berambut panjang sebahu yang dikuncir satu itu menatap Ibu. Ia menghampiri Ibu di sofa sambil membawa dua gelas minuman. Satu gelas berisi teh panas ia letakkan di meja di depan Ibu. Satu lagi berisi minuman bersoda, ia teguk sampai tandas."Ibuku, oh, maksudku Mama, Mamaku sudah meninggal, Tante. Kita jujur saja, jangan saling berbohong.""Ibu selalu berdoa untukmu, Man.""Terima kasih. Sebaiknya doakan Evi saja, Tante. Dia sudah jauh tersesat. Evi pacaran sama suami orang!"Ibu meny
Eda menyentak lengan Erman yang mencekalnya. Gadis itu menatap Evi dan Erman bergantian."Cepat pilih, Da! Mau pulang sama aku dan ketemu Ibu atau ikut si Evi pulang ke rumah lelaki hidung belang itu!" Erman kembali memberi ultimatum."Sebenarnya ada apa sih, Mbak?" Eda mulai menangis. Ia bingung."Ikut aku, Eda. Kamu tahu siapa Erman, kan? Jangan ikut dia!" Evi berusaha meraih tangan Eda. Ia terkejut karena Eda menghindarinya."Jelaskan ada apa dengan Ibu, Mbak!"Evi menatap Jo sebentar. Jo terbatuk sebelum menjawab"Istriku mengusir ibumu. Dia salah paham dan mengira aku ada hubungan terlarang dengan Evi. Kebetulan Erman ada di sana saat kejadian dan membawa ibumu pulang ke apartemennya. Aku dan Evi akan menjemput Ibu kembali ke rumahku."Erman maju mendekati Jo. Matanya penuh amarah."Apa maksudmu? Kau mau ambil ibuku? Siapa kamu?""Ibumu layak dapat tempat yang lebih pantas. Aku masih ada rumah lain yang nyaman." Jo membalas tatap Erman."Enyahlah kau, hidung belang. Kamu belum bo
Suasana seketika hening. Evi menatap Erman seolah minta tolong. Setelah beberapa detik lewat, Erman menghampiri Ibu."Kok belum tidur, Tante?""Kalian ribut apa tadi? Kenapa sebut-sebut pe la cur? Siapa maksudnya?" Ibu menatap Erman."Itu, Tante, tetangga sebelah kelihatannya kaya raya banget padahal nyari uangnya pakai jual diri. Gitu.""Naudzubillah," bisik Ibu. Erman meraih kursi roda Ibu, memutarnya kembali ke arah kamar."Kalau sampai ada anak Tante uang ketahuan jual diri, gimana sikap Tante?" Erman bertanya sambil melirik dua gadis yang berdiri tegang berpelukan di dekat sofa. Wajah Evi pucat sekali."Ibu gak akan ngakuin anak lagi kalau sampai Evi atau Eda mengambil jalan itu," sahut Ibu dengan suara gemetar. Erman mengedipkan sebelah mata pada Evi sambil mendorong kursi roda Ibu kembali ke kamar. Lelaki itu ikut masuk.Eda mendorong tubuh Evi menjauh. Tatapannya aneh."Bang Erman bilang Mbak kerja jual diri," kata Eda pelan, takut Ibu dengar."Jangan percaya!" desis Evi. "Man
Ibu tertawa melihat isi piring besar yang disodorkan oleh Tini, asisten rumah tangga di rumah Jo. Sate ayam berlumur bumbu kacang pekat harum penuh di piring panjang itu."Silakan dimakan, Bu. Itu kata Pak Jo khusus buat Ibu saja." Tini tersenyum pada Ibu. "Boss Jo sampai hapal kesukaan Ibu, sate ayam!" Eda ikut tertawa melihat mata Ibu berbinar. "Awas makan kacang, ingat asam urat!""Saya pamit ke belakang dulu ya, Bu," kata Tini lagi."Silakan, Mbak. Terima kasih satenya!" Ibu mengangguk pada Tini.Tidak menunggu perintah lagi, Ibu dan Eda menyantap nasi hangat berlauk sate ayam kesukaan Ibu. "Boss Jo dan kakakmu belum bangun, Da?" tanya Ibu setelah menelan suapan pertamanya. Eda menggeleng."Ya belum keluar dari kamar lah, Bu. Namanya juga penganten baru!""Kayak ngerti saja kamu!""Tahu lah!"Sudah seminggu berlalu sejak pesta pernikahan sederhana digelar di rumah Jo. Evi sah jadi istrinya. Ibu dan Eda juga diboyong tinggal di rumah warisan dari ibunda Jo itu. Jo memastikan Ibu
Koridor menuju kamar jenazah Rumah Sakit Daerah lengang di sore hari. Evi tergopoh melangkah mengikuti seorang polisi. Administrasi pemulangan jenazah sedang diurus oleh Jo di kantor RSUD. Mereka juga masih perlu membereskan beberapa masalah di kantor polisi.Semalam terjadi kebakaran yang menghanguskan satu deret kamar kontrakan di daerah pinggir kota. Ditemukan tiga korban jiwa dalam satu unit kamar, semuanya diidentifikasi berjenis kelamin pria.Bahan bakar yang menjadi sebab kebakaran hanya disiramkan di dinding depan satu kamar, sumber nyala api, sedangkan bangunan lain hanya menerima rembetan api dan tidak seluruhnya hangus. Kamar sumber nyala api juga menyisakan dinding belakang yang tidak habis terbakar. Tiga korban jiwa ditemukan berpelukan di dalam kamar mandi, kondisi mereka mengalami luka bakar 80%.Polisi juga menemukan sebuah tas yang separuh dilalap api, di dalamnya ada sebuah dompet hampir meleleh yang berisi kartu identitas atas nama Erman Setiabudi, beralamat di ruma
Ketiga orang di dalam kamar gelap itu berhenti bicara ketika mereka mendengar bunyi langkah kaki yang ribut di luar. Banyak suara bisik-bisik dan mesin motor yang berhenti."Man, mereka datang, Man," bisik Doni.Erman dan Rere saling pandang di bawah lampu layar ponsel."Anak buah Gundul gak bisa diajak main-main, Man. Lu kenapa lari kesini, sih?" Kaki Doni menyepak paha Erman."Gua gak punya tempat lain buat dituju!" bentak Erman dalam bisikan."Dengar!" Rere memukul bahu Erman.Sepertinya kamar di kanan kiri terbuka dan ada suara orang berlari, beberapa pekikan kecil juga barang jatuh. Rere menebak penghuni kamar tetangga lari menyelamatkan diri. "Bagaimana kalau kita lari keluar? Kamar ini gak ada pintu belakangnya!" kata Erman."Mau lari lewat mana?" sahut Doni. "Lihat itu di bawah pintu!"Cahaya teras kamar yang terang menyinari kaki-kaki yang berdiri tepat di depan kamar Doni. Erman merasa dingin sekujur tubuhnya. Bagaimana cara lari dari sini?Gundul memberinya waktu seminggu
Wajah Ibu menampakkan kebahagiaan yang nyata. Wanita yang lebih banyak diam daripada bicara itu terus tersenyum saat Evi menjelaskan padanya bahwa mulai besok akan bekerja jadi staf kantor. Bukan pegawai biasa, malah, tapi sebagai kepala divisi."Siapa bossnya, Vi?" tanya Ibu. Evi menghela napas, melegakan dadanya yang sesak oleh bahagia."Perusahaannya milik Jo, Bu."Senyum Ibu sesaat hilang, tapi lalu muncul lagi. Ibu mengangguk-angguk pelan."Sepertinya persangkaan Ibu padanya selama ini salah. Semoga dia benar-benar orang baik.""Jo ingin bulan depan kami menikah."Mata Ibu sedikit melotot, kaget. Air mukanya berubah-ubah, antara senang dan sedih. Evi meraih tangan Ibu dan menggenggamnya."Jo dan aku saling mencintai, Bu. Kami tidak peduli pada masa lalu. Restui kami, Ibu.""Kau yakin, Vi? Ibu hanya khawatir kau cuma dia jadikan mainan, iseng sambil dia mencari yang lain. Ibu takut kau disakiti.""Semoga tidak, Bu. Aku bisa lihat dia sungguh serius pada janjinya.""Maafin ucapan I
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Ibu menyambut Eda pulang sekolah. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Eda langsung menuju meja makan. Ada semangkuk sup ayam dan perkedel kentang tersaji. Eda mengambil makanan lalu membawanya ke kamar."Ibu sudah makan?""Sudah. Kakakmu menelepon?""Mbak Evi? Tidak. Kemana dia?""Tadi perginya pamit mau ke apartemen ngambil perabot yang masih ada di sana. Kok belum balik lagi ya? Lama sekali.""Sekalian belanja kalik, Bu.""Iya mungkin." Ibu kelihatan tenang lagi. Eda makan di kamar sambil menemani ibu mengobrol.Ibu bahagia bukan kepalang sewaktu Evi mengajaknya pindah ke Lampung Pandansari. Apalagi ketika Evi berjanji akan memulai hidup baru dan meninggalkan pekerjaannya yang lama. Apalagi yang jadi doa Ibu selama ini kalau bukan kedua hal itu?"Ibu merasa Evi jadi begitu ya karena Ibu juga, Da. Ibu jadi beban kakakmu. Untungnya Evi itu pekerja keras, dia gak pernah ngeluh.""Aku juga ngerasa bersalah sama Mbak Evi, Bu. Aku banyak permintaan. Gak mau bantuin dia kerja."Ibu me
Status Jo sekarang adalah pengangguran. Ia benar-benar tidak punya pekerjaan. Sejak diusir dari kantor, Jo belum pulang ke rumah. Ia ingin bertemu Mamanya sebentar tapi takut jika terpergok Papa. Hanya dua hari ia menumpang tidur di apartemen Evi lalu keliling kota mencari rumah kontrakan.Jo membayar uang kontrakan selama setahun ke depan secara cash. Uang tabungannya masih banyak sekali. Namun begitu, Jo tetap harus bekerja karena suatu hari nanti uang tabungannya akan habis. Apa yang bisa Jo kerjakan? Ia hanya punya pengalaman jadi Boss saja, tidak pernah bekerja dengan otot.Rumah kontrakannya yang baru berupa sebuah rumah satu kamar yang mungil. Harga sewanya lumayan tinggi. Jo berhitung, andai ia hanya mengandalkan tabungan saja tanpa menambah saldo, rekeningnya akan jadi nol dalam waktu dua tahun. Untuk itulah Jo harus bekerja.Pikiran Jo masih tertambat pada Evi. Ia masih mencarinya dengan berbagai cara, sampai dengan mengintai rumah Mami Riska sepanjang hari tapi tetap nihil
"Apa maksud kalian? Siapa yang menyuruhku pergi?" Jo bangun dari tempatnya duduk di balik meja kerja. Para bodyguard menentang tatapan mata Jo tanpa gentar."Atasan kami, pak Salman Setiadi memerintahkan demikian, Pak Jonathan. Anda diberi waktu satu jam dari sekarang untuk berkemas. Ini surat pemecatan anda." Sebuah amplop putih panjang dengan kop surat nama perusahaan induk tertera diletakkan di meja kerja. Jo menatap surat itu. Dia dipecat oleh ayah sendiri. Lucu sekali hidup ini."Tolong sampaikan pada Papa, saya ....""Kami tidak diperintah untuk menyampaikan pesan balik, Pak Jonathan. Kami ada di sini untuk memastikan Anda berkemas dengan baik tanpa ada barang tertinggal." Si kepala bodyguard memutus ucapan Jo."Dimana Papa sekarang? Antar saya ke sana.""Silakan berkemas saja dan pergi, Pak Jonathan."Ini keterlaluan, gumam Jo dalam batin. Apa ini semua karena Evi? Bagaimana bisa seorang ayah memecat anak sendiri hanya karena rebutan wanita! Jo bergerak maju tanpa permisi pada