Share

9. Awas Kalau Ibu Sampai Tahu!

Dada Evi berdegup keras mendengar ucapan Jo. Bicara jujur, tentang apa? 

"Aku mau jujur padamu, Vi," kata Jo. Ia bahkan belum masuk ke dalam rumah, masih berdiri di ambang pintu.

"A-apa itu?" Evi bersiap, hatinya berbunga. Apakah ....

"Istriku mengirim orang untuk mengikuti aku dan dia tahu tentangmu. Sepertinya akan sangat beresiko buat kita berdua kalau kau bekerja di kantorku. Istriku akan tahu dan kau yang akan dapat makiannya."

Oh, jujur tentang itu. Evi merasa wajahnya panas karena malu. Apakah tadi ia sempat melambung tinggi karena berharap Jo menyatakan cinta? Ah, betapa lugunya aku, pikir Evi.

"Begitu, ya. Jadi, aku batal bekerja di kantormu? Gak apa-apa, Jo. Aku paham."

"Aku pikirkan jalan keluarnya lagi nanti. Untuk sementara, kau dan keluargamu aku jamin aman di sini."

"Oke. Aku menurut apa aturanmu."

"Tetaplah diam di rumah ini. Jangan keluar."

"Aku berpikir tentang sekolah Eda, Jo. Dia harus sekolah, tapi keadaan belum aman. Erman pasti mencarinya di sekolah hari ini dan seterusnya."

"Kau mau Eda ikut homeschooling?"

"Oh, enggak! Itu mahal banget!" Evi melambaikan dua telapak tangannya dengan gugup. Senyumnya kaku. Jo mengacak poni Evi.

"Mulai hari ini, kalian bertiga adalah tanggung jawabku. Hiduplah dengan tenang di sini."

"Sebagai apa?" Spontan Evi bertanya. Jo tampak gugup sebentar. 

"Sampai Erman berhenti mengganggu kalian." Jo melangkah masuk, lengannya tak sengaja menyenggol bahu Evi saat melangkah.

"Apa yang kalian butuhkan?" tanya Jo, ia berdiri di ruang tengah, memandang berkeliling. Evi mengikutinya.

"Ke ma ti an Erman," jawab Evi, berdiri di belakang Jo. Pria itu menoleh dan menatap Evi.

"Enggak! Aku bercanda, Jo!" Evi tertawa sambil mengibaskan tangan di depan wajah. Tidak ada senyum di wajah Jo.

"Aku akan melakukan itu kalau kau minta."

"Enggak! Enggak! Jangan! Aku bercanda, Jo!" Tangan Evi memukul lengan Jo. Lelaki itu sangat kaku dan serius. Susah menemukan titik humor di pribadi Jo. Evi berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati bicara.

"Ibumu perlu kursi roda, ya?" tanya Jo lagi. Evi mengangguk.

"Iya. Pakaian kami juga semua terbakar. Perlengkapan sekolah Eda. Peralatan mandi wanita."

"Bersiaplah. Kita ke mall sekarang."

Evi berjalan di sebelah Jo di mall dengan canggung. Ia sengaja berada satu langkah di belakang lelaki itu. Jo masuk ke supermarket dan mengambil barang keperluan sehari-hari tanpa melihat harganya. Mereka beli banyak baju di butik. Perlengkapan sekolah Eda dibeli di toko buku branded. 

Dari pekerjaannya, Evi mendapat banyak uang, tapi ia memperlakukan uangnya dengan sangat hemat, cenderung pelit. Itu karena banyak sekali kebutuhan yang harus ia penuhi dari uang yang ada. Pengeluaran terbesar adalah setoran untuk Erman. Sisa dari yang diminta Erman harus cukup untuk bayar kontrakan, ongkos sekolah Eda, biaya periksa rutin Ibu ke dokter dan kebutuhan sehari-hari. Dalam sebulan, Erman bisa minta uang sampai dua puluh juta! Melihat cara belanja Jo yang seperti tidak peduli harga, Evi ingin sekali melakukan itu bersama Eda.

Selesai belanja, dengan membawa puluhan paperbag besar dan kecil, Jo mengajak Evi makan di sebuah restoran Sunda.

"Aku wanita keberapa yang kau ajak belanja dan makan seperti ini?" tanya Evi dengan mata jenaka. Jo bahkan tidak tersenyum.

"Aku hanya terlibat dengan tiga wanita seumur hidupku. Ibuku, istriku dan kau." Jo mengucapkan kalimatnya sambil menyuap sesendok nasi timbel. "Kalian semua bikin repot."

Evi tersenyum. Ia menatap Jo yang serius makan. Evi mencari informasi dari wajah dan bahasa tubuh lelaki itu, apakah ada sedikit cinta untuknya di hati Jo.

"Jo, aku boleh bertanya sesuatu?" Evi bicara setelah meneguk es teh.

"Hmm."

"Bagaimana kau bisa kenal Mami Riska? Sudah berapa kali kau pesan anak buahnya?"

Jo tampak tertegun sebentar.

"Kenapa tanya begitu? Itu privasiku." jawab Jo.

"Gak kenapa-kenapa. Aku ingin tahu saja."

Jo meneguk air mineral dalam botol. Tatapannya menghunjam ke mata Evi.

"Kau jatuh cinta padaku, ya?"

Evi tersedak napasnya sendiri mendengar pertanyaan Jo itu. 

"A-apa maksudmu?" 

"Iya kan? Ngaku aja kalau memang iya!"

"Enggak! Apaan! Seleraku bukan lelaki model kamu!" Pipi Evi merah padam dan Jo melihat itu. Sebuah senyum tersungging di bibir Jo.

"Bagus kalau begitu. Sebaiknya jangan jatuh cinta padaku. Aku punya istri yang galak."

"Soal pekerjaan di kantormu, bagaimana kalau aku kerja jadi karyawati dan kau tempatkan aku di kubikel paling ujung yang gak kelihatan dari ruanganmu? Istrimu gak akan melihat satu persatu wajah pegawai, kan?" Evi berusaha bersikap biasa, menutupi gugup. Jo mendengar ide Evi ini lalu mengangguk.

"Bagus juga idemu. Ya, mungkin itu solusinya. Apa keahlianmu?"

"Merayu pria."

Kali ini Jo tertawa keras. Ia meletakkan sendok di tangannya ke piring dan tertawa sampai tubuhnya terguncang. Evi mengulum senyum. Entah kenapa, ia senang sekali melihat Jo tertawa.

Setelah tawanya reda, Jo meneguk air mineralnya.

"Maaf. Kau lucu sekali. Please jawab serius, apa keahlianmu? Pendidikan terakhirmu?"

"Aku lulusan SMA jurusan IPA. Asal kau tahu, aku pintar melobi orang. Aku punya bakat marketing."

"Aku percaya soal itu. Oke, kau aku terima jadi staf marketing. Mulai besok kau masuk kerja."

"Berapa gajinya?"

Jo terdiam sejenak. Tawa lebar tadi sudah hilang sepenuhnya.

"Tanyakan pada staf HRD besok."

*****

Ibu menatap Evi yang mengeluarkan barang-barang belanjaan dari paperbag dan membagikannya.

"Ini baju buat Ibu. Ini juga. Ini punya Eda. Sama yang ini dan ini juga punya Eda. Ini punyaku."

Eda kelihatan senang sekali menerima paperbag bagiannya. Stationery merk terkenal dan baju rumahan branded membuatnya terpekik bahagia.

"Terima kasih, Mbak! Ini bagus sekali! Aku suka!"

"Sana, simpan di lemari. Mbak lagi usahakan kamu bisa berangkat sekolah lagi secepatnya." Evi tersenyum pada sang adik. Eda segera pergi ke kamarnya di sebelah.

"Vi, ini semua kau beli pakai uangmu?" tanya Ibu. Evi tertegun sejenak. Ia.ingin jujur bilang itu semua dibelikan Jo tapi sesuatu dalam hati melarangnya.

"Iya, Bu. Semua barang kita kan habis terbakar. Tabunganku baru bisa beli ini saja dulu."

"Memangnya buku tabunganmu selamat? Kau sempat membawanya?"

"Aku sempat ambil tas sebelum naik ke atap, Bu, tapi aku gak ingat untuk ambil map ijazah. Semua ijazahku dan Eda hangus."

"Kita pindah ke kontrakan saja, Vi. Jangan kelamaan numpang di rumah bossmu ini. Ibu rikuh. Ibu juga ingin ketemu Erman. Dia pasti nyariin kita."

Pasti. Erman pasti sedang mengerahkan segala upaya untuk menemukan kami, bisik hati Evi. Bukan sebagai keluarga yang merasa kehilangan, tapi sebagai tambang uang yang harus ditemukan.

Ibu hanya tahu bahwa Erman berperilaku tidak sopan. Hanya itu saja kenakalan Erman di mata Ibu. Evi tidak pernah mengatakan pada siapapun tentang ke be ja tan Erman. Eda tahu bahwa Erman bisa menyakiti mereka tapi anak itu tidak tahu Erman sudah menghancurkan kehidupan Evi. Rutinitas Erman minta uang juga hanya Evi yang tahu dan menanggungnya.

"Buat apa ketemu Erman, Bu? Dia pasti bahagia kita gak ada dalam hidupnya." Evi bergumam. Tangannya melipat baju-baju baru yang tergeletak di kasur.

"Hus. Bagaimanapun dia adalah kakakmu. Erman itu anak Ibu juga."

"Dia selalu kasar sama Ibu. Gak mau kerja. Sering mencuri perabot di rumah. Ngapain Ibu masih anggap dia sebagai anak?"

"Jaga bicaramu!" Ibu melotot. "Sebelum meninggal, Bapakmu berpesan pada Ibu untuk menjaga dan merawat Erman. Bapakmu sayang sekali sama Erman. Itu yang jadi pegangan Ibu. Kalian bertiga adalah anak Ibu."

Terbuat dari apa hatimu, Bu? Evi menatap ibunya. Air mata terasa sulit ditahan dan membuat matanya panas. Evi cepat memalingkan wajah agar Ibu tak tahu air matanya jatuh setetes.

"Aku belum punya uang buat ngontrak rumah, Bu. Jo mengizinkan kita tinggal sementara di sini. Rumah ini gak dia pakai, sudah lama kosong."

"Panggil bossmu dengan sopan, Vi. Jangan Jo-Jo saja!"

"Dia yang minta dipanggil begitu."

"Panggil dia Pak! Atau jangan-jangan, kalian ini pacaran? Apa dia bujangan? Awas ya kalau sampai Ibu tahu kamu pacaran sama lelaki beristri!"

Evi terkejut mendengar ucapan Ibu. Sesaat ia gugup tapi segera bisa menguasai diri lagi. Tawa palsu tersungging di bibirnya.

"Bukan, Bu, dia bukan pacarku! Mana mau dia sama gadis miskin kayak aku! Hubungan kami hanya sebagai boss dan karyawan. Boss Jo memang baik sama karyawannya, gak cuma ke aku saja."

"Baguslah kalau begitu. Jaga pergaulanmu, Vi. Kamu gadis, jangan sembarang menerima kebaikan orang. Harga diri wanita itu mahal. Ibu khawatir dengar pergaulan jaman sekarang, banyak gadis jual diri hanya demi uang atau handphone. Kamu jangan ikutan begitu ya, Nak? Gak apa gak punya barang bagus, gak apa kalau memang harus kelaparan, yang penting jangan jual harga diri!"

Evi berhenti melipat pakaian. Ucapan Ibu tadi menghantam jantungnya dengan telak. Perih sekali. Dengan gerakan pura-pura mencium aroma baju baru, Evi menghapus air matanya. 

"Kalau misalnya, ini misal ya Bu, misalnya ternyata aku juga jual diri karena kebutuhan kita semakin besar dan gajiku gak cukup, bagaimana, Bu?" tanya Evi tanpa berani menatap Ibu.

"Naudzubillah, Evi! Hati-hati kau bicara!"

"Itu misalnya, lho, Bu!"

"Kalau sampai kejadian begitu, pergi kau sejauh-jauhnya dari Ibu dan Eda. Putus hubungan kita selamanya. Ibu lebih baik ma ti kelaparan daripada makan yang haram!"

"Aku ke kamar mandi dulu, Bu." Evi bangkit sebelum air matanya banjir di pipi. 

Setelah masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu, Evi melihat bayangan wajahnya di cermin dan membiarkan tangisnya pecah. Ia melihat wajah pucat gadis putus asa di hadapannya. Menyedihkan sekali. Evi menyalahkan dirinya sendiri kenapa ia sampai terlena akan kemudahan mencari uang sebagai anak buah Mami Riska selama tujuh tahun. Evi mengakui memang dirinya kadang segan pergi dari tempat itu karena ia bisa memenuhi kebutuhan Ibu dan Eda dari penghasilannya melayani pria hidung belang.

Waktu pertama kali Erman menyeretnya bertemu Mami Riska, Evi menolak mentah-mentah pekerjaan yang diberikan padanya. Mami Riska yang melihat kecantikan Evi langsung berminat merekrutnya. Belakangan Evi tahu bahwa Erman adalah kekasih gelap sang ger**mo. Secara sah, Mami Riska punya suami, seorang pria dandy yang berprofesi sebagai makelar properti. 

Dari pekerjaan itu juga Evi bisa bertemu Jo. Pria yang kini menguasai kekosongan hatinya. Evi berharap banyak dari Jo, harapan yang ia tahu pasti hanya harapan saja, tidak mungkin jadi nyata.

Evi mendengar ringtone ponselnya berbunyi nyaring. Cepat ia basuh mukanya lalu berjalan keluar kamar mandi. Di ambang pintu kamar ia melihat Ibu sedang bicara dengan ponsel di telinganya. Melihat Evi datang, Ibu menyodorkan ponsel padanya.

"Ini Erman nelepon! Nanya kita ada dimana. Ibu sudah kasih tahu kita ada di sini, di rumah boss Jo!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status