Beranda / CEO / Primadona Kesayangan CEO Dingin / 9. Awas Kalau Ibu Sampai Tahu!

Share

9. Awas Kalau Ibu Sampai Tahu!

Penulis: Dee Rahayu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dada Evi berdegup keras mendengar ucapan Jo. Bicara jujur, tentang apa? 

"Aku mau jujur padamu, Vi," kata Jo. Ia bahkan belum masuk ke dalam rumah, masih berdiri di ambang pintu.

"A-apa itu?" Evi bersiap, hatinya berbunga. Apakah ....

"Istriku mengirim orang untuk mengikuti aku dan dia tahu tentangmu. Sepertinya akan sangat beresiko buat kita berdua kalau kau bekerja di kantorku. Istriku akan tahu dan kau yang akan dapat makiannya."

Oh, jujur tentang itu. Evi merasa wajahnya panas karena malu. Apakah tadi ia sempat melambung tinggi karena berharap Jo menyatakan cinta? Ah, betapa lugunya aku, pikir Evi.

"Begitu, ya. Jadi, aku batal bekerja di kantormu? Gak apa-apa, Jo. Aku paham."

"Aku pikirkan jalan keluarnya lagi nanti. Untuk sementara, kau dan keluargamu aku jamin aman di sini."

"Oke. Aku menurut apa aturanmu."

"Tetaplah diam di rumah ini. Jangan keluar."

"Aku berpikir tentang sekolah Eda, Jo. Dia harus sekolah, tapi keadaan belum aman. Erman pasti mencarinya di sekolah hari ini dan seterusnya."

"Kau mau Eda ikut homeschooling?"

"Oh, enggak! Itu mahal banget!" Evi melambaikan dua telapak tangannya dengan gugup. Senyumnya kaku. Jo mengacak poni Evi.

"Mulai hari ini, kalian bertiga adalah tanggung jawabku. Hiduplah dengan tenang di sini."

"Sebagai apa?" Spontan Evi bertanya. Jo tampak gugup sebentar. 

"Sampai Erman berhenti mengganggu kalian." Jo melangkah masuk, lengannya tak sengaja menyenggol bahu Evi saat melangkah.

"Apa yang kalian butuhkan?" tanya Jo, ia berdiri di ruang tengah, memandang berkeliling. Evi mengikutinya.

"Ke ma ti an Erman," jawab Evi, berdiri di belakang Jo. Pria itu menoleh dan menatap Evi.

"Enggak! Aku bercanda, Jo!" Evi tertawa sambil mengibaskan tangan di depan wajah. Tidak ada senyum di wajah Jo.

"Aku akan melakukan itu kalau kau minta."

"Enggak! Enggak! Jangan! Aku bercanda, Jo!" Tangan Evi memukul lengan Jo. Lelaki itu sangat kaku dan serius. Susah menemukan titik humor di pribadi Jo. Evi berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati bicara.

"Ibumu perlu kursi roda, ya?" tanya Jo lagi. Evi mengangguk.

"Iya. Pakaian kami juga semua terbakar. Perlengkapan sekolah Eda. Peralatan mandi wanita."

"Bersiaplah. Kita ke mall sekarang."

Evi berjalan di sebelah Jo di mall dengan canggung. Ia sengaja berada satu langkah di belakang lelaki itu. Jo masuk ke supermarket dan mengambil barang keperluan sehari-hari tanpa melihat harganya. Mereka beli banyak baju di butik. Perlengkapan sekolah Eda dibeli di toko buku branded. 

Dari pekerjaannya, Evi mendapat banyak uang, tapi ia memperlakukan uangnya dengan sangat hemat, cenderung pelit. Itu karena banyak sekali kebutuhan yang harus ia penuhi dari uang yang ada. Pengeluaran terbesar adalah setoran untuk Erman. Sisa dari yang diminta Erman harus cukup untuk bayar kontrakan, ongkos sekolah Eda, biaya periksa rutin Ibu ke dokter dan kebutuhan sehari-hari. Dalam sebulan, Erman bisa minta uang sampai dua puluh juta! Melihat cara belanja Jo yang seperti tidak peduli harga, Evi ingin sekali melakukan itu bersama Eda.

Selesai belanja, dengan membawa puluhan paperbag besar dan kecil, Jo mengajak Evi makan di sebuah restoran Sunda.

"Aku wanita keberapa yang kau ajak belanja dan makan seperti ini?" tanya Evi dengan mata jenaka. Jo bahkan tidak tersenyum.

"Aku hanya terlibat dengan tiga wanita seumur hidupku. Ibuku, istriku dan kau." Jo mengucapkan kalimatnya sambil menyuap sesendok nasi timbel. "Kalian semua bikin repot."

Evi tersenyum. Ia menatap Jo yang serius makan. Evi mencari informasi dari wajah dan bahasa tubuh lelaki itu, apakah ada sedikit cinta untuknya di hati Jo.

"Jo, aku boleh bertanya sesuatu?" Evi bicara setelah meneguk es teh.

"Hmm."

"Bagaimana kau bisa kenal Mami Riska? Sudah berapa kali kau pesan anak buahnya?"

Jo tampak tertegun sebentar.

"Kenapa tanya begitu? Itu privasiku." jawab Jo.

"Gak kenapa-kenapa. Aku ingin tahu saja."

Jo meneguk air mineral dalam botol. Tatapannya menghunjam ke mata Evi.

"Kau jatuh cinta padaku, ya?"

Evi tersedak napasnya sendiri mendengar pertanyaan Jo itu. 

"A-apa maksudmu?" 

"Iya kan? Ngaku aja kalau memang iya!"

"Enggak! Apaan! Seleraku bukan lelaki model kamu!" Pipi Evi merah padam dan Jo melihat itu. Sebuah senyum tersungging di bibir Jo.

"Bagus kalau begitu. Sebaiknya jangan jatuh cinta padaku. Aku punya istri yang galak."

"Soal pekerjaan di kantormu, bagaimana kalau aku kerja jadi karyawati dan kau tempatkan aku di kubikel paling ujung yang gak kelihatan dari ruanganmu? Istrimu gak akan melihat satu persatu wajah pegawai, kan?" Evi berusaha bersikap biasa, menutupi gugup. Jo mendengar ide Evi ini lalu mengangguk.

"Bagus juga idemu. Ya, mungkin itu solusinya. Apa keahlianmu?"

"Merayu pria."

Kali ini Jo tertawa keras. Ia meletakkan sendok di tangannya ke piring dan tertawa sampai tubuhnya terguncang. Evi mengulum senyum. Entah kenapa, ia senang sekali melihat Jo tertawa.

Setelah tawanya reda, Jo meneguk air mineralnya.

"Maaf. Kau lucu sekali. Please jawab serius, apa keahlianmu? Pendidikan terakhirmu?"

"Aku lulusan SMA jurusan IPA. Asal kau tahu, aku pintar melobi orang. Aku punya bakat marketing."

"Aku percaya soal itu. Oke, kau aku terima jadi staf marketing. Mulai besok kau masuk kerja."

"Berapa gajinya?"

Jo terdiam sejenak. Tawa lebar tadi sudah hilang sepenuhnya.

"Tanyakan pada staf HRD besok."

*****

Ibu menatap Evi yang mengeluarkan barang-barang belanjaan dari paperbag dan membagikannya.

"Ini baju buat Ibu. Ini juga. Ini punya Eda. Sama yang ini dan ini juga punya Eda. Ini punyaku."

Eda kelihatan senang sekali menerima paperbag bagiannya. Stationery merk terkenal dan baju rumahan branded membuatnya terpekik bahagia.

"Terima kasih, Mbak! Ini bagus sekali! Aku suka!"

"Sana, simpan di lemari. Mbak lagi usahakan kamu bisa berangkat sekolah lagi secepatnya." Evi tersenyum pada sang adik. Eda segera pergi ke kamarnya di sebelah.

"Vi, ini semua kau beli pakai uangmu?" tanya Ibu. Evi tertegun sejenak. Ia.ingin jujur bilang itu semua dibelikan Jo tapi sesuatu dalam hati melarangnya.

"Iya, Bu. Semua barang kita kan habis terbakar. Tabunganku baru bisa beli ini saja dulu."

"Memangnya buku tabunganmu selamat? Kau sempat membawanya?"

"Aku sempat ambil tas sebelum naik ke atap, Bu, tapi aku gak ingat untuk ambil map ijazah. Semua ijazahku dan Eda hangus."

"Kita pindah ke kontrakan saja, Vi. Jangan kelamaan numpang di rumah bossmu ini. Ibu rikuh. Ibu juga ingin ketemu Erman. Dia pasti nyariin kita."

Pasti. Erman pasti sedang mengerahkan segala upaya untuk menemukan kami, bisik hati Evi. Bukan sebagai keluarga yang merasa kehilangan, tapi sebagai tambang uang yang harus ditemukan.

Ibu hanya tahu bahwa Erman berperilaku tidak sopan. Hanya itu saja kenakalan Erman di mata Ibu. Evi tidak pernah mengatakan pada siapapun tentang ke be ja tan Erman. Eda tahu bahwa Erman bisa menyakiti mereka tapi anak itu tidak tahu Erman sudah menghancurkan kehidupan Evi. Rutinitas Erman minta uang juga hanya Evi yang tahu dan menanggungnya.

"Buat apa ketemu Erman, Bu? Dia pasti bahagia kita gak ada dalam hidupnya." Evi bergumam. Tangannya melipat baju-baju baru yang tergeletak di kasur.

"Hus. Bagaimanapun dia adalah kakakmu. Erman itu anak Ibu juga."

"Dia selalu kasar sama Ibu. Gak mau kerja. Sering mencuri perabot di rumah. Ngapain Ibu masih anggap dia sebagai anak?"

"Jaga bicaramu!" Ibu melotot. "Sebelum meninggal, Bapakmu berpesan pada Ibu untuk menjaga dan merawat Erman. Bapakmu sayang sekali sama Erman. Itu yang jadi pegangan Ibu. Kalian bertiga adalah anak Ibu."

Terbuat dari apa hatimu, Bu? Evi menatap ibunya. Air mata terasa sulit ditahan dan membuat matanya panas. Evi cepat memalingkan wajah agar Ibu tak tahu air matanya jatuh setetes.

"Aku belum punya uang buat ngontrak rumah, Bu. Jo mengizinkan kita tinggal sementara di sini. Rumah ini gak dia pakai, sudah lama kosong."

"Panggil bossmu dengan sopan, Vi. Jangan Jo-Jo saja!"

"Dia yang minta dipanggil begitu."

"Panggil dia Pak! Atau jangan-jangan, kalian ini pacaran? Apa dia bujangan? Awas ya kalau sampai Ibu tahu kamu pacaran sama lelaki beristri!"

Evi terkejut mendengar ucapan Ibu. Sesaat ia gugup tapi segera bisa menguasai diri lagi. Tawa palsu tersungging di bibirnya.

"Bukan, Bu, dia bukan pacarku! Mana mau dia sama gadis miskin kayak aku! Hubungan kami hanya sebagai boss dan karyawan. Boss Jo memang baik sama karyawannya, gak cuma ke aku saja."

"Baguslah kalau begitu. Jaga pergaulanmu, Vi. Kamu gadis, jangan sembarang menerima kebaikan orang. Harga diri wanita itu mahal. Ibu khawatir dengar pergaulan jaman sekarang, banyak gadis jual diri hanya demi uang atau handphone. Kamu jangan ikutan begitu ya, Nak? Gak apa gak punya barang bagus, gak apa kalau memang harus kelaparan, yang penting jangan jual harga diri!"

Evi berhenti melipat pakaian. Ucapan Ibu tadi menghantam jantungnya dengan telak. Perih sekali. Dengan gerakan pura-pura mencium aroma baju baru, Evi menghapus air matanya. 

"Kalau misalnya, ini misal ya Bu, misalnya ternyata aku juga jual diri karena kebutuhan kita semakin besar dan gajiku gak cukup, bagaimana, Bu?" tanya Evi tanpa berani menatap Ibu.

"Naudzubillah, Evi! Hati-hati kau bicara!"

"Itu misalnya, lho, Bu!"

"Kalau sampai kejadian begitu, pergi kau sejauh-jauhnya dari Ibu dan Eda. Putus hubungan kita selamanya. Ibu lebih baik ma ti kelaparan daripada makan yang haram!"

"Aku ke kamar mandi dulu, Bu." Evi bangkit sebelum air matanya banjir di pipi. 

Setelah masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu, Evi melihat bayangan wajahnya di cermin dan membiarkan tangisnya pecah. Ia melihat wajah pucat gadis putus asa di hadapannya. Menyedihkan sekali. Evi menyalahkan dirinya sendiri kenapa ia sampai terlena akan kemudahan mencari uang sebagai anak buah Mami Riska selama tujuh tahun. Evi mengakui memang dirinya kadang segan pergi dari tempat itu karena ia bisa memenuhi kebutuhan Ibu dan Eda dari penghasilannya melayani pria hidung belang.

Waktu pertama kali Erman menyeretnya bertemu Mami Riska, Evi menolak mentah-mentah pekerjaan yang diberikan padanya. Mami Riska yang melihat kecantikan Evi langsung berminat merekrutnya. Belakangan Evi tahu bahwa Erman adalah kekasih gelap sang ger**mo. Secara sah, Mami Riska punya suami, seorang pria dandy yang berprofesi sebagai makelar properti. 

Dari pekerjaan itu juga Evi bisa bertemu Jo. Pria yang kini menguasai kekosongan hatinya. Evi berharap banyak dari Jo, harapan yang ia tahu pasti hanya harapan saja, tidak mungkin jadi nyata.

Evi mendengar ringtone ponselnya berbunyi nyaring. Cepat ia basuh mukanya lalu berjalan keluar kamar mandi. Di ambang pintu kamar ia melihat Ibu sedang bicara dengan ponsel di telinganya. Melihat Evi datang, Ibu menyodorkan ponsel padanya.

"Ini Erman nelepon! Nanya kita ada dimana. Ibu sudah kasih tahu kita ada di sini, di rumah boss Jo!"

Bab terkait

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   10. Perasaan yang menyiksa

    Rumah yang disebut villa peristirahatan itu terlihat biasa saja dari luar. Bentuk bangunannya juga biasa saja, seperti umumnya rumah dua lantai. Penyejuk mata berupa taman depan yang hijau sangat segar dan asri, ditata oleh orang yang paham pertamanan. Hal yang menonjol dari rumah yang katanya kosong itu adalah adanya dua petugas sekuriti di pos gerbangnya. Erman menyadari itu. Buat apa sekuriti berjaga di rumah kosong? Mungkin karena di dalamnya banyak barang berharga, si pemilik rumah itu adalah pengusaha sukses. Erman tahu, barang berharga yang dijaga itu bukan berupa berlian atau guci antik, tapi seorang primadona lokalisasi beserta ibu dan adiknya. Erman mencari cara masuk ke rumah itu tanpa harus berurusan dengan para penjaga. Ia sudah memutari rumah dan melihat sendiri bahwa rumah itu dikelilingi tembok setinggi tiga meter dengan kawat berduri di atasnya, ada juga papan bertuliskan warning, kawat diatas tembok itu dialiri listrik. Seperti kamp militer, pikir Erman. Sejak s

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   11. Boss Galak

    "Apa maksudmu kirim pesan begitu?" Pertanyaan Sandra dibarengi tatapan dingin wanita cantik itu tepat di mata Jo. Sang suami santai duduk bersandar ke tumpukan bantal, bahkan tidak melihat ke arah Sandra, sibuk dengan ponselnya. Geram bukan main hati Sandra melihat ulah suaminya itu. Setelah membaca pesan yang dikirim oleh Jo, Sandra meninggalkan teman-temannya begitu saja dan langsung mencari Jo. "Jelaskan, Jo!" pekik Sandra membahana. Jo baru melirik istrinya, membalas tatapan tajam Sandra padanya. "Apa itu masih kurang jelas? Aku mau bercerai. Itu saja maksudku." "Apa ini karena pe la cur itu?" Jo menegakkan duduk, ponselnya ia letakkan di nakas. "Kau selalu bilang begitu. Pe la cur mana yang kau maksud?" "Perempuan yang kau bawa ke kantor dan kau bilang itu sekretarismu, pengganti Liana!" Jo tahu yang dimaksud Sandra adalah Evi. "Dia wanita baik-baik, bukan pe la cur!" bentak Jo. Sandra malah jadi tambah murka. Ia tam par pipi kiri Jo. "Aku jadi makin yakin ini semua kar

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   12. Siapa yang Jatuh Cinta?

    Dua hari sekali Erman datang ke depan villa Jo di pinggiran kota, ia mengintai gerakan penghuni rumah. Sampai dua Minggu rutinitas itu ia lakukan, Erman tidak mendapat hasil apapun. Orang yang rutin datang dan pergi hanya Jo sendirian. Dua sekuriti penjaga gerbang bergantian shift, Erman kadang heran bagaimana bisa petugas keamanan itu tidak bosan menjaga rumah yang sepertinya kosong. Hari ini Erman tertawa puas melihat pemandangan yang tersaji di depan villa mewah itu. Ia melihat Evi dijemput Jo, berpakaian resmi kantoran. Eda juga keluar memakai seragam SMA. Jo dan Evi naik di mobil hitam dan Eda naik di mobil lain yang berwarna putih, sepertinya Eda dapat supir pribadi. Erman dan motornya mundur, ia mengamati dari seberang jalan, di balik sebuah pohon asam besar. Gerbang ditutup dan dikunci lagi oleh Ris, sang satpam. Erman memutar akal, ia harus bisa masuk ke rumah itu. Setelah semua pergi berarti hanya ada Ibu di dalam. Ibu selalu ada di pihaknya. Apapun yang Erman lakukan, Ibu

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   13. Ibu Diusir!

    Pukul sebelas siang, menjelang istirahat, meja Evi didatangi tamu istimewa. Seorang pria tinggi besar berpakaian serba hitam muncul di hadapan Evi. "Nona Evita Maharani, anda diharapkan datang ke ruang CEO sekarang juga. Bawa semua barang milik anda," kata lelaki itu. Evi terpana kaget mendengar perintah itu. "Ada masalah apa?" "Nanti dijelaskan di ruang CEO bersama Pak Jonathan. Ayo." Tidak banyak barang yang dikemas oleh Evi karena ia baru delapan hari menghuni kubikelnya. Hanya satu dus kecil saja bawaannya. Ia melangkah mengikuti bodyguard yang menjemputnya. Evi menyeberangi koridor memasuki ruang berdinding kaca di depan ruang pegawai. Ia terus dipersilakan berjalan melintasi ruang tamu menuju sebuah ruang di sudut yang pintunya diberi tulisan nama Jonathan Setiadi. Membaca nama itu, ada yang bergetar dalam hati Evi. "Silakan masuk." Sang bodyguard membukakan pintu. Evi masuk ke ruang pimpinan untuk pertama kalinya. Ruang itu bernuansa hitam putih dan luas. Ada sepa

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   14. Eda Pilih Siapa?

    Apartemen tempat tinggal Erman sangat bagus bagi Ibu yang sejak kecil hidup susah. Pandangan matanya berkeliling mengamati keadaan sekitarnya. Perabot rumah Erman kelihatan mahal semua. Erman membantu Ibu duduk di sofa."Tante sudah makan?" tanya Erman sambil berjalan ke meja dapur."Sampai kapan kau panggil Ibu pakai sebutan Tante, Man?""Ya selamanya, lah! Memangnya aku harus panggil apa? Mbak?" Erman tersenyum lebar. Tangannya cekatan membuat teh panas."Panggil Ibu, Man."Erman tertawa ringan. Lelaki berambut panjang sebahu yang dikuncir satu itu menatap Ibu. Ia menghampiri Ibu di sofa sambil membawa dua gelas minuman. Satu gelas berisi teh panas ia letakkan di meja di depan Ibu. Satu lagi berisi minuman bersoda, ia teguk sampai tandas."Ibuku, oh, maksudku Mama, Mamaku sudah meninggal, Tante. Kita jujur saja, jangan saling berbohong.""Ibu selalu berdoa untukmu, Man.""Terima kasih. Sebaiknya doakan Evi saja, Tante. Dia sudah jauh tersesat. Evi pacaran sama suami orang!"Ibu meny

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   15. Eda Dalam Bahaya

    Eda menyentak lengan Erman yang mencekalnya. Gadis itu menatap Evi dan Erman bergantian."Cepat pilih, Da! Mau pulang sama aku dan ketemu Ibu atau ikut si Evi pulang ke rumah lelaki hidung belang itu!" Erman kembali memberi ultimatum."Sebenarnya ada apa sih, Mbak?" Eda mulai menangis. Ia bingung."Ikut aku, Eda. Kamu tahu siapa Erman, kan? Jangan ikut dia!" Evi berusaha meraih tangan Eda. Ia terkejut karena Eda menghindarinya."Jelaskan ada apa dengan Ibu, Mbak!"Evi menatap Jo sebentar. Jo terbatuk sebelum menjawab"Istriku mengusir ibumu. Dia salah paham dan mengira aku ada hubungan terlarang dengan Evi. Kebetulan Erman ada di sana saat kejadian dan membawa ibumu pulang ke apartemennya. Aku dan Evi akan menjemput Ibu kembali ke rumahku."Erman maju mendekati Jo. Matanya penuh amarah."Apa maksudmu? Kau mau ambil ibuku? Siapa kamu?""Ibumu layak dapat tempat yang lebih pantas. Aku masih ada rumah lain yang nyaman." Jo membalas tatap Erman."Enyahlah kau, hidung belang. Kamu belum bo

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   16. Ibu Untuk Jaminan

    Suasana seketika hening. Evi menatap Erman seolah minta tolong. Setelah beberapa detik lewat, Erman menghampiri Ibu."Kok belum tidur, Tante?""Kalian ribut apa tadi? Kenapa sebut-sebut pe la cur? Siapa maksudnya?" Ibu menatap Erman."Itu, Tante, tetangga sebelah kelihatannya kaya raya banget padahal nyari uangnya pakai jual diri. Gitu.""Naudzubillah," bisik Ibu. Erman meraih kursi roda Ibu, memutarnya kembali ke arah kamar."Kalau sampai ada anak Tante uang ketahuan jual diri, gimana sikap Tante?" Erman bertanya sambil melirik dua gadis yang berdiri tegang berpelukan di dekat sofa. Wajah Evi pucat sekali."Ibu gak akan ngakuin anak lagi kalau sampai Evi atau Eda mengambil jalan itu," sahut Ibu dengan suara gemetar. Erman mengedipkan sebelah mata pada Evi sambil mendorong kursi roda Ibu kembali ke kamar. Lelaki itu ikut masuk.Eda mendorong tubuh Evi menjauh. Tatapannya aneh."Bang Erman bilang Mbak kerja jual diri," kata Eda pelan, takut Ibu dengar."Jangan percaya!" desis Evi. "Man

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   17. Evi Dilamar

    Kamar istirahatnya di tempat Riska belum diubah. Ranjang sempit berbau harum yang sangat ia benci masih ada di tengah ruangan, bersebelahan dengan nakas. Evi masuk ke ruangan itu diantar Riska."Bekerjalah semaksimal mungkin seperti biasanya dulu ya, Vi." Riska berdiri di ambang pintu sementara Evi masuk dan duduk di tepi tempat tidur. Kasur empuk itu adalah saksi bisu berapa ratus pria telah menyentuhnya. Kencan di kamar ini tarifnya delapan ratus ribu untuk satu jam. Itu tarif primadona. Jika level biasa, hanya lima ratus ribu saja.Jo tidak pernah masuk ke kamar ini, bisik hati Evi. Ia terpikir sesuatu. Ditatapnya wajah Riska."Mi, klien yang namanya Jonathan Setiadi pernah ke sini lagi selama aku gak ada?" tanya Evi. Riska menggeleng."Tidak. Dua hari yang lalu dia menelepon menanyakan apa kamu kesini. Karena kamu belum kesini, ya aku jawab apa adanya."Jo mencarinya. Ada rasa sejuk dalam hati Evi mengetahui hal itu. Entah rasa apa itu namanya."Kalau dia mau booking lagi, aku kas

Bab terbaru

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   32. Epilog

    Ibu tertawa melihat isi piring besar yang disodorkan oleh Tini, asisten rumah tangga di rumah Jo. Sate ayam berlumur bumbu kacang pekat harum penuh di piring panjang itu."Silakan dimakan, Bu. Itu kata Pak Jo khusus buat Ibu saja." Tini tersenyum pada Ibu. "Boss Jo sampai hapal kesukaan Ibu, sate ayam!" Eda ikut tertawa melihat mata Ibu berbinar. "Awas makan kacang, ingat asam urat!""Saya pamit ke belakang dulu ya, Bu," kata Tini lagi."Silakan, Mbak. Terima kasih satenya!" Ibu mengangguk pada Tini.Tidak menunggu perintah lagi, Ibu dan Eda menyantap nasi hangat berlauk sate ayam kesukaan Ibu. "Boss Jo dan kakakmu belum bangun, Da?" tanya Ibu setelah menelan suapan pertamanya. Eda menggeleng."Ya belum keluar dari kamar lah, Bu. Namanya juga penganten baru!""Kayak ngerti saja kamu!""Tahu lah!"Sudah seminggu berlalu sejak pesta pernikahan sederhana digelar di rumah Jo. Evi sah jadi istrinya. Ibu dan Eda juga diboyong tinggal di rumah warisan dari ibunda Jo itu. Jo memastikan Ibu

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   31. Senang dan Sedih

    Koridor menuju kamar jenazah Rumah Sakit Daerah lengang di sore hari. Evi tergopoh melangkah mengikuti seorang polisi. Administrasi pemulangan jenazah sedang diurus oleh Jo di kantor RSUD. Mereka juga masih perlu membereskan beberapa masalah di kantor polisi.Semalam terjadi kebakaran yang menghanguskan satu deret kamar kontrakan di daerah pinggir kota. Ditemukan tiga korban jiwa dalam satu unit kamar, semuanya diidentifikasi berjenis kelamin pria.Bahan bakar yang menjadi sebab kebakaran hanya disiramkan di dinding depan satu kamar, sumber nyala api, sedangkan bangunan lain hanya menerima rembetan api dan tidak seluruhnya hangus. Kamar sumber nyala api juga menyisakan dinding belakang yang tidak habis terbakar. Tiga korban jiwa ditemukan berpelukan di dalam kamar mandi, kondisi mereka mengalami luka bakar 80%.Polisi juga menemukan sebuah tas yang separuh dilalap api, di dalamnya ada sebuah dompet hampir meleleh yang berisi kartu identitas atas nama Erman Setiabudi, beralamat di ruma

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   30. Bahagia Bersama Duka

    Ketiga orang di dalam kamar gelap itu berhenti bicara ketika mereka mendengar bunyi langkah kaki yang ribut di luar. Banyak suara bisik-bisik dan mesin motor yang berhenti."Man, mereka datang, Man," bisik Doni.Erman dan Rere saling pandang di bawah lampu layar ponsel."Anak buah Gundul gak bisa diajak main-main, Man. Lu kenapa lari kesini, sih?" Kaki Doni menyepak paha Erman."Gua gak punya tempat lain buat dituju!" bentak Erman dalam bisikan."Dengar!" Rere memukul bahu Erman.Sepertinya kamar di kanan kiri terbuka dan ada suara orang berlari, beberapa pekikan kecil juga barang jatuh. Rere menebak penghuni kamar tetangga lari menyelamatkan diri. "Bagaimana kalau kita lari keluar? Kamar ini gak ada pintu belakangnya!" kata Erman."Mau lari lewat mana?" sahut Doni. "Lihat itu di bawah pintu!"Cahaya teras kamar yang terang menyinari kaki-kaki yang berdiri tepat di depan kamar Doni. Erman merasa dingin sekujur tubuhnya. Bagaimana cara lari dari sini?Gundul memberinya waktu seminggu

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   29. Kisah Erman

    Wajah Ibu menampakkan kebahagiaan yang nyata. Wanita yang lebih banyak diam daripada bicara itu terus tersenyum saat Evi menjelaskan padanya bahwa mulai besok akan bekerja jadi staf kantor. Bukan pegawai biasa, malah, tapi sebagai kepala divisi."Siapa bossnya, Vi?" tanya Ibu. Evi menghela napas, melegakan dadanya yang sesak oleh bahagia."Perusahaannya milik Jo, Bu."Senyum Ibu sesaat hilang, tapi lalu muncul lagi. Ibu mengangguk-angguk pelan."Sepertinya persangkaan Ibu padanya selama ini salah. Semoga dia benar-benar orang baik.""Jo ingin bulan depan kami menikah."Mata Ibu sedikit melotot, kaget. Air mukanya berubah-ubah, antara senang dan sedih. Evi meraih tangan Ibu dan menggenggamnya."Jo dan aku saling mencintai, Bu. Kami tidak peduli pada masa lalu. Restui kami, Ibu.""Kau yakin, Vi? Ibu hanya khawatir kau cuma dia jadikan mainan, iseng sambil dia mencari yang lain. Ibu takut kau disakiti.""Semoga tidak, Bu. Aku bisa lihat dia sungguh serius pada janjinya.""Maafin ucapan I

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   28. Batal Dilamar

    Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   27. Cinta Tak Bahagia

    Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   26. Beradu Dendam

    Ibu menyambut Eda pulang sekolah. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Eda langsung menuju meja makan. Ada semangkuk sup ayam dan perkedel kentang tersaji. Eda mengambil makanan lalu membawanya ke kamar."Ibu sudah makan?""Sudah. Kakakmu menelepon?""Mbak Evi? Tidak. Kemana dia?""Tadi perginya pamit mau ke apartemen ngambil perabot yang masih ada di sana. Kok belum balik lagi ya? Lama sekali.""Sekalian belanja kalik, Bu.""Iya mungkin." Ibu kelihatan tenang lagi. Eda makan di kamar sambil menemani ibu mengobrol.Ibu bahagia bukan kepalang sewaktu Evi mengajaknya pindah ke Lampung Pandansari. Apalagi ketika Evi berjanji akan memulai hidup baru dan meninggalkan pekerjaannya yang lama. Apalagi yang jadi doa Ibu selama ini kalau bukan kedua hal itu?"Ibu merasa Evi jadi begitu ya karena Ibu juga, Da. Ibu jadi beban kakakmu. Untungnya Evi itu pekerja keras, dia gak pernah ngeluh.""Aku juga ngerasa bersalah sama Mbak Evi, Bu. Aku banyak permintaan. Gak mau bantuin dia kerja."Ibu me

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   25. Bertemu Lagi

    Status Jo sekarang adalah pengangguran. Ia benar-benar tidak punya pekerjaan. Sejak diusir dari kantor, Jo belum pulang ke rumah. Ia ingin bertemu Mamanya sebentar tapi takut jika terpergok Papa. Hanya dua hari ia menumpang tidur di apartemen Evi lalu keliling kota mencari rumah kontrakan.Jo membayar uang kontrakan selama setahun ke depan secara cash. Uang tabungannya masih banyak sekali. Namun begitu, Jo tetap harus bekerja karena suatu hari nanti uang tabungannya akan habis. Apa yang bisa Jo kerjakan? Ia hanya punya pengalaman jadi Boss saja, tidak pernah bekerja dengan otot.Rumah kontrakannya yang baru berupa sebuah rumah satu kamar yang mungil. Harga sewanya lumayan tinggi. Jo berhitung, andai ia hanya mengandalkan tabungan saja tanpa menambah saldo, rekeningnya akan jadi nol dalam waktu dua tahun. Untuk itulah Jo harus bekerja.Pikiran Jo masih tertambat pada Evi. Ia masih mencarinya dengan berbagai cara, sampai dengan mengintai rumah Mami Riska sepanjang hari tapi tetap nihil

  • Primadona Kesayangan CEO Dingin   24. Kampung Pandansari

    "Apa maksud kalian? Siapa yang menyuruhku pergi?" Jo bangun dari tempatnya duduk di balik meja kerja. Para bodyguard menentang tatapan mata Jo tanpa gentar."Atasan kami, pak Salman Setiadi memerintahkan demikian, Pak Jonathan. Anda diberi waktu satu jam dari sekarang untuk berkemas. Ini surat pemecatan anda." Sebuah amplop putih panjang dengan kop surat nama perusahaan induk tertera diletakkan di meja kerja. Jo menatap surat itu. Dia dipecat oleh ayah sendiri. Lucu sekali hidup ini."Tolong sampaikan pada Papa, saya ....""Kami tidak diperintah untuk menyampaikan pesan balik, Pak Jonathan. Kami ada di sini untuk memastikan Anda berkemas dengan baik tanpa ada barang tertinggal." Si kepala bodyguard memutus ucapan Jo."Dimana Papa sekarang? Antar saya ke sana.""Silakan berkemas saja dan pergi, Pak Jonathan."Ini keterlaluan, gumam Jo dalam batin. Apa ini semua karena Evi? Bagaimana bisa seorang ayah memecat anak sendiri hanya karena rebutan wanita! Jo bergerak maju tanpa permisi pada

DMCA.com Protection Status