Rumah yang disebut villa peristirahatan itu terlihat biasa saja dari luar. Bentuk bangunannya juga biasa saja, seperti umumnya rumah dua lantai. Penyejuk mata berupa taman depan yang hijau sangat segar dan asri, ditata oleh orang yang paham pertamanan.
Hal yang menonjol dari rumah yang katanya kosong itu adalah adanya dua petugas sekuriti di pos gerbangnya. Erman menyadari itu. Buat apa sekuriti berjaga di rumah kosong? Mungkin karena di dalamnya banyak barang berharga, si pemilik rumah itu adalah pengusaha sukses. Erman tahu, barang berharga yang dijaga itu bukan berupa berlian atau guci antik, tapi seorang primadona lokalisasi beserta ibu dan adiknya. Erman mencari cara masuk ke rumah itu tanpa harus berurusan dengan para penjaga. Ia sudah memutari rumah dan melihat sendiri bahwa rumah itu dikelilingi tembok setinggi tiga meter dengan kawat berduri di atasnya, ada juga papan bertuliskan warning, kawat diatas tembok itu dialiri listrik. Seperti kamp militer, pikir Erman. Sejak siang, Erman duduk di jok motornya, di seberang villa milik Jo. Susah payah Erman membaca peta agar sampai ke villa mewah itu. Letaknya di pinggir kota, dekat dengan pantai. Hanya ada tiga villa lain yang berada di satu area, semuanya tampak kosong tak berpenghuni. Ibu dengan jujur memberitahu bahwa ia dan kedua putrinya ada di rumah boss Jo saat Erman meneleponnya. Walaupun Ibu tidak tahu dimana alamat rumah itu, mudah bagi Erman untuk mencari tahu, bahkan lengkap dengan nomor telepon Jo. Mami Riska yang memberi tahu pada Erman. Rupanya Jo juga pernah membawa satu gadis Mami Riska selain Evi ke villanya itu. Kebijakan peraturan Mami Riska bagi klien adalah kewajiban memberitahu alamat kemana klien membawa gadisnya. Alasan Mami adalah untuk menjaga keselamatan anak buah. Apakah aku perlu menelepon Jo? Pikir Erman. Mungkin ia bisa mengintimidasi pengusaha sukses itu untuk menukar Evi dan keluarganya dengan sejumlah uang. Kepala Erman menyusun berbagai strategi dan resikonya. Ia tadi sempat membujuk Ibu di telepon, ia bilang sangat rindu pada Ibu, juga rindu pada Evi dan Eda. Erman memohon pada Ibu untuk membawa kedua gadis itu ikut dengannya di apartemen. Ibu menolak. Jo memasang sekuriti bertubuh kekar di depan, itu berarti orang di dalam rumah sudah tahu aku akan datang, kata Erman dalam hati. Ada senyum puas di bibirnya. Ia senang menyadari bahwa orang takut padanya. Jam setengah enam sore, ketika Erman sudah menyalakan mesin motornya dan bersiap pergi, sebuah mobil hitam datang dan segera dibukakan gerbang oleh seorang penjaga. Mobil itu meluncur masuk ke area halaman rumah. Erman tahu itu mobil Jo. Mobil yang sama pernah membawa Jo serta Evi ke rumah kontrakan Ibu. Untuk hari ini sudah cukup dulu, pikir Erman. Ia akan mencari cara menembus ketatnya penjagaan dan tingginya tembok pagar villa. Tak lama kemudian motor Erman melaju cepat ke arah kota. Jo masuk ke dalam rumah dan tanpa ia duga, Evi menyambutnya di ruang tamu. Gadis itu mengambil tas di tangan Jo, juga membantu Jo membuka jas. "Kirain kamu gak kesini," kata Evi dengan senyum manis. "Aku bawa makanan, buat persediaan dua atau tiga hari ke depan." Jo melangkah masuk ke ruang tengah. Ia melihat Eda dan Ibu sedang menonton televisi, duduk di karpet bulu hijau yang tergelar. Eda hanya sekilas menatap Jo lalu kembali melihat televisi. Ibu menyapa sang boss dengan senyum lebar. "Sore, Nak Boss!" "Namaku Jo, Ibu." "Iya, Nak Boss Jo." Jo tertawa mendengar nama sapaannya yang jadi lebih panjang. "Ada yang Ibu butuhkan? Obat, misalnya?" tanya Jo sambil mendekati Ibu dan Eda. Lelaki itu melihat kemiripan wajah Evi dan Eda dengan tatapan kagum. Dua bidadari turun ke bumi, gumamnya dalam hati. "Iya, Nak Boss. Obat Ibu semua terbakar, gak ada yang bisa diambil. Ibu juga belum kontrol lagi ke rumah sakit," sahut Ibu. Evi yang sudah menaruh tas serta jas milik Jo di meja sudut ruang tengah cepat menghampiri mantan kliennya yang berdiri tegap di tengah ruangan. "Gak apa-apa, Jo. Ibu baik-baik saja." Evi mendekat lalu memberi kode pada Ibu dengan kedipan mata. Sayangnya, Jo melihat kode itu. "Besok kita periksakan Ibu ke rumah sakit." Jo duduk di sofa dekat Ibu. Evi menyajikan secangkir teh panas di hadapan Jo. "Kamu sudah makan?" tanya Evi. Jo menatap gadis itu seperti terpesona beberapa detik. Ia ingat Sandra. Jangankan memberi teh panas seperti ini, ada di rumah saat Jo pulang pun jarang, Sandra selalu sibuk berkegiatan di luar rumah. Teh, kopi dan makan malam Jo mutlak jadi urusan asisten rumah tangga. "Aku sudah makan," sahut Jo tanpa senyum. Ia menerima cangkir teh dari Evi. Gadis cantik itu duduk di sebelah Jo. "Eda masak sayur sop ayam dan tempe goreng. Kalau kau mau makan, nanti aku hangatkan makanannya." "Kedengarannya enak, tapi aku sudah makan. Aku kesini untuk memeriksa keamanan kalian saja. Di kulkas masih ada bahan makanan yang kemarin kita beli di mall, kan?" "Masih banyak, masih cukup." Evi mengangguk. Jo menatapnya sebentar. Ia merasakan getar aneh di dada setiap kali melihat Evi. Ia tidak tahu apa sebabnya dan perasaan apa itu. Jo belum pernah jatuh cinta. Ia adalah anak yang dibesarkan dengan harta berlimpah tapi tanpa kasih sayang. Papa bukan ayah tapi atasan yang harus dipatuhi bagi Jo kecil. Tidak pernah ada komunikasi bermutu diantara mereka. Sejak punya rekening bank, saldo milik Jo selalu banyak dan ia bisa beli apapun yang ia mau. Jo tidak ingin benda, ia ingin diperhatikan dan disayang. Mama ada di rumah bersama Jo si anak tunggal tapi selalu dalam keadaan sakit, sampai sekarang. Mama hanya terbaring di kamar setelah Papa berangkat ke kantor. Jika Papa ada di rumah, Mama berganti peran jadi pembantu. Papa tak henti memberi perintah dan jika Mama melakukan tidak sesuai dengan yang Papa inginkan, tubuh Mama akan menerima pu kul an. Jo tidak pernah melihat Mama menangis atau mengeluh, dan itu justru membuatnya ngeri. Pernikahannya dengan Sandra dua tahun lalu juga bukan karena ada cinta diantara mereka. Papa dan ayah Sandra membuat kesepakatan merger perusahaan dan entah siapa yang memulai, dua pengusaha besar itu melanjutkan kerjasama dengan menikahkan anak mereka. Jo tidak pernah membantah perintah Papa, termasuk perintah menikahi Sandra. Rumah tangganya bagaikan panggung drama, itu kenyataannya. Di setiap pesta atau event, Jo menggandeng Sandra dengan mesra. Di rumah, mereka tidak saling kenal. Sentuhan in tim sebagai suami istri pertama kali Jo lakukan pada Sandra ketika ia pulang mabuk dari sebuah pesta. Jo yakin Sandra yang menggodanya malam itu tapi Sandra tidak pernah mengaku. Saat ini ketika menatap Evi, Jo merasakan kehangatan di hatinya. Ada desakan rasa ingin memiliki yang mulai tidak bisa ia tahan. Rasa apa itu namanya? "Kenapa melotot begitu? Ada cabe di gigiku?" Evi tersenyum lebar, tangannya memukul pelan lengan Jo. Lelaki itu kaget dan gugup. "Gak apa-apa." "Erman tahu kami di sini, Jo," mata Evi pelan. Ibu sudah kembali menonton televisi, sepertinya tidak dengar obrolan Jo dan Evi. "Bagaimana bisa?" Jo kaget lagi. "Erman menelepon Ibu dan Ibu yang bilang sama dia." Jo tampak gusar. Ia menatap Evi seakan mendakwa bahwa gadis itu adalah orang paling bo* doh di dunia. "Matikan ponsel kalian dan ganti nomor! Aku akan belikan nomor baru! Kenapa ini gak terpikir sama kita? Dasar bo*doh!" "Aku gak sampai kepikiran kesitu, Jo! Aku masih shock karena kebakaran kemarin!" Evi tampak tersinggung mendengar makian Jo. Lelaki itu memang kasar dan jarang tersenyum, tapi Evi tahu Jo punya kepribadian yang hangat. "Sekarang juga, matikan ponselmu! Apa Mami Riska sudah menghubungimu juga?" "Belum." Tiba-tiba Jo berdiri. Lelaki berbahu bidang itu tidak menyembunyikan kegelisahannya mendengar Erman mengetahui keberadaan Evi sekarang. "Aku pergi dulu. Kalian jangan keluar dari rumah. Kalau perlu sesuatu, panggil Han atau Ris di gerbang depan." "Iya." Evi mengambilkan jas dan tas Jo lalu mengikuti langkahnya ke ruang depan. Mereka berdiri berhadapan, dekat, di ambang pintu. Jo menerima tas dan jas yang diberikan oleh Evi. Matanya tajam menatap gadis berambut panjang itu. "Untuk sementara kalian aman di sini selama kalian tidak muncul di luar. Aku akan cari tempat lain yang lebih aman nanti, agar Eda juga bisa cepat sekolah lagi. Jangan pernah berpikir untuk kembali pada Mami Riska." "Iya." "Kau milikku sekarang." Bukan main terkejut Evi mendengar ucapan itu. Ia mendongak dan membalas tatapan Jo yang terasa tembus ke hatinya. Evi merasa pipinya panas. Jo keluar rumah tanpa bicara apapun lagi. Evi masih termangu di pintu, ia melihat Jo bicara dengan Han, seorang sekuriti, sebelum masuk ke mobilnya. Perlahan Evi masuk kembali ke rumah dan menutup pintu. Ia berdiri bersandar ke daun pintu yang berukir indah. Tubuhnya seperti melayang mendengar ucapan terakhir Jo tadi. Apa maksud Jo berkata begitu. Ia milik Jo sekarang? Sebagai apa? Ya Tuhan, kenapa perasaan ini sangat indah? Evi berkata sendiri dalam hatinya. ***** Suasana rumah seperti biasa, sepi. Mobil Sandra ada di garasi tapi Jo belum bertemu dengannya sejak masuk rumah setengah jam lalu. Sopiah, asisten rumah tangga, menawarkan makan dan minum pada Jo. "Enggak, Bi. Aku sudah makan. Mana Sandra?" "Nyonya lagi arisan di gazebo kolam renang di belakang, Tuan." Oh, pantas suara perempuan itu tidak ada di dalam rumah. Jo melangkahkan kaki ke tempat yang disebut Sopiah tadi. Setelah melewati ruang bilyard di bagian belakang rumah, barulah terdengar gelak tawa banyak wanita dari arah kolam renang. Jo berdiri di ambang pintu kaca yang terbuka ke arah taman belakang. Ia melihat gazebo yang berada di tengah kolam renang berisi lima atau enam wanita cantik bergaya mewah. Teman-teman Sandra semua adalah wanita menjengkelkan, begitu pendapat Jo. Mereka selalu menatap Jo dengan pandangan kagum dan penuh naf su bahkan terang-terangan melakukannya di depan Sandra. Setiap kali bisa berdekatan dan menyapa Jo, para wanita jetset itu tidak hanya melakukannya dengan ucapan tapi juga dengan berbagai sentuhan menjijikkan. Sebelum rombongan sirkus itu melihatnya, Jo memilih pergi ke kamarnya saja. Ia mau istirahat sebentar. Di kamar mandi, sambil menyikat gigi, Jo termenung menatap cermin besar sepanjang tiga wastafel. Pikirannya melayang ke villa, pada Evi. Jo tidak bisa melarang otaknya berkhayal ia ada di dekat Evi selamanya, memiliki gadis itu hanya untuknya sendiri. Kelelakiannya bangkit ketika ia ingat Evi pernah tampil polos di hadapannya saat pertama kali mereka bertemu. Jo lelaki normal, melihat polah Evi saat itu ia hampir tidak bisa menahan diri. Untunglah perasaan indah yang ia rasakan sejak pertama melihat Evi bisa mencegahnya menyentuh gadis itu. Evi melongo heran saat itu, ketika Jo bilang ia membayar Evi bukan untuk teman tidur tapi untuk teman curhat. Senyum Jo terkembang. Ia merasa dirinya jadi lucu. Biasanya ia menerima tatapan kagum dari wanita. Siapa wanita yang bisa menolak pesonanya? Jonathan Setiadi, pewaris tunggal kerajaan bisnis PT. Setiadi. Tampan, berpendidikan tinggi, sukses, bertubuh sempurna, itulah dia. Sikapnya yang dibilang dingin, sombong dan cuek oleh orang-orang, justru semakin membuatnya menarik di mata wanita. Sepanjang hidup, Jo berada di lingkar pergaulan kalangan atas. Teman wanitanya tidak banyak, bisa dibilang tidak ada. Perkenalan Jo dengan Mami Riska terjadi di sebuah kafe ketika Jo mampir untuk sekedar minum kopi dan melepas bosan. Wanita cantik berusia lima puluhan itu mendekati Jo, mengajak berkenalan lalu menawarkan jasanya. Hingga akhirnya Jo bertemu Evi. Ah, gadis itu mulai menguasai pikiranku, kata Jo dalam hati. Ia takut perasaannya tidak bisa ia tahan lagi. Rasanya ia jadi gelisah terus sepanjang hari. Sambil berbaring di tempat tidur king size yang sepreinya harum, Jo meraih ponselnya. Ia mengetik pesan lalu ia kirim pada Sandra. [Kita sudahi sandiwara ini sekarang. Aku mau kita bercerai.]"Apa maksudmu kirim pesan begitu?" Pertanyaan Sandra dibarengi tatapan dingin wanita cantik itu tepat di mata Jo. Sang suami santai duduk bersandar ke tumpukan bantal, bahkan tidak melihat ke arah Sandra, sibuk dengan ponselnya. Geram bukan main hati Sandra melihat ulah suaminya itu. Setelah membaca pesan yang dikirim oleh Jo, Sandra meninggalkan teman-temannya begitu saja dan langsung mencari Jo. "Jelaskan, Jo!" pekik Sandra membahana. Jo baru melirik istrinya, membalas tatapan tajam Sandra padanya. "Apa itu masih kurang jelas? Aku mau bercerai. Itu saja maksudku." "Apa ini karena pe la cur itu?" Jo menegakkan duduk, ponselnya ia letakkan di nakas. "Kau selalu bilang begitu. Pe la cur mana yang kau maksud?" "Perempuan yang kau bawa ke kantor dan kau bilang itu sekretarismu, pengganti Liana!" Jo tahu yang dimaksud Sandra adalah Evi. "Dia wanita baik-baik, bukan pe la cur!" bentak Jo. Sandra malah jadi tambah murka. Ia tam par pipi kiri Jo. "Aku jadi makin yakin ini semua kar
Dua hari sekali Erman datang ke depan villa Jo di pinggiran kota, ia mengintai gerakan penghuni rumah. Sampai dua Minggu rutinitas itu ia lakukan, Erman tidak mendapat hasil apapun. Orang yang rutin datang dan pergi hanya Jo sendirian. Dua sekuriti penjaga gerbang bergantian shift, Erman kadang heran bagaimana bisa petugas keamanan itu tidak bosan menjaga rumah yang sepertinya kosong. Hari ini Erman tertawa puas melihat pemandangan yang tersaji di depan villa mewah itu. Ia melihat Evi dijemput Jo, berpakaian resmi kantoran. Eda juga keluar memakai seragam SMA. Jo dan Evi naik di mobil hitam dan Eda naik di mobil lain yang berwarna putih, sepertinya Eda dapat supir pribadi. Erman dan motornya mundur, ia mengamati dari seberang jalan, di balik sebuah pohon asam besar. Gerbang ditutup dan dikunci lagi oleh Ris, sang satpam. Erman memutar akal, ia harus bisa masuk ke rumah itu. Setelah semua pergi berarti hanya ada Ibu di dalam. Ibu selalu ada di pihaknya. Apapun yang Erman lakukan, Ibu
Pukul sebelas siang, menjelang istirahat, meja Evi didatangi tamu istimewa. Seorang pria tinggi besar berpakaian serba hitam muncul di hadapan Evi. "Nona Evita Maharani, anda diharapkan datang ke ruang CEO sekarang juga. Bawa semua barang milik anda," kata lelaki itu. Evi terpana kaget mendengar perintah itu. "Ada masalah apa?" "Nanti dijelaskan di ruang CEO bersama Pak Jonathan. Ayo." Tidak banyak barang yang dikemas oleh Evi karena ia baru delapan hari menghuni kubikelnya. Hanya satu dus kecil saja bawaannya. Ia melangkah mengikuti bodyguard yang menjemputnya. Evi menyeberangi koridor memasuki ruang berdinding kaca di depan ruang pegawai. Ia terus dipersilakan berjalan melintasi ruang tamu menuju sebuah ruang di sudut yang pintunya diberi tulisan nama Jonathan Setiadi. Membaca nama itu, ada yang bergetar dalam hati Evi. "Silakan masuk." Sang bodyguard membukakan pintu. Evi masuk ke ruang pimpinan untuk pertama kalinya. Ruang itu bernuansa hitam putih dan luas. Ada sepa
Apartemen tempat tinggal Erman sangat bagus bagi Ibu yang sejak kecil hidup susah. Pandangan matanya berkeliling mengamati keadaan sekitarnya. Perabot rumah Erman kelihatan mahal semua. Erman membantu Ibu duduk di sofa."Tante sudah makan?" tanya Erman sambil berjalan ke meja dapur."Sampai kapan kau panggil Ibu pakai sebutan Tante, Man?""Ya selamanya, lah! Memangnya aku harus panggil apa? Mbak?" Erman tersenyum lebar. Tangannya cekatan membuat teh panas."Panggil Ibu, Man."Erman tertawa ringan. Lelaki berambut panjang sebahu yang dikuncir satu itu menatap Ibu. Ia menghampiri Ibu di sofa sambil membawa dua gelas minuman. Satu gelas berisi teh panas ia letakkan di meja di depan Ibu. Satu lagi berisi minuman bersoda, ia teguk sampai tandas."Ibuku, oh, maksudku Mama, Mamaku sudah meninggal, Tante. Kita jujur saja, jangan saling berbohong.""Ibu selalu berdoa untukmu, Man.""Terima kasih. Sebaiknya doakan Evi saja, Tante. Dia sudah jauh tersesat. Evi pacaran sama suami orang!"Ibu meny
Eda menyentak lengan Erman yang mencekalnya. Gadis itu menatap Evi dan Erman bergantian."Cepat pilih, Da! Mau pulang sama aku dan ketemu Ibu atau ikut si Evi pulang ke rumah lelaki hidung belang itu!" Erman kembali memberi ultimatum."Sebenarnya ada apa sih, Mbak?" Eda mulai menangis. Ia bingung."Ikut aku, Eda. Kamu tahu siapa Erman, kan? Jangan ikut dia!" Evi berusaha meraih tangan Eda. Ia terkejut karena Eda menghindarinya."Jelaskan ada apa dengan Ibu, Mbak!"Evi menatap Jo sebentar. Jo terbatuk sebelum menjawab"Istriku mengusir ibumu. Dia salah paham dan mengira aku ada hubungan terlarang dengan Evi. Kebetulan Erman ada di sana saat kejadian dan membawa ibumu pulang ke apartemennya. Aku dan Evi akan menjemput Ibu kembali ke rumahku."Erman maju mendekati Jo. Matanya penuh amarah."Apa maksudmu? Kau mau ambil ibuku? Siapa kamu?""Ibumu layak dapat tempat yang lebih pantas. Aku masih ada rumah lain yang nyaman." Jo membalas tatap Erman."Enyahlah kau, hidung belang. Kamu belum bo
Suasana seketika hening. Evi menatap Erman seolah minta tolong. Setelah beberapa detik lewat, Erman menghampiri Ibu."Kok belum tidur, Tante?""Kalian ribut apa tadi? Kenapa sebut-sebut pe la cur? Siapa maksudnya?" Ibu menatap Erman."Itu, Tante, tetangga sebelah kelihatannya kaya raya banget padahal nyari uangnya pakai jual diri. Gitu.""Naudzubillah," bisik Ibu. Erman meraih kursi roda Ibu, memutarnya kembali ke arah kamar."Kalau sampai ada anak Tante uang ketahuan jual diri, gimana sikap Tante?" Erman bertanya sambil melirik dua gadis yang berdiri tegang berpelukan di dekat sofa. Wajah Evi pucat sekali."Ibu gak akan ngakuin anak lagi kalau sampai Evi atau Eda mengambil jalan itu," sahut Ibu dengan suara gemetar. Erman mengedipkan sebelah mata pada Evi sambil mendorong kursi roda Ibu kembali ke kamar. Lelaki itu ikut masuk.Eda mendorong tubuh Evi menjauh. Tatapannya aneh."Bang Erman bilang Mbak kerja jual diri," kata Eda pelan, takut Ibu dengar."Jangan percaya!" desis Evi. "Man
Kamar istirahatnya di tempat Riska belum diubah. Ranjang sempit berbau harum yang sangat ia benci masih ada di tengah ruangan, bersebelahan dengan nakas. Evi masuk ke ruangan itu diantar Riska."Bekerjalah semaksimal mungkin seperti biasanya dulu ya, Vi." Riska berdiri di ambang pintu sementara Evi masuk dan duduk di tepi tempat tidur. Kasur empuk itu adalah saksi bisu berapa ratus pria telah menyentuhnya. Kencan di kamar ini tarifnya delapan ratus ribu untuk satu jam. Itu tarif primadona. Jika level biasa, hanya lima ratus ribu saja.Jo tidak pernah masuk ke kamar ini, bisik hati Evi. Ia terpikir sesuatu. Ditatapnya wajah Riska."Mi, klien yang namanya Jonathan Setiadi pernah ke sini lagi selama aku gak ada?" tanya Evi. Riska menggeleng."Tidak. Dua hari yang lalu dia menelepon menanyakan apa kamu kesini. Karena kamu belum kesini, ya aku jawab apa adanya."Jo mencarinya. Ada rasa sejuk dalam hati Evi mengetahui hal itu. Entah rasa apa itu namanya."Kalau dia mau booking lagi, aku kas
"Tolong ya, Mi, kalau pak Salman itu cari aku lagi, bilang aja aku lagi sama tamu lain." Riska menghela napas panjang. Kalau Evi sudah ngambek begitu biasanya Riska mengalah dulu. Ia menebak apa yang terjadi antara Evi dan Salman. "Kenapa? Kamu gak kuat layanin dia?" "Salah satunya itu. Umurnya memang sudah tua, Mi, tapi tenaganya luar biasa. Aku gak sanggup. Terus, tadi dia maksa ngajak aku nikah. Gi la, kan?' Mata Riska melotot lebar. Dipukulnya pelan bahu Evi. "Serius kamu? Salman ngajak nikah?" "Iya. Aku tolak aja langsung." "Wah, wah, wah! Gak waras kamu, Vi! Kenapa kamu tolak? Salman itu pengusaha sukses! Aku kan sudah bilang dia itu konglomerat! Kalau dia serius ajak kamu nikah, itu anugerah, Vi!" "Jadi istri kedua, Mi! Istri yang disembunyikan!" "Sembunyi kek, terang-terangan kek! Buat perempuan kayak kamu, nikah sama klien tajir itu impian, Evi!" Evi cemberut. Ia tidak suka prinsipnya dicela oleh Riska. "Kalau aku nikah kan berarti aku gak kerja di Mami l
Ibu tertawa melihat isi piring besar yang disodorkan oleh Tini, asisten rumah tangga di rumah Jo. Sate ayam berlumur bumbu kacang pekat harum penuh di piring panjang itu."Silakan dimakan, Bu. Itu kata Pak Jo khusus buat Ibu saja." Tini tersenyum pada Ibu. "Boss Jo sampai hapal kesukaan Ibu, sate ayam!" Eda ikut tertawa melihat mata Ibu berbinar. "Awas makan kacang, ingat asam urat!""Saya pamit ke belakang dulu ya, Bu," kata Tini lagi."Silakan, Mbak. Terima kasih satenya!" Ibu mengangguk pada Tini.Tidak menunggu perintah lagi, Ibu dan Eda menyantap nasi hangat berlauk sate ayam kesukaan Ibu. "Boss Jo dan kakakmu belum bangun, Da?" tanya Ibu setelah menelan suapan pertamanya. Eda menggeleng."Ya belum keluar dari kamar lah, Bu. Namanya juga penganten baru!""Kayak ngerti saja kamu!""Tahu lah!"Sudah seminggu berlalu sejak pesta pernikahan sederhana digelar di rumah Jo. Evi sah jadi istrinya. Ibu dan Eda juga diboyong tinggal di rumah warisan dari ibunda Jo itu. Jo memastikan Ibu
Koridor menuju kamar jenazah Rumah Sakit Daerah lengang di sore hari. Evi tergopoh melangkah mengikuti seorang polisi. Administrasi pemulangan jenazah sedang diurus oleh Jo di kantor RSUD. Mereka juga masih perlu membereskan beberapa masalah di kantor polisi.Semalam terjadi kebakaran yang menghanguskan satu deret kamar kontrakan di daerah pinggir kota. Ditemukan tiga korban jiwa dalam satu unit kamar, semuanya diidentifikasi berjenis kelamin pria.Bahan bakar yang menjadi sebab kebakaran hanya disiramkan di dinding depan satu kamar, sumber nyala api, sedangkan bangunan lain hanya menerima rembetan api dan tidak seluruhnya hangus. Kamar sumber nyala api juga menyisakan dinding belakang yang tidak habis terbakar. Tiga korban jiwa ditemukan berpelukan di dalam kamar mandi, kondisi mereka mengalami luka bakar 80%.Polisi juga menemukan sebuah tas yang separuh dilalap api, di dalamnya ada sebuah dompet hampir meleleh yang berisi kartu identitas atas nama Erman Setiabudi, beralamat di ruma
Ketiga orang di dalam kamar gelap itu berhenti bicara ketika mereka mendengar bunyi langkah kaki yang ribut di luar. Banyak suara bisik-bisik dan mesin motor yang berhenti."Man, mereka datang, Man," bisik Doni.Erman dan Rere saling pandang di bawah lampu layar ponsel."Anak buah Gundul gak bisa diajak main-main, Man. Lu kenapa lari kesini, sih?" Kaki Doni menyepak paha Erman."Gua gak punya tempat lain buat dituju!" bentak Erman dalam bisikan."Dengar!" Rere memukul bahu Erman.Sepertinya kamar di kanan kiri terbuka dan ada suara orang berlari, beberapa pekikan kecil juga barang jatuh. Rere menebak penghuni kamar tetangga lari menyelamatkan diri. "Bagaimana kalau kita lari keluar? Kamar ini gak ada pintu belakangnya!" kata Erman."Mau lari lewat mana?" sahut Doni. "Lihat itu di bawah pintu!"Cahaya teras kamar yang terang menyinari kaki-kaki yang berdiri tepat di depan kamar Doni. Erman merasa dingin sekujur tubuhnya. Bagaimana cara lari dari sini?Gundul memberinya waktu seminggu
Wajah Ibu menampakkan kebahagiaan yang nyata. Wanita yang lebih banyak diam daripada bicara itu terus tersenyum saat Evi menjelaskan padanya bahwa mulai besok akan bekerja jadi staf kantor. Bukan pegawai biasa, malah, tapi sebagai kepala divisi."Siapa bossnya, Vi?" tanya Ibu. Evi menghela napas, melegakan dadanya yang sesak oleh bahagia."Perusahaannya milik Jo, Bu."Senyum Ibu sesaat hilang, tapi lalu muncul lagi. Ibu mengangguk-angguk pelan."Sepertinya persangkaan Ibu padanya selama ini salah. Semoga dia benar-benar orang baik.""Jo ingin bulan depan kami menikah."Mata Ibu sedikit melotot, kaget. Air mukanya berubah-ubah, antara senang dan sedih. Evi meraih tangan Ibu dan menggenggamnya."Jo dan aku saling mencintai, Bu. Kami tidak peduli pada masa lalu. Restui kami, Ibu.""Kau yakin, Vi? Ibu hanya khawatir kau cuma dia jadikan mainan, iseng sambil dia mencari yang lain. Ibu takut kau disakiti.""Semoga tidak, Bu. Aku bisa lihat dia sungguh serius pada janjinya.""Maafin ucapan I
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Ibu menyambut Eda pulang sekolah. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Eda langsung menuju meja makan. Ada semangkuk sup ayam dan perkedel kentang tersaji. Eda mengambil makanan lalu membawanya ke kamar."Ibu sudah makan?""Sudah. Kakakmu menelepon?""Mbak Evi? Tidak. Kemana dia?""Tadi perginya pamit mau ke apartemen ngambil perabot yang masih ada di sana. Kok belum balik lagi ya? Lama sekali.""Sekalian belanja kalik, Bu.""Iya mungkin." Ibu kelihatan tenang lagi. Eda makan di kamar sambil menemani ibu mengobrol.Ibu bahagia bukan kepalang sewaktu Evi mengajaknya pindah ke Lampung Pandansari. Apalagi ketika Evi berjanji akan memulai hidup baru dan meninggalkan pekerjaannya yang lama. Apalagi yang jadi doa Ibu selama ini kalau bukan kedua hal itu?"Ibu merasa Evi jadi begitu ya karena Ibu juga, Da. Ibu jadi beban kakakmu. Untungnya Evi itu pekerja keras, dia gak pernah ngeluh.""Aku juga ngerasa bersalah sama Mbak Evi, Bu. Aku banyak permintaan. Gak mau bantuin dia kerja."Ibu me
Status Jo sekarang adalah pengangguran. Ia benar-benar tidak punya pekerjaan. Sejak diusir dari kantor, Jo belum pulang ke rumah. Ia ingin bertemu Mamanya sebentar tapi takut jika terpergok Papa. Hanya dua hari ia menumpang tidur di apartemen Evi lalu keliling kota mencari rumah kontrakan.Jo membayar uang kontrakan selama setahun ke depan secara cash. Uang tabungannya masih banyak sekali. Namun begitu, Jo tetap harus bekerja karena suatu hari nanti uang tabungannya akan habis. Apa yang bisa Jo kerjakan? Ia hanya punya pengalaman jadi Boss saja, tidak pernah bekerja dengan otot.Rumah kontrakannya yang baru berupa sebuah rumah satu kamar yang mungil. Harga sewanya lumayan tinggi. Jo berhitung, andai ia hanya mengandalkan tabungan saja tanpa menambah saldo, rekeningnya akan jadi nol dalam waktu dua tahun. Untuk itulah Jo harus bekerja.Pikiran Jo masih tertambat pada Evi. Ia masih mencarinya dengan berbagai cara, sampai dengan mengintai rumah Mami Riska sepanjang hari tapi tetap nihil
"Apa maksud kalian? Siapa yang menyuruhku pergi?" Jo bangun dari tempatnya duduk di balik meja kerja. Para bodyguard menentang tatapan mata Jo tanpa gentar."Atasan kami, pak Salman Setiadi memerintahkan demikian, Pak Jonathan. Anda diberi waktu satu jam dari sekarang untuk berkemas. Ini surat pemecatan anda." Sebuah amplop putih panjang dengan kop surat nama perusahaan induk tertera diletakkan di meja kerja. Jo menatap surat itu. Dia dipecat oleh ayah sendiri. Lucu sekali hidup ini."Tolong sampaikan pada Papa, saya ....""Kami tidak diperintah untuk menyampaikan pesan balik, Pak Jonathan. Kami ada di sini untuk memastikan Anda berkemas dengan baik tanpa ada barang tertinggal." Si kepala bodyguard memutus ucapan Jo."Dimana Papa sekarang? Antar saya ke sana.""Silakan berkemas saja dan pergi, Pak Jonathan."Ini keterlaluan, gumam Jo dalam batin. Apa ini semua karena Evi? Bagaimana bisa seorang ayah memecat anak sendiri hanya karena rebutan wanita! Jo bergerak maju tanpa permisi pada