Share

10. Perasaan yang menyiksa

Rumah yang disebut villa peristirahatan itu terlihat biasa saja dari luar. Bentuk bangunannya juga biasa saja, seperti umumnya rumah dua lantai. Penyejuk mata berupa taman depan yang hijau sangat segar dan asri, ditata oleh orang yang paham pertamanan.

Hal yang menonjol dari rumah yang katanya kosong itu adalah adanya dua petugas sekuriti di pos gerbangnya. Erman menyadari itu. Buat apa sekuriti berjaga di rumah kosong? Mungkin karena di dalamnya banyak barang berharga, si pemilik rumah itu adalah pengusaha sukses. Erman tahu, barang berharga yang dijaga itu bukan berupa berlian atau guci antik, tapi seorang primadona lokalisasi beserta ibu dan adiknya.

Erman mencari cara masuk ke rumah itu tanpa harus berurusan dengan para penjaga. Ia sudah memutari rumah dan melihat sendiri bahwa rumah itu dikelilingi tembok setinggi tiga meter dengan kawat berduri di atasnya, ada juga papan bertuliskan warning, kawat diatas tembok itu dialiri listrik. Seperti kamp militer, pikir Erman.

Sejak siang, Erman duduk di jok motornya, di seberang villa milik Jo. Susah payah Erman membaca peta agar sampai ke villa mewah itu. Letaknya di pinggir kota, dekat dengan pantai. Hanya ada tiga villa lain yang berada di satu area, semuanya tampak kosong tak berpenghuni.

Ibu dengan jujur memberitahu bahwa ia dan kedua putrinya ada di rumah boss Jo saat Erman meneleponnya. Walaupun Ibu tidak tahu dimana alamat rumah itu, mudah bagi Erman untuk mencari tahu, bahkan lengkap dengan nomor telepon Jo. Mami Riska yang memberi tahu pada Erman. Rupanya Jo juga pernah membawa satu gadis Mami Riska selain Evi ke villanya itu. Kebijakan peraturan Mami Riska bagi klien adalah kewajiban memberitahu alamat kemana klien membawa gadisnya. Alasan Mami adalah untuk menjaga keselamatan anak buah.

Apakah aku perlu menelepon Jo? Pikir Erman. Mungkin ia bisa mengintimidasi pengusaha sukses itu untuk menukar Evi dan keluarganya dengan sejumlah uang. Kepala Erman menyusun berbagai strategi dan resikonya. Ia tadi sempat membujuk Ibu di telepon, ia bilang sangat rindu pada Ibu, juga rindu pada Evi dan Eda. Erman memohon pada Ibu untuk membawa kedua gadis itu ikut dengannya di apartemen. Ibu menolak.

Jo memasang sekuriti bertubuh kekar di depan, itu berarti orang di dalam rumah sudah tahu aku akan datang, kata Erman dalam hati. Ada senyum puas di bibirnya. Ia senang menyadari bahwa orang takut padanya.

Jam setengah enam sore, ketika Erman sudah menyalakan mesin motornya dan bersiap pergi, sebuah mobil hitam datang dan segera dibukakan gerbang oleh seorang penjaga. Mobil itu meluncur masuk ke area halaman rumah. Erman tahu itu mobil Jo. Mobil yang sama pernah membawa Jo serta Evi ke rumah kontrakan Ibu.

Untuk hari ini sudah cukup dulu, pikir Erman. Ia akan mencari cara menembus ketatnya penjagaan dan tingginya tembok pagar villa. Tak lama kemudian motor Erman melaju cepat ke arah kota.

Jo masuk ke dalam rumah dan tanpa ia duga, Evi menyambutnya di ruang tamu. Gadis itu mengambil tas di tangan Jo, juga membantu Jo membuka jas.

"Kirain kamu gak kesini," kata Evi dengan senyum manis.

"Aku bawa makanan, buat persediaan dua atau tiga hari ke depan." Jo melangkah masuk ke ruang tengah. Ia melihat Eda dan Ibu sedang menonton televisi, duduk di karpet bulu hijau yang tergelar. Eda hanya sekilas menatap Jo lalu kembali melihat televisi. Ibu menyapa sang boss dengan senyum lebar.

"Sore, Nak Boss!"

"Namaku Jo, Ibu."

"Iya, Nak Boss Jo."

Jo tertawa mendengar nama sapaannya yang jadi lebih panjang.

"Ada yang Ibu butuhkan? Obat, misalnya?" tanya Jo sambil mendekati Ibu dan Eda. Lelaki itu melihat kemiripan wajah Evi dan Eda dengan tatapan kagum. Dua bidadari turun ke bumi, gumamnya dalam hati.

"Iya, Nak Boss. Obat Ibu semua terbakar, gak ada yang bisa diambil. Ibu juga belum kontrol lagi ke rumah sakit," sahut Ibu. Evi yang sudah menaruh tas serta jas milik Jo di meja sudut ruang tengah cepat menghampiri mantan kliennya yang berdiri tegap di tengah ruangan.

"Gak apa-apa, Jo. Ibu baik-baik saja." Evi mendekat lalu memberi kode pada Ibu dengan kedipan mata. Sayangnya, Jo melihat kode itu.

"Besok kita periksakan Ibu ke rumah sakit." Jo duduk di sofa dekat Ibu. Evi menyajikan secangkir teh panas di hadapan Jo.

"Kamu sudah makan?" tanya Evi. Jo menatap gadis itu seperti terpesona beberapa detik. Ia ingat Sandra. Jangankan memberi teh panas seperti ini, ada di rumah saat Jo pulang pun jarang, Sandra selalu sibuk berkegiatan di luar rumah. Teh, kopi dan makan malam Jo mutlak jadi urusan asisten rumah tangga.

"Aku sudah makan," sahut Jo tanpa senyum. Ia menerima cangkir teh dari Evi. Gadis cantik itu duduk di sebelah Jo.

"Eda masak sayur sop ayam dan tempe goreng. Kalau kau mau makan, nanti aku hangatkan makanannya."

"Kedengarannya enak, tapi aku sudah makan. Aku kesini untuk memeriksa keamanan kalian saja. Di kulkas masih ada bahan makanan yang kemarin kita beli di mall, kan?"

"Masih banyak, masih cukup." Evi mengangguk. Jo menatapnya sebentar. Ia merasakan getar aneh di dada setiap kali melihat Evi. Ia tidak tahu apa sebabnya dan perasaan apa itu.

Jo belum pernah jatuh cinta. Ia adalah anak yang dibesarkan dengan harta berlimpah tapi tanpa kasih sayang. Papa bukan ayah tapi atasan yang harus dipatuhi bagi Jo kecil. Tidak pernah ada komunikasi bermutu diantara mereka. Sejak punya rekening bank, saldo milik Jo selalu banyak dan ia bisa beli apapun yang ia mau. Jo tidak ingin benda, ia ingin diperhatikan dan disayang.

Mama ada di rumah bersama Jo si anak tunggal tapi selalu dalam keadaan sakit, sampai sekarang. Mama hanya terbaring di kamar setelah Papa berangkat ke kantor. Jika Papa ada di rumah, Mama berganti peran jadi pembantu. Papa tak henti memberi perintah dan jika Mama melakukan tidak sesuai dengan yang Papa inginkan, tubuh Mama akan menerima pu kul an. Jo tidak pernah melihat Mama menangis atau mengeluh, dan itu justru membuatnya ngeri.

Pernikahannya dengan Sandra dua tahun lalu juga bukan karena ada cinta diantara mereka. Papa dan ayah Sandra membuat kesepakatan merger perusahaan dan entah siapa yang memulai, dua pengusaha besar itu melanjutkan kerjasama dengan menikahkan anak mereka. Jo tidak pernah membantah perintah Papa, termasuk perintah menikahi Sandra.

Rumah tangganya bagaikan panggung drama, itu kenyataannya. Di setiap pesta atau event, Jo menggandeng Sandra dengan mesra. Di rumah, mereka tidak saling kenal. Sentuhan in tim sebagai suami istri pertama kali Jo lakukan pada Sandra ketika ia pulang mabuk dari sebuah pesta. Jo yakin Sandra yang menggodanya malam itu tapi Sandra tidak pernah mengaku.

Saat ini ketika menatap Evi, Jo merasakan kehangatan di hatinya. Ada desakan rasa ingin memiliki yang mulai tidak bisa ia tahan. Rasa apa itu namanya?

"Kenapa melotot begitu? Ada cabe di gigiku?" Evi tersenyum lebar, tangannya memukul pelan lengan Jo. Lelaki itu kaget dan gugup.

"Gak apa-apa."

"Erman tahu kami di sini, Jo," mata Evi pelan. Ibu sudah kembali menonton televisi, sepertinya tidak dengar obrolan Jo dan Evi.

"Bagaimana bisa?" Jo kaget lagi.

"Erman menelepon Ibu dan Ibu yang bilang sama dia."

Jo tampak gusar. Ia menatap Evi seakan mendakwa bahwa gadis itu adalah orang paling bo* doh di dunia.

"Matikan ponsel kalian dan ganti nomor! Aku akan belikan nomor baru! Kenapa ini gak terpikir sama kita? Dasar bo*doh!"

"Aku gak sampai kepikiran kesitu, Jo! Aku masih shock karena kebakaran kemarin!" Evi tampak tersinggung mendengar makian Jo. Lelaki itu memang kasar dan jarang tersenyum, tapi Evi tahu Jo punya kepribadian yang hangat.

"Sekarang juga, matikan ponselmu! Apa Mami Riska sudah menghubungimu juga?"

"Belum."

Tiba-tiba Jo berdiri. Lelaki berbahu bidang itu tidak menyembunyikan kegelisahannya mendengar Erman mengetahui keberadaan Evi sekarang.

"Aku pergi dulu. Kalian jangan keluar dari rumah. Kalau perlu sesuatu, panggil Han atau Ris di gerbang depan."

"Iya."

Evi mengambilkan jas dan tas Jo lalu mengikuti langkahnya ke ruang depan. Mereka berdiri berhadapan, dekat, di ambang pintu. Jo menerima tas dan jas yang diberikan oleh Evi. Matanya tajam menatap gadis berambut panjang itu.

"Untuk sementara kalian aman di sini selama kalian tidak muncul di luar. Aku akan cari tempat lain yang lebih aman nanti, agar Eda juga bisa cepat sekolah lagi. Jangan pernah berpikir untuk kembali pada Mami Riska."

"Iya."

"Kau milikku sekarang."

Bukan main terkejut Evi mendengar ucapan itu. Ia mendongak dan membalas tatapan Jo yang terasa tembus ke hatinya. Evi merasa pipinya panas. Jo keluar rumah tanpa bicara apapun lagi. Evi masih termangu di pintu, ia melihat Jo bicara dengan Han, seorang sekuriti, sebelum masuk ke mobilnya.

Perlahan Evi masuk kembali ke rumah dan menutup pintu. Ia berdiri bersandar ke daun pintu yang berukir indah. Tubuhnya seperti melayang mendengar ucapan terakhir Jo tadi.

Apa maksud Jo berkata begitu. Ia milik Jo sekarang? Sebagai apa?

Ya Tuhan, kenapa perasaan ini sangat indah? Evi berkata sendiri dalam hatinya.

*****

Suasana rumah seperti biasa, sepi. Mobil Sandra ada di garasi tapi Jo belum bertemu dengannya sejak masuk rumah setengah jam lalu. Sopiah, asisten rumah tangga, menawarkan makan dan minum pada Jo.

"Enggak, Bi. Aku sudah makan. Mana Sandra?"

"Nyonya lagi arisan di gazebo kolam renang di belakang, Tuan."

Oh, pantas suara perempuan itu tidak ada di dalam rumah. Jo melangkahkan kaki ke tempat yang disebut Sopiah tadi. Setelah melewati ruang bilyard di bagian belakang rumah, barulah terdengar gelak tawa banyak wanita dari arah kolam renang.

Jo berdiri di ambang pintu kaca yang terbuka ke arah taman belakang. Ia melihat gazebo yang berada di tengah kolam renang berisi lima atau enam wanita cantik bergaya mewah. Teman-teman Sandra semua adalah wanita menjengkelkan, begitu pendapat Jo. Mereka selalu menatap Jo dengan pandangan kagum dan penuh naf su bahkan terang-terangan melakukannya di depan Sandra. Setiap kali bisa berdekatan dan menyapa Jo, para wanita jetset itu tidak hanya melakukannya dengan ucapan tapi juga dengan berbagai sentuhan menjijikkan.

Sebelum rombongan sirkus itu melihatnya, Jo memilih pergi ke kamarnya saja. Ia mau istirahat sebentar.

Di kamar mandi, sambil menyikat gigi, Jo termenung menatap cermin besar sepanjang tiga wastafel. Pikirannya melayang ke villa, pada Evi. Jo tidak bisa melarang otaknya berkhayal ia ada di dekat Evi selamanya, memiliki gadis itu hanya untuknya sendiri. Kelelakiannya bangkit ketika ia ingat Evi pernah tampil polos di hadapannya saat pertama kali mereka bertemu. Jo lelaki normal, melihat polah Evi saat itu ia hampir tidak bisa menahan diri. Untunglah perasaan indah yang ia rasakan sejak pertama melihat Evi bisa mencegahnya menyentuh gadis itu.

Evi melongo heran saat itu, ketika Jo bilang ia membayar Evi bukan untuk teman tidur tapi untuk teman curhat.

Senyum Jo terkembang. Ia merasa dirinya jadi lucu. Biasanya ia menerima tatapan kagum dari wanita. Siapa wanita yang bisa menolak pesonanya? Jonathan Setiadi, pewaris tunggal kerajaan bisnis PT. Setiadi. Tampan, berpendidikan tinggi, sukses, bertubuh sempurna, itulah dia. Sikapnya yang dibilang dingin, sombong dan cuek oleh orang-orang, justru semakin membuatnya menarik di mata wanita. Sepanjang hidup, Jo berada di lingkar pergaulan kalangan atas. Teman wanitanya tidak banyak, bisa dibilang tidak ada.

Perkenalan Jo dengan Mami Riska terjadi di sebuah kafe ketika Jo mampir untuk sekedar minum kopi dan melepas bosan. Wanita cantik berusia lima puluhan itu mendekati Jo, mengajak berkenalan lalu menawarkan jasanya.

Hingga akhirnya Jo bertemu Evi. Ah, gadis itu mulai menguasai pikiranku, kata Jo dalam hati. Ia takut perasaannya tidak bisa ia tahan lagi. Rasanya ia jadi gelisah terus sepanjang hari.

Sambil berbaring di tempat tidur king size yang sepreinya harum, Jo meraih ponselnya. Ia mengetik pesan lalu ia kirim pada Sandra.

[Kita sudahi sandiwara ini sekarang. Aku mau kita bercerai.]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status