Pukul sebelas siang, menjelang istirahat, meja Evi didatangi tamu istimewa. Seorang pria tinggi besar berpakaian serba hitam muncul di hadapan Evi. "Nona Evita Maharani, anda diharapkan datang ke ruang CEO sekarang juga. Bawa semua barang milik anda," kata lelaki itu. Evi terpana kaget mendengar perintah itu. "Ada masalah apa?" "Nanti dijelaskan di ruang CEO bersama Pak Jonathan. Ayo." Tidak banyak barang yang dikemas oleh Evi karena ia baru delapan hari menghuni kubikelnya. Hanya satu dus kecil saja bawaannya. Ia melangkah mengikuti bodyguard yang menjemputnya. Evi menyeberangi koridor memasuki ruang berdinding kaca di depan ruang pegawai. Ia terus dipersilakan berjalan melintasi ruang tamu menuju sebuah ruang di sudut yang pintunya diberi tulisan nama Jonathan Setiadi. Membaca nama itu, ada yang bergetar dalam hati Evi. "Silakan masuk." Sang bodyguard membukakan pintu. Evi masuk ke ruang pimpinan untuk pertama kalinya. Ruang itu bernuansa hitam putih dan luas. Ada sepa
Apartemen tempat tinggal Erman sangat bagus bagi Ibu yang sejak kecil hidup susah. Pandangan matanya berkeliling mengamati keadaan sekitarnya. Perabot rumah Erman kelihatan mahal semua. Erman membantu Ibu duduk di sofa."Tante sudah makan?" tanya Erman sambil berjalan ke meja dapur."Sampai kapan kau panggil Ibu pakai sebutan Tante, Man?""Ya selamanya, lah! Memangnya aku harus panggil apa? Mbak?" Erman tersenyum lebar. Tangannya cekatan membuat teh panas."Panggil Ibu, Man."Erman tertawa ringan. Lelaki berambut panjang sebahu yang dikuncir satu itu menatap Ibu. Ia menghampiri Ibu di sofa sambil membawa dua gelas minuman. Satu gelas berisi teh panas ia letakkan di meja di depan Ibu. Satu lagi berisi minuman bersoda, ia teguk sampai tandas."Ibuku, oh, maksudku Mama, Mamaku sudah meninggal, Tante. Kita jujur saja, jangan saling berbohong.""Ibu selalu berdoa untukmu, Man.""Terima kasih. Sebaiknya doakan Evi saja, Tante. Dia sudah jauh tersesat. Evi pacaran sama suami orang!"Ibu meny
Eda menyentak lengan Erman yang mencekalnya. Gadis itu menatap Evi dan Erman bergantian."Cepat pilih, Da! Mau pulang sama aku dan ketemu Ibu atau ikut si Evi pulang ke rumah lelaki hidung belang itu!" Erman kembali memberi ultimatum."Sebenarnya ada apa sih, Mbak?" Eda mulai menangis. Ia bingung."Ikut aku, Eda. Kamu tahu siapa Erman, kan? Jangan ikut dia!" Evi berusaha meraih tangan Eda. Ia terkejut karena Eda menghindarinya."Jelaskan ada apa dengan Ibu, Mbak!"Evi menatap Jo sebentar. Jo terbatuk sebelum menjawab"Istriku mengusir ibumu. Dia salah paham dan mengira aku ada hubungan terlarang dengan Evi. Kebetulan Erman ada di sana saat kejadian dan membawa ibumu pulang ke apartemennya. Aku dan Evi akan menjemput Ibu kembali ke rumahku."Erman maju mendekati Jo. Matanya penuh amarah."Apa maksudmu? Kau mau ambil ibuku? Siapa kamu?""Ibumu layak dapat tempat yang lebih pantas. Aku masih ada rumah lain yang nyaman." Jo membalas tatap Erman."Enyahlah kau, hidung belang. Kamu belum bo
Suasana seketika hening. Evi menatap Erman seolah minta tolong. Setelah beberapa detik lewat, Erman menghampiri Ibu."Kok belum tidur, Tante?""Kalian ribut apa tadi? Kenapa sebut-sebut pe la cur? Siapa maksudnya?" Ibu menatap Erman."Itu, Tante, tetangga sebelah kelihatannya kaya raya banget padahal nyari uangnya pakai jual diri. Gitu.""Naudzubillah," bisik Ibu. Erman meraih kursi roda Ibu, memutarnya kembali ke arah kamar."Kalau sampai ada anak Tante uang ketahuan jual diri, gimana sikap Tante?" Erman bertanya sambil melirik dua gadis yang berdiri tegang berpelukan di dekat sofa. Wajah Evi pucat sekali."Ibu gak akan ngakuin anak lagi kalau sampai Evi atau Eda mengambil jalan itu," sahut Ibu dengan suara gemetar. Erman mengedipkan sebelah mata pada Evi sambil mendorong kursi roda Ibu kembali ke kamar. Lelaki itu ikut masuk.Eda mendorong tubuh Evi menjauh. Tatapannya aneh."Bang Erman bilang Mbak kerja jual diri," kata Eda pelan, takut Ibu dengar."Jangan percaya!" desis Evi. "Man
Kamar istirahatnya di tempat Riska belum diubah. Ranjang sempit berbau harum yang sangat ia benci masih ada di tengah ruangan, bersebelahan dengan nakas. Evi masuk ke ruangan itu diantar Riska."Bekerjalah semaksimal mungkin seperti biasanya dulu ya, Vi." Riska berdiri di ambang pintu sementara Evi masuk dan duduk di tepi tempat tidur. Kasur empuk itu adalah saksi bisu berapa ratus pria telah menyentuhnya. Kencan di kamar ini tarifnya delapan ratus ribu untuk satu jam. Itu tarif primadona. Jika level biasa, hanya lima ratus ribu saja.Jo tidak pernah masuk ke kamar ini, bisik hati Evi. Ia terpikir sesuatu. Ditatapnya wajah Riska."Mi, klien yang namanya Jonathan Setiadi pernah ke sini lagi selama aku gak ada?" tanya Evi. Riska menggeleng."Tidak. Dua hari yang lalu dia menelepon menanyakan apa kamu kesini. Karena kamu belum kesini, ya aku jawab apa adanya."Jo mencarinya. Ada rasa sejuk dalam hati Evi mengetahui hal itu. Entah rasa apa itu namanya."Kalau dia mau booking lagi, aku kas
"Tolong ya, Mi, kalau pak Salman itu cari aku lagi, bilang aja aku lagi sama tamu lain." Riska menghela napas panjang. Kalau Evi sudah ngambek begitu biasanya Riska mengalah dulu. Ia menebak apa yang terjadi antara Evi dan Salman. "Kenapa? Kamu gak kuat layanin dia?" "Salah satunya itu. Umurnya memang sudah tua, Mi, tapi tenaganya luar biasa. Aku gak sanggup. Terus, tadi dia maksa ngajak aku nikah. Gi la, kan?' Mata Riska melotot lebar. Dipukulnya pelan bahu Evi. "Serius kamu? Salman ngajak nikah?" "Iya. Aku tolak aja langsung." "Wah, wah, wah! Gak waras kamu, Vi! Kenapa kamu tolak? Salman itu pengusaha sukses! Aku kan sudah bilang dia itu konglomerat! Kalau dia serius ajak kamu nikah, itu anugerah, Vi!" "Jadi istri kedua, Mi! Istri yang disembunyikan!" "Sembunyi kek, terang-terangan kek! Buat perempuan kayak kamu, nikah sama klien tajir itu impian, Evi!" Evi cemberut. Ia tidak suka prinsipnya dicela oleh Riska. "Kalau aku nikah kan berarti aku gak kerja di Mami l
Andai Evi bisa lihat bayangan wajahnya sendiri di cermin saat itu, ia pasti akan ketakutan. Matanya melotot bulat dan mulutnya terbuka lebar, ia sangat terkejut.Ibu masih menatapnya, jelas melihat perubahan ekspresi Evi itu. Si anak gadis gugup sekali dan berusaha menutupinya dengan senyum yang dipaksakan."Si-siapa yang bilang gitu, Bu? Itu ... Jahat sekali!""Lelaki yang seret Ibu keluar yang pertama bilang begitu. Dia datangi Ibu di kamar terus bilang bahwa Ibu gak berhak tinggal di rumah boss Jo itu. Dia bilang, kamu adalah wanita panggilan langganan boss Jo dan selingkuhannya. Si orang gede tinggi itu suruhan Nyonya Sandra, istri boss Jo. Apa maksud semua itu, Vi? Coba jelaskan."Evi menunduk. Ia tidak sanggup menentang pandang Ibu. Apakah ini waktu yang tepat untuk bercerita tentang semuanya pada Ibu? Di saat itu terdengar suara batuk dari ruang tamu, Jo memberi kode. Evi lupa ada tamu di depan!"Aku akan jelaskan, Ibu. Semua itu tidak benar. Di depan ada Jo, Bu. Dia mau ketemu
Jam dua dinihari, Erman berjalan terhuyung menuju apartemennya, nomor 15 di lantai 3. Walau sedang tidak sepenuhnya sadar, Erman hapal jalan mana yang harus ia tempuh sampai ke pintu tempat tinggalnya.Itu dia nomor 15. Erman menekan tombol kode kunci pintu. Satu kali, gagal. Dua kali juga gagal. Erman mulai kesal dibuatnya. Kepalanya sudah pusing sekali dan ia ingin berbaring, kenapa pintu apartemennya tidak bisa dibuka? Apa dia lupa kodenya?Lelaki yang sedang mabuk itu mulai menggedor pintu dan berteriak. Erman memanggil nama Evi.Di dalam, di ruang tamu, Evi berdiri dan bersikap siaga. Sepertinya usahanya berhasil. Erman tidak bisa masuk. Tadi sore Evi mengganti kode kunci pintu. Ia mendapatkan ide itu mendadak saat sedang bersama Eda dan Ibu. Evi tidak takut andaikan nanti Erman memanggil pengawas apartemen dan mengadukannya. Apartemen itu disewa atas nama Evi dan pembayarannya juga didebit langsung dari rekening Evi. Erman tidak ada andil apapun dalam soal apartemen itu.Evi kem
Ibu tertawa melihat isi piring besar yang disodorkan oleh Tini, asisten rumah tangga di rumah Jo. Sate ayam berlumur bumbu kacang pekat harum penuh di piring panjang itu."Silakan dimakan, Bu. Itu kata Pak Jo khusus buat Ibu saja." Tini tersenyum pada Ibu. "Boss Jo sampai hapal kesukaan Ibu, sate ayam!" Eda ikut tertawa melihat mata Ibu berbinar. "Awas makan kacang, ingat asam urat!""Saya pamit ke belakang dulu ya, Bu," kata Tini lagi."Silakan, Mbak. Terima kasih satenya!" Ibu mengangguk pada Tini.Tidak menunggu perintah lagi, Ibu dan Eda menyantap nasi hangat berlauk sate ayam kesukaan Ibu. "Boss Jo dan kakakmu belum bangun, Da?" tanya Ibu setelah menelan suapan pertamanya. Eda menggeleng."Ya belum keluar dari kamar lah, Bu. Namanya juga penganten baru!""Kayak ngerti saja kamu!""Tahu lah!"Sudah seminggu berlalu sejak pesta pernikahan sederhana digelar di rumah Jo. Evi sah jadi istrinya. Ibu dan Eda juga diboyong tinggal di rumah warisan dari ibunda Jo itu. Jo memastikan Ibu
Koridor menuju kamar jenazah Rumah Sakit Daerah lengang di sore hari. Evi tergopoh melangkah mengikuti seorang polisi. Administrasi pemulangan jenazah sedang diurus oleh Jo di kantor RSUD. Mereka juga masih perlu membereskan beberapa masalah di kantor polisi.Semalam terjadi kebakaran yang menghanguskan satu deret kamar kontrakan di daerah pinggir kota. Ditemukan tiga korban jiwa dalam satu unit kamar, semuanya diidentifikasi berjenis kelamin pria.Bahan bakar yang menjadi sebab kebakaran hanya disiramkan di dinding depan satu kamar, sumber nyala api, sedangkan bangunan lain hanya menerima rembetan api dan tidak seluruhnya hangus. Kamar sumber nyala api juga menyisakan dinding belakang yang tidak habis terbakar. Tiga korban jiwa ditemukan berpelukan di dalam kamar mandi, kondisi mereka mengalami luka bakar 80%.Polisi juga menemukan sebuah tas yang separuh dilalap api, di dalamnya ada sebuah dompet hampir meleleh yang berisi kartu identitas atas nama Erman Setiabudi, beralamat di ruma
Ketiga orang di dalam kamar gelap itu berhenti bicara ketika mereka mendengar bunyi langkah kaki yang ribut di luar. Banyak suara bisik-bisik dan mesin motor yang berhenti."Man, mereka datang, Man," bisik Doni.Erman dan Rere saling pandang di bawah lampu layar ponsel."Anak buah Gundul gak bisa diajak main-main, Man. Lu kenapa lari kesini, sih?" Kaki Doni menyepak paha Erman."Gua gak punya tempat lain buat dituju!" bentak Erman dalam bisikan."Dengar!" Rere memukul bahu Erman.Sepertinya kamar di kanan kiri terbuka dan ada suara orang berlari, beberapa pekikan kecil juga barang jatuh. Rere menebak penghuni kamar tetangga lari menyelamatkan diri. "Bagaimana kalau kita lari keluar? Kamar ini gak ada pintu belakangnya!" kata Erman."Mau lari lewat mana?" sahut Doni. "Lihat itu di bawah pintu!"Cahaya teras kamar yang terang menyinari kaki-kaki yang berdiri tepat di depan kamar Doni. Erman merasa dingin sekujur tubuhnya. Bagaimana cara lari dari sini?Gundul memberinya waktu seminggu
Wajah Ibu menampakkan kebahagiaan yang nyata. Wanita yang lebih banyak diam daripada bicara itu terus tersenyum saat Evi menjelaskan padanya bahwa mulai besok akan bekerja jadi staf kantor. Bukan pegawai biasa, malah, tapi sebagai kepala divisi."Siapa bossnya, Vi?" tanya Ibu. Evi menghela napas, melegakan dadanya yang sesak oleh bahagia."Perusahaannya milik Jo, Bu."Senyum Ibu sesaat hilang, tapi lalu muncul lagi. Ibu mengangguk-angguk pelan."Sepertinya persangkaan Ibu padanya selama ini salah. Semoga dia benar-benar orang baik.""Jo ingin bulan depan kami menikah."Mata Ibu sedikit melotot, kaget. Air mukanya berubah-ubah, antara senang dan sedih. Evi meraih tangan Ibu dan menggenggamnya."Jo dan aku saling mencintai, Bu. Kami tidak peduli pada masa lalu. Restui kami, Ibu.""Kau yakin, Vi? Ibu hanya khawatir kau cuma dia jadikan mainan, iseng sambil dia mencari yang lain. Ibu takut kau disakiti.""Semoga tidak, Bu. Aku bisa lihat dia sungguh serius pada janjinya.""Maafin ucapan I
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Ibu menyambut Eda pulang sekolah. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Eda langsung menuju meja makan. Ada semangkuk sup ayam dan perkedel kentang tersaji. Eda mengambil makanan lalu membawanya ke kamar."Ibu sudah makan?""Sudah. Kakakmu menelepon?""Mbak Evi? Tidak. Kemana dia?""Tadi perginya pamit mau ke apartemen ngambil perabot yang masih ada di sana. Kok belum balik lagi ya? Lama sekali.""Sekalian belanja kalik, Bu.""Iya mungkin." Ibu kelihatan tenang lagi. Eda makan di kamar sambil menemani ibu mengobrol.Ibu bahagia bukan kepalang sewaktu Evi mengajaknya pindah ke Lampung Pandansari. Apalagi ketika Evi berjanji akan memulai hidup baru dan meninggalkan pekerjaannya yang lama. Apalagi yang jadi doa Ibu selama ini kalau bukan kedua hal itu?"Ibu merasa Evi jadi begitu ya karena Ibu juga, Da. Ibu jadi beban kakakmu. Untungnya Evi itu pekerja keras, dia gak pernah ngeluh.""Aku juga ngerasa bersalah sama Mbak Evi, Bu. Aku banyak permintaan. Gak mau bantuin dia kerja."Ibu me
Status Jo sekarang adalah pengangguran. Ia benar-benar tidak punya pekerjaan. Sejak diusir dari kantor, Jo belum pulang ke rumah. Ia ingin bertemu Mamanya sebentar tapi takut jika terpergok Papa. Hanya dua hari ia menumpang tidur di apartemen Evi lalu keliling kota mencari rumah kontrakan.Jo membayar uang kontrakan selama setahun ke depan secara cash. Uang tabungannya masih banyak sekali. Namun begitu, Jo tetap harus bekerja karena suatu hari nanti uang tabungannya akan habis. Apa yang bisa Jo kerjakan? Ia hanya punya pengalaman jadi Boss saja, tidak pernah bekerja dengan otot.Rumah kontrakannya yang baru berupa sebuah rumah satu kamar yang mungil. Harga sewanya lumayan tinggi. Jo berhitung, andai ia hanya mengandalkan tabungan saja tanpa menambah saldo, rekeningnya akan jadi nol dalam waktu dua tahun. Untuk itulah Jo harus bekerja.Pikiran Jo masih tertambat pada Evi. Ia masih mencarinya dengan berbagai cara, sampai dengan mengintai rumah Mami Riska sepanjang hari tapi tetap nihil
"Apa maksud kalian? Siapa yang menyuruhku pergi?" Jo bangun dari tempatnya duduk di balik meja kerja. Para bodyguard menentang tatapan mata Jo tanpa gentar."Atasan kami, pak Salman Setiadi memerintahkan demikian, Pak Jonathan. Anda diberi waktu satu jam dari sekarang untuk berkemas. Ini surat pemecatan anda." Sebuah amplop putih panjang dengan kop surat nama perusahaan induk tertera diletakkan di meja kerja. Jo menatap surat itu. Dia dipecat oleh ayah sendiri. Lucu sekali hidup ini."Tolong sampaikan pada Papa, saya ....""Kami tidak diperintah untuk menyampaikan pesan balik, Pak Jonathan. Kami ada di sini untuk memastikan Anda berkemas dengan baik tanpa ada barang tertinggal." Si kepala bodyguard memutus ucapan Jo."Dimana Papa sekarang? Antar saya ke sana.""Silakan berkemas saja dan pergi, Pak Jonathan."Ini keterlaluan, gumam Jo dalam batin. Apa ini semua karena Evi? Bagaimana bisa seorang ayah memecat anak sendiri hanya karena rebutan wanita! Jo bergerak maju tanpa permisi pada