Evi mengunci pintu rumah. Papan gypsum berlapis itu sebenarnya tidak layak disebut pintu, tidak kokoh juga tidak maksimal melindungi apa yang ada dalam rumah. Kalau memang ada yang berniat ja hat, pintu gypsum itu akan hancur kena satu kali tendangan.
Ibu dan Eda sudah tidur. Evi menuju ruang makan. Tanpa menimbulkan banyak suara, ia menutup sisa hidangan makan malam dengan tudung saji. Evi duduk di kursi makan, termenung. Seharusnya sekarang ia sedang menemani Jo di tempat yang diinginkan lelaki itu. Sejak pergi meninggalkannya tadi sore, Jo tidak menelepon Evi atau sekedar mengirim pesan. Hati Evi mengharapkan ponselnya berbunyi dan ada sesuatu dari Jo di sana. Ia meraih ponsel hitam yang tergeletak di hadapannya lalu mengetik sebuah pesan. [Hai Jo, lagi dimana sekarang?] Hampir saja ia tekan tombol send tapi lalu dengan cepat ia hapus pesan itu. Untuk apa ia menghubungi Jo? Mungkin saja lelaki itu sedang asyik dilayani penghibur lain yang ia booking sebagai pengganti Evi. Atau mungkin sedang di rumah bersama istrinya. Sakit di hati Evi terasa begitu pilu. Ia sadar siapa dirinya, hanya seorang wanita yang fotonya terpampang di buku milik seorang ger**mo. Wanita yang bisa disentuh oleh pria manapun yang mampu membayar tarifnya. Wanita tanpa harga diri. Kenapa ia seperti mengharapkan Jo jatuh hati padanya? Itu mustahil. Sejak ditarik paksa oleh Erman ke tempat Mami Riska, tujuh tahun lalu, Evi tidak pernah punya hubungan khusus dengan lelaki manapun. Rasa minder menguasai hatinya tanpa batas. Bukan tidak ada lelaki yang menyatakan cinta padanya, banyak sekali. Sebagian besar adalah klien yang merasa puas atas pelayanannya lalu merasa ingin memilikinya. Evi tidak pernah meladeni klien yang seperti itu. Mami Riska juga punya aturan tentang klien yang jatuh hati pada anak buahnya. Biasanya klien yang demikian tidak pernah dihubungkan lagi dengan wanita incarannya. Ting! Sebuah pesan masuk ke ponsel Evi. Ia malu sendiri ketika menyadari tangannya terlalu cepat meraih handphone dan juga hatinya berdegup keras. Bukan Jo yang menghubunginya tapi Mami Riska. [Bagianmu sudah aku transfer. Dua puluh juta. Setelah pulang nanti datang ke tempatku, ada bonus. Jonathan bilang dia sangat puas dengan pelayananmu.] Evi termangu setelah membaca pesan itu. Jo bilang ia puas? Betapa baiknya lelaki itu. [Iya, Mami. Besok aku datang. Terima kasih.] Kali ini Evi merasa ada alasan dia untuk menghubungi Jo. Jemarinya mengetik cepat. [Terima kasih, Pak.] Evi ingin menulis yang lebih pribadi tapi ia khawatir istri Jo yang membuka pesannya. Jo pasti tahu apa yang ia maksud dari pesan singkat itu. Evi mengirimnya. Lima detik kemudian datang balasan dari nomor Jo. [Besok sore ada waktu?] Evi merasa darahnya kembali mengalir, segar sekali. Senyum terulas di bibirnya. [Iya. Kita mau kemana?] Ponsel Evi bernyanyi nyaring. Jo menelepon! Evi segera menjawabnya. "Benar ada waktu?" tanya Jo. "Untukmu selalu ada waktu. Anggap saja ini ganti rugi yang kemarin." Jo tertawa. "Pikiranmu seperti ayahku, selalu memperhitungkan segala hal dari segi bisnis!" kata Jo. Evi jadi ikut tertawa. "Seluruh anggota tubuhku memang komoditas bisnis, Jo. Aku ini barang dagangan." "Aku ingin membelimu untuk aku sendiri, kalau bisa." Jantung Evi terasa berdegup lebih kencang mendengar ucapan Jo itu. Andaikan ia bertemu Jo dalam situasi yang lain, bukan sebagai wanita penghibur dan pelanggan, mungkin Evi berani menyatakan perasaan pada lelaki itu. Evi terus mengobrol dengan Jo sambil sesekali tertawa lepas. Walaupun terlihat pendiam dan cuek, sebenarnya Jo ramah, banyak bercanda. Bicara dengan Jo membuat Evi sejenak lupa tentang hidupnya yang pahit. Pukul sebelas malam, petugas ronda memukul tiang listrik di tepi jalan kampung sebanyak sebelas kali. Suasana mulai sepi. Rumah Evi yang terletak di deretan rumah kontrakan sepanjang sepuluh rumah terbiasa dengan suasana ramai di sore hari sampai sekitar jam sembilan malam. Selepas itu, lingkungan akan berubah sepi setelah warga masuk ke rumah masing-masing. "Aku harus pulang, Vi. Sandra sudah menungguku," kata Jo. "Memangnya kau sekarang dimana?" tanya Evi. Dari tadi ia mengira Jo ada di rumah. "Aku di kantor. Mengerjakan materi untuk presentasi dua hari yang akan datang. Seharusnya itu tugas karyawan tapi aku harus mengerjakan sesuatu supaya pikiranku gak mikirin kamu terus." "Maafin aku ya, Jo. Besok aku tebus kesalahanku. Kau boleh minta aku melakukan apa saja." "Oke. Aku sudah punya daftar tentang apa saja yang harus kau lakukan untukku." Evi terus berdebar sepanjang pembicaraannya dengan Jo. Lelaki itu ternyata seorang perayu ulung dibalik penampilannya sebagai lelaki cuek yang dingin. Jo menutup telepon. Ia harus pulang. Evi merasa ada yang terasa sakit di hatinya membayangkan Jo bersama Sandra malam ini. Andai Erman tidak membuat masalah, mungkin aku yang menemani Jo sekarang, pikir Evi geram. Ia meletakkan kembali ponselnya di meja makan, kembali termenung. Ini pertama kalinya ia merasakan perasaan aneh ini. Ia sangat menginginkan Jo, untuk dirinya sendiri. Setelah ratusan klien yang menggunakan jasanya, banyak juga yang tampan dan kaya, hanya Jo yang membuat hatinya tersentuh. Ada suara orang bicara di luar rumah. Evi mendengarnya tapi tidak peduli, mungkin saja itu suara Pak Darmo, tetangga sebelah yang menyambut anaknya pulang kerja. Tangan Evi menjangkau tombol lampu ketika ia mencium bau tajam bensin. Sangat tajam aromanya. Rembesan cairan masuk dari bawah pintu depan, Evi melihatnya. Dalam waktu beberapa detik, ia memahami apa yang terjadi. Cairan itu masuk lumayan banyak ke dalam ruang tamu dari celah bawah pintu, itu bensin. Blobb!!! Sebuah ledakan mengagetkan Evi, diiringi cahaya api yang sangat silau. Dinding depan rumahnya yang terbuat dari gypsum tebal mendadak menyala oleh kobaran api. Lengan kanan Evi sempat tersambar api. Dalam waktu sepersekian detik, gadis itu sadar bahwa nyawa keluarganya ada di ujung tanduk. Sambil menahan sakit akibat luka bakar di lengannya, Evi berlari ke kamar dan membangunkan Ibu serta Eda. "Kebakaran, Ibu! Bangun! Eda, Bangun!" Evi menarik selimut mereka, ia berteriak histeris. Ibu dan Eda terkejut bangun dan langsung di sambar kepulan asap tebal. Mereka panik luar biasa. Bunyi teriakan tetangga dan kentongan di pos ronda mendadak menghiasi suasana malam kampung. Rumah tinggal Evi yang berupa rentetan bangunan berbahan gypsum berdiri berdempetan satu sama lain sangat rawan api. "Ibu, kita lari kemana? Ruang depan sudah terbakar!" Evi berteriak. Rumah kontrakan mereka tidak punya pintu belakang. "Di dapur kan ada tangga, Mbak! Kita naik lewat genting saja!" kata Eda. Evi ingat tangga bambu yang bersandar di dinding dapur, tangga yang ia pakai naik ke atap setiap kali ada genting bocor. Ia dan Eda bisa dengan mudah naik tapi bagaimana dengan Ibu? Ibu menyadari tatapan Evi. Ia peluk kedua anaknya, ia ciumi pipi mereka. "Cepat naik lewat atap dan lompat ke genting tetangga! Lari secepatnya! Kalian harus selamat!" kata Ibu. "Ayo, Eda, kita angkat Ibu!" Evi berpikir cepat. Tanpa diperintah lagi, Eda membantu kakaknya yang sudah mengangkat sebelah tubuh gempal Ibu. Susah payah mereka membawa Ibu keluar kamar menuju dapur. Api sedang melalap ruang tamu. Panas dan asapnya menerpa tiga wanita yang sedang berjuang bertahan hidup. Tubuh Ibu diletakkan perlahan di lantai dapur. Evi menjangkau tangga dan mengarahkannya ke atap. "Ayo, Eda duluan!" Evi memberi perintah. Eda menatap Evi dan Ibu sejenak lalu bergerak menaiki tangga, dengan sigap ia membuka beberapa buah genting lalu berusaha mengangkat tubuhnya naik. Tubuh langsing Eda berhasil memanjat ke atas atap. Evi memeluk Ibu. Ia berusaha mengangkat Ibu di ketiak. "Ibu bisa gerakin kaki, Bu? Naik, Bu, ke tangga!" kata Evi dengan suara gemetar. Ibu tersenyum dan menggelengkan kepala. "Kamu saja, Vi! Ayo cepat, apinya akan segera sampai ke sini! Lari! Cepat!" "Ibu gimana? Ayo, Ibu, coba gerakin kaki Ibu, aku bantu!" Ibu menurut dan berhasil berdiri dengan satu kakinya. Evi menahan tubuh Ibu tapi sulit sekali bagi Ibu untuk mengangkat tubuh ke anak tangga kedua. Ibu menjatuhkan diri lagi ke lantai. "Kamu pergi, Evi! Cepat! Naik!" bentak Ibu. Evi menangis dalam kepanikan. "Ibu juga naik, ayo, Bu!" "Ibu gak bisa! Kamu cepat susul adikmu! Naik!" Ibu berteriak. Api sudah membakar sebagian ruang tengah dan menuju kamar. Kemeretak bunyi papan gypsum terbakar sangat mengerikan. Hawa panas menyengat dan sesak oleh asap tebal. "Ibu!" Evi bersimpuh mencium kaki Ibu. Mungkin lebih baik ia selesaikan saja hidupnya di sini, mungkin itu lebih baik. Hidup pun ia hanya jadi sampah. Ibu menendangkan kakinya sendiri, mengusir sang putri yang kini menangis tersedu. "Naik, Evi! Pergi! Cepat!"Lingkungan kampung mendadak ramai. Suasana menjelang tengah malam yang biasanya sepi kini seperti ada pasar, penuh orang. Teriakan dan perintah bersahut-sahutan dari segala arah. Setelah satu jam sejak awal api menyala, sudah lima rumah terbakar. Untunglah angin berhembus kecil jadi api tidak terlalu cepat merembet. Api melalap banyak rumah karena bahan pembuat rumah mudah terbakar. Pemadam kebakaran sudah datang tapi karena lokasi api berada dalam gang sempit, mobil-mobil besar itu tidak bisa masuk. Petugas menyemprotkan air dari ujung gang. Warga membantu menyiram air ke rumah yang belum terbakar untuk membasahi dinding papan, berharap api tidak bisa melahapnya. Erman menangis dikelilingi warga di pos ronda. Ia bersama sanak keluarga lain yang rumahnya terbakar berkumpul menunggu kabar. Erman kelihatan bingung dan sangat sedih. "Ini kebakarannya disengaja, Pak," seorang warga berkata dengan suara keras. Ucapannya menarik minat warga lain. "Disengaja bagaimana?" "Ada yang li
"Maksudmu?" Kening Jo mengernyit, ia tidak paham ucapan Evi. Tangan Evi menghapus air mata, setelah menarik napas panjang, ia menjawab pelan. "Ini kesempatanku melarikan diri dari Erman, Jo. Semoga dia mengira aku sudah ma ti terbakar." "Kamu mau sembunyi?" tanya Jo, ia mengerti pikiran Evi. Ini memang kesempatan baik. "Kamu mau kemana?" Evi menatap Jo dengan mata memohon. Tiga detik membalas pandang gadis itu, Jo paham lagi bahwa Evi mengandalkannya. Jo menggeleng pelan. "Aku gak bisa janjikan apapun untukmu, Vi. Kalau soal tempat tinggal, kau bisa tinggal di sini semaumu. Soal pekerjaan, aku bisa tempatkan kau jadi staf kantorku. Soal keamanan, itu yang aku gak bisa jamin. Kamu bilang sendiri kalau Mami Riska dan Erman punya banyak mata-mata." Evi menunduk. Ia membenarkan ucapan Jo itu. Bukan sekali dua kali Evi mencoba kabur dari dunia hitam tapi Mami Riska dan Erman selalu bisa menangkapnya lagi. Kalau mau sembunyi, sekolah Eda pun harus pindah. Eda sudah kelas XII, susah
Dada Evi berdegup keras mendengar ucapan Jo. Bicara jujur, tentang apa? "Aku mau jujur padamu, Vi," kata Jo. Ia bahkan belum masuk ke dalam rumah, masih berdiri di ambang pintu. "A-apa itu?" Evi bersiap, hatinya berbunga. Apakah .... "Istriku mengirim orang untuk mengikuti aku dan dia tahu tentangmu. Sepertinya akan sangat beresiko buat kita berdua kalau kau bekerja di kantorku. Istriku akan tahu dan kau yang akan dapat makiannya." Oh, jujur tentang itu. Evi merasa wajahnya panas karena malu. Apakah tadi ia sempat melambung tinggi karena berharap Jo menyatakan cinta? Ah, betapa lugunya aku, pikir Evi. "Begitu, ya. Jadi, aku batal bekerja di kantormu? Gak apa-apa, Jo. Aku paham." "Aku pikirkan jalan keluarnya lagi nanti. Untuk sementara, kau dan keluargamu aku jamin aman di sini." "Oke. Aku menurut apa aturanmu." "Tetaplah diam di rumah ini. Jangan keluar." "Aku berpikir tentang sekolah Eda, Jo. Dia harus sekolah, tapi keadaan belum aman. Erman pasti mencarinya di sekolah hari
Rumah yang disebut villa peristirahatan itu terlihat biasa saja dari luar. Bentuk bangunannya juga biasa saja, seperti umumnya rumah dua lantai. Penyejuk mata berupa taman depan yang hijau sangat segar dan asri, ditata oleh orang yang paham pertamanan. Hal yang menonjol dari rumah yang katanya kosong itu adalah adanya dua petugas sekuriti di pos gerbangnya. Erman menyadari itu. Buat apa sekuriti berjaga di rumah kosong? Mungkin karena di dalamnya banyak barang berharga, si pemilik rumah itu adalah pengusaha sukses. Erman tahu, barang berharga yang dijaga itu bukan berupa berlian atau guci antik, tapi seorang primadona lokalisasi beserta ibu dan adiknya. Erman mencari cara masuk ke rumah itu tanpa harus berurusan dengan para penjaga. Ia sudah memutari rumah dan melihat sendiri bahwa rumah itu dikelilingi tembok setinggi tiga meter dengan kawat berduri di atasnya, ada juga papan bertuliskan warning, kawat diatas tembok itu dialiri listrik. Seperti kamp militer, pikir Erman. Sejak s
"Apa maksudmu kirim pesan begitu?" Pertanyaan Sandra dibarengi tatapan dingin wanita cantik itu tepat di mata Jo. Sang suami santai duduk bersandar ke tumpukan bantal, bahkan tidak melihat ke arah Sandra, sibuk dengan ponselnya. Geram bukan main hati Sandra melihat ulah suaminya itu. Setelah membaca pesan yang dikirim oleh Jo, Sandra meninggalkan teman-temannya begitu saja dan langsung mencari Jo. "Jelaskan, Jo!" pekik Sandra membahana. Jo baru melirik istrinya, membalas tatapan tajam Sandra padanya. "Apa itu masih kurang jelas? Aku mau bercerai. Itu saja maksudku." "Apa ini karena pe la cur itu?" Jo menegakkan duduk, ponselnya ia letakkan di nakas. "Kau selalu bilang begitu. Pe la cur mana yang kau maksud?" "Perempuan yang kau bawa ke kantor dan kau bilang itu sekretarismu, pengganti Liana!" Jo tahu yang dimaksud Sandra adalah Evi. "Dia wanita baik-baik, bukan pe la cur!" bentak Jo. Sandra malah jadi tambah murka. Ia tam par pipi kiri Jo. "Aku jadi makin yakin ini semua kar
Dua hari sekali Erman datang ke depan villa Jo di pinggiran kota, ia mengintai gerakan penghuni rumah. Sampai dua Minggu rutinitas itu ia lakukan, Erman tidak mendapat hasil apapun. Orang yang rutin datang dan pergi hanya Jo sendirian. Dua sekuriti penjaga gerbang bergantian shift, Erman kadang heran bagaimana bisa petugas keamanan itu tidak bosan menjaga rumah yang sepertinya kosong. Hari ini Erman tertawa puas melihat pemandangan yang tersaji di depan villa mewah itu. Ia melihat Evi dijemput Jo, berpakaian resmi kantoran. Eda juga keluar memakai seragam SMA. Jo dan Evi naik di mobil hitam dan Eda naik di mobil lain yang berwarna putih, sepertinya Eda dapat supir pribadi. Erman dan motornya mundur, ia mengamati dari seberang jalan, di balik sebuah pohon asam besar. Gerbang ditutup dan dikunci lagi oleh Ris, sang satpam. Erman memutar akal, ia harus bisa masuk ke rumah itu. Setelah semua pergi berarti hanya ada Ibu di dalam. Ibu selalu ada di pihaknya. Apapun yang Erman lakukan, Ibu
Pukul sebelas siang, menjelang istirahat, meja Evi didatangi tamu istimewa. Seorang pria tinggi besar berpakaian serba hitam muncul di hadapan Evi. "Nona Evita Maharani, anda diharapkan datang ke ruang CEO sekarang juga. Bawa semua barang milik anda," kata lelaki itu. Evi terpana kaget mendengar perintah itu. "Ada masalah apa?" "Nanti dijelaskan di ruang CEO bersama Pak Jonathan. Ayo." Tidak banyak barang yang dikemas oleh Evi karena ia baru delapan hari menghuni kubikelnya. Hanya satu dus kecil saja bawaannya. Ia melangkah mengikuti bodyguard yang menjemputnya. Evi menyeberangi koridor memasuki ruang berdinding kaca di depan ruang pegawai. Ia terus dipersilakan berjalan melintasi ruang tamu menuju sebuah ruang di sudut yang pintunya diberi tulisan nama Jonathan Setiadi. Membaca nama itu, ada yang bergetar dalam hati Evi. "Silakan masuk." Sang bodyguard membukakan pintu. Evi masuk ke ruang pimpinan untuk pertama kalinya. Ruang itu bernuansa hitam putih dan luas. Ada sepa
Apartemen tempat tinggal Erman sangat bagus bagi Ibu yang sejak kecil hidup susah. Pandangan matanya berkeliling mengamati keadaan sekitarnya. Perabot rumah Erman kelihatan mahal semua. Erman membantu Ibu duduk di sofa."Tante sudah makan?" tanya Erman sambil berjalan ke meja dapur."Sampai kapan kau panggil Ibu pakai sebutan Tante, Man?""Ya selamanya, lah! Memangnya aku harus panggil apa? Mbak?" Erman tersenyum lebar. Tangannya cekatan membuat teh panas."Panggil Ibu, Man."Erman tertawa ringan. Lelaki berambut panjang sebahu yang dikuncir satu itu menatap Ibu. Ia menghampiri Ibu di sofa sambil membawa dua gelas minuman. Satu gelas berisi teh panas ia letakkan di meja di depan Ibu. Satu lagi berisi minuman bersoda, ia teguk sampai tandas."Ibuku, oh, maksudku Mama, Mamaku sudah meninggal, Tante. Kita jujur saja, jangan saling berbohong.""Ibu selalu berdoa untukmu, Man.""Terima kasih. Sebaiknya doakan Evi saja, Tante. Dia sudah jauh tersesat. Evi pacaran sama suami orang!"Ibu meny
Ibu tertawa melihat isi piring besar yang disodorkan oleh Tini, asisten rumah tangga di rumah Jo. Sate ayam berlumur bumbu kacang pekat harum penuh di piring panjang itu."Silakan dimakan, Bu. Itu kata Pak Jo khusus buat Ibu saja." Tini tersenyum pada Ibu. "Boss Jo sampai hapal kesukaan Ibu, sate ayam!" Eda ikut tertawa melihat mata Ibu berbinar. "Awas makan kacang, ingat asam urat!""Saya pamit ke belakang dulu ya, Bu," kata Tini lagi."Silakan, Mbak. Terima kasih satenya!" Ibu mengangguk pada Tini.Tidak menunggu perintah lagi, Ibu dan Eda menyantap nasi hangat berlauk sate ayam kesukaan Ibu. "Boss Jo dan kakakmu belum bangun, Da?" tanya Ibu setelah menelan suapan pertamanya. Eda menggeleng."Ya belum keluar dari kamar lah, Bu. Namanya juga penganten baru!""Kayak ngerti saja kamu!""Tahu lah!"Sudah seminggu berlalu sejak pesta pernikahan sederhana digelar di rumah Jo. Evi sah jadi istrinya. Ibu dan Eda juga diboyong tinggal di rumah warisan dari ibunda Jo itu. Jo memastikan Ibu
Koridor menuju kamar jenazah Rumah Sakit Daerah lengang di sore hari. Evi tergopoh melangkah mengikuti seorang polisi. Administrasi pemulangan jenazah sedang diurus oleh Jo di kantor RSUD. Mereka juga masih perlu membereskan beberapa masalah di kantor polisi.Semalam terjadi kebakaran yang menghanguskan satu deret kamar kontrakan di daerah pinggir kota. Ditemukan tiga korban jiwa dalam satu unit kamar, semuanya diidentifikasi berjenis kelamin pria.Bahan bakar yang menjadi sebab kebakaran hanya disiramkan di dinding depan satu kamar, sumber nyala api, sedangkan bangunan lain hanya menerima rembetan api dan tidak seluruhnya hangus. Kamar sumber nyala api juga menyisakan dinding belakang yang tidak habis terbakar. Tiga korban jiwa ditemukan berpelukan di dalam kamar mandi, kondisi mereka mengalami luka bakar 80%.Polisi juga menemukan sebuah tas yang separuh dilalap api, di dalamnya ada sebuah dompet hampir meleleh yang berisi kartu identitas atas nama Erman Setiabudi, beralamat di ruma
Ketiga orang di dalam kamar gelap itu berhenti bicara ketika mereka mendengar bunyi langkah kaki yang ribut di luar. Banyak suara bisik-bisik dan mesin motor yang berhenti."Man, mereka datang, Man," bisik Doni.Erman dan Rere saling pandang di bawah lampu layar ponsel."Anak buah Gundul gak bisa diajak main-main, Man. Lu kenapa lari kesini, sih?" Kaki Doni menyepak paha Erman."Gua gak punya tempat lain buat dituju!" bentak Erman dalam bisikan."Dengar!" Rere memukul bahu Erman.Sepertinya kamar di kanan kiri terbuka dan ada suara orang berlari, beberapa pekikan kecil juga barang jatuh. Rere menebak penghuni kamar tetangga lari menyelamatkan diri. "Bagaimana kalau kita lari keluar? Kamar ini gak ada pintu belakangnya!" kata Erman."Mau lari lewat mana?" sahut Doni. "Lihat itu di bawah pintu!"Cahaya teras kamar yang terang menyinari kaki-kaki yang berdiri tepat di depan kamar Doni. Erman merasa dingin sekujur tubuhnya. Bagaimana cara lari dari sini?Gundul memberinya waktu seminggu
Wajah Ibu menampakkan kebahagiaan yang nyata. Wanita yang lebih banyak diam daripada bicara itu terus tersenyum saat Evi menjelaskan padanya bahwa mulai besok akan bekerja jadi staf kantor. Bukan pegawai biasa, malah, tapi sebagai kepala divisi."Siapa bossnya, Vi?" tanya Ibu. Evi menghela napas, melegakan dadanya yang sesak oleh bahagia."Perusahaannya milik Jo, Bu."Senyum Ibu sesaat hilang, tapi lalu muncul lagi. Ibu mengangguk-angguk pelan."Sepertinya persangkaan Ibu padanya selama ini salah. Semoga dia benar-benar orang baik.""Jo ingin bulan depan kami menikah."Mata Ibu sedikit melotot, kaget. Air mukanya berubah-ubah, antara senang dan sedih. Evi meraih tangan Ibu dan menggenggamnya."Jo dan aku saling mencintai, Bu. Kami tidak peduli pada masa lalu. Restui kami, Ibu.""Kau yakin, Vi? Ibu hanya khawatir kau cuma dia jadikan mainan, iseng sambil dia mencari yang lain. Ibu takut kau disakiti.""Semoga tidak, Bu. Aku bisa lihat dia sungguh serius pada janjinya.""Maafin ucapan I
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Ibu menyambut Eda pulang sekolah. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Eda langsung menuju meja makan. Ada semangkuk sup ayam dan perkedel kentang tersaji. Eda mengambil makanan lalu membawanya ke kamar."Ibu sudah makan?""Sudah. Kakakmu menelepon?""Mbak Evi? Tidak. Kemana dia?""Tadi perginya pamit mau ke apartemen ngambil perabot yang masih ada di sana. Kok belum balik lagi ya? Lama sekali.""Sekalian belanja kalik, Bu.""Iya mungkin." Ibu kelihatan tenang lagi. Eda makan di kamar sambil menemani ibu mengobrol.Ibu bahagia bukan kepalang sewaktu Evi mengajaknya pindah ke Lampung Pandansari. Apalagi ketika Evi berjanji akan memulai hidup baru dan meninggalkan pekerjaannya yang lama. Apalagi yang jadi doa Ibu selama ini kalau bukan kedua hal itu?"Ibu merasa Evi jadi begitu ya karena Ibu juga, Da. Ibu jadi beban kakakmu. Untungnya Evi itu pekerja keras, dia gak pernah ngeluh.""Aku juga ngerasa bersalah sama Mbak Evi, Bu. Aku banyak permintaan. Gak mau bantuin dia kerja."Ibu me
Status Jo sekarang adalah pengangguran. Ia benar-benar tidak punya pekerjaan. Sejak diusir dari kantor, Jo belum pulang ke rumah. Ia ingin bertemu Mamanya sebentar tapi takut jika terpergok Papa. Hanya dua hari ia menumpang tidur di apartemen Evi lalu keliling kota mencari rumah kontrakan.Jo membayar uang kontrakan selama setahun ke depan secara cash. Uang tabungannya masih banyak sekali. Namun begitu, Jo tetap harus bekerja karena suatu hari nanti uang tabungannya akan habis. Apa yang bisa Jo kerjakan? Ia hanya punya pengalaman jadi Boss saja, tidak pernah bekerja dengan otot.Rumah kontrakannya yang baru berupa sebuah rumah satu kamar yang mungil. Harga sewanya lumayan tinggi. Jo berhitung, andai ia hanya mengandalkan tabungan saja tanpa menambah saldo, rekeningnya akan jadi nol dalam waktu dua tahun. Untuk itulah Jo harus bekerja.Pikiran Jo masih tertambat pada Evi. Ia masih mencarinya dengan berbagai cara, sampai dengan mengintai rumah Mami Riska sepanjang hari tapi tetap nihil
"Apa maksud kalian? Siapa yang menyuruhku pergi?" Jo bangun dari tempatnya duduk di balik meja kerja. Para bodyguard menentang tatapan mata Jo tanpa gentar."Atasan kami, pak Salman Setiadi memerintahkan demikian, Pak Jonathan. Anda diberi waktu satu jam dari sekarang untuk berkemas. Ini surat pemecatan anda." Sebuah amplop putih panjang dengan kop surat nama perusahaan induk tertera diletakkan di meja kerja. Jo menatap surat itu. Dia dipecat oleh ayah sendiri. Lucu sekali hidup ini."Tolong sampaikan pada Papa, saya ....""Kami tidak diperintah untuk menyampaikan pesan balik, Pak Jonathan. Kami ada di sini untuk memastikan Anda berkemas dengan baik tanpa ada barang tertinggal." Si kepala bodyguard memutus ucapan Jo."Dimana Papa sekarang? Antar saya ke sana.""Silakan berkemas saja dan pergi, Pak Jonathan."Ini keterlaluan, gumam Jo dalam batin. Apa ini semua karena Evi? Bagaimana bisa seorang ayah memecat anak sendiri hanya karena rebutan wanita! Jo bergerak maju tanpa permisi pada