Share

6. Kebakaran

Evi mengunci pintu rumah. Papan gypsum berlapis itu sebenarnya tidak layak disebut pintu, tidak kokoh juga tidak maksimal melindungi apa yang ada dalam rumah. Kalau memang ada yang berniat ja hat, pintu gypsum itu akan hancur kena satu kali tendangan.

Ibu dan Eda sudah tidur. Evi menuju ruang makan. Tanpa menimbulkan banyak suara, ia menutup sisa hidangan makan malam dengan tudung saji. Evi duduk di kursi makan, termenung.

Seharusnya sekarang ia sedang menemani Jo di tempat yang diinginkan lelaki itu. Sejak pergi meninggalkannya tadi sore, Jo tidak menelepon Evi atau sekedar mengirim pesan. Hati Evi mengharapkan ponselnya berbunyi dan ada sesuatu dari Jo di sana. Ia meraih ponsel hitam yang tergeletak di hadapannya lalu mengetik sebuah pesan.

[Hai Jo, lagi dimana sekarang?]

Hampir saja ia tekan tombol send tapi lalu dengan cepat ia hapus pesan itu. Untuk apa ia menghubungi Jo? Mungkin saja lelaki itu sedang asyik dilayani penghibur lain yang ia booking sebagai pengganti Evi. Atau mungkin sedang di rumah bersama istrinya.

Sakit di hati Evi terasa begitu pilu. Ia sadar siapa dirinya, hanya seorang wanita yang fotonya terpampang di buku milik seorang ger**mo. Wanita yang bisa disentuh oleh pria manapun yang mampu membayar tarifnya. Wanita tanpa harga diri. Kenapa ia seperti mengharapkan Jo jatuh hati padanya? Itu mustahil.

Sejak ditarik paksa oleh Erman ke tempat Mami Riska, tujuh tahun lalu, Evi tidak pernah punya hubungan khusus dengan lelaki manapun. Rasa minder menguasai hatinya tanpa batas. Bukan tidak ada lelaki yang menyatakan cinta padanya, banyak sekali. Sebagian besar adalah klien yang merasa puas atas pelayanannya lalu merasa ingin memilikinya. Evi tidak pernah meladeni klien yang seperti itu. Mami Riska juga punya aturan tentang klien yang jatuh hati pada anak buahnya. Biasanya klien yang demikian tidak pernah dihubungkan lagi dengan wanita incarannya.

Ting! Sebuah pesan masuk ke ponsel Evi. Ia malu sendiri ketika menyadari tangannya terlalu cepat meraih handphone dan juga hatinya berdegup keras. Bukan Jo yang menghubunginya tapi Mami Riska.

[Bagianmu sudah aku transfer. Dua puluh juta. Setelah pulang nanti datang ke tempatku, ada bonus. Jonathan bilang dia sangat puas dengan pelayananmu.]

Evi termangu setelah membaca pesan itu. Jo bilang ia puas? Betapa baiknya lelaki itu.

[Iya, Mami. Besok aku datang. Terima kasih.]

Kali ini Evi merasa ada alasan dia untuk menghubungi Jo. Jemarinya mengetik cepat.

[Terima kasih, Pak.]

Evi ingin menulis yang lebih pribadi tapi ia khawatir istri Jo yang membuka pesannya. Jo pasti tahu apa yang ia maksud dari pesan singkat itu. Evi mengirimnya.

Lima detik kemudian datang balasan dari nomor Jo.

[Besok sore ada waktu?]

Evi merasa darahnya kembali mengalir, segar sekali. Senyum terulas di bibirnya.

[Iya. Kita mau kemana?]

Ponsel Evi bernyanyi nyaring. Jo menelepon! Evi segera menjawabnya.

"Benar ada waktu?" tanya Jo.

"Untukmu selalu ada waktu. Anggap saja ini ganti rugi yang kemarin."

Jo tertawa.

"Pikiranmu seperti ayahku, selalu memperhitungkan segala hal dari segi bisnis!" kata Jo. Evi jadi ikut tertawa.

"Seluruh anggota tubuhku memang komoditas bisnis, Jo. Aku ini barang dagangan."

"Aku ingin membelimu untuk aku sendiri, kalau bisa."

Jantung Evi terasa berdegup lebih kencang mendengar ucapan Jo itu. Andaikan ia bertemu Jo dalam situasi yang lain, bukan sebagai wanita penghibur dan pelanggan, mungkin Evi berani menyatakan perasaan pada lelaki itu.

Evi terus mengobrol dengan Jo sambil sesekali tertawa lepas. Walaupun terlihat pendiam dan cuek, sebenarnya Jo ramah, banyak bercanda. Bicara dengan Jo membuat Evi sejenak lupa tentang hidupnya yang pahit.

Pukul sebelas malam, petugas ronda memukul tiang listrik di tepi jalan kampung sebanyak sebelas kali. Suasana mulai sepi. Rumah Evi yang terletak di deretan rumah kontrakan sepanjang sepuluh rumah terbiasa dengan suasana ramai di sore hari sampai sekitar jam sembilan malam. Selepas itu, lingkungan akan berubah sepi setelah warga masuk ke rumah masing-masing.

"Aku harus pulang, Vi. Sandra sudah menungguku," kata Jo.

"Memangnya kau sekarang dimana?" tanya Evi. Dari tadi ia mengira Jo ada di rumah.

"Aku di kantor. Mengerjakan materi untuk presentasi dua hari yang akan datang. Seharusnya itu tugas karyawan tapi aku harus mengerjakan sesuatu supaya pikiranku gak mikirin kamu terus."

"Maafin aku ya, Jo. Besok aku tebus kesalahanku. Kau boleh minta aku melakukan apa saja."

"Oke. Aku sudah punya daftar tentang apa saja yang harus kau lakukan untukku."

Evi terus berdebar sepanjang pembicaraannya dengan Jo. Lelaki itu ternyata seorang perayu ulung dibalik penampilannya sebagai lelaki cuek yang dingin.

Jo menutup telepon. Ia harus pulang. Evi merasa ada yang terasa sakit di hatinya membayangkan Jo bersama Sandra malam ini. Andai Erman tidak membuat masalah, mungkin aku yang menemani Jo sekarang, pikir Evi geram. Ia meletakkan kembali ponselnya di meja makan, kembali termenung. Ini pertama kalinya ia merasakan perasaan aneh ini. Ia sangat menginginkan Jo, untuk dirinya sendiri. Setelah ratusan klien yang menggunakan jasanya, banyak juga yang tampan dan kaya, hanya Jo yang membuat hatinya tersentuh.

Ada suara orang bicara di luar rumah. Evi mendengarnya tapi tidak peduli, mungkin saja itu suara Pak Darmo, tetangga sebelah yang menyambut anaknya pulang kerja. Tangan Evi menjangkau tombol lampu ketika ia mencium bau tajam bensin. Sangat tajam aromanya.

Rembesan cairan masuk dari bawah pintu depan, Evi melihatnya. Dalam waktu beberapa detik, ia memahami apa yang terjadi. Cairan itu masuk lumayan banyak ke dalam ruang tamu dari celah bawah pintu, itu bensin.

Blobb!!!

Sebuah ledakan mengagetkan Evi, diiringi cahaya api yang sangat silau. Dinding depan rumahnya yang terbuat dari gypsum tebal mendadak menyala oleh kobaran api. Lengan kanan Evi sempat tersambar api. Dalam waktu sepersekian detik, gadis itu sadar bahwa nyawa keluarganya ada di ujung tanduk. Sambil menahan sakit akibat luka bakar di lengannya, Evi berlari ke kamar dan membangunkan Ibu serta Eda.

"Kebakaran, Ibu! Bangun! Eda, Bangun!" Evi menarik selimut mereka, ia berteriak histeris. Ibu dan Eda terkejut bangun dan langsung di sambar kepulan asap tebal. Mereka panik luar biasa.

Bunyi teriakan tetangga dan kentongan di pos ronda mendadak menghiasi suasana malam kampung. Rumah tinggal Evi yang berupa rentetan bangunan berbahan gypsum berdiri berdempetan satu sama lain sangat rawan api.

"Ibu, kita lari kemana? Ruang depan sudah terbakar!" Evi berteriak. Rumah kontrakan mereka tidak punya pintu belakang.

"Di dapur kan ada tangga, Mbak! Kita naik lewat genting saja!" kata Eda. Evi ingat tangga bambu yang bersandar di dinding dapur, tangga yang ia pakai naik ke atap setiap kali ada genting bocor. Ia dan Eda bisa dengan mudah naik tapi bagaimana dengan Ibu?

Ibu menyadari tatapan Evi. Ia peluk kedua anaknya, ia ciumi pipi mereka.

"Cepat naik lewat atap dan lompat ke genting tetangga! Lari secepatnya! Kalian harus selamat!" kata Ibu.

"Ayo, Eda, kita angkat Ibu!" Evi berpikir cepat. Tanpa diperintah lagi, Eda membantu kakaknya yang sudah mengangkat sebelah tubuh gempal Ibu. Susah payah mereka membawa Ibu keluar kamar menuju dapur. Api sedang melalap ruang tamu. Panas dan asapnya menerpa tiga wanita yang sedang berjuang bertahan hidup.

Tubuh Ibu diletakkan perlahan di lantai dapur. Evi menjangkau tangga dan mengarahkannya ke atap.

"Ayo, Eda duluan!" Evi memberi perintah. Eda menatap Evi dan Ibu sejenak lalu bergerak menaiki tangga, dengan sigap ia membuka beberapa buah genting lalu berusaha mengangkat tubuhnya naik. Tubuh langsing Eda berhasil memanjat ke atas atap.

Evi memeluk Ibu. Ia berusaha mengangkat Ibu di ketiak.

"Ibu bisa gerakin kaki, Bu? Naik, Bu, ke tangga!" kata Evi dengan suara gemetar. Ibu tersenyum dan menggelengkan kepala.

"Kamu saja, Vi! Ayo cepat, apinya akan segera sampai ke sini! Lari! Cepat!"

"Ibu gimana? Ayo, Ibu, coba gerakin kaki Ibu, aku bantu!"

Ibu menurut dan berhasil berdiri dengan satu kakinya. Evi menahan tubuh Ibu tapi sulit sekali bagi Ibu untuk mengangkat tubuh ke anak tangga kedua. Ibu menjatuhkan diri lagi ke lantai.

"Kamu pergi, Evi! Cepat! Naik!" bentak Ibu. Evi menangis dalam kepanikan.

"Ibu juga naik, ayo, Bu!"

"Ibu gak bisa! Kamu cepat susul adikmu! Naik!" Ibu berteriak.

Api sudah membakar sebagian ruang tengah dan menuju kamar. Kemeretak bunyi papan gypsum terbakar sangat mengerikan. Hawa panas menyengat dan sesak oleh asap tebal.

"Ibu!" Evi bersimpuh mencium kaki Ibu. Mungkin lebih baik ia selesaikan saja hidupnya di sini, mungkin itu lebih baik. Hidup pun ia hanya jadi sampah. Ibu menendangkan kakinya sendiri, mengusir sang putri yang kini menangis tersedu.

"Naik, Evi! Pergi! Cepat!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status