Evi masih melotot melihat ke arah Jo. Pria tampan itu tertawa melihat ekspresi Evi.
"Jangan mendelik begitu. Kau jadi tambah cantik!" kata Jo sambil melambaikan tangan di depan wajah Evi. "Eh, maaf," sahut Evi salah tingkah. Ia mencoba tersenyum untuk menutupi kegugupannya. "Aku pikir kau bujangan." "Kadang aku merasa masih bujangan. Dulu aku menikah karena dijodohkan. Demi kelanjutan bisnis ayahku." "Oh, begitu. Seperti cerita dalam film, ya? Kau pasti gak cinta sama istrimu dan begitu juga sebaliknya. Benar begitu?" "Analisamu tajam. Bagaimana kalau kau jadi sekretaris pribadiku?" "Apa kamu sanggup kasih aku gaji gede?" Evi mengerling jenaka. Jo gemas sekali melihatnya. "Berapa yang kau minta?" "Seratus juta sebulan." "Boleh, tapi kau jangan pulang, tinggal bersamaku di apartemenku." Evi tertawa lagi. Sudah cukup bercandanya, ucapnya dalam hati. Jo menatap tajam seolah menebak seberapa serius Evi tadi. "Kemana tujuan pertama kita?" "Ayo ke kantorku di lantai tiga puluh. Aku perlu bersiap-siap sebelum pergi ke tempat rapat di resort, jam sebelas." Kantor Jo bernama PT. Setiadi Buana. Usahanya di bidang perdagangan hasil kebun ke seluruh dunia. Itu yang Evi lihat dari sebuah dokumen berpigura yang dipajang di dinding ruang tamu. Ia menunggu Jo yang entah sedang apa di ruang kerjanya. Ruang tamu perusahaan itu punya desain mewah. Sepertinya perusahaan ini lumayan bonafid. Dari tulisan dalam pigura itu, Evi juga tahu bahwa PT. Setiadi Buana adalah anak perusahaan dari PT. Setiadi Siaga Jaya yang menangani pengelolaan kebun kelapa sawit dan hasilnya. Entahlah Evi tidak paham dunia bisnis. Ia duduk di sofa mewah merah marun. Pandangannya berkeliling. Ruang tamu itu dibatasi dinding dan pintu kaca transparan yang tembus ke dinding kaca lain di depannya. Isi ruangan di depan itu adalah kantor besar berisi ratusan kubikel area kerja karyawan. Orang-orang tampak sibuk di sana. Semuanya berpakaian rapi dan resmi. Ibu mengira aku bekerja seperti mereka, gumam Evi dalam hati. Ibu tak pernah tahu bahwa Evi bekerja di dunia hitam yang mengerikan. Setiap kali berangkat, Evi selalu mengenakan pakaian kantoran lengkap dengan tas dan high heels yang resmi. Kadang Evi terus saja mengenakan pakaian itu untuk menemui klien tapi kadang ia mampir ke tempat Mami Riska untuk berganti pakaian jika klien menginginkan kostum tertentu. Dengan pendidikan sampai SMA, Evi tahu ia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Bukan karena ia tak pernah mencoba keluar dari dunia gelap yang sudah mengurungnya selama tujuh tahun ini. Sering ia mengajukan pengunduran diri pada Mami Riska. Mami selalu mengizinkan tapi selalu Erman mengetahui niat Evi. Hubungan dekat Mami dan Erman membuat Evi tidak bisa kabur walaupun Mami seperti membebaskannya. Erman adalah kekasih gelap Mami Riska. Suatu ketika Evi menerima tawaran bekerja di sebuah toko dari seorang teman. Gajinya UMR dan Evi bersedia bekerja jadi staf gudang di sana. Pekerjaan halal, itu poin utamanya. Ia pamit pada Mami. "Sudah kau pikirkan baik-baik, Vi?" tanya Mami. "Sama Mami di sini, kamu sudah jadi idola, lho. Kamu primadona. Kerja di toko begitu, berapa gajinya? Sebulan empat juta? Kamu bisa dapat uang segitu hanya dengan menggoyang satu klien di sini!" Evi tersenyum. Niatnya sudah kuat. Ia tetap minta izin pada Mami Riska untuk berhenti menjadi wanita panggilan. Akhirnya Mami Riska bilang bahwa ia mengizinkan Evi pergi. Bukan main lega hati Evi. Dua hari Evi merasakan bahagia bekerja jadi staf gudang toko grosir itu. Di hari ketiga, saat pulang kerja, ia tidak melihat Eda di rumah. Ibu menangis sendirian di kamar. "Eda kemana, Bu? Ini kan sudah malam. Ibu kenapa?" Evi mulai panik. Saat itu pukul sebelas malam. "Tadi siang waktu Eda pulang sekolah, Erman datang, Vi. Dia maksa ajak Eda ikut, katanya mau diajak makan siang di luar. Eda sudah menolak, Ibu juga melarang, tapi Erman tarik dia keluar. Katanya Eda mau diajak jalan-jalan juga karena dia kasihan lihat Eda di rumah terus. Ibu khawatir karena sudah jam segini Eda belum dibawa pulang sama Erman!" Alarm di otak Evi berdering keras. Ia segera menelpon Eda. Ponsel adiknya itu tidak aktif lalu ia menelpon Erman. "Baru sadar lu kalau si Eda hilang? Darimana aja lu? Kerja di toko? Hebat!" Suara Erman nyaring di telinga Evi. "Dimana Eda?" bentak Evi. Erman tertawa. "Eda lagi gua ajak hepi di sini. Di apartemen gua. Kalau lu mau dia pulang masih hidup, besok lu datang ke tempat Riska lagi." "Bawa pulang Eda sekarang juga, Man. Ini urusan lu sama gua. Jangan ajak Eda, dia gak tahu apa-apa. Kalau sampai Eda luka sedikit saja, gua kejar lu sampai kemanapun." "Kaga gitu aturannya. Gua tunggu sampai lu datang lagi dan kerja di tempat Riska. Kalau lu udah balik ke sana lagi, baru Eda gua pulangin ke emak lu." "Mau lu apa sih, Man?" "Pake nanya segala. Mau gua ya duit! Lu pikir berapa gaji lu kerja di toko? Bandingin sama duit lu kalau kerja di Riska! Paling gede lu dapat empat atau lima juta sebulan kalau lu kerja di toko atau di PT! Duit segitu sama kayak bayaran lu ngelayanin satu tamu dalam semalam di Riska, be go! Kalau lu kuat layani tiga tamu dalam semalam, hitung sendiri berapa duitnya!" Hati Evi bagai dicabik-cabik mendengar ucapan Erman. Lelaki itu seharusnya jadi kakaknya. Walau bukan berasal dari rahim yang sama tapi sejak kecil Erman sudah tinggal bersama Ibu. Tumbuh besar bersama dirinya dan Eda. Waktu kecil, Erman sangat pendiam. Tidak pernah mau menjawab semua ucapan Ibu padanya. Sampai saat itu Evi mengira Erman adalah kakak kandungnya. Ayah mereka meninggal karena sakit ketika Erman lulus SMA dan Evi baru saja masuk SMA di sekolah yang sama. Pada saat itulah hidup nyaman yang Evi jalani mulai berubah menjadi rangkaian nasib tragis. Diawali dari cerita Ibu tentang siapa Erman. Ternyata Erman bukan siapa-siapa bagi Evi dan Eda. Lelaki itu adalah anak dari seorang wanita bersuami yang selingkuh dengan Ayah. Satu tahun ibu kandung Erman hidup bahagia dengan Ayah setelah bercerai dengan bapak kandung Erman. Hingga suatu ketika, Ayah bertemu Ibunda Evi dan berpindah hati padanya. Ayah meninggalkan ibu Erman begitu saja dan menikahi Ibunda Evi. Ibu Erman jatuh sakit karena stress dan sebelum meninggal, ia menyerahkan Erman pada Ayah. Erman lalu diasuh oleh Ibu, dibesarkan seperti anak sendiri tanpa membedakan dengan Evi dan Eda, tapi itu tidak mengubah perasaan Erman yang ternyata sudah tahu asal usul dirinya entah siapa yang menceritakan padanya. Suatu malam, setelah kisah kelam itu terkuak, Erman mengajak Evi pergi ke suatu tempat. Evi tidak curiga sedikitpun karena ia masih menganggap Erman adalah kakaknya. Ternyata Erman membawanya ke sebuah losmen dan menggagahinya di sana. Saat itu Erman bilang bahwa ia akan membalaskan dendam almarhum ibunya lewat Evi dan Eda. "Bertahun-tahun gua simpan sendiri dendam Mama dalam hati. Gua nunggu kapan bisa balas nyakitin lu, emak lu dan adik lu. Bokap udah gak ada, udah gak ada yang gua takutin. Lu sama keluarga lu harus bayar apa yang udah kalian lakukan ke Mama gua." Balas dendam yang konyol. Ibu benar-benar menyayangi Erman seperti anak sendiri. Evi dan Eda bahkan tidak tahu kalau Erman bukan kakak kandung mereka. Bagaimana bisa Erman menyimpan dendam? Belakangan baru Evi tahu bahwa penyebabnya adalah ketergantungan Erman pada obat terlarang. Erman butuh uang untuk beli obat. Perbuatan ja hat Erman pada Evi bukan hanya sekali itu saja. Setiap ada kesempatan saat Ibu belum pulang kerja dan Eda pergi main keluar rumah, Erman selalu melampiaskan naf su nya pada Evi. Sampai tiba di hari sial saat Ibu harus diamputasi dan kehilangan pekerjaan. Sejak itu Ibu terus berada di rumah. Karena Ibu tidak bekerja lagi, terpaksa Evi tidak melanjutkan sekolah dan harus bekerja. Erman yang memaksanya bekerja pada Mami Riska. Sampai sekarang. "Ayo berangkat," kata Jo mengagetkan Evi. Lelaki itu membawa sebuah tas besar. Mereka baru akan melangkah keluar ketika seorang wanita datang dan berdiri menatap mereka dari luar dinding kaca. Matanya penuh kemarahan!Wanita cantik bertubuh tinggi langsing itu masuk ke ruang tamu. Ia berhadapan dengan Evi. Insting di otak Evi langsung memerintahkan dirinya untuk mengangguk sopan pada wanita itu. "Mau kemana, Mas?" tanya si cantik tanpa peduli pada Evi, pandangannya tertuju pada Jo. Evi sempat melirik Jo dan melihat betapa tenangnya lelaki itu. "Ada rapat, San. Di kantor cabang. Kamu ngapain ke sini?" Sandra, istri Jo, menatap Evi dari atas ke bawah. Evi benci sekali dengan jenis tatapan seperti itu. "Ini karyawan baru? Kok aku baru lihat?" Sandra balik bertanya. "Iya. Namanya Evita. Sekretaris pribadiku." "Liana kemana?" Sandra masih melirik judes pada Evi. Liana adalah sekretaris Jo yang dikenal baik oleh Sandra. "Dia resign setelah menikah." "Sekretaris baru ini satu ruangan denganmu?" Evi sempat khawatir apa jawaban Jo. Suasana begitu tegang. "Enggak. Evita duduk di ruang karyawan di sebelah sana. Dia datang kalau aku panggil saja," sahut Jo sambil menunjuk ruang penuh kubike
Erman menyambut kedatangan Evi dan Jo di ambang pintu rumah. Senyumnya lebar sekali. Evi yang terengah-engah karena berjalan cepat dari ujung gang, sekitar seratus meter dari rumahnya, berdiri berhadapan dengan Erman. Wajah Evi merah padam. Jo berdiri di belakang Evi, menatap Erman, seperti biasanya Jo selalu tampak tenang. "Kenapa buru-buru? Takut adek lu gua jual juga?" tanya Erman sambil tersenyum sinis. "Gua cuma becanda aja, Vi. Baper banget sih lu." "Ku rang a jar, lu, Man," kata Evi, ia berusaha menenangkan diri. Dari dalam rumah muncul Ibu mengayuh kursi rodanya. Wajah Ibu tampak khawatir. Erman menoleh pada wanita enam puluh tahun itu. "Gua cuma nyoba aja, bro. Kalo gua ngomong sama Tante ini, tembus apa kaga ke elu, Vi. Eh ternyata iya. Tante tukang ngadu, nih!" Erman seperti berkelakar ringan tapi pilihan katanya sangat menusuk hati Evi. Ibu menatap Evi dan Jo. "Ajak temanmu masuk, Vi," kata Ibu dengan suara gemetar. Erman tertawa. "Itu bukan temannya Evi, Tante! I
Evi mengunci pintu rumah. Papan gypsum berlapis itu sebenarnya tidak layak disebut pintu, tidak kokoh juga tidak maksimal melindungi apa yang ada dalam rumah. Kalau memang ada yang berniat ja hat, pintu gypsum itu akan hancur kena satu kali tendangan. Ibu dan Eda sudah tidur. Evi menuju ruang makan. Tanpa menimbulkan banyak suara, ia menutup sisa hidangan makan malam dengan tudung saji. Evi duduk di kursi makan, termenung. Seharusnya sekarang ia sedang menemani Jo di tempat yang diinginkan lelaki itu. Sejak pergi meninggalkannya tadi sore, Jo tidak menelepon Evi atau sekedar mengirim pesan. Hati Evi mengharapkan ponselnya berbunyi dan ada sesuatu dari Jo di sana. Ia meraih ponsel hitam yang tergeletak di hadapannya lalu mengetik sebuah pesan. [Hai Jo, lagi dimana sekarang?] Hampir saja ia tekan tombol send tapi lalu dengan cepat ia hapus pesan itu. Untuk apa ia menghubungi Jo? Mungkin saja lelaki itu sedang asyik dilayani penghibur lain yang ia booking sebagai pengganti Evi. At
Lingkungan kampung mendadak ramai. Suasana menjelang tengah malam yang biasanya sepi kini seperti ada pasar, penuh orang. Teriakan dan perintah bersahut-sahutan dari segala arah. Setelah satu jam sejak awal api menyala, sudah lima rumah terbakar. Untunglah angin berhembus kecil jadi api tidak terlalu cepat merembet. Api melalap banyak rumah karena bahan pembuat rumah mudah terbakar. Pemadam kebakaran sudah datang tapi karena lokasi api berada dalam gang sempit, mobil-mobil besar itu tidak bisa masuk. Petugas menyemprotkan air dari ujung gang. Warga membantu menyiram air ke rumah yang belum terbakar untuk membasahi dinding papan, berharap api tidak bisa melahapnya. Erman menangis dikelilingi warga di pos ronda. Ia bersama sanak keluarga lain yang rumahnya terbakar berkumpul menunggu kabar. Erman kelihatan bingung dan sangat sedih. "Ini kebakarannya disengaja, Pak," seorang warga berkata dengan suara keras. Ucapannya menarik minat warga lain. "Disengaja bagaimana?" "Ada yang li
"Maksudmu?" Kening Jo mengernyit, ia tidak paham ucapan Evi. Tangan Evi menghapus air mata, setelah menarik napas panjang, ia menjawab pelan. "Ini kesempatanku melarikan diri dari Erman, Jo. Semoga dia mengira aku sudah ma ti terbakar." "Kamu mau sembunyi?" tanya Jo, ia mengerti pikiran Evi. Ini memang kesempatan baik. "Kamu mau kemana?" Evi menatap Jo dengan mata memohon. Tiga detik membalas pandang gadis itu, Jo paham lagi bahwa Evi mengandalkannya. Jo menggeleng pelan. "Aku gak bisa janjikan apapun untukmu, Vi. Kalau soal tempat tinggal, kau bisa tinggal di sini semaumu. Soal pekerjaan, aku bisa tempatkan kau jadi staf kantorku. Soal keamanan, itu yang aku gak bisa jamin. Kamu bilang sendiri kalau Mami Riska dan Erman punya banyak mata-mata." Evi menunduk. Ia membenarkan ucapan Jo itu. Bukan sekali dua kali Evi mencoba kabur dari dunia hitam tapi Mami Riska dan Erman selalu bisa menangkapnya lagi. Kalau mau sembunyi, sekolah Eda pun harus pindah. Eda sudah kelas XII, susah
Dada Evi berdegup keras mendengar ucapan Jo. Bicara jujur, tentang apa? "Aku mau jujur padamu, Vi," kata Jo. Ia bahkan belum masuk ke dalam rumah, masih berdiri di ambang pintu. "A-apa itu?" Evi bersiap, hatinya berbunga. Apakah .... "Istriku mengirim orang untuk mengikuti aku dan dia tahu tentangmu. Sepertinya akan sangat beresiko buat kita berdua kalau kau bekerja di kantorku. Istriku akan tahu dan kau yang akan dapat makiannya." Oh, jujur tentang itu. Evi merasa wajahnya panas karena malu. Apakah tadi ia sempat melambung tinggi karena berharap Jo menyatakan cinta? Ah, betapa lugunya aku, pikir Evi. "Begitu, ya. Jadi, aku batal bekerja di kantormu? Gak apa-apa, Jo. Aku paham." "Aku pikirkan jalan keluarnya lagi nanti. Untuk sementara, kau dan keluargamu aku jamin aman di sini." "Oke. Aku menurut apa aturanmu." "Tetaplah diam di rumah ini. Jangan keluar." "Aku berpikir tentang sekolah Eda, Jo. Dia harus sekolah, tapi keadaan belum aman. Erman pasti mencarinya di sekolah hari
Rumah yang disebut villa peristirahatan itu terlihat biasa saja dari luar. Bentuk bangunannya juga biasa saja, seperti umumnya rumah dua lantai. Penyejuk mata berupa taman depan yang hijau sangat segar dan asri, ditata oleh orang yang paham pertamanan. Hal yang menonjol dari rumah yang katanya kosong itu adalah adanya dua petugas sekuriti di pos gerbangnya. Erman menyadari itu. Buat apa sekuriti berjaga di rumah kosong? Mungkin karena di dalamnya banyak barang berharga, si pemilik rumah itu adalah pengusaha sukses. Erman tahu, barang berharga yang dijaga itu bukan berupa berlian atau guci antik, tapi seorang primadona lokalisasi beserta ibu dan adiknya. Erman mencari cara masuk ke rumah itu tanpa harus berurusan dengan para penjaga. Ia sudah memutari rumah dan melihat sendiri bahwa rumah itu dikelilingi tembok setinggi tiga meter dengan kawat berduri di atasnya, ada juga papan bertuliskan warning, kawat diatas tembok itu dialiri listrik. Seperti kamp militer, pikir Erman. Sejak s
"Apa maksudmu kirim pesan begitu?" Pertanyaan Sandra dibarengi tatapan dingin wanita cantik itu tepat di mata Jo. Sang suami santai duduk bersandar ke tumpukan bantal, bahkan tidak melihat ke arah Sandra, sibuk dengan ponselnya. Geram bukan main hati Sandra melihat ulah suaminya itu. Setelah membaca pesan yang dikirim oleh Jo, Sandra meninggalkan teman-temannya begitu saja dan langsung mencari Jo. "Jelaskan, Jo!" pekik Sandra membahana. Jo baru melirik istrinya, membalas tatapan tajam Sandra padanya. "Apa itu masih kurang jelas? Aku mau bercerai. Itu saja maksudku." "Apa ini karena pe la cur itu?" Jo menegakkan duduk, ponselnya ia letakkan di nakas. "Kau selalu bilang begitu. Pe la cur mana yang kau maksud?" "Perempuan yang kau bawa ke kantor dan kau bilang itu sekretarismu, pengganti Liana!" Jo tahu yang dimaksud Sandra adalah Evi. "Dia wanita baik-baik, bukan pe la cur!" bentak Jo. Sandra malah jadi tambah murka. Ia tam par pipi kiri Jo. "Aku jadi makin yakin ini semua kar