Suara orang mencuci piring membangunkan Evi dari tidur lelap. Ia membuka mata dan segera melihat ke sisi kanannya. Ada Ibu sedang duduk bersandar ke dinding, membaca Al Qur'an. Perlahan Evi bergeser mendekati Ibu lalu berbaring memeluk kaki Ibu. Wajahnya ia selipkan di kain batik yang membungkus satu kaki milik wanita beraroma minyak kayu putih itu. Tangan Evi mengusap kaki kanan Ibu yang hanya sampai lutut.
Ibu menghentikan bacaannya. Sambil tersenyum ia usap rambut Evi yang kusut. "Anak gadis, bangun tidur itu segera ke kamar mandi. Bersihin tubuhmu terus salat Subuh." "Iya. Nanti." Evi masih menikmati kenyamanan memeluk Ibu. Matanya terpejam. "Adikmu sudah bangun dari jam empat. Nyuci baju, masak, nyapu. Gak malu kamu sama Eda?" "Enggak." Cubitan tangan Ibu hinggap di hidung Evi. Gadis itu tertawa. Ia memijit kaki kiri Ibu. "Hari ini Ibu mau makan malam lauk apa?" tanya Evi dengan mata terpejam. "Apa saja. Ibu gak minta yang aneh-aneh, kok, Vi." "Ibu suka sate ayam, kan? Mau aku belikan lagi?" "Walaupun suka kalau terus-terusan ya bosan. Kamu sudah tiga malam beli sate terus. Uangmu dihemat, nak." "Buat Ibu dan Eda, aku gak mau hemat. Bilang ya, Bu, kalau Ibu mau sesuatu. Pasti aku belikan." Evi duduk di sebelah Ibu. Ia melihat sang bunda tersenyum lebar. "Ibu sebenarnya malu tanya ini, tapi Ibu penasaran. Kamu kerja jadi sekretaris memangnya gajinya gede? Berapa?" Ibu mengusap lembut tangan Evi. Tarifku tiga juta untuk short time dan lima juta untuk menginap, Ibu. Kalimat itu terucap dalam hati Evi. Pedih terasa. "Gajiku lumayan gede, Bu. Lima juta sebulan." "Masyaa Allah. Alhamdulillah. Akhirnya kamu bisa bekerja sesuai ilmu yang kamu punya dan gajinya gede." "Hari ini mungkin aku pulang agak malam, Bu. Ibu jangan nungguin aku. Makan saja masakan Eda dulu, ya, Bu? Malam ini aku belikan sate lagi." "Gak usah, Vi. Jangan belanja yang mahal-mahal terus. Simpan uangmu untuk menikah nanti." Aha, menikah? Mana ada lelaki yang mau menikah dengan sampah, Ibu. Evi tersenyum. "Urusan menikah sih masih jauh, Bu. Aku mau kerja dulu buat biayain sekolah Eda sama buat berobat Ibu. Dua hari lagi Ibu harus kontrol, kan?" Ibu mengangguk. Kadang ia merasa bersalah karena memberikan tanggung jawab besar itu pada Evi. Dulu Ibu pernah punya cita-cita menyekolahkan Evi dan Eda sampai sarjana. Penyakit diabetes basah yang diidapnya menghancurkan impian itu. Kaki kanannya diamputasi karena luka yang membusuk dan ia dipecat dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik teh. Itu kejadian ketika Evi duduk di kelas 2 SMA. Evi berdiri setelah mencium pipi Ibu. Ia harus bergegas. Mami Riska sudah memberinya jadwal untuk hari ini, ada klien yang membayar untuk waktu sepanjang hari dari jam delapan pagi sampai jam sepuluh malam. Mami Riska belum memberitahu siapa klien royal itu, hanya menjanjikan Evi bagian sebesar dua puluh juta nanti malam. Uang yang sangat besar untuk Evi, walaupun ia tahu Mami Riska mengambil lebih banyak. Eda sedang menata piring lauk di meja makan. Evi lewat dan menyempatkan mencium pipi sang adik. Eda mengelak dan mendorong tubuh kakaknya itu. "Bau! Mandi dulu!" pekik Eda. Evi tertawa dan berlari kecil ke kamar mandi setelah mengambil satu tempe goreng. Evi berusaha tidak memikirkan apapun selain uang dua puluh juta yang akan ia terima. Tapi kalau saja Evi punya pilihan, ia tidak akan menunggu di restoran lobi Menara Ghaisan pagi ini. Entah siapa yang akan datang menemuinya, ia sungguh tidak tahu. Penampilannya sudah ia tata semenarik mungkin. Rambutnya yang panjang sepunggung ia ikat dengan konde cepol di belakang kepala. Setelan blazer hitam dan celana panjang dipadu blouse putih sebagai dalaman membungkus anggun tubuh rampingnya. Sepasang high heels branded melengkapi penampilan Evi yang berkelas. Siapapun yang melihat, pasti mengira Evi adalah wanita karir selevel eksekutif, bukan wanita panggilan. "Selamat pagi." Sebuah sapaan terdengar dari sisi kanan Evi. Ia menoleh dan terkejut melihat siapa yang kemudian duduk di kursi sebelahnya. "Ngapain lo?" Evi menjawab sapaan tadi. Wajahnya menandakan ia tidak suka dengan lelaki berpakaian serba hitam di sebelahnya itu. "Hei, sopan sedikit sama Abang lo, pe-rek!" Erman melotot pada Evi. "Elo yang booking gua?" Erman tertawa sinis. "Ngapain gua booking elo, gratisan juga dapat! Gua mau minta duit. Tadi gue ke rumah, cuma ada emak Lo yang bun tung itu. Terus gue telepon Riska, dia bilang Lo ada klien di sini." "Se tan, Lo, Man!" "Emang. Lo baru nyadar kalo gua ni se tan? Gua minta sepuluh juta, sekarang juga." Evi melotot murka. Erman semakin kelewatan! Baru minggu lalu dia minta lima juta, sekarang malah minta sepuluh juta! "Buat apaan?" bentak Evi. "Gua kagada duit segitu!" "Buat modal, adik tersayang!" "Judi melulu lo urus! Gua kagada duit! Pergi lo!" Erman menumpu wajahnya dengan telapak tangan di atas meja, menatap Evi. Sekilas Evi membalas tatap Erman tapi dengan cepat buang muka. "Lo mau emak lo gua ha jar? Atau lo mau si Eda gua jual juga ke Riska kayak Lo? Lo pikir Lo siapa berani nolak gua kayak gitu? Hidup Lo dan keluarga Lo yang menyedihkan itu ada di tangan gua, pe-rek." Evi berusaha tetap tenang walau hatinya mendidih oleh emosi. Semua sejarah hidupnya yang kelam terbayang kembali. Ia tidak mau itu terjadi pada Eda. Harapan Evi hanyalah Eda. Erman tidak boleh menyakitinya. "Lo bisa cantik begini emangnya atas jasa siapa? Gua, kan? Gua yang bawa elo ke Riska, sampai Lo jadi primadona di sono. Duit banyak, emak lo bisa santai hepi-hepi makan enak, si Eda bisa sekolah kayak anak orang kaya. Atau, lo mau gua bilang ke emak lo soal kerjaan lo ini? Emak lo pasti bangga banget, Vi!" "Diem lo! Ini gua transfer! Tutup ba cot lo yang bau itu!" Evi tidak tahan lagi. Ia mengeluarkan ponsel dari tas lalu mengirim uang yang diminta Erman. Lelaki bertubuh tinggi itu tertawa. Diusapnya bahu Evi yang dengan segera ditepis oleh gadis itu. "Lo jangan pernah punya pikiran kalau gua bakal berhenti jadiin elu tambang duit gua. Dendam gua sama elu dan emak lu gak bakal habis. Gua bakal balas setiap tetes air mata Mama gua yang turun karena nangisin Bokap yang direbut emak lu. Paham?" Erman berbisik, pelan tapi setiap kata yang diucapkannya bagai silet merobek hati Evi. "Gua bakal habisin lu suatu saat nanti, Man." Evi memberanikan diri menatap lelaki yang merenggut kesuciannya dan menjebloskannya ke dunia hitam itu. Erman tersenyum. "Jangan ketinggian kalau mimpi, pe-rek. Gua duluan ntar yang bakal habisin lu sekeluarga. Oh, ya, terima kasih transferannya. Hari ini lu kudu kerja keras, ya. Kebutuhan gua banyak." Erman berdiri dan mengecup kening Evi sekejap. Evi terpekik dan bergidik jijik, segera ia sapu keningnya dengan telapak tangan. Ia menoleh hendak memaki Erman tapi seketika kaget melihat Erman sedang berdiri berhadapan dengan seorang pria tampan berpakaian jas rapi. Itu Jo. Sepertinya Erman berpapasan dengannya. "Hai, Evi," sapa Jo sambil tersenyum manis. Erman ikut menoleh ke arah Evi. Senyum Erman lebih lebar terkembang. "Ini klien lu hari ini, Vi? Keren." "Anda siapa?" Jo menatap Erman. "Gua kakak dia," Erman menunjuk Evi dengan gerakan kepalanya. "Selamat bersenang-senang, Boss! Permisi!" Tinggallah Evi dan Jo yang bertatapan, canggung. Evi merasa hidupnya sungguh menyedihkan. Jo duduk di kursi yang tadi ditempati Erman. "Apa kabar?" sapa Jo. Evi berusaha tersenyum. "Baik. Kamu yang menyewaku full day?" "Iya." Jo mengangguk dan tersenyum. "Kamu siap bepergian? Aku mau ajak kamu keluar kota, temani aku rapat bisnis." "Rapat bisnis? Setelah itu?" "Kita ngobrol lagi seperti kemarin malam. Jangan khawatir, aku gak akan menyentuhmu." "Kemarin malam juga kamu cuma ajak aku ngobrol. Buat apa kamu bayar kalau cuma untuk ngobrol? Aku dibayar untuk kau sentuh." Evi memindai wajah tampan Jo. Lelaki itu tersenyum. "Aku butuh teman ngobrol saja. Duniaku sepi." "Apa kamu punya kelainan orientasi?" Jo tertawa. "Aku normal. Aku hanya mencoba setia pada istriku." "I-istri?" Mata Evi membeliak. Jo mengangguk. "Iya, aku sudah menikah."Evi masih melotot melihat ke arah Jo. Pria tampan itu tertawa melihat ekspresi Evi. "Jangan mendelik begitu. Kau jadi tambah cantik!" kata Jo sambil melambaikan tangan di depan wajah Evi. "Eh, maaf," sahut Evi salah tingkah. Ia mencoba tersenyum untuk menutupi kegugupannya. "Aku pikir kau bujangan." "Kadang aku merasa masih bujangan. Dulu aku menikah karena dijodohkan. Demi kelanjutan bisnis ayahku." "Oh, begitu. Seperti cerita dalam film, ya? Kau pasti gak cinta sama istrimu dan begitu juga sebaliknya. Benar begitu?" "Analisamu tajam. Bagaimana kalau kau jadi sekretaris pribadiku?" "Apa kamu sanggup kasih aku gaji gede?" Evi mengerling jenaka. Jo gemas sekali melihatnya. "Berapa yang kau minta?" "Seratus juta sebulan." "Boleh, tapi kau jangan pulang, tinggal bersamaku di apartemenku." Evi tertawa lagi. Sudah cukup bercandanya, ucapnya dalam hati. Jo menatap tajam seolah menebak seberapa serius Evi tadi. "Kemana tujuan pertama kita?" "Ayo ke kantorku di lantai t
Wanita cantik bertubuh tinggi langsing itu masuk ke ruang tamu. Ia berhadapan dengan Evi. Insting di otak Evi langsung memerintahkan dirinya untuk mengangguk sopan pada wanita itu. "Mau kemana, Mas?" tanya si cantik tanpa peduli pada Evi, pandangannya tertuju pada Jo. Evi sempat melirik Jo dan melihat betapa tenangnya lelaki itu. "Ada rapat, San. Di kantor cabang. Kamu ngapain ke sini?" Sandra, istri Jo, menatap Evi dari atas ke bawah. Evi benci sekali dengan jenis tatapan seperti itu. "Ini karyawan baru? Kok aku baru lihat?" Sandra balik bertanya. "Iya. Namanya Evita. Sekretaris pribadiku." "Liana kemana?" Sandra masih melirik judes pada Evi. Liana adalah sekretaris Jo yang dikenal baik oleh Sandra. "Dia resign setelah menikah." "Sekretaris baru ini satu ruangan denganmu?" Evi sempat khawatir apa jawaban Jo. Suasana begitu tegang. "Enggak. Evita duduk di ruang karyawan di sebelah sana. Dia datang kalau aku panggil saja," sahut Jo sambil menunjuk ruang penuh kubike
Erman menyambut kedatangan Evi dan Jo di ambang pintu rumah. Senyumnya lebar sekali. Evi yang terengah-engah karena berjalan cepat dari ujung gang, sekitar seratus meter dari rumahnya, berdiri berhadapan dengan Erman. Wajah Evi merah padam. Jo berdiri di belakang Evi, menatap Erman, seperti biasanya Jo selalu tampak tenang. "Kenapa buru-buru? Takut adek lu gua jual juga?" tanya Erman sambil tersenyum sinis. "Gua cuma becanda aja, Vi. Baper banget sih lu." "Ku rang a jar, lu, Man," kata Evi, ia berusaha menenangkan diri. Dari dalam rumah muncul Ibu mengayuh kursi rodanya. Wajah Ibu tampak khawatir. Erman menoleh pada wanita enam puluh tahun itu. "Gua cuma nyoba aja, bro. Kalo gua ngomong sama Tante ini, tembus apa kaga ke elu, Vi. Eh ternyata iya. Tante tukang ngadu, nih!" Erman seperti berkelakar ringan tapi pilihan katanya sangat menusuk hati Evi. Ibu menatap Evi dan Jo. "Ajak temanmu masuk, Vi," kata Ibu dengan suara gemetar. Erman tertawa. "Itu bukan temannya Evi, Tante! I
Evi mengunci pintu rumah. Papan gypsum berlapis itu sebenarnya tidak layak disebut pintu, tidak kokoh juga tidak maksimal melindungi apa yang ada dalam rumah. Kalau memang ada yang berniat ja hat, pintu gypsum itu akan hancur kena satu kali tendangan. Ibu dan Eda sudah tidur. Evi menuju ruang makan. Tanpa menimbulkan banyak suara, ia menutup sisa hidangan makan malam dengan tudung saji. Evi duduk di kursi makan, termenung. Seharusnya sekarang ia sedang menemani Jo di tempat yang diinginkan lelaki itu. Sejak pergi meninggalkannya tadi sore, Jo tidak menelepon Evi atau sekedar mengirim pesan. Hati Evi mengharapkan ponselnya berbunyi dan ada sesuatu dari Jo di sana. Ia meraih ponsel hitam yang tergeletak di hadapannya lalu mengetik sebuah pesan. [Hai Jo, lagi dimana sekarang?] Hampir saja ia tekan tombol send tapi lalu dengan cepat ia hapus pesan itu. Untuk apa ia menghubungi Jo? Mungkin saja lelaki itu sedang asyik dilayani penghibur lain yang ia booking sebagai pengganti Evi. At
Lingkungan kampung mendadak ramai. Suasana menjelang tengah malam yang biasanya sepi kini seperti ada pasar, penuh orang. Teriakan dan perintah bersahut-sahutan dari segala arah. Setelah satu jam sejak awal api menyala, sudah lima rumah terbakar. Untunglah angin berhembus kecil jadi api tidak terlalu cepat merembet. Api melalap banyak rumah karena bahan pembuat rumah mudah terbakar. Pemadam kebakaran sudah datang tapi karena lokasi api berada dalam gang sempit, mobil-mobil besar itu tidak bisa masuk. Petugas menyemprotkan air dari ujung gang. Warga membantu menyiram air ke rumah yang belum terbakar untuk membasahi dinding papan, berharap api tidak bisa melahapnya. Erman menangis dikelilingi warga di pos ronda. Ia bersama sanak keluarga lain yang rumahnya terbakar berkumpul menunggu kabar. Erman kelihatan bingung dan sangat sedih. "Ini kebakarannya disengaja, Pak," seorang warga berkata dengan suara keras. Ucapannya menarik minat warga lain. "Disengaja bagaimana?" "Ada yang li
"Maksudmu?" Kening Jo mengernyit, ia tidak paham ucapan Evi. Tangan Evi menghapus air mata, setelah menarik napas panjang, ia menjawab pelan. "Ini kesempatanku melarikan diri dari Erman, Jo. Semoga dia mengira aku sudah ma ti terbakar." "Kamu mau sembunyi?" tanya Jo, ia mengerti pikiran Evi. Ini memang kesempatan baik. "Kamu mau kemana?" Evi menatap Jo dengan mata memohon. Tiga detik membalas pandang gadis itu, Jo paham lagi bahwa Evi mengandalkannya. Jo menggeleng pelan. "Aku gak bisa janjikan apapun untukmu, Vi. Kalau soal tempat tinggal, kau bisa tinggal di sini semaumu. Soal pekerjaan, aku bisa tempatkan kau jadi staf kantorku. Soal keamanan, itu yang aku gak bisa jamin. Kamu bilang sendiri kalau Mami Riska dan Erman punya banyak mata-mata." Evi menunduk. Ia membenarkan ucapan Jo itu. Bukan sekali dua kali Evi mencoba kabur dari dunia hitam tapi Mami Riska dan Erman selalu bisa menangkapnya lagi. Kalau mau sembunyi, sekolah Eda pun harus pindah. Eda sudah kelas XII, susah
Dada Evi berdegup keras mendengar ucapan Jo. Bicara jujur, tentang apa? "Aku mau jujur padamu, Vi," kata Jo. Ia bahkan belum masuk ke dalam rumah, masih berdiri di ambang pintu. "A-apa itu?" Evi bersiap, hatinya berbunga. Apakah .... "Istriku mengirim orang untuk mengikuti aku dan dia tahu tentangmu. Sepertinya akan sangat beresiko buat kita berdua kalau kau bekerja di kantorku. Istriku akan tahu dan kau yang akan dapat makiannya." Oh, jujur tentang itu. Evi merasa wajahnya panas karena malu. Apakah tadi ia sempat melambung tinggi karena berharap Jo menyatakan cinta? Ah, betapa lugunya aku, pikir Evi. "Begitu, ya. Jadi, aku batal bekerja di kantormu? Gak apa-apa, Jo. Aku paham." "Aku pikirkan jalan keluarnya lagi nanti. Untuk sementara, kau dan keluargamu aku jamin aman di sini." "Oke. Aku menurut apa aturanmu." "Tetaplah diam di rumah ini. Jangan keluar." "Aku berpikir tentang sekolah Eda, Jo. Dia harus sekolah, tapi keadaan belum aman. Erman pasti mencarinya di sekolah hari
Rumah yang disebut villa peristirahatan itu terlihat biasa saja dari luar. Bentuk bangunannya juga biasa saja, seperti umumnya rumah dua lantai. Penyejuk mata berupa taman depan yang hijau sangat segar dan asri, ditata oleh orang yang paham pertamanan. Hal yang menonjol dari rumah yang katanya kosong itu adalah adanya dua petugas sekuriti di pos gerbangnya. Erman menyadari itu. Buat apa sekuriti berjaga di rumah kosong? Mungkin karena di dalamnya banyak barang berharga, si pemilik rumah itu adalah pengusaha sukses. Erman tahu, barang berharga yang dijaga itu bukan berupa berlian atau guci antik, tapi seorang primadona lokalisasi beserta ibu dan adiknya. Erman mencari cara masuk ke rumah itu tanpa harus berurusan dengan para penjaga. Ia sudah memutari rumah dan melihat sendiri bahwa rumah itu dikelilingi tembok setinggi tiga meter dengan kawat berduri di atasnya, ada juga papan bertuliskan warning, kawat diatas tembok itu dialiri listrik. Seperti kamp militer, pikir Erman. Sejak s