Share

2. Wanita Sumber Uang

Suara orang mencuci piring membangunkan Evi dari tidur lelap. Ia membuka mata dan segera melihat ke sisi kanannya. Ada Ibu sedang duduk bersandar ke dinding, membaca Al Qur'an. Perlahan Evi bergeser mendekati Ibu lalu berbaring memeluk kaki Ibu. Wajahnya ia selipkan di kain batik yang membungkus satu kaki milik wanita beraroma minyak kayu putih itu. Tangan Evi mengusap kaki kanan Ibu yang hanya sampai lutut.

Ibu menghentikan bacaannya. Sambil tersenyum ia usap rambut Evi yang kusut.

"Anak gadis, bangun tidur itu segera ke kamar mandi. Bersihin tubuhmu terus salat Subuh."

"Iya. Nanti." Evi masih menikmati kenyamanan memeluk Ibu. Matanya terpejam.

"Adikmu sudah bangun dari jam empat. Nyuci baju, masak, nyapu. Gak malu kamu sama Eda?"

"Enggak."

Cubitan tangan Ibu hinggap di hidung Evi. Gadis itu tertawa. Ia memijit kaki kiri Ibu.

"Hari ini Ibu mau makan malam lauk apa?" tanya Evi dengan mata terpejam.

"Apa saja. Ibu gak minta yang aneh-aneh, kok, Vi."

"Ibu suka sate ayam, kan? Mau aku belikan lagi?"

"Walaupun suka kalau terus-terusan ya bosan. Kamu sudah tiga malam beli sate terus. Uangmu dihemat, nak."

"Buat Ibu dan Eda, aku gak mau hemat. Bilang ya, Bu, kalau Ibu mau sesuatu. Pasti aku belikan." Evi duduk di sebelah Ibu. Ia melihat sang bunda tersenyum lebar.

"Ibu sebenarnya malu tanya ini, tapi Ibu penasaran. Kamu kerja jadi sekretaris memangnya gajinya gede? Berapa?" Ibu mengusap lembut tangan Evi.

Tarifku tiga juta untuk short time dan lima juta untuk menginap, Ibu. Kalimat itu terucap dalam hati Evi. Pedih terasa.

"Gajiku lumayan gede, Bu. Lima juta sebulan."

"Masyaa Allah. Alhamdulillah. Akhirnya kamu bisa bekerja sesuai ilmu yang kamu punya dan gajinya gede."

"Hari ini mungkin aku pulang agak malam, Bu. Ibu jangan nungguin aku. Makan saja masakan Eda dulu, ya, Bu? Malam ini aku belikan sate lagi."

"Gak usah, Vi. Jangan belanja yang mahal-mahal terus. Simpan uangmu untuk menikah nanti."

Aha, menikah? Mana ada lelaki yang mau menikah dengan sampah, Ibu. Evi tersenyum.

"Urusan menikah sih masih jauh, Bu. Aku mau kerja dulu buat biayain sekolah Eda sama buat berobat Ibu. Dua hari lagi Ibu harus kontrol, kan?"

Ibu mengangguk. Kadang ia merasa bersalah karena memberikan tanggung jawab besar itu pada Evi. Dulu Ibu pernah punya cita-cita menyekolahkan Evi dan Eda sampai sarjana. Penyakit diabetes basah yang diidapnya menghancurkan impian itu. Kaki kanannya diamputasi karena luka yang membusuk dan ia dipecat dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik teh. Itu kejadian ketika Evi duduk di kelas 2 SMA.

Evi berdiri setelah mencium pipi Ibu. Ia harus bergegas. Mami Riska sudah memberinya jadwal untuk hari ini, ada klien yang membayar untuk waktu sepanjang hari dari jam delapan pagi sampai jam sepuluh malam. Mami Riska belum memberitahu siapa klien royal itu, hanya menjanjikan Evi bagian sebesar dua puluh juta nanti malam. Uang yang sangat besar untuk Evi, walaupun ia tahu Mami Riska mengambil lebih banyak.

Eda sedang menata piring lauk di meja makan. Evi lewat dan menyempatkan mencium pipi sang adik. Eda mengelak dan mendorong tubuh kakaknya itu.

"Bau! Mandi dulu!" pekik Eda. Evi tertawa dan berlari kecil ke kamar mandi setelah mengambil satu tempe goreng.

Evi berusaha tidak memikirkan apapun selain uang dua puluh juta yang akan ia terima.

Tapi kalau saja Evi punya pilihan, ia tidak akan menunggu di restoran lobi Menara Ghaisan pagi ini.

Entah siapa yang akan datang menemuinya, ia sungguh tidak tahu. Penampilannya sudah ia tata semenarik mungkin. Rambutnya yang panjang sepunggung ia ikat dengan konde cepol di belakang kepala. Setelan blazer hitam dan celana panjang dipadu blouse putih sebagai dalaman membungkus anggun tubuh rampingnya. Sepasang high heels branded melengkapi penampilan Evi yang berkelas. Siapapun yang melihat, pasti mengira Evi adalah wanita karir selevel eksekutif, bukan wanita panggilan.

"Selamat pagi."

Sebuah sapaan terdengar dari sisi kanan Evi. Ia menoleh dan terkejut melihat siapa yang kemudian duduk di kursi sebelahnya.

"Ngapain lo?" Evi menjawab sapaan tadi. Wajahnya menandakan ia tidak suka dengan lelaki berpakaian serba hitam di sebelahnya itu.

"Hei, sopan sedikit sama Abang lo, pe-rek!" Erman melotot pada Evi.

"Elo yang booking gua?"

Erman tertawa sinis.

"Ngapain gua booking elo, gratisan juga dapat! Gua mau minta duit. Tadi gue ke rumah, cuma ada emak Lo yang bun tung itu. Terus gue telepon Riska, dia bilang Lo ada klien di sini."

"Se tan, Lo, Man!"

"Emang. Lo baru nyadar kalo gua ni se tan? Gua minta sepuluh juta, sekarang juga."

Evi melotot murka. Erman semakin kelewatan! Baru minggu lalu dia minta lima juta, sekarang malah minta sepuluh juta!

"Buat apaan?" bentak Evi. "Gua kagada duit segitu!"

"Buat modal, adik tersayang!"

"Judi melulu lo urus! Gua kagada duit! Pergi lo!"

Erman menumpu wajahnya dengan telapak tangan di atas meja, menatap Evi. Sekilas Evi membalas tatap Erman tapi dengan cepat buang muka.

"Lo mau emak lo gua ha jar? Atau lo mau si Eda gua jual juga ke Riska kayak Lo? Lo pikir Lo siapa berani nolak gua kayak gitu? Hidup Lo dan keluarga Lo yang menyedihkan itu ada di tangan gua, pe-rek."

Evi berusaha tetap tenang walau hatinya mendidih oleh emosi. Semua sejarah hidupnya yang kelam terbayang kembali. Ia tidak mau itu terjadi pada Eda. Harapan Evi hanyalah Eda. Erman tidak boleh menyakitinya.

"Lo bisa cantik begini emangnya atas jasa siapa? Gua, kan? Gua yang bawa elo ke Riska, sampai Lo jadi primadona di sono. Duit banyak, emak lo bisa santai hepi-hepi makan enak, si Eda bisa sekolah kayak anak orang kaya. Atau, lo mau gua bilang ke emak lo soal kerjaan lo ini? Emak lo pasti bangga banget, Vi!"

"Diem lo! Ini gua transfer! Tutup ba cot lo yang bau itu!" Evi tidak tahan lagi. Ia mengeluarkan ponsel dari tas lalu mengirim uang yang diminta Erman. Lelaki bertubuh tinggi itu tertawa. Diusapnya bahu Evi yang dengan segera ditepis oleh gadis itu.

"Lo jangan pernah punya pikiran kalau gua bakal berhenti jadiin elu tambang duit gua. Dendam gua sama elu dan emak lu gak bakal habis. Gua bakal balas setiap tetes air mata Mama gua yang turun karena nangisin Bokap yang direbut emak lu. Paham?" Erman berbisik, pelan tapi setiap kata yang diucapkannya bagai silet merobek hati Evi.

"Gua bakal habisin lu suatu saat nanti, Man." Evi memberanikan diri menatap lelaki yang merenggut kesuciannya dan menjebloskannya ke dunia hitam itu. Erman tersenyum.

"Jangan ketinggian kalau mimpi, pe-rek. Gua duluan ntar yang bakal habisin lu sekeluarga. Oh, ya, terima kasih transferannya. Hari ini lu kudu kerja keras, ya. Kebutuhan gua banyak."

Erman berdiri dan mengecup kening Evi sekejap. Evi terpekik dan bergidik jijik, segera ia sapu keningnya dengan telapak tangan. Ia menoleh hendak memaki Erman tapi seketika kaget melihat Erman sedang berdiri berhadapan dengan seorang pria tampan berpakaian jas rapi. Itu Jo. Sepertinya Erman berpapasan dengannya.

"Hai, Evi," sapa Jo sambil tersenyum manis. Erman ikut menoleh ke arah Evi. Senyum Erman lebih lebar terkembang.

"Ini klien lu hari ini, Vi? Keren."

"Anda siapa?" Jo menatap Erman.

"Gua kakak dia," Erman menunjuk Evi dengan gerakan kepalanya. "Selamat bersenang-senang, Boss! Permisi!"

Tinggallah Evi dan Jo yang bertatapan, canggung. Evi merasa hidupnya sungguh menyedihkan. Jo duduk di kursi yang tadi ditempati Erman.

"Apa kabar?" sapa Jo. Evi berusaha tersenyum.

"Baik. Kamu yang menyewaku full day?"

"Iya." Jo mengangguk dan tersenyum. "Kamu siap bepergian? Aku mau ajak kamu keluar kota, temani aku rapat bisnis."

"Rapat bisnis? Setelah itu?"

"Kita ngobrol lagi seperti kemarin malam. Jangan khawatir, aku gak akan menyentuhmu."

"Kemarin malam juga kamu cuma ajak aku ngobrol. Buat apa kamu bayar kalau cuma untuk ngobrol? Aku dibayar untuk kau sentuh." Evi memindai wajah tampan Jo. Lelaki itu tersenyum.

"Aku butuh teman ngobrol saja. Duniaku sepi."

"Apa kamu punya kelainan orientasi?"

Jo tertawa.

"Aku normal. Aku hanya mencoba setia pada istriku."

"I-istri?" Mata Evi membeliak. Jo mengangguk.

"Iya, aku sudah menikah."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status