Evi merapikan pakaiannya terburu-buru.
Mengabaikan pria yang masih terbaring di ranjang empuk itu. "Tunai atau transfer?" tembaknya langsung. "Kau to the point sekali." "Aku gak ada waktu basa-basi. Biasanya, aku minta bayaran di muka. Karena kau teman baik Mami Riska, jadi aku memberimu servis lebih dulu. Bagaimana, mau cash?' tanya Evi lagi. Lelaki berwajah oriental di hadapan Evi tersenyum lebar. Ia meraih ponsel di meja lalu mengetikkan sesuatu di sana. Beberapa detik kemudian ia mengangkat wajah menatap Evi. "Ke rekening siapa? Riska atau punyamu?' "Punyaku." Evi menyebutkan serangkai nomor yang segera diketik oleh pria itu dengan cepat. Layar ponsel dihadapkan pada Evi . "Ini. Sudah masuk." Evi menatap layar ponsel di depannya dan mengangguk. "Baik. Terima kasih." "Aku akan kembali lagi," kata pria itu tiba-tiba. "Jangan terlalu berharap. Aku gak berencana kerja seperti ini terus.' Lelaki di ranjang itu duduk. Tampak dadanya terbuka dan six pack perutnya terlihat jelas. Selimut putih tebal menutup bagian bawah tubuh atletisnya. "Namaku Jo." "Apa kita perlu berkenalan?" Evi mengambil tasnya di atas nakas. Jo mengamati setiap gerakannya. "Jonathan Setiadi. Itu nama lengkapku." "Good name. Aku pamit." Evi tersenyum sesuai standar yang diajarkan Mami Riska pada semua wanitanya. "Tunggu!" Jo berteriak. Evi yang sudah memegang handel pintu hotel menoleh lagi. Jo membungkus tubuh dengan selimut lalu menghampiri Evi. "Kau tahu Menara Ghaisan?" tanya Jo. "Ya." "Kantorku di lantai tiga puluh. Datang saja ke sana kalau kamu butuh pekerjaan." Evi menatap wajah Jo agak lama kemudian ia mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih. Aku Permisi." Evi keluar dan menutup pintu. Bunyi klik keras terdengar. Gadis bertubuh tinggi ramping itu bersandar ke pintu. Ia terpejam sesaat, menahan air mata yang terasa mendesak ingin turun. Napasnya ia atur agar tenang lagi. Jangan menangis di tempat umum. Jo adalah tamu terakhirnya malam ini. Jam tangan di pergelangan kirinya menunjukkan pukul sebelas malam. Mami Riska tahu alasannya kenapa Evi meminta jam kerjanya dibatasi sampai tengah malam saja dan Evi selalu berterima kasih atas pengertian wanita itu pada keadaannya. Evi juga tahu kenapa Mami Riska menuruti permintaannya. Diantara wanita-wanita yang bekerja untuk Mami, Evi adalah primadona. Ia yang paling dicari oleh tamu. Tarifnya juga paling tinggi. Tiba-tiba pintu tempat Evi bersandar terbuka. Gadis itu terhuyung mundur dan jatuh. Untunglah orang yang keluar dari dalam kamar itu sigap menangkap dan memeluknya. Evi bertatapan dengan Jo selama tiga detik yang canggung. "Maaf!" Evi berdiri lagi dan mengangguk sopan pada Jo. Lelaki itu tersenyum. "Aku yang minta maaf. Aku pikir kau sudah pergi. Kenapa masih di sini? Menunggu tamu berikutnya?" Entah kenapa Evi sangat tersinggung mendengar pertanyaan itu walaupun Jo mengucapkannya dengan gaya sopan. Wajah Evi merah padam. Tanpa menjawab, ia bergegas meninggalkan Jo. Setelah keluar dari hotel mewah itu, Evi berjalan cepat menyusuri trotoar. Kota besar tidak pernah tidur, semakin malam, jalan raya semakin ramai. Evi masuk ke kotak ATM pertama yang ditemuinya. Ia mengambil sejumlah uang dari pembayaran yang diberikan Jo tadi dan mentransfer sisanya ke rekening Mami Riska. Langkah gadis berkaki jenjang itu menuju keramaian jejeran tenda penjual makanan, tak jauh dari ATM. Ia masuk ke tenda penjual sate ayam Madura dan memesan dua kodi. Sambil menunggu, Evi memeriksa ponselnya. Ada beberapa pesan masuk dan missed call. Lima pesan dari Eda, adiknya, ia buka. [Mbak pulang jam berapa?] [Ibu menunggu Mbak, katanya Mbak janji pulang bawa sate.] [Mbak dimana sekarang?] [Ibu gak mau makan katanya nunggu Mbak pulang.] [Mbak balas, Mbak lagi dimana? Pulang jam berapa?] Mata Evi panas lagi. Eda, adik bungsunya yang mengurus Ibu di rumah. Usianya tujuh belas tahun, kelas 12. Evi yang lebih tua sepuluh tahun dari Eda sudah bukan sekedar kakak bagi sang adik, tapi juga kepala keluarga di rumah. Tulang punggung yang menanggung nafkah tiga orang. Empat, sebenarnya. Jika saja Erman, si lelaki dua puluh tujuh tahun itu boleh dianggap kakak. Erman jarang pulang. Evi dan Eda lebih suka Erman lenyap saja dan jangan datang lagi ke rumah. Sate pesanan Evi selesai dibungkus. Gadis itu menerima dan membayar lalu bergegas menuju pinggir jalan menunggu taksi. Sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam metalik berhenti di depan Evi. Jendelanya turun dan Evi melihat wajah Jo melongok dari kursi kemudi. "Naik!" Evi menggelengkan kepala sambil tersenyum sopan. "Terima kasih. Saya menunggu taksi." "Ini taksimu malam ini. Ayo aku antar pulang." "Tidak. Terima kasih." "Ayolah!' Sebuah taksi biru meluncur dan Evi sigap melambaikan tangan. Walaupun sudah berkurang jumlahnya, taksi konvensional masih bisa diharapkan di kota ini. Tanpa berpamitan pada Jo, Evi naik ke taksinya dan berlalu pergi. Jo menatap mobil biru di depannya sampai tidak terlihat lagi. Seulas senyum tampak di bibirnya. ***** Toktoktok! Pintu rumah sudah dikunci dan ruang tamu tampak gelap. Evi mengetuknya sambil mengucap salam dan memanggil Eda. Di ketukan ketiga, pintu terbuka. Wajah manis Eda muncul. Evi tersenyum pada adiknya. Ia ulurkan kantung plastik berisi sate pada Eda. "Ibu sudah tidur?" "Sudah, Kak. Ibu belum makan dari siang. Aku masak sop dan tahu goreng tapi Ibu gak mau," jawab Eda. "Bangunin Ibu pelan-pelan, Da. Ambilkan makan pakai lauk sate itu. Kamu juga makan, ya." Evi menutup pintu rumah yang terbuat dari papan gypsum dan sudah rapuh. Eda masuk membawa sate ke ruang tengah. Evi masuk ke kamar tidur setelah cuci muka di kamar mandi. Rumah itu hanya punya satu kamar saja. Tidak ada tempat tidur di dalamnya. Dua kasur lantai tipis tergelar ditutup seprai menjadi tempat Evi, Eda dan Ibu tidur. Jika Erman pulang dan menginap di rumah, lelaki pembawa berbagai masalah itu tidur di kursi bambu ruang tamu. Ibu terbangun setelah Eda mengguncang lembut bahunya. "Sudah pulang kau, Vi?" tanya Ibu sambil menatap anak keduanya. Evi berganti pakaian dengan cepat tanpa keluar ruangan. Setelan blazer hitam ia letakan di keranjang baju kotor di sudut kamar. Setelah nyaman memakai kaus dan celana pendek , Evi duduk di sebelah Ibu. "Aku bawa sate pesanan Ibu. Ibu harus makan yang banyak. Disuapi aku atau Eda?" tanya Evi dengan suara lembut. "Kau sudah gajian, Nak?" "Sudah, Bu. Tadi dapat bonus juga. Makanya aku bisa beli sate." "Alhamdulillah. Bossmu baik ya, Vi?" Evi tersenyum. Ia menggenggam tangan Ibu yang kurus dan keriput. Eda menyuapkan sesendok nasi hangat berlauk dua potong daging sate ayam. Ibu mengunyahnya, wajah lembutnya tampak begitu bahagia. Setiap melihat Ibu tersenyum, beban Evi terasa lenyap. Ibu lah alasan ia terus bertahan dan kuat menjalani hidupnya yang hitam. Erman, manusia kejam yang selalu Evi salahkan setiap kali ia menyadari betapa gelap hari-harinya!Suara orang mencuci piring membangunkan Evi dari tidur lelap. Ia membuka mata dan segera melihat ke sisi kanannya. Ada Ibu sedang duduk bersandar ke dinding, membaca Al Qur'an. Perlahan Evi bergeser mendekati Ibu lalu berbaring memeluk kaki Ibu. Wajahnya ia selipkan di kain batik yang membungkus satu kaki milik wanita beraroma minyak kayu putih itu. Tangan Evi mengusap kaki kanan Ibu yang hanya sampai lutut. Ibu menghentikan bacaannya. Sambil tersenyum ia usap rambut Evi yang kusut. "Anak gadis, bangun tidur itu segera ke kamar mandi. Bersihin tubuhmu terus salat Subuh." "Iya. Nanti." Evi masih menikmati kenyamanan memeluk Ibu. Matanya terpejam. "Adikmu sudah bangun dari jam empat. Nyuci baju, masak, nyapu. Gak malu kamu sama Eda?" "Enggak." Cubitan tangan Ibu hinggap di hidung Evi. Gadis itu tertawa. Ia memijit kaki kiri Ibu. "Hari ini Ibu mau makan malam lauk apa?" tanya Evi dengan mata terpejam. "Apa saja. Ibu gak minta yang aneh-aneh, kok, Vi." "Ibu suka sate aya
Evi masih melotot melihat ke arah Jo. Pria tampan itu tertawa melihat ekspresi Evi. "Jangan mendelik begitu. Kau jadi tambah cantik!" kata Jo sambil melambaikan tangan di depan wajah Evi. "Eh, maaf," sahut Evi salah tingkah. Ia mencoba tersenyum untuk menutupi kegugupannya. "Aku pikir kau bujangan." "Kadang aku merasa masih bujangan. Dulu aku menikah karena dijodohkan. Demi kelanjutan bisnis ayahku." "Oh, begitu. Seperti cerita dalam film, ya? Kau pasti gak cinta sama istrimu dan begitu juga sebaliknya. Benar begitu?" "Analisamu tajam. Bagaimana kalau kau jadi sekretaris pribadiku?" "Apa kamu sanggup kasih aku gaji gede?" Evi mengerling jenaka. Jo gemas sekali melihatnya. "Berapa yang kau minta?" "Seratus juta sebulan." "Boleh, tapi kau jangan pulang, tinggal bersamaku di apartemenku." Evi tertawa lagi. Sudah cukup bercandanya, ucapnya dalam hati. Jo menatap tajam seolah menebak seberapa serius Evi tadi. "Kemana tujuan pertama kita?" "Ayo ke kantorku di lantai t
Wanita cantik bertubuh tinggi langsing itu masuk ke ruang tamu. Ia berhadapan dengan Evi. Insting di otak Evi langsung memerintahkan dirinya untuk mengangguk sopan pada wanita itu. "Mau kemana, Mas?" tanya si cantik tanpa peduli pada Evi, pandangannya tertuju pada Jo. Evi sempat melirik Jo dan melihat betapa tenangnya lelaki itu. "Ada rapat, San. Di kantor cabang. Kamu ngapain ke sini?" Sandra, istri Jo, menatap Evi dari atas ke bawah. Evi benci sekali dengan jenis tatapan seperti itu. "Ini karyawan baru? Kok aku baru lihat?" Sandra balik bertanya. "Iya. Namanya Evita. Sekretaris pribadiku." "Liana kemana?" Sandra masih melirik judes pada Evi. Liana adalah sekretaris Jo yang dikenal baik oleh Sandra. "Dia resign setelah menikah." "Sekretaris baru ini satu ruangan denganmu?" Evi sempat khawatir apa jawaban Jo. Suasana begitu tegang. "Enggak. Evita duduk di ruang karyawan di sebelah sana. Dia datang kalau aku panggil saja," sahut Jo sambil menunjuk ruang penuh kubike
Erman menyambut kedatangan Evi dan Jo di ambang pintu rumah. Senyumnya lebar sekali. Evi yang terengah-engah karena berjalan cepat dari ujung gang, sekitar seratus meter dari rumahnya, berdiri berhadapan dengan Erman. Wajah Evi merah padam. Jo berdiri di belakang Evi, menatap Erman, seperti biasanya Jo selalu tampak tenang. "Kenapa buru-buru? Takut adek lu gua jual juga?" tanya Erman sambil tersenyum sinis. "Gua cuma becanda aja, Vi. Baper banget sih lu." "Ku rang a jar, lu, Man," kata Evi, ia berusaha menenangkan diri. Dari dalam rumah muncul Ibu mengayuh kursi rodanya. Wajah Ibu tampak khawatir. Erman menoleh pada wanita enam puluh tahun itu. "Gua cuma nyoba aja, bro. Kalo gua ngomong sama Tante ini, tembus apa kaga ke elu, Vi. Eh ternyata iya. Tante tukang ngadu, nih!" Erman seperti berkelakar ringan tapi pilihan katanya sangat menusuk hati Evi. Ibu menatap Evi dan Jo. "Ajak temanmu masuk, Vi," kata Ibu dengan suara gemetar. Erman tertawa. "Itu bukan temannya Evi, Tante! I
Evi mengunci pintu rumah. Papan gypsum berlapis itu sebenarnya tidak layak disebut pintu, tidak kokoh juga tidak maksimal melindungi apa yang ada dalam rumah. Kalau memang ada yang berniat ja hat, pintu gypsum itu akan hancur kena satu kali tendangan. Ibu dan Eda sudah tidur. Evi menuju ruang makan. Tanpa menimbulkan banyak suara, ia menutup sisa hidangan makan malam dengan tudung saji. Evi duduk di kursi makan, termenung. Seharusnya sekarang ia sedang menemani Jo di tempat yang diinginkan lelaki itu. Sejak pergi meninggalkannya tadi sore, Jo tidak menelepon Evi atau sekedar mengirim pesan. Hati Evi mengharapkan ponselnya berbunyi dan ada sesuatu dari Jo di sana. Ia meraih ponsel hitam yang tergeletak di hadapannya lalu mengetik sebuah pesan. [Hai Jo, lagi dimana sekarang?] Hampir saja ia tekan tombol send tapi lalu dengan cepat ia hapus pesan itu. Untuk apa ia menghubungi Jo? Mungkin saja lelaki itu sedang asyik dilayani penghibur lain yang ia booking sebagai pengganti Evi. At
Lingkungan kampung mendadak ramai. Suasana menjelang tengah malam yang biasanya sepi kini seperti ada pasar, penuh orang. Teriakan dan perintah bersahut-sahutan dari segala arah. Setelah satu jam sejak awal api menyala, sudah lima rumah terbakar. Untunglah angin berhembus kecil jadi api tidak terlalu cepat merembet. Api melalap banyak rumah karena bahan pembuat rumah mudah terbakar. Pemadam kebakaran sudah datang tapi karena lokasi api berada dalam gang sempit, mobil-mobil besar itu tidak bisa masuk. Petugas menyemprotkan air dari ujung gang. Warga membantu menyiram air ke rumah yang belum terbakar untuk membasahi dinding papan, berharap api tidak bisa melahapnya. Erman menangis dikelilingi warga di pos ronda. Ia bersama sanak keluarga lain yang rumahnya terbakar berkumpul menunggu kabar. Erman kelihatan bingung dan sangat sedih. "Ini kebakarannya disengaja, Pak," seorang warga berkata dengan suara keras. Ucapannya menarik minat warga lain. "Disengaja bagaimana?" "Ada yang li
"Maksudmu?" Kening Jo mengernyit, ia tidak paham ucapan Evi. Tangan Evi menghapus air mata, setelah menarik napas panjang, ia menjawab pelan. "Ini kesempatanku melarikan diri dari Erman, Jo. Semoga dia mengira aku sudah ma ti terbakar." "Kamu mau sembunyi?" tanya Jo, ia mengerti pikiran Evi. Ini memang kesempatan baik. "Kamu mau kemana?" Evi menatap Jo dengan mata memohon. Tiga detik membalas pandang gadis itu, Jo paham lagi bahwa Evi mengandalkannya. Jo menggeleng pelan. "Aku gak bisa janjikan apapun untukmu, Vi. Kalau soal tempat tinggal, kau bisa tinggal di sini semaumu. Soal pekerjaan, aku bisa tempatkan kau jadi staf kantorku. Soal keamanan, itu yang aku gak bisa jamin. Kamu bilang sendiri kalau Mami Riska dan Erman punya banyak mata-mata." Evi menunduk. Ia membenarkan ucapan Jo itu. Bukan sekali dua kali Evi mencoba kabur dari dunia hitam tapi Mami Riska dan Erman selalu bisa menangkapnya lagi. Kalau mau sembunyi, sekolah Eda pun harus pindah. Eda sudah kelas XII, susah
Dada Evi berdegup keras mendengar ucapan Jo. Bicara jujur, tentang apa? "Aku mau jujur padamu, Vi," kata Jo. Ia bahkan belum masuk ke dalam rumah, masih berdiri di ambang pintu. "A-apa itu?" Evi bersiap, hatinya berbunga. Apakah .... "Istriku mengirim orang untuk mengikuti aku dan dia tahu tentangmu. Sepertinya akan sangat beresiko buat kita berdua kalau kau bekerja di kantorku. Istriku akan tahu dan kau yang akan dapat makiannya." Oh, jujur tentang itu. Evi merasa wajahnya panas karena malu. Apakah tadi ia sempat melambung tinggi karena berharap Jo menyatakan cinta? Ah, betapa lugunya aku, pikir Evi. "Begitu, ya. Jadi, aku batal bekerja di kantormu? Gak apa-apa, Jo. Aku paham." "Aku pikirkan jalan keluarnya lagi nanti. Untuk sementara, kau dan keluargamu aku jamin aman di sini." "Oke. Aku menurut apa aturanmu." "Tetaplah diam di rumah ini. Jangan keluar." "Aku berpikir tentang sekolah Eda, Jo. Dia harus sekolah, tapi keadaan belum aman. Erman pasti mencarinya di sekolah hari
Ibu tertawa melihat isi piring besar yang disodorkan oleh Tini, asisten rumah tangga di rumah Jo. Sate ayam berlumur bumbu kacang pekat harum penuh di piring panjang itu."Silakan dimakan, Bu. Itu kata Pak Jo khusus buat Ibu saja." Tini tersenyum pada Ibu. "Boss Jo sampai hapal kesukaan Ibu, sate ayam!" Eda ikut tertawa melihat mata Ibu berbinar. "Awas makan kacang, ingat asam urat!""Saya pamit ke belakang dulu ya, Bu," kata Tini lagi."Silakan, Mbak. Terima kasih satenya!" Ibu mengangguk pada Tini.Tidak menunggu perintah lagi, Ibu dan Eda menyantap nasi hangat berlauk sate ayam kesukaan Ibu. "Boss Jo dan kakakmu belum bangun, Da?" tanya Ibu setelah menelan suapan pertamanya. Eda menggeleng."Ya belum keluar dari kamar lah, Bu. Namanya juga penganten baru!""Kayak ngerti saja kamu!""Tahu lah!"Sudah seminggu berlalu sejak pesta pernikahan sederhana digelar di rumah Jo. Evi sah jadi istrinya. Ibu dan Eda juga diboyong tinggal di rumah warisan dari ibunda Jo itu. Jo memastikan Ibu
Koridor menuju kamar jenazah Rumah Sakit Daerah lengang di sore hari. Evi tergopoh melangkah mengikuti seorang polisi. Administrasi pemulangan jenazah sedang diurus oleh Jo di kantor RSUD. Mereka juga masih perlu membereskan beberapa masalah di kantor polisi.Semalam terjadi kebakaran yang menghanguskan satu deret kamar kontrakan di daerah pinggir kota. Ditemukan tiga korban jiwa dalam satu unit kamar, semuanya diidentifikasi berjenis kelamin pria.Bahan bakar yang menjadi sebab kebakaran hanya disiramkan di dinding depan satu kamar, sumber nyala api, sedangkan bangunan lain hanya menerima rembetan api dan tidak seluruhnya hangus. Kamar sumber nyala api juga menyisakan dinding belakang yang tidak habis terbakar. Tiga korban jiwa ditemukan berpelukan di dalam kamar mandi, kondisi mereka mengalami luka bakar 80%.Polisi juga menemukan sebuah tas yang separuh dilalap api, di dalamnya ada sebuah dompet hampir meleleh yang berisi kartu identitas atas nama Erman Setiabudi, beralamat di ruma
Ketiga orang di dalam kamar gelap itu berhenti bicara ketika mereka mendengar bunyi langkah kaki yang ribut di luar. Banyak suara bisik-bisik dan mesin motor yang berhenti."Man, mereka datang, Man," bisik Doni.Erman dan Rere saling pandang di bawah lampu layar ponsel."Anak buah Gundul gak bisa diajak main-main, Man. Lu kenapa lari kesini, sih?" Kaki Doni menyepak paha Erman."Gua gak punya tempat lain buat dituju!" bentak Erman dalam bisikan."Dengar!" Rere memukul bahu Erman.Sepertinya kamar di kanan kiri terbuka dan ada suara orang berlari, beberapa pekikan kecil juga barang jatuh. Rere menebak penghuni kamar tetangga lari menyelamatkan diri. "Bagaimana kalau kita lari keluar? Kamar ini gak ada pintu belakangnya!" kata Erman."Mau lari lewat mana?" sahut Doni. "Lihat itu di bawah pintu!"Cahaya teras kamar yang terang menyinari kaki-kaki yang berdiri tepat di depan kamar Doni. Erman merasa dingin sekujur tubuhnya. Bagaimana cara lari dari sini?Gundul memberinya waktu seminggu
Wajah Ibu menampakkan kebahagiaan yang nyata. Wanita yang lebih banyak diam daripada bicara itu terus tersenyum saat Evi menjelaskan padanya bahwa mulai besok akan bekerja jadi staf kantor. Bukan pegawai biasa, malah, tapi sebagai kepala divisi."Siapa bossnya, Vi?" tanya Ibu. Evi menghela napas, melegakan dadanya yang sesak oleh bahagia."Perusahaannya milik Jo, Bu."Senyum Ibu sesaat hilang, tapi lalu muncul lagi. Ibu mengangguk-angguk pelan."Sepertinya persangkaan Ibu padanya selama ini salah. Semoga dia benar-benar orang baik.""Jo ingin bulan depan kami menikah."Mata Ibu sedikit melotot, kaget. Air mukanya berubah-ubah, antara senang dan sedih. Evi meraih tangan Ibu dan menggenggamnya."Jo dan aku saling mencintai, Bu. Kami tidak peduli pada masa lalu. Restui kami, Ibu.""Kau yakin, Vi? Ibu hanya khawatir kau cuma dia jadikan mainan, iseng sambil dia mencari yang lain. Ibu takut kau disakiti.""Semoga tidak, Bu. Aku bisa lihat dia sungguh serius pada janjinya.""Maafin ucapan I
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Ibu menyambut Eda pulang sekolah. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Eda langsung menuju meja makan. Ada semangkuk sup ayam dan perkedel kentang tersaji. Eda mengambil makanan lalu membawanya ke kamar."Ibu sudah makan?""Sudah. Kakakmu menelepon?""Mbak Evi? Tidak. Kemana dia?""Tadi perginya pamit mau ke apartemen ngambil perabot yang masih ada di sana. Kok belum balik lagi ya? Lama sekali.""Sekalian belanja kalik, Bu.""Iya mungkin." Ibu kelihatan tenang lagi. Eda makan di kamar sambil menemani ibu mengobrol.Ibu bahagia bukan kepalang sewaktu Evi mengajaknya pindah ke Lampung Pandansari. Apalagi ketika Evi berjanji akan memulai hidup baru dan meninggalkan pekerjaannya yang lama. Apalagi yang jadi doa Ibu selama ini kalau bukan kedua hal itu?"Ibu merasa Evi jadi begitu ya karena Ibu juga, Da. Ibu jadi beban kakakmu. Untungnya Evi itu pekerja keras, dia gak pernah ngeluh.""Aku juga ngerasa bersalah sama Mbak Evi, Bu. Aku banyak permintaan. Gak mau bantuin dia kerja."Ibu me
Status Jo sekarang adalah pengangguran. Ia benar-benar tidak punya pekerjaan. Sejak diusir dari kantor, Jo belum pulang ke rumah. Ia ingin bertemu Mamanya sebentar tapi takut jika terpergok Papa. Hanya dua hari ia menumpang tidur di apartemen Evi lalu keliling kota mencari rumah kontrakan.Jo membayar uang kontrakan selama setahun ke depan secara cash. Uang tabungannya masih banyak sekali. Namun begitu, Jo tetap harus bekerja karena suatu hari nanti uang tabungannya akan habis. Apa yang bisa Jo kerjakan? Ia hanya punya pengalaman jadi Boss saja, tidak pernah bekerja dengan otot.Rumah kontrakannya yang baru berupa sebuah rumah satu kamar yang mungil. Harga sewanya lumayan tinggi. Jo berhitung, andai ia hanya mengandalkan tabungan saja tanpa menambah saldo, rekeningnya akan jadi nol dalam waktu dua tahun. Untuk itulah Jo harus bekerja.Pikiran Jo masih tertambat pada Evi. Ia masih mencarinya dengan berbagai cara, sampai dengan mengintai rumah Mami Riska sepanjang hari tapi tetap nihil
"Apa maksud kalian? Siapa yang menyuruhku pergi?" Jo bangun dari tempatnya duduk di balik meja kerja. Para bodyguard menentang tatapan mata Jo tanpa gentar."Atasan kami, pak Salman Setiadi memerintahkan demikian, Pak Jonathan. Anda diberi waktu satu jam dari sekarang untuk berkemas. Ini surat pemecatan anda." Sebuah amplop putih panjang dengan kop surat nama perusahaan induk tertera diletakkan di meja kerja. Jo menatap surat itu. Dia dipecat oleh ayah sendiri. Lucu sekali hidup ini."Tolong sampaikan pada Papa, saya ....""Kami tidak diperintah untuk menyampaikan pesan balik, Pak Jonathan. Kami ada di sini untuk memastikan Anda berkemas dengan baik tanpa ada barang tertinggal." Si kepala bodyguard memutus ucapan Jo."Dimana Papa sekarang? Antar saya ke sana.""Silakan berkemas saja dan pergi, Pak Jonathan."Ini keterlaluan, gumam Jo dalam batin. Apa ini semua karena Evi? Bagaimana bisa seorang ayah memecat anak sendiri hanya karena rebutan wanita! Jo bergerak maju tanpa permisi pada