Share

Primadona Kesayangan CEO Dingin
Primadona Kesayangan CEO Dingin
Penulis: Dee Rahayu

1. Pertemuan Pertama

Evi merapikan pakaiannya terburu-buru.

Mengabaikan pria yang masih terbaring di ranjang empuk itu. "Tunai atau transfer?" tembaknya langsung.

"Kau to the point sekali."

"Aku gak ada waktu basa-basi. Biasanya, aku minta bayaran di muka. Karena kau teman baik Mami Riska, jadi aku memberimu servis lebih dulu. Bagaimana, mau cash?' tanya Evi lagi.

Lelaki berwajah oriental di hadapan Evi tersenyum lebar. Ia meraih ponsel di meja lalu mengetikkan sesuatu di sana. Beberapa detik kemudian ia mengangkat wajah menatap Evi. "Ke rekening siapa? Riska atau punyamu?'

"Punyaku." Evi menyebutkan serangkai nomor yang segera diketik oleh pria itu dengan cepat. Layar ponsel dihadapkan pada Evi .

"Ini. Sudah masuk."

Evi menatap layar ponsel di depannya dan mengangguk. "Baik. Terima kasih."

"Aku akan kembali lagi," kata pria itu tiba-tiba.

"Jangan terlalu berharap. Aku gak berencana kerja seperti ini terus.'

Lelaki di ranjang itu duduk. Tampak dadanya terbuka dan six pack perutnya terlihat jelas. Selimut putih tebal menutup bagian bawah tubuh atletisnya.

"Namaku Jo."

"Apa kita perlu berkenalan?" Evi mengambil tasnya di atas nakas. Jo mengamati setiap gerakannya.

"Jonathan Setiadi. Itu nama lengkapku."

"Good name. Aku pamit." Evi tersenyum sesuai standar yang diajarkan Mami Riska pada semua wanitanya.

"Tunggu!" Jo berteriak. Evi yang sudah memegang handel pintu hotel menoleh lagi. Jo membungkus tubuh dengan selimut lalu menghampiri Evi.

"Kau tahu Menara Ghaisan?" tanya Jo.

"Ya."

"Kantorku di lantai tiga puluh. Datang saja ke sana kalau kamu butuh pekerjaan."

Evi menatap wajah Jo agak lama kemudian ia mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih. Aku Permisi."

Evi keluar dan menutup pintu. Bunyi klik keras terdengar.

Gadis bertubuh tinggi ramping itu bersandar ke pintu. Ia terpejam sesaat, menahan air mata yang terasa mendesak ingin turun. Napasnya ia atur agar tenang lagi. Jangan menangis di tempat umum.

Jo adalah tamu terakhirnya malam ini. Jam tangan di pergelangan kirinya menunjukkan pukul sebelas malam. Mami Riska tahu alasannya kenapa Evi meminta jam kerjanya dibatasi sampai tengah malam saja dan Evi selalu berterima kasih atas pengertian wanita itu pada keadaannya. Evi juga tahu kenapa Mami Riska menuruti permintaannya. Diantara wanita-wanita yang bekerja untuk Mami, Evi adalah primadona. Ia yang paling dicari oleh tamu. Tarifnya juga paling tinggi.

Tiba-tiba pintu tempat Evi bersandar terbuka. Gadis itu terhuyung mundur dan jatuh. Untunglah orang yang keluar dari dalam kamar itu sigap menangkap dan memeluknya. Evi bertatapan dengan Jo selama tiga detik yang canggung.

"Maaf!" Evi berdiri lagi dan mengangguk sopan pada Jo. Lelaki itu tersenyum.

"Aku yang minta maaf. Aku pikir kau sudah pergi. Kenapa masih di sini? Menunggu tamu berikutnya?"

Entah kenapa Evi sangat tersinggung mendengar pertanyaan itu walaupun Jo mengucapkannya dengan gaya sopan. Wajah Evi merah padam. Tanpa menjawab, ia bergegas meninggalkan Jo.

Setelah keluar dari hotel mewah itu, Evi berjalan cepat menyusuri trotoar. Kota besar tidak pernah tidur, semakin malam, jalan raya semakin ramai. Evi masuk ke kotak ATM pertama yang ditemuinya. Ia mengambil sejumlah uang dari pembayaran yang diberikan Jo tadi dan mentransfer sisanya ke rekening Mami Riska.

Langkah gadis berkaki jenjang itu menuju keramaian jejeran tenda penjual makanan, tak jauh dari ATM. Ia masuk ke tenda penjual sate ayam Madura dan memesan dua kodi. Sambil menunggu, Evi memeriksa ponselnya. Ada beberapa pesan masuk dan missed call. Lima pesan dari Eda, adiknya, ia buka.

[Mbak pulang jam berapa?]

[Ibu menunggu Mbak, katanya Mbak janji pulang bawa sate.]

[Mbak dimana sekarang?]

[Ibu gak mau makan katanya nunggu Mbak pulang.]

[Mbak balas, Mbak lagi dimana? Pulang jam berapa?]

Mata Evi panas lagi. Eda, adik bungsunya yang mengurus Ibu di rumah. Usianya tujuh belas tahun, kelas 12. Evi yang lebih tua sepuluh tahun dari Eda sudah bukan sekedar kakak bagi sang adik, tapi juga kepala keluarga di rumah. Tulang punggung yang menanggung nafkah tiga orang. Empat, sebenarnya. Jika saja Erman, si lelaki dua puluh tujuh tahun itu boleh dianggap kakak. Erman jarang pulang. Evi dan Eda lebih suka Erman lenyap saja dan jangan datang lagi ke rumah.

Sate pesanan Evi selesai dibungkus. Gadis itu menerima dan membayar lalu bergegas menuju pinggir jalan menunggu taksi.

Sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam metalik berhenti di depan Evi. Jendelanya turun dan Evi melihat wajah Jo melongok dari kursi kemudi.

"Naik!"

Evi menggelengkan kepala sambil tersenyum sopan.

"Terima kasih. Saya menunggu taksi."

"Ini taksimu malam ini. Ayo aku antar pulang."

"Tidak. Terima kasih."

"Ayolah!'

Sebuah taksi biru meluncur dan Evi sigap melambaikan tangan. Walaupun sudah berkurang jumlahnya, taksi konvensional masih bisa diharapkan di kota ini. Tanpa berpamitan pada Jo, Evi naik ke taksinya dan berlalu pergi. Jo menatap mobil biru di depannya sampai tidak terlihat lagi. Seulas senyum tampak di bibirnya.

*****

Toktoktok!

Pintu rumah sudah dikunci dan ruang tamu tampak gelap. Evi mengetuknya sambil mengucap salam dan memanggil Eda.

Di ketukan ketiga, pintu terbuka. Wajah manis Eda muncul. Evi tersenyum pada adiknya. Ia ulurkan kantung plastik berisi sate pada Eda.

"Ibu sudah tidur?"

"Sudah, Kak. Ibu belum makan dari siang. Aku masak sop dan tahu goreng tapi Ibu gak mau," jawab Eda.

"Bangunin Ibu pelan-pelan, Da. Ambilkan makan pakai lauk sate itu. Kamu juga makan, ya." Evi menutup pintu rumah yang terbuat dari papan gypsum dan sudah rapuh. Eda masuk membawa sate ke ruang tengah.

Evi masuk ke kamar tidur setelah cuci muka di kamar mandi. Rumah itu hanya punya satu kamar saja. Tidak ada tempat tidur di dalamnya. Dua kasur lantai tipis tergelar ditutup seprai menjadi tempat Evi, Eda dan Ibu tidur. Jika Erman pulang dan menginap di rumah, lelaki pembawa berbagai masalah itu tidur di kursi bambu ruang tamu.

Ibu terbangun setelah Eda mengguncang lembut bahunya.

"Sudah pulang kau, Vi?" tanya Ibu sambil menatap anak keduanya. Evi berganti pakaian dengan cepat tanpa keluar ruangan. Setelan blazer hitam ia letakan di keranjang baju kotor di sudut kamar. Setelah nyaman memakai kaus dan celana pendek , Evi duduk di sebelah Ibu.

"Aku bawa sate pesanan Ibu. Ibu harus makan yang banyak. Disuapi aku atau Eda?" tanya Evi dengan suara lembut.

"Kau sudah gajian, Nak?"

"Sudah, Bu. Tadi dapat bonus juga. Makanya aku bisa beli sate."

"Alhamdulillah. Bossmu baik ya, Vi?"

Evi tersenyum. Ia menggenggam tangan Ibu yang kurus dan keriput. Eda menyuapkan sesendok nasi hangat berlauk dua potong daging sate ayam. Ibu mengunyahnya, wajah lembutnya tampak begitu bahagia.

Setiap melihat Ibu tersenyum, beban Evi terasa lenyap. Ibu lah alasan ia terus bertahan dan kuat menjalani hidupnya yang hitam.

Erman, manusia kejam yang selalu Evi salahkan setiap kali ia menyadari betapa gelap hari-harinya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status