Diabaikan dan diejek keluarganya, Arif Mahoni, 25 tahun, terjerat ke dalam lingkaran keputusasaan. Dia tersesat ke Desa Kandang Bubrah. Mbah Mijan, sosok misterius menawarkan pesugihan padanya. Tanpa segan, Arif menandatangani kesepakatan berbahaya.
View MoreMereka memutuskan untuk bergerak cepat. Waktu tidak berpihak kepada mereka, dan semakin lama mereka menunggu, semakin kecil kemungkinan mereka menemukan Dimas dalam keadaan utuh.Perjalanan menuju Hutan Srengege terasa lebih berat kali ini. Kabut tipis mulai turun, menciptakan bayangan aneh di antara pepohonan. Udara semakin dingin, dan suara-suara asing mulai terdengar di kejauhan—bisikan samar yang tidak bisa mereka pahami.“Berhati-hatilah,” Ustadz Harman mengingatkan. “Hutan ini bukan sekadar tempat biasa.”Lila menggenggam liontin di lehernya erat-erat, berharap benda itu masih bisa melindunginya dan Jatinegara. Jatinegara berjalan di sampingnya, menggenggam senter dengan tangan yang sedikit gemetar.Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di batas hutan, tempat di mana semuanya selalu terasa berbeda.Dan kali ini, mereka tidak sendirian. Di
“Hutan memilih sendiri,” lanjut Arif. “Dan Dimas… dia sudah dipilih sejak lama. Kau bisa merasakannya, bukan? Sejak dia kembali, ada sesuatu yang berbeda darinya.”Wina menggigit bibirnya. Ia memang merasakan ada sesuatu yang aneh pada Dimas sejak mereka kembali berurusan dengan semua ini. Tapi ia selalu menganggap itu hanya kelelahan atau trauma akibat kejadian sebelumnya.Kini, semuanya terasa masuk akal. Dimas bukan lagi manusia sepenuhnya. Dan selama dia tetap berada di dunia ini, keseimbangan akan terus terganggu.Wina merasakan tubuhnya ditarik kembali. Ia ingin bertanya lebih banyak kepada Arif, tapi semuanya tiba-tiba menjadi kabur. Kabut yang mengelilinginya semakin pekat, dan suara Arif semakin jauh.“Wina… kembalikan dia sebelum semuanya terlambat…” Lalu, semuanya menghilang.Wina terbangun dengan napas tersengal
Lila bisa merasakan betapa beratnya beban yang kini dipikul oleh Wina. Bagaimana bisa seorang anak tumbuh tanpa hak untuk menikah, tanpa kesempatan untuk memilih jalannya sendiri?Namun, sebelum ada yang bisa bertanya lebih lanjut, suara gemuruh terdengar dari kejauhan.Jantung Lila berdetak lebih cepat. “Apa itu?”Danyang menatap ke arah desa dengan mata yang semakin kelam. “Teror belum berakhir.”Mereka semua menoleh ke arah desa, dan saat itulah mereka melihatnya.Di kejauhan, tepat di tengah desa, tampak bayangan hitam besar berdiri di antara rumah-rumah. Makhluk itu lebih besar dari manusia biasa, dengan tubuh yang bergetar seperti asap pekat. Matanya menyala merah, dan suaranya terdengar seperti geraman dari dunia lain.“Tunggu…” Jatinegara menyipitkan mata. “Itu… bukan kera putih yang tadi kita lihat?”
Langit masih tertutup awan kelam, membuat suasana desa semakin suram. Api berwarna kebiruan di rumah Pak Roji perlahan memudar, namun hawa panas dan bau anyir masih menggantung di udara. Lila, Ustadz Harman, dan Jatinegara berdiri waspada di depan rumah, sementara Bu Wati terus menggenggam tangannya dengan cemas.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah jalan desa. Mereka menoleh cepat, dan di bawah remang cahaya lampu minyak, tampak seorang perempuan berjalan mendekat.Lila merasa sedikit lega melihatnya. Wina bukan orang biasa,dia adalah seseorang yang memiliki keterkaitan kuat dengan hal-hal gaib. Dulu, Wina pernah membantu mereka memahami berbagai kejadian aneh di desa, berkomunikasi dengan Danyang, makhluk penjaga alam gaib yang menetap di tempat ini.Namun, saat Wina semakin dekat, ada sesuatu yang berbeda darinya. Raut wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya, tapi tetap menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Ia mengenakan kain berwarna hitam yang menutupi sebagian b
Angin berhembus semakin dingin, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih pekat—bau kematian.Lila berdiri tegang di depan rumah Pak Roji yang terbakar dengan api kebiruan yang aneh. Asap hitam membubung dari celah-celah atap, tetapi api itu sendiri tidak membakar kayu. Rumah itu tampak masih berdiri utuh meskipun dilalap nyala yang tidak wajar.Pak Roji tergeletak di tanah dengan tubuh kaku seperti patung, sementara Ustadz Harman terus melantunkan doa perlindungan. Di tangan Lila, gulungan kain putih yang ia temukan tadi masih terasa dingin, seakan mengandung energi yang bukan berasal dari dunia ini.Jatinegara, yang sejak tadi diam, menyalakan senternya ke arah pintu rumah yang terbuka sedikit. Bayangan seseorang tampak bergerak di dalam, samar-samar di balik asap pekat.“Ibu… ada orang di dalam,” bisiknya.Lila menoleh cepat, m
Angin malam bertiup semakin kencang, membuat dedaunan berguguran dan dahan-dahan pohon meliuk seperti tangan-tangan kurus yang berusaha meraih sesuatu. Aroma tanah basah semakin tajam, bercampur dengan hawa dingin yang seakan menembus tulang.Lila menggenggam tangan Jatinegara erat-erat, mencoba menenangkan anaknya meskipun dirinya sendiri gemetar ketakutan. Matanya masih terpaku pada sosok kera putih raksasa yang berdiri tegak, memperhatikan mereka semua dengan tatapan penuh makna.Sementara itu, Ustadz Harman tetap berdiri tegak di sisi mereka, sorot matanya tajam, membaca situasi dengan penuh kewaspadaan.Kera itu tidak bergerak, tetapi tubuhnya yang besar memancarkan aura yang sulit dijelaskan bukan ancaman, tetapi juga bukan sesuatu yang sepenuhnya aman.Suara-suara yang tadi bergema dari sumur telah menghilang, meninggalkan keheningan yang justru terasa semakin menakutkan.
Angin malam bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau anyir samar.Desa yang biasanya sunyi kini terasa lebih menyeramkan, seolah ada sesuatu yang bersembunyi di balik bayang-bayang. Lila menahan napas.Suara lirih dari dalam sumur semakin jelas. “Ibu… tolong aku…”Bu Wati kembali menangis, mencoba melepaskan diri dari genggaman Ustadz Harman yang menahannya. “Lepaskan saya, Ustadz! Itu suara anak saya! Dia ada di dalam sana!”“Bu Wati, dengarkan aku!” suara Ustadz Harman tetap tegas meski lembut. “Kalau itu memang Irfan, kita harus berpikir jernih! Jangan langsung turun ke sana, kita belum tahu apa yang sebenarnya ada di dalam sumur ini.”Bu Wati menangis semakin keras, tubuhnya gemetar. “Tapi… tapi itu suara Irfan! Saya tidak peduli! Saya akan menyelamatkan anak saya!&r
Suara berat itu membuat Lila menoleh cepat. Ustadz Harman berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh keprihatinan. Di belakangnya, Jatinegara duduk bersandar di dinding, wajahnya pucat seperti orang yang baru saja melihat hantu.“Kau sudah sadar?” tanya Ustadz Harman, mendekat sambil membawa secangkir teh hangat.Lila mencoba bicara, tetapi tenggorokannya terasa kering. Ia hanya mengangguk pelan sebelum akhirnya berusaha mengumpulkan keberanian untuk bertanya, “Apa yang terjadi? Aku… aku ada di hutan. Lalu tiba-tiba aku—”“Kau pingsan,” potong Ustadz Harman dengan suara lembut. “Tadi kau berlari keluar rumah dalam keadaan linglung, seolah ada sesuatu yang menarikmu ke tempat lain. Kami mencoba menghentikanmu, tetapi kau terus berteriak… menyebut nama Arif.”Mata Lila melebar. ”Arif… aku melihatnya!”Jatinegara yang sedari tadi diam kini bersuara, suaranya serak. “Ibu, kau yakin? Maksud Jati, kita tahu Ayah Arif sudah…”“Tidak!” potong Lila cepat. “Aku melihatnya! Dia tidak sepenuhn
Dalam sekejap, makhluk itu bergerak dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Ia melompat mendekat, menerobos barisan pekerja yang tetap bekerja tanpa reaksi. Tangan besarnya hampir menyentuh Lila saat ia dengan cepat merunduk dan berlari sekuat tenaga menuju hutan yang lebih dalam.Dedaunan tajam mencambuk wajah dan lengannya, tetapi ia tidak peduli. Ia harus pergi dari sini, sebelum ia menjadi mangsa berikutnya.Di belakangnya, suara langkah makhluk itu semakin dekat. Napas beratnya menggetarkan udara, suaranya seperti raungan ribuan roh yang tersiksa. Lila menoleh ke belakang dan melihat makhluk itu melompat dari satu pohon ke pohon lainnya dengan cara yang tidak alami.Matanya bersinar merah pekat dalam kegelapan, seperti bara api yang menyala di dalam tubuh hitamnya.Makhluk itu terlalu cepat. Ia tidak mungkin bisa lari selamanya. Tiba-tiba, ingatannya menangkap sesuatu.”Liontin.” Tangannya meraba lehernya, mencari benda kecil yang diberikan Ustadz Harman sebelum mereka memulai per
“Arif!” Suara Sungkai Mahoni terdengar melengking dari luar rumah. "Buat malu Ayah saja! Kamu selalu jadi bahan cerita di keluarga," omel Sungkai begitu masuk ke rumah. Dia menutup pintu dengan keras. Malam itu, langit di Desa Misahan berwarna kelam. Awan tebal menggantung rendah menandakan datangnya hujan. Suara cicada melengking di udara, dan menciptakan suasana tegang yang menyelimuti rumah Arif. "Ada apa, Yah?" tanya Misna Bengkirai, ibunya Arif. Ayahnya kemudian bercerita panjang lebar sambil meremas rambutnya. Di ruang tamu yang sempit, Arif berusaha mencuri dengar pokok permasalahan yang membuat ayahnya marah-marah. Sungkai duduk bersama istrinya. "Tanya sama anakmu! Dia selalu bikin malu saja! Dia mau melamar Lila Cendana, tapi nggak punya pekerjaan."Arif menghela napas. Dia menahan emosinya."Untung saja yang menegurku mas Bintan Mahoni, kakakku yang kaya dan pelit itu. Malu! malu! Mau ditaruh di mana wajah Ayah?!"Keluhan Sungkai memancing emosi Misna. "Kamu ini...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments