SUMIRAH perempuan cantik pribumi yang lahir di era penjajahan Belanda mengalami pelecehan seksual oleh pria-pria di desa tempat dia tinggal. Ironisnya hal itu terjadi setelah mendapati suaminya yang suka main tangan berselingkuh dengan seorang penari. Dendam membawanya pada ritual mengerikan yang menjanjikan kecantikan abadi. SUMIRAH..... Dendam membuatnya bersekutu dengan iblis yang menelan kehidupannya, menjadikannya Perempuan tercantik di massanya... Akankah cinta sejati menyelamatkan kembali kehidupannya. Atau sama sekali tak ada cinta sejati untuknya... Ikuti kisah Sumirah dalam cerita " SUSUK TERATAI PUTIH"
View MoreTahun 1821...
Terlihat tiga pria dewasa menerobos hutan dengan hanya menggunakan penerangan dari obor. Langkah mereka tampak terburu-buru seolah sedang mengejar binatang buruan.
“Cepetan, Jo! Nanti dia kabur!”
Pria yang dipanggil Paijo bergegas melebarkan langkah kakinya. Mengikuti instruksiu yang diberikan oleh Juragannya. Suara ranting kayu yang terinjak menghiasi malam itu.
“Kampret! Di mana cah ayu itu. Hampir tak sikep awak e malah ngilang. Cari terus, Man!” (Hampir saya peluk tubuhnya tapi menghilang.)
“Wokey, Juragan!” Pria berbaju lurik yang bernama Maman itu menanggapi lelaki yang dia panggil dengan sebutan juragan.
Lelaki dengan perawakan tinggi besar dengan luka goresan di wajah sehingga menampakkan kesan sangar pada dirinya. Lelaki itu dikenal sebagai Juragan Jarwo, antek Menir Belanda di daerahnya.
“Waduh! Apa-apaan kamu, Man! Berhenti kok dadakan.” Juragan Jarwo menabrak tubuh Maman yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.
“Jura—gan, ki—ta pu—lang saja yuk, Juragan. It—u...” Maman berkata terbata-bata dengan telunjuk mengarah ke suatu tempat.
“Heh kampret, ngomong apa kamu? Nggak jelas. Ngomong opo koe, Man!” ( Bicara apa kamu, Man!”)
“Ra—wa Ire—ng, Juragan. Saya nggak berani masuk ke sana, Juragan.”
“Dasar penakut kamu, Man!”
Juragan Jarwo melotot ke arah Maman yang kakinya sedang bergetar hebat, perlahan celana panjangnya basah dan tercium bau khas orang buang air kecil. Hidung Juragan Jarwo kembang kempis.
“Ngompol kamu,Man! Lah kampret kamu, Man!” Bos Jarwo mengumpat Maman, anak buahnya yang sudah ketakutan tersebut.
“Maaf, Juragan. Saya nggak berani!” Maman mengambil langkah seribu, memutar kembali langkahnya agar dapat segera meninggalkan tempat tersebut.
Orang-orang menyebutnya Rawa Ireng alias Rawa Hitam. Orang pribumi percaya jika rawa ireng adalah tempat paling sakral seantero pulau jawa.
Dinamakan Rawa Ireng karena tempat tersebut memanglah hanya hamparan rawa-rawa yang jika ada orang yang kaki terjebak di Rawa maka akan terhisap dan tak akan bisa keluar lagi.
Selain karena daerah yang berupa rawa, disebut Rawa Ireng karena air rawa yang hitam seperti oli bekas serta aromanya yang busuk, begitu busuknya lalat pun sampai mati jika berada di tempat tersebut.
Warga percaya tempat itu adalah istana para lelembut, tempat para orang pintar cari wangsit dan tidak sembarangan orang bisa melangkahkan kakinya ke Rawa Ireng.
Jika hatinya buruk maka orang itu akan terseret masuk kedalam gelapnya Rawa Ireng dan takkan bisa kembali. Orang dengan hati busuk akan terhisap, bangkainya akan masuk ke dalam rawa dan tak dapat ditemukan lagi, yang tersisa hanya bau busuknya saja.
Konon, begitu banyaknya jasad yang tertelan Rawa Ireng hingga aromanya sangat busuk menyengat hingga berkilo-kilo jauhnya.
“Woy, Man! Malah minggat koe!” ( Malah kabur kamu!”)
Bos Jarwo berteriak memanggil anak buahnya tersebut, tapi sia-sia, Maman tak terlihat lagi punggungnya.
“Ya sudah, Jo. Sekarang tinggal kamu sama aku. Sekarang ayo kita kejar si Sumirah, keburu kabur dia. Kamu siap-siap, Paijo!”
Paijo tersenyum ke arah Juragannya, kemudian menempelkan kedua telapak tangannya di depan dadanya sambil menunduk.
“Ngapunten, Juragan saya juga takut!” (Maaf, Juragan.) Paijo menyusul rekannya dan kabur meninggalkan Juragan Jarwo karena takut dengan Rawa Ireng.
“Dasar kurang ajar, tak ambil istri kalian semua nanti!” Bos Jarwo mengumpat karena ditinggal pergi oleh anak buahnya.
Sebenarnya dirinya juga takut dengan Rawa Ireng. Tapi hasrat dirinya terhadap Sumirah, wanita yang baru saja diusir suaminya itu membuat akal sehat Juragan Jarwo hilang. Kecantikan Sumirah membuatnya ingin segera menikmati molek tubuhnya.
“Sial!” Bos Jarwo mengumpat kesal.
Langkah kakinya seakan ragu untuk terus melangkah.
Tapi tiba-tiba sekelebat bayangan perempuan tertangkap oleh pengelihatannya.
Juragan Jarwo menyipitkan matanya berusaha memperjelas lagi siapa sosok yang baru saja dia lihat.
“Sumirah!” Juragan Jarwo tersenyum lebar.
Kakinya tanpa sadar mengikuti sosok tersebut. Tubuhnya semakin dalam masuk ke Rawa Ireng.
Terus dan terus Juragan Jarwo mengejar sosok yang dia panggil Sumirah.
Nafas Juragan Jarwo terputus-putus, Sumirah telah menghilang dari pandangannya.
Dia putus asa dan hendak memutar kakinya untuk pulang saja ke rumah. Hasratnya terhadap Sumirah hilang bersamaan dengan tenaganya yang habis.
“Hah! Opo kie!” (apa ini?)
Kaki Juragan Jarwo tak bisa diangkat seolah ada tangan yang mencekal kakinya. Juragan Jarwo dengan sisa-sisa tenaganya berusaha menarik kakinya.
Akhirnya kaki bisa terlepas dari cengkraman lumpur rawa, tapi tiba-tiba aroma menjadi berbau busuk. Juragan Jarwo langsung kabur, dia terkencing-kencing saat lari dari tempat mengerikan tersebut.
Sepasang mata menatapnya tajam dan terdengar suara mendesis.
“Mangan!” (Makan).
Lagi-lagi kaki Juragan Jarwo tersangkut dan kini dengan cepat menyeretnya ke dalam rawa.
“Paijo! Maman! Tolong!” Juragan Jarwo berusaha memanggil anak buahnya agar menolongnya tapi sia-sia. Tubuhnya semakin tenggelam dan kini sampai ke lehernya.
“Aaa!” Jeritan terakhir Juragan Jarwo menghiasi malam di Rawa Ireng.
"Tenang, Pak Ahmad." Kyai Ibrahim, yang juga melihat apa yang dilihat oleh Pak Ahmad, berusaha menenangkan tamunya itu, padahal dirinya sendiri tidak dalam keadaan baik-baik saja."A'udzu billahi minasy-syaithanir rajim."Kyai Ibrahim segera melafalkan doa, suaranya tegas dan penuh keyakinan. Seketika, sosok gelap di sudut rumah itu menjerit keras, suaranya melengking menusuk telinga.Pak Ahmad dan yang lainnya refleks menutup telinga mereka, kecuali Kyai Ibrahim yang terus melanjutkan doanya tanpa gentar. Suara jeritan semakin menggema, hingga tiba-tiba...Ckkkrrsshhh...Bau gosong menyengat memenuhi ruangan, bersamaan dengan lenyapnya sosok hitam itu.Bu Nyai Ambar masih terisak di sudut ruangan, tubuhnya bergetar hebat. Tangannya mencengkeram gamis yang dipakainya, mencoba menenangkan diri setelah menyaksikan kejadian yang begitu mengerikan.Seruni terduduk di lantai dengan tatapan kosong. Napasnya memburu, tangannya yang terluka masih meneteskan darah akibat goresan keris Wulu Ire
"Aku masih tidak setuju sebenarnya, Pak," Bu Nyai Ambar berkata pelan setelah memastikan bahwa Pak Ahmad sudah pergi."Yang ikhlas ya, Bu. Ini juga demi Nur. Pokoknya, Bapak punya rencana, Ibu bantu doakan," Kyai Ibrahim tersenyum sambil mengusap pelan lengan istrinya."Baik, Pak. Saya percaya sama Bapak." Bu Nyai Ambar lagi-lagi hanya bisa pasrah dan berdoa agar keputusan suaminya membawa kebaikan bagi semuanya.Sementara itu, Pak Ahmad berlari tergesa-gesa menuju rumahnya. Napasnya memburu, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia harus segera membawa Seruni ke rumah Kyai Ibrahim sebelum berangkat menemui Mbah Bejo.Setibanya di rumah, tanpa ragu, ia langsung menuju kamar Seruni. Dengan sekali dorongan kuat, pintu kamar terbuka lebar, menimbulkan suara dentuman yang cukup keras."Seruni! Bangun, Nak!" suara lantang Pak Ahmad memenuhi ruangan.Gadis itu terkejut. Matanya yang masih berat karena kantuk terbuka perlahan. Tubuhnya yang kurus tampak menggeliat, berusaha menyesuai
Begitu sampai di dalam kamar Seruni, Pak Ahmad mendapati anak gadisnya hanya sedang tidur lelap. Sinar matahari sore menembus jendela kamar, membiaskan cahaya ke wajah Seruni yang tampak damai. Namun, bagi Pak Ahmad, pemandangan itu justru membuatnya semakin waspada. Ia berdiri di ambang pintu, menahan napas, memastikan apakah ada hal yang tidak biasa. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya, membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Seruni. Lututnya mendadak lemas, membuatnya terduduk di lantai. Ia bersandar pada pintu kamar sambil mengusap wajahnya yang dipenuhi keringat dingin. "Apa benar dia baik-baik saja? Apa Sumirah sudah menyentuhnya?" gumamnya dalam hati. Di luar, suara burung yang kembali ke sarangnya bersahut-sahutan, mengingatkan bahwa sebentar lagi Magrib tiba. Namun, Pak Ahmad tidak bisa tenang. Ia masih merasakan hawa yang tidak biasa, seolah-olah Sumirah masih mengintainya. "Ini nggak bisa begini. Aku harus segera bertemu dengan Kyai Ibrahim s
Pak Ahmad masih berdiri terpaku di tempatnya, nafasnya memburu. Cairan hitam yang mengepulkan asap di lantai mengeluarkan bau anyir yang semakin menusuk hidung.Seruni, yang masih tak bergeming di posisinya, mengambil gelas kopi yang lain. Dengan tenang, ia mengangkatnya ke bibir dan menyeruput isinya."Sayang sekali, Bapak tidak meminumnya," ucapnya pelan. Suara lembutnya terdengar janggal di tengah keheningan malam.Pak Ahmad menelan ludah. Ada sesuatu yang mengerikan dalam caranya berbicara—terdengar seperti Seruni, tapi ada yang berbeda.Seruni menatap Pak Ahmad dengan sorot mata yang kini berubah aneh. Pupilnya tak lagi bulat seperti manusia, melainkan menyerupai mata seekor ular—tajam, sempit, dan bersinar redup dalam kegelapan.Pak Ahmad mundur selangkah. Dadanya berdebar kencang."Kamu... kamu bukan Seruni..." suaranya nyaris tak terdengar.Seruni hanya tersenyum. Senyum yang dingin, tak berperasaan."Kenapa, Pak? Takut?"Pak Ahmad semakin panik. Keringat dingin mengalir di pe
Pak Ahmad masih duduk termenung di ruang tamu rumahnya. Lelaki itu ingin segera bertemu dengan Kyai Ibrahim agar bisa lebih jelas menanyakan perihal apa yang terjadi dengan Seruni.Namun, entah mengapa, ada keraguan yang menahannya untuk melangkah. Pada akhirnya, ia masih saja tetap duduk di sofa, terpaku dalam lamunannya.“Hah~” Pak Ahmad menghela napas panjang.Tubuhnya terasa begitu lelah. Ia baru saja pulang setelah bertemu dengan Mbah Bejo, dan kini pikirannya kembali dipenuhi kebingungan akibat tingkah aneh Seruni. Lebih parahnya lagi, Kyai Ibrahimlah yang saat itu ada di rumahnya saat kejadian aneh itu terjadi."Apa yang sebenarnya terjadi..." gumam Pak Ahmad sambil memijat pelipisnya yang terasa nyeri karena terlalu banyak beban yang menghimpit pikirannya.Dalam hati, ia ingin sekali menyeruput secangkir kopi hitam kental dan pahit, dengan sedikit gula, serta menikmati sebatang rokok tembakau kesukaannya. Namun, tubuhnya yang letih membuatnya enggan beranjak ke dapur untuk sek
"Argh! Sialan! Manusia keparat! Dasar Kyai keparat! Berani-beraninya dia membuatku seperti ini! Akan ku bunuh kau!"Sumirah berteriak sambil memegangi wajahnya yang sudah tak elok dipandang.Wajah wanita yang pernah menyerahkan jiwanya kepada iblis itu kini terlihat pecah-pecah, seperti tanah tandus yang merekah di musim kemarau panjang."Kyai Ibrahim! Melihat dia, aku jadi teringat pada tua bangka yang menjadi cinta dari Nyai Mutik yang kini telah musnah itu! Kenapa makhluk-makhluk yang hampir mati itu terus saja mengganggu rencanaku?!" Sumirah terus mengumpat."Arrgh! Keparat! Sialan!" Sumirah kembali berteriak, melampiaskan emosinya yang meluap-luap.Setiap kali ia berteriak, kulit wajahnya yang penuh retakan akan terkelupas, jatuh ke air rawa dengan warna hitam pekat dan bau menyengat yang memuakkan.Ya…Kini Sumirah berada di dimensi lain, sebuah dunia di mana hanya ada malam yang abadi, tempat para lelembut pemuja Kanjeng Ratu Lintang Pethak tinggal.Tempat ini adalah tempat di
“Kiai sudah di sini dari tadi?” Seseorang menepuk pelan pundak Kiai Ibrahim dengan lembut.Kiai Ibrahim menoleh dan tersenyum saat tahu yang menepuknya adalah manusia, bukan jin. “Sudah dari tadi, sekalian nunggu adzan, Fauzi.”Rupanya, yang menepuk pundak sang Kiai adalah Fauzi, marbot masjid sekaligus muadzin yang biasanya mengumandangkan adzan di Masjid Tiban.“Maaf, Kiai. Tadi saya pulang dulu, lapar, lalu mandi,” ujar Fauzi sambil cengar-cengir, tampak malu karena Kiai Ibrahim sudah lebih dulu datang ke masjid.“Tidak apa-apa, Fauzi. Ini sudah masuk waktu sholat. Kamu adzan dulu,” jawab Kiai Ibrahim sambil tersenyum ke arah Fauzi.“Nggih, Kiai.” Fauzi pun bergegas menuju tempat adzan untuk mengumandangkannya, menandakan waktu sholat Ashar telah tiba.Lantunan suara Fauzi yang merdu memenuhi ruang masjid, menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. Kiai Ibrahim menutup mata sejenak, meresapi setiap lafaz adzan yang terasa sejuk di hati. Meski suasana masjid masih sepi, ada ket
Kiai Ibrahim pulang bersama kedua muridnya setelah urusannya dengan Pak Ahmad selesai. Langkah mereka pelan menyusuri jalan yang sunyi, hanya suara serangga malam yang sesekali terdengar.“Kalian berdua jangan sebarkan apa pun tentang apa yang kalian lihat di rumah Seruni. Jika kalian bertamu ke rumah orang lain, maka ketika kalian pulang, mata kalian harus buta, mulut harus bisu, dan telinga harus tuli. Paham, kan?” ujar Kiai Ibrahim dengan nada tegas, pandangannya tajam mengarah pada kedua muridnya.“Baik, Kiai,” jawab kedua murid itu serempak, mengangguk tanpa berani membantah.Perjalanan mereka dilanjutkan dalam keheningan. Kiai Ibrahim berjalan paling depan, sementara kedua muridnya mengikutinya dengan langkah penuh kehati-hatian. Masing-masing larut dalam pikirannya sendiri, terutama Kiai Ibrahim.Hati kiai sepuh itu dipenuhi berbagai tanda tanya. Ia tidak menyangka keadaan Seruni sedemikian mengkhawatirkan. Apakah Pak Ahmad benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada putrinya?
“Bapak?” suara Seruni terdengar lirih, wajahnya pucat pasi setelah melalui pengalaman yang melampaui akal sehatnya. Namun, ekspresi lega menyelimuti wajahnya saat melihat sang ayah, Pak Ahmad, berdiri di depan pintu rumah.Pak Ahmad yang baru tiba langsung berlari menghampiri Seruni. Sandalnya bahkan tidak sempat dilepas. Ia memeluk erat anak gadisnya dengan perasaan campur aduk—antara lega, lelah, dan khawatir.Kiai Ibrahim yang menyaksikan momen itu memilih menyingkir, memberikan ruang bagi ayah dan anak tersebut. Beliau bergabung dengan para muridnya yang menunggu di sudut ruangan. Para murid tampak tegang, menyadari situasi yang mungkin berubah menjadi lebih rumit.“Bapak akhirnya pulang,” ucap Seruni sambil terisak. Tubuhnya gemetar, tapi pelukan ayahnya memberinya sedikit ketenangan. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya mengalir deras, membasahi bahu Pak Ahmad.Namun, suasana haru itu tak bertahan lama. Wajah Pak Ahmad yang awalnya penuh kasih berubah menjadi tegang. Ia
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments