Tahun 1821...Terlihat tiga pria dewasa menerobos hutan dengan hanya menggunakan penerangan dari obor. Langkah mereka tampak terburu-buru seolah sedang mengejar binatang buruan.“Cepetan, Jo! Nanti dia kabur!”Pria yang dipanggil Paijo bergegas melebarkan langkah kakinya. Mengikuti instruksiu yang diberikan oleh Juragannya. Suara ranting kayu yang terinjak menghiasi malam itu.“Kampret! Di mana cah ayu itu. Hampir tak sikep awak e malah ngilang. Cari terus, Man!” (Hampir saya peluk tubuhnya tapi menghilang.)“Wokey, Juragan!” Pria berbaju lurik yang bernama Maman itu menanggapi lelaki yang dia panggil dengan sebutan juragan.Lelaki dengan perawakan tinggi besar dengan luka goresan di wajah sehingga menampakkan kesan sangar pada dirinya. Lelaki itu dikenal sebagai Juragan Jarwo, antek Menir Belanda di daerahnya.“Waduh! Apa-apaan kamu, Man! Berhenti kok dadakan.” Juragan Jarwo menabrak tubuh Maman yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.“Jura—gan, ki—ta pu—lang saja yuk, Juragan. It—u
“Aku harus lari, jangan sampai Juragan Jarwo yang mata keranjang itu menangkapku lagi! Aku harus selamat.”Seorang perempuan berlari menembus rimbunnya hutan yang gelap. Hanya cahaya rembulan yang menjadi penerang langkahnya.Kain jariknya sobek hingga terlihat paha mulusnya, baju kebayanya sobek di bagian dada. Telapak kakinya terluka karena menginjak ranting-ranting kering yang tajam.Nafasnya terputus-putus, tapi sekuat tenaga tetap dia pacu dengan menarik nafas sekuat-kuatnya berharap tenaganya takkan hilang.Wanita itu adalah Sumirah, perempuan tercantik di kampungnya, kampung Kalimas.“Sumirah! Sumirah! Jangan kabur kamu, Sumirah!” Juragan Jarwo berteriak kencang.“Itu suara Juragan Jarwo. Oh tidak! Suaranya semakin dekat. Aku harus terus berlari, tidak sudi aku menjadi gundiknya!” Sumirah bermonolog dengan dirinya sendiri.Perempuan yang baru saja ditalak oleh suaminya itu terus berlari tanpa menoleh lagi ke belakang. Hingga akhirnya dirinya terjatuh karena kakinya tersangkut
“Cah Ayu....”Sumirah mendengar suara halus perempuan memanggil dirinya, tengkuknya meremang, matanya semakin dia tutup rapat. Suaranya masih tetap menangis sesenggukkan. Sumirah sudah pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya.“Cah Ayu, ojo nangis. Menengo.” ( Anak cantik, jangan menangis. Diamlah...”Suara lembut perempuan terdengar kembali. Sumirah perlahan menghentikan tangisnya.“Cah Ayu, bukak o mripatmu.” ( Anak cantik, bukalah matamu.)Sumirah membuka pelan matanya, detik kemudian matanya terbuka lebar, matanya melotot melihat apa yang ada di depannya.Seekor ular kobra sebesar pohon jati yang berusia ratusan tahun tengah menatap wajahnya, sisiknya yang berwarna putih susu berkilau memantulkan cahaya rembulan. Matanya merah bagaikan batu delima, gigi taringnya tajam bagai sebilah pedang. Ular itu tapi tak beraroma amis khas hewan melata, melainkan ber-aromakan wangi bunga kantil.Perlahan kepala ular semakin mendekati wajah Sumirah.Dekat dan semakin dekat hingga sang ular
Nyai Mutik tersenyum miris, sambil menggelengkan kepalanya perlahan setelah mendengar permintaan perempuan ayu yang semalam ditolongnya. Sementara itu Sumirah menunduk takut bila Nyai Mutik marah kepadanya."Apa tujuanmu sebenarnya, Cah Ayu. Sehingga kamu ingin menjadi sepertiku? Sekarang, coba kamu lihat ke arahku, Cah Ayu." Nyai Mutik berkata lirih.Sumirah mengangkat wajahnya, bola matanya beradu dengan bola mata milik Nyai Mutik.Sumirah kaget karena tiba-tiba bola mata Nyai Mutik berubah seperti mata seekor ular, bukan bola mata manusia normal.Tubuh Sumirah kaku, matanya seolah terkunci dan dipaksa menatap bola mata milik Nyai Mutik."Jika menatap mataku saja kau ketakutan, apa mungkin kau bisa menjadi sepertiku, Sumirah?"Perlahan bola mata Nyai Mutik kembali seperti semula, sedangkan tubuh Sumirah terjatuh ke lantai. Tubuhnya penuh keringat dan bergetar hebat, nafasnya cepat. Dadanya terasa sesak, bahkan dia sampai harus bernafas menggunakan mulutnya.Perlahan Nyai Mutik mende
“Kebakaran!”“Tolong! Ada kebakaran!”“Kebakaran!”Suara kentongan dari bambu terus berbunyi di tengah malam buta, suara riuh warga berlari pontang panting mengambil air dengan ember untuk memadamkan api, tapi sia-sia kobaran api masih berdiri dengan gagahnya, panasnya siap memanggang manusia-manusia yang berani mendekati dirinya.“Sumirah dan Nyai Aminah masih di dalam, bagaimana ini.”Bapak kepala desa bingung, warga panik.Permana tertawa-tawa melihat pemandangan di hadapannya. Setelah puas, lelaki itu pulang karena Gendis telah menunggunya di rumah.“Pie Kang Mas? Wis mbok bakar si Sumirah? Ben kae mati terus aku paling ayu sak ndeso Kang Mas.” ( Bagaimana Mas? Sudah kamu bakar si Sumirah, biar dia mati lalu aku jadi wanita tercantik di desa Mas.)Permana mengelus rambut ikal panjang milik Gendis yang selalu beraroma melati itu. Lalu mencubit pipi wanitanya itu dengan gemas.“Uwis, tenang wae, Sumirah mesti mati nyusul ramane ning neroko” ( Sudah, tenang saja, Sumirah pasti mati,
Sumirah kini tinggal di gudang padi milik Nyai Aminah karena bangunan utama rusak parah. Beruntung si jago merah tak sampai melahap gudang padi yang terletak di belakang rumah uwaknya tersebut.Sumirah bertahan hidup dari hasil mengais sisa-sisa harta benda milik uwaknya.Perut milik Sumirah berbunyi, pertanda minta diisi. Sumirah melahap nasi jagung yang tadi dia beli di pasar, uang dari hasil menjual perhiasan milik Nyai Aminah yang tak sengaja dia temukan di reruntuhan rumah sudah hampir habis untuk menyambung hidupnya selama sebulan ini.Bukan niat Sumirah hanya ingin menghabiskan harta uwaknya, dirinya berusaha mencari rezeki dengan cara menawarkan tenaganya kepada penduduk, tapi entah kenapa semua menolak dirinya.Ada yang merasa ketakutan jika bertemu dengannya, tapi kebanyakan dari mereka menatap jijik mukanya yang rusak karena luka bakar waktu itu.Hidung mancungnya kini sedikit pesek karena banyak dagingnya yang berkoreng dan terkelupas. Mata kanannya sedikit kabur. Serta ha
Suara guntur saling bersahutan. Hujan deras menari bersama sang angin. Tangan Sumirah berusaha menggapai sesuatu, seluruh badannya mati rasa. Pandangan matanya semakin memudar. Ditambah dengan guyuran hujan yang bagai ribuan jarum jatuh dari langit tepat di atas kulitnya yang terluka dan penuh memar itu menyempurnakan rasa sakit yang diderita oleh sang wanita yang dikhianati oleh lelaki yang selama ini menjadi lintah menyedot habis harta dan juga kebahagiaannya.Sumirah terus menggaungkan nama sosok yang diharap dapat mengangkatnya dari penderitaannya saat ini.Tak lama sesosok pria melangkah ke arahnya, itu adalah hal terakhir yang dia lihat sebelum kesadarannya menghilang.Sang pria menutupi tubuh polos Sumirah dengan selembar kain jarik bermotif emas lalu membopongnya menembus derasnya hujan, membawanya ke tempat di mana Sumirah memanggil nama ratunya, penguasa Rawa Ireng.Sang ratu yang berwujud seekor ular mengelilingi tubuh Sumirah yang tergeletak di sebuah meja batu. Sang ratu
Pendar cahaya yang terpancar dari tubuh Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng perlahan menghilang.Mata Sumirah yang terpejam terbuka perlahan. Dirinya terbengong mendapati perubahan besar yang tersaji di hadapannya.Sesosok perempuan sangat anggun berdiri di hadapannya, dengan pakaian ratu khas kerajaan Jawa kuno, rambut ter sanggul dengan indahnya berhias ronce bunga melati dan mahkota yang berkilau, aroma kembang kantil menyeruak darinya. Kecantikan yang dia punya ribuan kali lebih menawan daripada kecantikan Nyai Mutik yang Sumirah pikir wanita tercantik yang pernah dia temui.Namun kini dia sadar, penguasa Rawa Ireng yang baru saja menjadi tempat dirinya meminta pertolongan adalah sosok teramat sangat cantik menawan.“Kemarilah, Cah Ayu!”Sumirah sungguh terpesona oleh kecantikan Ratunya. Bahkan suaranya begitu merdu, halus, lemah lembut, tatapan matanya tajam penuh misteri tapi dia tetap tidak kehilangan pesonanya.Perlahan Sumirah turun dari meja batu tempat dirinya pingsan, ragu ka
Pak Ahmad masih duduk termenung di ruang tamu rumahnya. Lelaki itu ingin segera bertemu dengan Kyai Ibrahim agar bisa lebih jelas menanyakan perihal apa yang terjadi dengan Seruni.Namun, entah mengapa, ada keraguan yang menahannya untuk melangkah. Pada akhirnya, ia masih saja tetap duduk di sofa, terpaku dalam lamunannya.“Hah~” Pak Ahmad menghela napas panjang.Tubuhnya terasa begitu lelah. Ia baru saja pulang setelah bertemu dengan Mbah Bejo, dan kini pikirannya kembali dipenuhi kebingungan akibat tingkah aneh Seruni. Lebih parahnya lagi, Kyai Ibrahimlah yang saat itu ada di rumahnya saat kejadian aneh itu terjadi."Apa yang sebenarnya terjadi..." gumam Pak Ahmad sambil memijat pelipisnya yang terasa nyeri karena terlalu banyak beban yang menghimpit pikirannya.Dalam hati, ia ingin sekali menyeruput secangkir kopi hitam kental dan pahit, dengan sedikit gula, serta menikmati sebatang rokok tembakau kesukaannya. Namun, tubuhnya yang letih membuatnya enggan beranjak ke dapur untuk sek
"Argh! Sialan! Manusia keparat! Dasar Kyai keparat! Berani-beraninya dia membuatku seperti ini! Akan ku bunuh kau!"Sumirah berteriak sambil memegangi wajahnya yang sudah tak elok dipandang.Wajah wanita yang pernah menyerahkan jiwanya kepada iblis itu kini terlihat pecah-pecah, seperti tanah tandus yang merekah di musim kemarau panjang."Kyai Ibrahim! Melihat dia, aku jadi teringat pada tua bangka yang menjadi cinta dari Nyai Mutik yang kini telah musnah itu! Kenapa makhluk-makhluk yang hampir mati itu terus saja mengganggu rencanaku?!" Sumirah terus mengumpat."Arrgh! Keparat! Sialan!" Sumirah kembali berteriak, melampiaskan emosinya yang meluap-luap.Setiap kali ia berteriak, kulit wajahnya yang penuh retakan akan terkelupas, jatuh ke air rawa dengan warna hitam pekat dan bau menyengat yang memuakkan.Ya…Kini Sumirah berada di dimensi lain, sebuah dunia di mana hanya ada malam yang abadi, tempat para lelembut pemuja Kanjeng Ratu Lintang Pethak tinggal.Tempat ini adalah tempat di
“Kiai sudah di sini dari tadi?” Seseorang menepuk pelan pundak Kiai Ibrahim dengan lembut.Kiai Ibrahim menoleh dan tersenyum saat tahu yang menepuknya adalah manusia, bukan jin. “Sudah dari tadi, sekalian nunggu adzan, Fauzi.”Rupanya, yang menepuk pundak sang Kiai adalah Fauzi, marbot masjid sekaligus muadzin yang biasanya mengumandangkan adzan di Masjid Tiban.“Maaf, Kiai. Tadi saya pulang dulu, lapar, lalu mandi,” ujar Fauzi sambil cengar-cengir, tampak malu karena Kiai Ibrahim sudah lebih dulu datang ke masjid.“Tidak apa-apa, Fauzi. Ini sudah masuk waktu sholat. Kamu adzan dulu,” jawab Kiai Ibrahim sambil tersenyum ke arah Fauzi.“Nggih, Kiai.” Fauzi pun bergegas menuju tempat adzan untuk mengumandangkannya, menandakan waktu sholat Ashar telah tiba.Lantunan suara Fauzi yang merdu memenuhi ruang masjid, menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. Kiai Ibrahim menutup mata sejenak, meresapi setiap lafaz adzan yang terasa sejuk di hati. Meski suasana masjid masih sepi, ada ket
Kiai Ibrahim pulang bersama kedua muridnya setelah urusannya dengan Pak Ahmad selesai. Langkah mereka pelan menyusuri jalan yang sunyi, hanya suara serangga malam yang sesekali terdengar.“Kalian berdua jangan sebarkan apa pun tentang apa yang kalian lihat di rumah Seruni. Jika kalian bertamu ke rumah orang lain, maka ketika kalian pulang, mata kalian harus buta, mulut harus bisu, dan telinga harus tuli. Paham, kan?” ujar Kiai Ibrahim dengan nada tegas, pandangannya tajam mengarah pada kedua muridnya.“Baik, Kiai,” jawab kedua murid itu serempak, mengangguk tanpa berani membantah.Perjalanan mereka dilanjutkan dalam keheningan. Kiai Ibrahim berjalan paling depan, sementara kedua muridnya mengikutinya dengan langkah penuh kehati-hatian. Masing-masing larut dalam pikirannya sendiri, terutama Kiai Ibrahim.Hati kiai sepuh itu dipenuhi berbagai tanda tanya. Ia tidak menyangka keadaan Seruni sedemikian mengkhawatirkan. Apakah Pak Ahmad benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada putrinya?
“Bapak?” suara Seruni terdengar lirih, wajahnya pucat pasi setelah melalui pengalaman yang melampaui akal sehatnya. Namun, ekspresi lega menyelimuti wajahnya saat melihat sang ayah, Pak Ahmad, berdiri di depan pintu rumah.Pak Ahmad yang baru tiba langsung berlari menghampiri Seruni. Sandalnya bahkan tidak sempat dilepas. Ia memeluk erat anak gadisnya dengan perasaan campur aduk—antara lega, lelah, dan khawatir.Kiai Ibrahim yang menyaksikan momen itu memilih menyingkir, memberikan ruang bagi ayah dan anak tersebut. Beliau bergabung dengan para muridnya yang menunggu di sudut ruangan. Para murid tampak tegang, menyadari situasi yang mungkin berubah menjadi lebih rumit.“Bapak akhirnya pulang,” ucap Seruni sambil terisak. Tubuhnya gemetar, tapi pelukan ayahnya memberinya sedikit ketenangan. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya mengalir deras, membasahi bahu Pak Ahmad.Namun, suasana haru itu tak bertahan lama. Wajah Pak Ahmad yang awalnya penuh kasih berubah menjadi tegang. Ia
Seruni menggeliat kesakitan di lantai, tubuhnya yang tadi tegang seperti ular kini mulai melonggar. Wajahnya berubah menjadi ekspresi penuh penderitaan. Kedua matanya yang tadi berkilau tajam dengan warna kuning keemasan perlahan mulai memudar, kembali menjadi seperti mata manusia biasa, meskipun pupilnya masih terlihat aneh.Kiai Ibrahim segera berjongkok mendekat, tangannya gemetar namun penuh niat untuk membantu. "Seruni, Nak, bertahanlah! Kamu harus melawan apa pun yang menguasaimu ini!" katanya dengan suara lembut namun tegas.Dua pemuda yang tadi mendampingi Kiai Ibrahim saling berpandangan, bingung dan ketakutan. Namun, mereka tetap mendekat dengan hati-hati, mengikuti aba-aba Kiai Ibrahim.“A-apa yang harus kita lakukan, Kyai?” salah satu dari mereka bertanya dengan nada gemetar.Kiai Ibrahim tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju pada Seruni yang kini terengah-engah di lantai. Tubuh gadis itu tampak gemetar hebat, seolah sedang berperang melawan sesuatu yang tak terli
Seruni terlihat sibuk mondar-mandir di ruang tamu rumahnya sambil sesekali menengok ke jendela, berharap bapaknya segera pulang.Sudah tiga hari bapaknya tidak pulang, dan hal itu membuat Seruni semakin khawatir.Malam terakhir sebelum kepergiannya, Seruni sempat melihat sang bapak panik sambil berkata sesuatu yang tidak terlalu ia pahami—"Aku harus ke karang bolong secepatnya." Malam itu pula sang bapak berpamitan, mengatakan bahwa ia harus pergi ke suatu tempat dan akan kembali dalam tiga hari.Seruni sebenarnya tidak terlalu kaget dengan kebiasaan bapaknya. Sejak dulu, Pak Ahmad memang sering pergi ke tempat-tempat yang bahkan ia sendiri tidak tahu. Namun, kali ini berbeda.“Jangan terima tamu siapa pun di malam hari, kecuali itu bapak,” pesan Pak Ahmad sebelum pergi.Seruni hanya mengangguk, melepas kepergian bapaknya tanpa banyak bertanya. Namun, kini dua malam sudah berlalu tanpa ada tanda-tanda kepulangan bapaknya. Ini sudah pagi ketiga, dan Pak Ahmad belum juga kembali.Malam-
Mbah Bejo mengepulkan asap rokok menyannya tinggi-tinggi sambil memandang ke arah laut dari pintu gubuk tuanya yang terbuka lebar. Matahari mulai tenggelam, mengenakan selendang senja berwarna jingga yang indah namun menyimpan aura mencekam.Gubuk tua itu sunyi, hanya dihuni Mbah Bejo seorang diri setelah Pak Ahmad pulang membawa cerita tentang Sumirah.Di rumah itu juga ada setitik sinar dari lampu teplok minyak tanah yang mana apinya yang berwarna jingga terang itu sesekali bergoyang karena angin cukup kencang padahal nyala api kecil itu dilindungi oleh kaca dari lampu teplok tua itu.Suasana yang tadinya hanya sepi kini mulai berubah. Hawa di sekitarnya menjadi berat, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang.Mbah Bejo menghisap rokok menyannya dalam-dalam, matanya tak lepas dari laut yang perlahan berubah kelam. Angin dingin tiba-tiba berhembus kencang, membawa aroma asin yang bercampur bau amis. Ia menghela nafas panjang, mengamati bagaimana langit berganti dar
"Jadi, makhluk yang bikin kamu jauh-jauh cari ilmu kanuragan sampai rela kasih tumbal tujuh darah perawan itu si Sumirah? Aduh, tobat!" Mbah Bejo tampak frustasi, mengusap wajahnya dengan kesal."Lah, apa salahnya, Mbah? Kan waktu itu Mbah sendiri yang bilang, kalau saya kasih tumbal tujuh darah perawan, Mbah bakal kasih keris wulu ireng. Lagian, keris itu beneran berfungsi, kok," Pak Ahmad masih mencoba membela diri."Tapi waktu itu kamu cuma bilang kalau keponakanmu kesurupan Jin Nasab! Dasar sontoloyo! Kalau tahu begini, aku nggak bakal mau bantu kamu!" Mbah Bejo melotot tajam ke arah Pak Ahmad, suaranya meninggi.Pak Ahmad menunduk dalam, tak berani menatap langsung ke mata Mbah Bejo. Tatapan dukun tua itu seolah-olah menusuk sampai ke tulang, membuat seluruh tubuhnya gemetar. Bahkan, bernafas pun terasa sulit. Dadanya sesak, seperti ada tangan tak terlihat yang meremas jantungnya.Mbah Bejo, yang masih marah, mengambil sebatang rokok menyan dari kantongnya. Ia menyulut rokok itu