“Cah Ayu....”
Sumirah mendengar suara halus perempuan memanggil dirinya, tengkuknya meremang, matanya semakin dia tutup rapat. Suaranya masih tetap menangis sesenggukkan. Sumirah sudah pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya.
“Cah Ayu, ojo nangis. Menengo.” ( Anak cantik, jangan menangis. Diamlah...”
Suara lembut perempuan terdengar kembali. Sumirah perlahan menghentikan tangisnya.
“Cah Ayu, bukak o mripatmu.” ( Anak cantik, bukalah matamu.)
Sumirah membuka pelan matanya, detik kemudian matanya terbuka lebar, matanya melotot melihat apa yang ada di depannya.
Seekor ular kobra sebesar pohon jati yang berusia ratusan tahun tengah menatap wajahnya, sisiknya yang berwarna putih susu berkilau memantulkan cahaya rembulan. Matanya merah bagaikan batu delima, gigi taringnya tajam bagai sebilah pedang. Ular itu tapi tak beraroma amis khas hewan melata, melainkan ber-aromakan wangi bunga kantil.
Perlahan kepala ular semakin mendekati wajah Sumirah.
Dekat dan semakin dekat hingga sang ular hanya berjarak beberapa centi dari wajah Sumirah.
Mata sang ular yang merah memantulkan wajah Sumirah yang seolah ditelan olehnya.
Sumirah pingsan, sang ular kobra berputar mengelilingi tubuh tak berdaya milik Sumirah, kepalanya berdiri menatap tajam Sumirah yang tengah pingsan.
Dari kejauhan tampak sinar obor yang perlahan mendekat ke arah sang ular.
Perempuan dengan kemben warna emas dan kain jarik lurik yang senada, rambut hitam lurus sepinggang miliknya ia biarkan tergerai begitu saja. Perempuan tersebut merapatkan kedua telapak tangannya lalu dia tempelkan di dada dan menunduk khidmat.
“Sugeng dalu, Ratu. Wonten punapa memanggilipun kawula?” ( Selamat malam ratu, ada apa sehingga memanggil saya).
Sang ular mendesis, lidah bercabangnya menjulur-julur.
“Bawa perempuan ini ke pondokmu, Mutik. Lalu sembuhkanlah dia. Aku menyukainya, tapi aku tidak bisa membawanya ke istanaku selagi bukan dari keinginan hatinya sendiri. Aku hanya bisa membawa mereka-mereka yang berhati busuk, atau mereka yang membutuhkan bantuan dariku. Tapi sayangnya perempuan ini datang ke sini bukan untuk meminta bantuanku, juga hatinya masih bersih. Setelah dia sadar tanyakanlah kenapa dia sampai ingin mati di Rawa Ireng. Jika dia butuh bantuan, maka akan aku bantu.”
“Siap nampi dhawuh, Gusti Ratu.” (Siap menerima perinta,h Gusti Ratu.)
Sang ratu pergi meninggalkam Nyai Mutik dan Sumirah yang pingsan.
Nyai Mutik menatap tubuh Sumirah lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Pantas saja gusti ratu tertarik dengan perempuan ini, auranya sama dengan warna sisik sang ratu, tapi sayangnya aku tak mungkin membopongmu hingga ke pondokku!”
Nyai Mutik memejamkan mata lalu mulutnya komat-kamit, tak lama kemudian muncul lagi ular hitam bertanduk emas sebesar pohon kelapa mendekatinya.
Ular hitam itu mendesis dan menjulurkan lidahnya ke tubuh Sumirah.
“Panganan!” ( Makanan!”) Lagi, ular hitam itu mendesis sambil menjulurkan lidahnya kearah tubuh Sumirah.
“Pangan o nek koe pingin mati!” ( Makan saja kalau kamu ingin mati)
Ssstt... ssstt ...
Ular hitam itu kembali menarik lidahnya.
“Wangine enak banget, nggawe luwe. Iki sopo Mutik?” ( Aromanya sangat enak, bikin lapar. Perempuan ini siapa?)
“Lapar? Bukannya kamu baru saja makan manusia yang mengejar perempuan ini?”
“ Kae Ora enak, mambu bacin. Nek iki wangi ne enak. Iki sopo Mutik? Kok ora koe jawab pitakonku ket mau.” ( Dia tidak enak, baunya busuk. Kalau perempuan ini baunya enak . Dia siapa Mutik? Dari tadi tidak kau jawab pertanyaanku.)
“Aku yo gak ngerti sopo, pokok e ojo koe pangan. Perintah gusti ratu, koe gendong wedokan iki, terus gowo ning pondokku. Eling, ojo koe pangan. Wani mangan siap- siap mati koe.” ( Aku juga tidak tahu, jangan kamu makan, ini perintah gusti ratu, kamu gendong saja dia, lalu antar ke pondokku. Ingat, jangan kamu makan. Kalau nekat siap-siap kamu mati.”
Setelah mendengar perintah dari Nyai Mutik, dalam sekejap mata ular hitam bertanduk emas itu merubah wujudnya menjadi seorang pria tampan.
“Ngopo berubah dadi menungso, koe gowo wae pakek buntut mu.” ( Ngapain berubah jadi manusia? Kamu bawa saja dia pakai ekormu!”)
“Wedokan iki ayune pol Mutik, man eman ndak awakke mambu...!” (Perempuan ini cantik sekali Mutik, sayang nanti badannya bau.
“Heleeh, kakean lakon koe, wis gowo meng pondokku.” ( Heleh, banyak gaya kamu,sudah cepat bawa dia ke rumahku)
***
Sinar mentari pagi masuk ke pondok yang bergaya kuno akan tetapi masih sangat kokoh. Cahayanya menembus jendela hingga membuat Sumirah yang sejak semalam pingsan terbangun saat matanya merasa silau.
“Sudah sadar, Cah Ayu?”
Nyai Mutik yang menyadari jika tamunya telah sadar bergegas menghampirinya.
Sumirah bangun perlahan dari dipan, kepalanya masih sedikit pusing. Dia mengarahkan pandangannya ke penjuru pondok.
“Minumlah, Cah Ayu!”
Nyai Mutik memberikan secangkir teh hangat untuk Sumirah, sementara yang diberi minuman menerimanya dengan tangan gemetar.
“Apakah aku sudah mati?” Sumirah bertanya lirih sambil menatap wajah ayu perempuan di depannya yang terlihat begitu menawan seperti bidadari.
“Minumlah dulu, Cah Ayu. Setelah itu kau boleh menanyakan semua yang ingin kau tanyakan dan akan aku jawab.”
Sumirah mengangguk lalu perlahan meminum teh hangat yang sangat wangi tersebut hingga akhirnya sakit kepalanya hilang. Tenaganya terisi kembali, Sumirah memeriksa seluruh tubuhnya, bersih tanpa ada sedikitpun luka. Padahal tubuhnya sangat kotor dan penuh luka. Sumirah sangat heran.
“Kalau boleh tahu anda siapa? Saya di mana? Dan kenapa menolong saya?”
Mutik tersenyum, ternyata suara perempuan yang telah ditolongnya sangat halus, cocok dengan wajahnya yang sangat ayu.
“Sebelum saya jawab pertanyaanmu, saya ingin tahu siapa namamu dan kenapa kamu bisa sampai di Rawa Ireng.”
Sumirah bergetar, dia teringat dengan ular putih yang sangat besar itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya.
Nyai Mutik menggenggam perlahan tangan Sumirah.
“Tenanglah, Cah Ayu. Ceritakanlah perlahan.”
Entah kenapa tiba-tiba Sumirah merasa tenang setelah tangannya disentuh oleh Nyai Mutik.
“Nama saya Sumirah, Nyai. Saya tidak sengaja sampai ke Rawa Ireng saat dikejar-kejar orang yang mau menodai saya. Saya Diusir oleh suami saya, Nyai.”
Sumirah pun menceritakan semua peristiwa yang dia alami sebelum dirinya sampai di Rawa Ireng. Sesekali air mata membasahi wajahnya. Nyai Mutik yang mendengarkan cerita Sumirah sambil mengangguk-anggukan kepala, sesekali dia mengepalkan tangan dengan kuat.
Nyai Mutik tidak menyela sedikitpun perkataan Sumirah. Dia biarkan Sumirah menceritakan semua himpitan di hatinya hingga selesai.
“Sudah selesai ceritanya, Cah Ayu?”
Sumirah mengangguk sambil mengusap air mata dengan punggung tangannya.
“Kamu tau, Sumirah. Lelaki yang mengejarmu sudah mati di Rawa Ireng, dia mati karena hatinya busuk.”
“Juragan Jarwo mati ....” Sumirah bergumam pelan, tak menyangka antek Menir yang terkenal bengis itu mati mengenaskan di Rawa Ireng.
“Namaku Mutik, Sumirah. Orang-orang memanggilku dengan sebutan Nyai Mutik.”
“Nya—i Mu—tik?” Sumirah menyebut nama perempuan cantik di hadapannya dengan terbata-bata.
Nyai Mutik terkekeh melihat ekspresi Sumirah.Sementara itu Sumirah tidak tahu harus takut atau bahagia bertemu dengan Nyai Mutik.
Ternyata perempuan cantik yang telah merawatnya adalah perempuan yang sangat dihormati di seluruh pelosok pulau jawa. Bahkan para Menir Belanda pun segan terhadapnya.
Konon nyai Mutik sudah berusia dua ratus tahun, tapi wajahnya masih sangat cantik seperti gadis perawan. Tubuhnya juga sangat terawat dan indah. Gendis wanita penggoda itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pesona Nyai Mutik.
Alasan lain kenapa Nyai Mutik sangat disegani karena ilmu kebatinan yang luar biasa. Banyak rumor yang mengatakan tak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh nyai Mutik. Hal itu dapat dilihat dari wajah Nyai Mutik yang tak ada tanda-tanda penuaan sedikitpun.
Bagi Sumirah kemapuan Nyai bukanlah rumor, dia telah membuktikannya sendiri, luka di tubuhnya hilang tak berbekas dalam semalam.
Hati kecil Sumirah tercubit, dia tiba-tiba teringat dengan hinaan yang dia terima dari Permana suaminya, lebih tepatnya mantan suaminya karena dia telah dicerai.
Dia ingin membalas dendam semua perlakuan yang diterima dirinya. Perlahan api dendam membakar hatinya.
Nyai Mutik tersenyum saat melihat jika aura Sumirah mulai memudar dan perlahan tertutup kabut hitam.
“Nyai, maaf jika saya lancang, bolehkah saya ....”
Sumirah ragu, tapi dia harus jujur mengatakan keinginannya. Menurutnya kesempatan ini tidak datang dua kali.
Sementara itu Nyai Mutik tersenyum menunggu Sumirah melanjutkan perkataannya.
“Tolong jadikanlah saya muridmu, Nyai.”
Nyai Mutik tersenyum miris, sambil menggelengkan kepalanya perlahan setelah mendengar permintaan perempuan ayu yang semalam ditolongnya. Sementara itu Sumirah menunduk takut bila Nyai Mutik marah kepadanya."Apa tujuanmu sebenarnya, Cah Ayu. Sehingga kamu ingin menjadi sepertiku? Sekarang, coba kamu lihat ke arahku, Cah Ayu." Nyai Mutik berkata lirih.Sumirah mengangkat wajahnya, bola matanya beradu dengan bola mata milik Nyai Mutik.Sumirah kaget karena tiba-tiba bola mata Nyai Mutik berubah seperti mata seekor ular, bukan bola mata manusia normal.Tubuh Sumirah kaku, matanya seolah terkunci dan dipaksa menatap bola mata milik Nyai Mutik."Jika menatap mataku saja kau ketakutan, apa mungkin kau bisa menjadi sepertiku, Sumirah?"Perlahan bola mata Nyai Mutik kembali seperti semula, sedangkan tubuh Sumirah terjatuh ke lantai. Tubuhnya penuh keringat dan bergetar hebat, nafasnya cepat. Dadanya terasa sesak, bahkan dia sampai harus bernafas menggunakan mulutnya.Perlahan Nyai Mutik mende
“Kebakaran!”“Tolong! Ada kebakaran!”“Kebakaran!”Suara kentongan dari bambu terus berbunyi di tengah malam buta, suara riuh warga berlari pontang panting mengambil air dengan ember untuk memadamkan api, tapi sia-sia kobaran api masih berdiri dengan gagahnya, panasnya siap memanggang manusia-manusia yang berani mendekati dirinya.“Sumirah dan Nyai Aminah masih di dalam, bagaimana ini.”Bapak kepala desa bingung, warga panik.Permana tertawa-tawa melihat pemandangan di hadapannya. Setelah puas, lelaki itu pulang karena Gendis telah menunggunya di rumah.“Pie Kang Mas? Wis mbok bakar si Sumirah? Ben kae mati terus aku paling ayu sak ndeso Kang Mas.” ( Bagaimana Mas? Sudah kamu bakar si Sumirah, biar dia mati lalu aku jadi wanita tercantik di desa Mas.)Permana mengelus rambut ikal panjang milik Gendis yang selalu beraroma melati itu. Lalu mencubit pipi wanitanya itu dengan gemas.“Uwis, tenang wae, Sumirah mesti mati nyusul ramane ning neroko” ( Sudah, tenang saja, Sumirah pasti mati,
Sumirah kini tinggal di gudang padi milik Nyai Aminah karena bangunan utama rusak parah. Beruntung si jago merah tak sampai melahap gudang padi yang terletak di belakang rumah uwaknya tersebut.Sumirah bertahan hidup dari hasil mengais sisa-sisa harta benda milik uwaknya.Perut milik Sumirah berbunyi, pertanda minta diisi. Sumirah melahap nasi jagung yang tadi dia beli di pasar, uang dari hasil menjual perhiasan milik Nyai Aminah yang tak sengaja dia temukan di reruntuhan rumah sudah hampir habis untuk menyambung hidupnya selama sebulan ini.Bukan niat Sumirah hanya ingin menghabiskan harta uwaknya, dirinya berusaha mencari rezeki dengan cara menawarkan tenaganya kepada penduduk, tapi entah kenapa semua menolak dirinya.Ada yang merasa ketakutan jika bertemu dengannya, tapi kebanyakan dari mereka menatap jijik mukanya yang rusak karena luka bakar waktu itu.Hidung mancungnya kini sedikit pesek karena banyak dagingnya yang berkoreng dan terkelupas. Mata kanannya sedikit kabur. Serta ha
Suara guntur saling bersahutan. Hujan deras menari bersama sang angin. Tangan Sumirah berusaha menggapai sesuatu, seluruh badannya mati rasa. Pandangan matanya semakin memudar. Ditambah dengan guyuran hujan yang bagai ribuan jarum jatuh dari langit tepat di atas kulitnya yang terluka dan penuh memar itu menyempurnakan rasa sakit yang diderita oleh sang wanita yang dikhianati oleh lelaki yang selama ini menjadi lintah menyedot habis harta dan juga kebahagiaannya.Sumirah terus menggaungkan nama sosok yang diharap dapat mengangkatnya dari penderitaannya saat ini.Tak lama sesosok pria melangkah ke arahnya, itu adalah hal terakhir yang dia lihat sebelum kesadarannya menghilang.Sang pria menutupi tubuh polos Sumirah dengan selembar kain jarik bermotif emas lalu membopongnya menembus derasnya hujan, membawanya ke tempat di mana Sumirah memanggil nama ratunya, penguasa Rawa Ireng.Sang ratu yang berwujud seekor ular mengelilingi tubuh Sumirah yang tergeletak di sebuah meja batu. Sang ratu
Pendar cahaya yang terpancar dari tubuh Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng perlahan menghilang.Mata Sumirah yang terpejam terbuka perlahan. Dirinya terbengong mendapati perubahan besar yang tersaji di hadapannya.Sesosok perempuan sangat anggun berdiri di hadapannya, dengan pakaian ratu khas kerajaan Jawa kuno, rambut ter sanggul dengan indahnya berhias ronce bunga melati dan mahkota yang berkilau, aroma kembang kantil menyeruak darinya. Kecantikan yang dia punya ribuan kali lebih menawan daripada kecantikan Nyai Mutik yang Sumirah pikir wanita tercantik yang pernah dia temui.Namun kini dia sadar, penguasa Rawa Ireng yang baru saja menjadi tempat dirinya meminta pertolongan adalah sosok teramat sangat cantik menawan.“Kemarilah, Cah Ayu!”Sumirah sungguh terpesona oleh kecantikan Ratunya. Bahkan suaranya begitu merdu, halus, lemah lembut, tatapan matanya tajam penuh misteri tapi dia tetap tidak kehilangan pesonanya.Perlahan Sumirah turun dari meja batu tempat dirinya pingsan, ragu ka
Nyai Mutik semakin pias, tanda-tanda keberadaan Sumirah sudah tidak ada.Matikah dia? Atau masih hidupkah? Nyai Mutik benar-benar tidak bisa merasakan keberadaan anak manusia yang putus asa hingga menyambangi junjungannya dan nekat melakukan ritual yang teramat berbahaya itu.Nyai Mutik melirik ratunya yang tengah tersenyum penuh misteri. Senyuman yang mengerikan namun mempesona secara bersamaan.Nyai Mutik tahu betul betapa sulitnya menyeberangi danau jelmaan Rawa Ireng di hadapannya itu.Sesungguhnya danau yang kelihatan jernih tersebut tetaplah sebuah rawa yang hitam pekat dan berbau busuk, hanya rupanya saja yang berubah, namun tidak mengubah kenyataan bahwa Sumirah kini tengah masuk ke dalam Rawa yang berbau busuk.Dirinya pernah melewati proses seperti yang dilakukan Sumirah saat ini, menyeberang danau yang jernih demi mendapatkan sesuatu yang bersinar di tengah danau tersebut. Awalnya dia mampu menyeberang dengan mudah, namun saat hatinya meragu tiba-tiba danau yang dikelilingi
“Kau tahu kenapa disebut pucuk sukma, Sumirah?” Nyai Mutik menatap ke arah Sumirah dengan tatapan sendu seolah menyesalkan keputusan Sumirah yang menempuh jalan ini, jalan yang juga diambilnya yaitu menyembah Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng. Nyai Mutik sejatinya sangat berharap tidak ada lagi seseorang yang akan mengalami hal tragis saat ingin meraih keabadian. Namun, Sumirah yang rupanya telah dipenuhi oleh amarah dan dendam itu bersikeras untuk menginjak dan menempuh jalanan yang kesemuanya bertebaran tulang belulang dari manusia yang gagal melakukan ritual.Sumirah menggelengkan kepalanya, pertanda tidak tahu. Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng tersenyum penuh misteri.“Disebut pucuk sukma karena dia adalah jelmaan dari sukma seseorang yang menjadi tuannya. Sukmamu perlahan akan bercampur dengan bangsa kami melalui bunga teratai itu, Sumirah. Saat kelopak pertama masuk ke tubuhmu, maka sukmamu tak lagi milikmu, tapi milikku sang penguasa Rawa Ireng. Namun kamu jangan khawatir, Sumir
Suasana di dalam gua sangat gelap, sementara suara kakek tua terus terdengar berulang-ulang. Suaranya terdengar hingga menembus jiwa. Sumirah semakin rapat menutup matanya.Tiba-tiba suara sang kakek menghilang, gua terasa sunyi dan gelap.Terdengar suara riak air dari bejana emas yang bergetar karena gerakan tangan Sumirah yang ketakutan.Sumirah berusaha menenangkan degup jantungnya hingga akhirnya gemetar di tangannya perlahan mereda, bejana tak lagi bergetar.Cukup lama Sumirah ditelan keheningan gua, hingga tiba-tiba terdengar suara kaki yang melangkah perlahan. Mantan istri dari Permana itu menajamkan pendengarannya.Sumirah begitu familiar dengan suara yang didengarnya. Itu suara langkah kaki sang rama saat berjalan menggunakan sandal selopnya.Suara langkah kaki terdengar semakin mendekat, dan berhenti tepat di hadapannya. Sumirah masih tetap menutup matanya.Nyai Mutik berpesan supaya dirinya jangan sekali-kali membuka matanya, apa pun yang dia dengar jangan sekali-kali membu
Pak Ahmad masih duduk termenung di ruang tamu rumahnya. Lelaki itu ingin segera bertemu dengan Kyai Ibrahim agar bisa lebih jelas menanyakan perihal apa yang terjadi dengan Seruni.Namun, entah mengapa, ada keraguan yang menahannya untuk melangkah. Pada akhirnya, ia masih saja tetap duduk di sofa, terpaku dalam lamunannya.“Hah~” Pak Ahmad menghela napas panjang.Tubuhnya terasa begitu lelah. Ia baru saja pulang setelah bertemu dengan Mbah Bejo, dan kini pikirannya kembali dipenuhi kebingungan akibat tingkah aneh Seruni. Lebih parahnya lagi, Kyai Ibrahimlah yang saat itu ada di rumahnya saat kejadian aneh itu terjadi."Apa yang sebenarnya terjadi..." gumam Pak Ahmad sambil memijat pelipisnya yang terasa nyeri karena terlalu banyak beban yang menghimpit pikirannya.Dalam hati, ia ingin sekali menyeruput secangkir kopi hitam kental dan pahit, dengan sedikit gula, serta menikmati sebatang rokok tembakau kesukaannya. Namun, tubuhnya yang letih membuatnya enggan beranjak ke dapur untuk sek
"Argh! Sialan! Manusia keparat! Dasar Kyai keparat! Berani-beraninya dia membuatku seperti ini! Akan ku bunuh kau!"Sumirah berteriak sambil memegangi wajahnya yang sudah tak elok dipandang.Wajah wanita yang pernah menyerahkan jiwanya kepada iblis itu kini terlihat pecah-pecah, seperti tanah tandus yang merekah di musim kemarau panjang."Kyai Ibrahim! Melihat dia, aku jadi teringat pada tua bangka yang menjadi cinta dari Nyai Mutik yang kini telah musnah itu! Kenapa makhluk-makhluk yang hampir mati itu terus saja mengganggu rencanaku?!" Sumirah terus mengumpat."Arrgh! Keparat! Sialan!" Sumirah kembali berteriak, melampiaskan emosinya yang meluap-luap.Setiap kali ia berteriak, kulit wajahnya yang penuh retakan akan terkelupas, jatuh ke air rawa dengan warna hitam pekat dan bau menyengat yang memuakkan.Ya…Kini Sumirah berada di dimensi lain, sebuah dunia di mana hanya ada malam yang abadi, tempat para lelembut pemuja Kanjeng Ratu Lintang Pethak tinggal.Tempat ini adalah tempat di
“Kiai sudah di sini dari tadi?” Seseorang menepuk pelan pundak Kiai Ibrahim dengan lembut.Kiai Ibrahim menoleh dan tersenyum saat tahu yang menepuknya adalah manusia, bukan jin. “Sudah dari tadi, sekalian nunggu adzan, Fauzi.”Rupanya, yang menepuk pundak sang Kiai adalah Fauzi, marbot masjid sekaligus muadzin yang biasanya mengumandangkan adzan di Masjid Tiban.“Maaf, Kiai. Tadi saya pulang dulu, lapar, lalu mandi,” ujar Fauzi sambil cengar-cengir, tampak malu karena Kiai Ibrahim sudah lebih dulu datang ke masjid.“Tidak apa-apa, Fauzi. Ini sudah masuk waktu sholat. Kamu adzan dulu,” jawab Kiai Ibrahim sambil tersenyum ke arah Fauzi.“Nggih, Kiai.” Fauzi pun bergegas menuju tempat adzan untuk mengumandangkannya, menandakan waktu sholat Ashar telah tiba.Lantunan suara Fauzi yang merdu memenuhi ruang masjid, menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. Kiai Ibrahim menutup mata sejenak, meresapi setiap lafaz adzan yang terasa sejuk di hati. Meski suasana masjid masih sepi, ada ket
Kiai Ibrahim pulang bersama kedua muridnya setelah urusannya dengan Pak Ahmad selesai. Langkah mereka pelan menyusuri jalan yang sunyi, hanya suara serangga malam yang sesekali terdengar.“Kalian berdua jangan sebarkan apa pun tentang apa yang kalian lihat di rumah Seruni. Jika kalian bertamu ke rumah orang lain, maka ketika kalian pulang, mata kalian harus buta, mulut harus bisu, dan telinga harus tuli. Paham, kan?” ujar Kiai Ibrahim dengan nada tegas, pandangannya tajam mengarah pada kedua muridnya.“Baik, Kiai,” jawab kedua murid itu serempak, mengangguk tanpa berani membantah.Perjalanan mereka dilanjutkan dalam keheningan. Kiai Ibrahim berjalan paling depan, sementara kedua muridnya mengikutinya dengan langkah penuh kehati-hatian. Masing-masing larut dalam pikirannya sendiri, terutama Kiai Ibrahim.Hati kiai sepuh itu dipenuhi berbagai tanda tanya. Ia tidak menyangka keadaan Seruni sedemikian mengkhawatirkan. Apakah Pak Ahmad benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada putrinya?
“Bapak?” suara Seruni terdengar lirih, wajahnya pucat pasi setelah melalui pengalaman yang melampaui akal sehatnya. Namun, ekspresi lega menyelimuti wajahnya saat melihat sang ayah, Pak Ahmad, berdiri di depan pintu rumah.Pak Ahmad yang baru tiba langsung berlari menghampiri Seruni. Sandalnya bahkan tidak sempat dilepas. Ia memeluk erat anak gadisnya dengan perasaan campur aduk—antara lega, lelah, dan khawatir.Kiai Ibrahim yang menyaksikan momen itu memilih menyingkir, memberikan ruang bagi ayah dan anak tersebut. Beliau bergabung dengan para muridnya yang menunggu di sudut ruangan. Para murid tampak tegang, menyadari situasi yang mungkin berubah menjadi lebih rumit.“Bapak akhirnya pulang,” ucap Seruni sambil terisak. Tubuhnya gemetar, tapi pelukan ayahnya memberinya sedikit ketenangan. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya mengalir deras, membasahi bahu Pak Ahmad.Namun, suasana haru itu tak bertahan lama. Wajah Pak Ahmad yang awalnya penuh kasih berubah menjadi tegang. Ia
Seruni menggeliat kesakitan di lantai, tubuhnya yang tadi tegang seperti ular kini mulai melonggar. Wajahnya berubah menjadi ekspresi penuh penderitaan. Kedua matanya yang tadi berkilau tajam dengan warna kuning keemasan perlahan mulai memudar, kembali menjadi seperti mata manusia biasa, meskipun pupilnya masih terlihat aneh.Kiai Ibrahim segera berjongkok mendekat, tangannya gemetar namun penuh niat untuk membantu. "Seruni, Nak, bertahanlah! Kamu harus melawan apa pun yang menguasaimu ini!" katanya dengan suara lembut namun tegas.Dua pemuda yang tadi mendampingi Kiai Ibrahim saling berpandangan, bingung dan ketakutan. Namun, mereka tetap mendekat dengan hati-hati, mengikuti aba-aba Kiai Ibrahim.“A-apa yang harus kita lakukan, Kyai?” salah satu dari mereka bertanya dengan nada gemetar.Kiai Ibrahim tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju pada Seruni yang kini terengah-engah di lantai. Tubuh gadis itu tampak gemetar hebat, seolah sedang berperang melawan sesuatu yang tak terli
Seruni terlihat sibuk mondar-mandir di ruang tamu rumahnya sambil sesekali menengok ke jendela, berharap bapaknya segera pulang.Sudah tiga hari bapaknya tidak pulang, dan hal itu membuat Seruni semakin khawatir.Malam terakhir sebelum kepergiannya, Seruni sempat melihat sang bapak panik sambil berkata sesuatu yang tidak terlalu ia pahami—"Aku harus ke karang bolong secepatnya." Malam itu pula sang bapak berpamitan, mengatakan bahwa ia harus pergi ke suatu tempat dan akan kembali dalam tiga hari.Seruni sebenarnya tidak terlalu kaget dengan kebiasaan bapaknya. Sejak dulu, Pak Ahmad memang sering pergi ke tempat-tempat yang bahkan ia sendiri tidak tahu. Namun, kali ini berbeda.“Jangan terima tamu siapa pun di malam hari, kecuali itu bapak,” pesan Pak Ahmad sebelum pergi.Seruni hanya mengangguk, melepas kepergian bapaknya tanpa banyak bertanya. Namun, kini dua malam sudah berlalu tanpa ada tanda-tanda kepulangan bapaknya. Ini sudah pagi ketiga, dan Pak Ahmad belum juga kembali.Malam-
Mbah Bejo mengepulkan asap rokok menyannya tinggi-tinggi sambil memandang ke arah laut dari pintu gubuk tuanya yang terbuka lebar. Matahari mulai tenggelam, mengenakan selendang senja berwarna jingga yang indah namun menyimpan aura mencekam.Gubuk tua itu sunyi, hanya dihuni Mbah Bejo seorang diri setelah Pak Ahmad pulang membawa cerita tentang Sumirah.Di rumah itu juga ada setitik sinar dari lampu teplok minyak tanah yang mana apinya yang berwarna jingga terang itu sesekali bergoyang karena angin cukup kencang padahal nyala api kecil itu dilindungi oleh kaca dari lampu teplok tua itu.Suasana yang tadinya hanya sepi kini mulai berubah. Hawa di sekitarnya menjadi berat, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang.Mbah Bejo menghisap rokok menyannya dalam-dalam, matanya tak lepas dari laut yang perlahan berubah kelam. Angin dingin tiba-tiba berhembus kencang, membawa aroma asin yang bercampur bau amis. Ia menghela nafas panjang, mengamati bagaimana langit berganti dar
"Jadi, makhluk yang bikin kamu jauh-jauh cari ilmu kanuragan sampai rela kasih tumbal tujuh darah perawan itu si Sumirah? Aduh, tobat!" Mbah Bejo tampak frustasi, mengusap wajahnya dengan kesal."Lah, apa salahnya, Mbah? Kan waktu itu Mbah sendiri yang bilang, kalau saya kasih tumbal tujuh darah perawan, Mbah bakal kasih keris wulu ireng. Lagian, keris itu beneran berfungsi, kok," Pak Ahmad masih mencoba membela diri."Tapi waktu itu kamu cuma bilang kalau keponakanmu kesurupan Jin Nasab! Dasar sontoloyo! Kalau tahu begini, aku nggak bakal mau bantu kamu!" Mbah Bejo melotot tajam ke arah Pak Ahmad, suaranya meninggi.Pak Ahmad menunduk dalam, tak berani menatap langsung ke mata Mbah Bejo. Tatapan dukun tua itu seolah-olah menusuk sampai ke tulang, membuat seluruh tubuhnya gemetar. Bahkan, bernafas pun terasa sulit. Dadanya sesak, seperti ada tangan tak terlihat yang meremas jantungnya.Mbah Bejo, yang masih marah, mengambil sebatang rokok menyan dari kantongnya. Ia menyulut rokok itu