“Cah Ayu....”
Sumirah mendengar suara halus perempuan memanggil dirinya, tengkuknya meremang, matanya semakin dia tutup rapat. Suaranya masih tetap menangis sesenggukkan. Sumirah sudah pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya.
“Cah Ayu, ojo nangis. Menengo.” ( Anak cantik, jangan menangis. Diamlah...”
Suara lembut perempuan terdengar kembali. Sumirah perlahan menghentikan tangisnya.
“Cah Ayu, bukak o mripatmu.” ( Anak cantik, bukalah matamu.)
Sumirah membuka pelan matanya, detik kemudian matanya terbuka lebar, matanya melotot melihat apa yang ada di depannya.
Seekor ular kobra sebesar pohon jati yang berusia ratusan tahun tengah menatap wajahnya, sisiknya yang berwarna putih susu berkilau memantulkan cahaya rembulan. Matanya merah bagaikan batu delima, gigi taringnya tajam bagai sebilah pedang. Ular itu tapi tak beraroma amis khas hewan melata, melainkan ber-aromakan wangi bunga kantil.
Perlahan kepala ular semakin mendekati wajah Sumirah.
Dekat dan semakin dekat hingga sang ular hanya berjarak beberapa centi dari wajah Sumirah.
Mata sang ular yang merah memantulkan wajah Sumirah yang seolah ditelan olehnya.
Sumirah pingsan, sang ular kobra berputar mengelilingi tubuh tak berdaya milik Sumirah, kepalanya berdiri menatap tajam Sumirah yang tengah pingsan.
Dari kejauhan tampak sinar obor yang perlahan mendekat ke arah sang ular.
Perempuan dengan kemben warna emas dan kain jarik lurik yang senada, rambut hitam lurus sepinggang miliknya ia biarkan tergerai begitu saja. Perempuan tersebut merapatkan kedua telapak tangannya lalu dia tempelkan di dada dan menunduk khidmat.
“Sugeng dalu, Ratu. Wonten punapa memanggilipun kawula?” ( Selamat malam ratu, ada apa sehingga memanggil saya).
Sang ular mendesis, lidah bercabangnya menjulur-julur.
“Bawa perempuan ini ke pondokmu, Mutik. Lalu sembuhkanlah dia. Aku menyukainya, tapi aku tidak bisa membawanya ke istanaku selagi bukan dari keinginan hatinya sendiri. Aku hanya bisa membawa mereka-mereka yang berhati busuk, atau mereka yang membutuhkan bantuan dariku. Tapi sayangnya perempuan ini datang ke sini bukan untuk meminta bantuanku, juga hatinya masih bersih. Setelah dia sadar tanyakanlah kenapa dia sampai ingin mati di Rawa Ireng. Jika dia butuh bantuan, maka akan aku bantu.”
“Siap nampi dhawuh, Gusti Ratu.” (Siap menerima perinta,h Gusti Ratu.)
Sang ratu pergi meninggalkam Nyai Mutik dan Sumirah yang pingsan.
Nyai Mutik menatap tubuh Sumirah lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Pantas saja gusti ratu tertarik dengan perempuan ini, auranya sama dengan warna sisik sang ratu, tapi sayangnya aku tak mungkin membopongmu hingga ke pondokku!”
Nyai Mutik memejamkan mata lalu mulutnya komat-kamit, tak lama kemudian muncul lagi ular hitam bertanduk emas sebesar pohon kelapa mendekatinya.
Ular hitam itu mendesis dan menjulurkan lidahnya ke tubuh Sumirah.
“Panganan!” ( Makanan!”) Lagi, ular hitam itu mendesis sambil menjulurkan lidahnya kearah tubuh Sumirah.
“Pangan o nek koe pingin mati!” ( Makan saja kalau kamu ingin mati)
Ssstt... ssstt ...
Ular hitam itu kembali menarik lidahnya.
“Wangine enak banget, nggawe luwe. Iki sopo Mutik?” ( Aromanya sangat enak, bikin lapar. Perempuan ini siapa?)
“Lapar? Bukannya kamu baru saja makan manusia yang mengejar perempuan ini?”
“ Kae Ora enak, mambu bacin. Nek iki wangi ne enak. Iki sopo Mutik? Kok ora koe jawab pitakonku ket mau.” ( Dia tidak enak, baunya busuk. Kalau perempuan ini baunya enak . Dia siapa Mutik? Dari tadi tidak kau jawab pertanyaanku.)
“Aku yo gak ngerti sopo, pokok e ojo koe pangan. Perintah gusti ratu, koe gendong wedokan iki, terus gowo ning pondokku. Eling, ojo koe pangan. Wani mangan siap- siap mati koe.” ( Aku juga tidak tahu, jangan kamu makan, ini perintah gusti ratu, kamu gendong saja dia, lalu antar ke pondokku. Ingat, jangan kamu makan. Kalau nekat siap-siap kamu mati.”
Setelah mendengar perintah dari Nyai Mutik, dalam sekejap mata ular hitam bertanduk emas itu merubah wujudnya menjadi seorang pria tampan.
“Ngopo berubah dadi menungso, koe gowo wae pakek buntut mu.” ( Ngapain berubah jadi manusia? Kamu bawa saja dia pakai ekormu!”)
“Wedokan iki ayune pol Mutik, man eman ndak awakke mambu...!” (Perempuan ini cantik sekali Mutik, sayang nanti badannya bau.
“Heleeh, kakean lakon koe, wis gowo meng pondokku.” ( Heleh, banyak gaya kamu,sudah cepat bawa dia ke rumahku)
***
Sinar mentari pagi masuk ke pondok yang bergaya kuno akan tetapi masih sangat kokoh. Cahayanya menembus jendela hingga membuat Sumirah yang sejak semalam pingsan terbangun saat matanya merasa silau.
“Sudah sadar, Cah Ayu?”
Nyai Mutik yang menyadari jika tamunya telah sadar bergegas menghampirinya.
Sumirah bangun perlahan dari dipan, kepalanya masih sedikit pusing. Dia mengarahkan pandangannya ke penjuru pondok.
“Minumlah, Cah Ayu!”
Nyai Mutik memberikan secangkir teh hangat untuk Sumirah, sementara yang diberi minuman menerimanya dengan tangan gemetar.
“Apakah aku sudah mati?” Sumirah bertanya lirih sambil menatap wajah ayu perempuan di depannya yang terlihat begitu menawan seperti bidadari.
“Minumlah dulu, Cah Ayu. Setelah itu kau boleh menanyakan semua yang ingin kau tanyakan dan akan aku jawab.”
Sumirah mengangguk lalu perlahan meminum teh hangat yang sangat wangi tersebut hingga akhirnya sakit kepalanya hilang. Tenaganya terisi kembali, Sumirah memeriksa seluruh tubuhnya, bersih tanpa ada sedikitpun luka. Padahal tubuhnya sangat kotor dan penuh luka. Sumirah sangat heran.
“Kalau boleh tahu anda siapa? Saya di mana? Dan kenapa menolong saya?”
Mutik tersenyum, ternyata suara perempuan yang telah ditolongnya sangat halus, cocok dengan wajahnya yang sangat ayu.
“Sebelum saya jawab pertanyaanmu, saya ingin tahu siapa namamu dan kenapa kamu bisa sampai di Rawa Ireng.”
Sumirah bergetar, dia teringat dengan ular putih yang sangat besar itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya.
Nyai Mutik menggenggam perlahan tangan Sumirah.
“Tenanglah, Cah Ayu. Ceritakanlah perlahan.”
Entah kenapa tiba-tiba Sumirah merasa tenang setelah tangannya disentuh oleh Nyai Mutik.
“Nama saya Sumirah, Nyai. Saya tidak sengaja sampai ke Rawa Ireng saat dikejar-kejar orang yang mau menodai saya. Saya Diusir oleh suami saya, Nyai.”
Sumirah pun menceritakan semua peristiwa yang dia alami sebelum dirinya sampai di Rawa Ireng. Sesekali air mata membasahi wajahnya. Nyai Mutik yang mendengarkan cerita Sumirah sambil mengangguk-anggukan kepala, sesekali dia mengepalkan tangan dengan kuat.
Nyai Mutik tidak menyela sedikitpun perkataan Sumirah. Dia biarkan Sumirah menceritakan semua himpitan di hatinya hingga selesai.
“Sudah selesai ceritanya, Cah Ayu?”
Sumirah mengangguk sambil mengusap air mata dengan punggung tangannya.
“Kamu tau, Sumirah. Lelaki yang mengejarmu sudah mati di Rawa Ireng, dia mati karena hatinya busuk.”
“Juragan Jarwo mati ....” Sumirah bergumam pelan, tak menyangka antek Menir yang terkenal bengis itu mati mengenaskan di Rawa Ireng.
“Namaku Mutik, Sumirah. Orang-orang memanggilku dengan sebutan Nyai Mutik.”
“Nya—i Mu—tik?” Sumirah menyebut nama perempuan cantik di hadapannya dengan terbata-bata.
Nyai Mutik terkekeh melihat ekspresi Sumirah.Sementara itu Sumirah tidak tahu harus takut atau bahagia bertemu dengan Nyai Mutik.
Ternyata perempuan cantik yang telah merawatnya adalah perempuan yang sangat dihormati di seluruh pelosok pulau jawa. Bahkan para Menir Belanda pun segan terhadapnya.
Konon nyai Mutik sudah berusia dua ratus tahun, tapi wajahnya masih sangat cantik seperti gadis perawan. Tubuhnya juga sangat terawat dan indah. Gendis wanita penggoda itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pesona Nyai Mutik.
Alasan lain kenapa Nyai Mutik sangat disegani karena ilmu kebatinan yang luar biasa. Banyak rumor yang mengatakan tak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh nyai Mutik. Hal itu dapat dilihat dari wajah Nyai Mutik yang tak ada tanda-tanda penuaan sedikitpun.
Bagi Sumirah kemapuan Nyai bukanlah rumor, dia telah membuktikannya sendiri, luka di tubuhnya hilang tak berbekas dalam semalam.
Hati kecil Sumirah tercubit, dia tiba-tiba teringat dengan hinaan yang dia terima dari Permana suaminya, lebih tepatnya mantan suaminya karena dia telah dicerai.
Dia ingin membalas dendam semua perlakuan yang diterima dirinya. Perlahan api dendam membakar hatinya.
Nyai Mutik tersenyum saat melihat jika aura Sumirah mulai memudar dan perlahan tertutup kabut hitam.
“Nyai, maaf jika saya lancang, bolehkah saya ....”
Sumirah ragu, tapi dia harus jujur mengatakan keinginannya. Menurutnya kesempatan ini tidak datang dua kali.
Sementara itu Nyai Mutik tersenyum menunggu Sumirah melanjutkan perkataannya.
“Tolong jadikanlah saya muridmu, Nyai.”
Nyai Mutik tersenyum miris, sambil menggelengkan kepalanya perlahan setelah mendengar permintaan perempuan ayu yang semalam ditolongnya. Sementara itu Sumirah menunduk takut bila Nyai Mutik marah kepadanya."Apa tujuanmu sebenarnya, Cah Ayu. Sehingga kamu ingin menjadi sepertiku? Sekarang, coba kamu lihat ke arahku, Cah Ayu." Nyai Mutik berkata lirih.Sumirah mengangkat wajahnya, bola matanya beradu dengan bola mata milik Nyai Mutik.Sumirah kaget karena tiba-tiba bola mata Nyai Mutik berubah seperti mata seekor ular, bukan bola mata manusia normal.Tubuh Sumirah kaku, matanya seolah terkunci dan dipaksa menatap bola mata milik Nyai Mutik."Jika menatap mataku saja kau ketakutan, apa mungkin kau bisa menjadi sepertiku, Sumirah?"Perlahan bola mata Nyai Mutik kembali seperti semula, sedangkan tubuh Sumirah terjatuh ke lantai. Tubuhnya penuh keringat dan bergetar hebat, nafasnya cepat. Dadanya terasa sesak, bahkan dia sampai harus bernafas menggunakan mulutnya.Perlahan Nyai Mutik mende
“Kebakaran!”“Tolong! Ada kebakaran!”“Kebakaran!”Suara kentongan dari bambu terus berbunyi di tengah malam buta, suara riuh warga berlari pontang panting mengambil air dengan ember untuk memadamkan api, tapi sia-sia kobaran api masih berdiri dengan gagahnya, panasnya siap memanggang manusia-manusia yang berani mendekati dirinya.“Sumirah dan Nyai Aminah masih di dalam, bagaimana ini.”Bapak kepala desa bingung, warga panik.Permana tertawa-tawa melihat pemandangan di hadapannya. Setelah puas, lelaki itu pulang karena Gendis telah menunggunya di rumah.“Pie Kang Mas? Wis mbok bakar si Sumirah? Ben kae mati terus aku paling ayu sak ndeso Kang Mas.” ( Bagaimana Mas? Sudah kamu bakar si Sumirah, biar dia mati lalu aku jadi wanita tercantik di desa Mas.)Permana mengelus rambut ikal panjang milik Gendis yang selalu beraroma melati itu. Lalu mencubit pipi wanitanya itu dengan gemas.“Uwis, tenang wae, Sumirah mesti mati nyusul ramane ning neroko” ( Sudah, tenang saja, Sumirah pasti mati,
Sumirah kini tinggal di gudang padi milik Nyai Aminah karena bangunan utama rusak parah. Beruntung si jago merah tak sampai melahap gudang padi yang terletak di belakang rumah uwaknya tersebut.Sumirah bertahan hidup dari hasil mengais sisa-sisa harta benda milik uwaknya.Perut milik Sumirah berbunyi, pertanda minta diisi. Sumirah melahap nasi jagung yang tadi dia beli di pasar, uang dari hasil menjual perhiasan milik Nyai Aminah yang tak sengaja dia temukan di reruntuhan rumah sudah hampir habis untuk menyambung hidupnya selama sebulan ini.Bukan niat Sumirah hanya ingin menghabiskan harta uwaknya, dirinya berusaha mencari rezeki dengan cara menawarkan tenaganya kepada penduduk, tapi entah kenapa semua menolak dirinya.Ada yang merasa ketakutan jika bertemu dengannya, tapi kebanyakan dari mereka menatap jijik mukanya yang rusak karena luka bakar waktu itu.Hidung mancungnya kini sedikit pesek karena banyak dagingnya yang berkoreng dan terkelupas. Mata kanannya sedikit kabur. Serta ha
Suara guntur saling bersahutan. Hujan deras menari bersama sang angin. Tangan Sumirah berusaha menggapai sesuatu, seluruh badannya mati rasa. Pandangan matanya semakin memudar. Ditambah dengan guyuran hujan yang bagai ribuan jarum jatuh dari langit tepat di atas kulitnya yang terluka dan penuh memar itu menyempurnakan rasa sakit yang diderita oleh sang wanita yang dikhianati oleh lelaki yang selama ini menjadi lintah menyedot habis harta dan juga kebahagiaannya.Sumirah terus menggaungkan nama sosok yang diharap dapat mengangkatnya dari penderitaannya saat ini.Tak lama sesosok pria melangkah ke arahnya, itu adalah hal terakhir yang dia lihat sebelum kesadarannya menghilang.Sang pria menutupi tubuh polos Sumirah dengan selembar kain jarik bermotif emas lalu membopongnya menembus derasnya hujan, membawanya ke tempat di mana Sumirah memanggil nama ratunya, penguasa Rawa Ireng.Sang ratu yang berwujud seekor ular mengelilingi tubuh Sumirah yang tergeletak di sebuah meja batu. Sang ratu
Pendar cahaya yang terpancar dari tubuh Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng perlahan menghilang.Mata Sumirah yang terpejam terbuka perlahan. Dirinya terbengong mendapati perubahan besar yang tersaji di hadapannya.Sesosok perempuan sangat anggun berdiri di hadapannya, dengan pakaian ratu khas kerajaan Jawa kuno, rambut ter sanggul dengan indahnya berhias ronce bunga melati dan mahkota yang berkilau, aroma kembang kantil menyeruak darinya. Kecantikan yang dia punya ribuan kali lebih menawan daripada kecantikan Nyai Mutik yang Sumirah pikir wanita tercantik yang pernah dia temui.Namun kini dia sadar, penguasa Rawa Ireng yang baru saja menjadi tempat dirinya meminta pertolongan adalah sosok teramat sangat cantik menawan.“Kemarilah, Cah Ayu!”Sumirah sungguh terpesona oleh kecantikan Ratunya. Bahkan suaranya begitu merdu, halus, lemah lembut, tatapan matanya tajam penuh misteri tapi dia tetap tidak kehilangan pesonanya.Perlahan Sumirah turun dari meja batu tempat dirinya pingsan, ragu ka
Nyai Mutik semakin pias, tanda-tanda keberadaan Sumirah sudah tidak ada.Matikah dia? Atau masih hidupkah? Nyai Mutik benar-benar tidak bisa merasakan keberadaan anak manusia yang putus asa hingga menyambangi junjungannya dan nekat melakukan ritual yang teramat berbahaya itu.Nyai Mutik melirik ratunya yang tengah tersenyum penuh misteri. Senyuman yang mengerikan namun mempesona secara bersamaan.Nyai Mutik tahu betul betapa sulitnya menyeberangi danau jelmaan Rawa Ireng di hadapannya itu.Sesungguhnya danau yang kelihatan jernih tersebut tetaplah sebuah rawa yang hitam pekat dan berbau busuk, hanya rupanya saja yang berubah, namun tidak mengubah kenyataan bahwa Sumirah kini tengah masuk ke dalam Rawa yang berbau busuk.Dirinya pernah melewati proses seperti yang dilakukan Sumirah saat ini, menyeberang danau yang jernih demi mendapatkan sesuatu yang bersinar di tengah danau tersebut. Awalnya dia mampu menyeberang dengan mudah, namun saat hatinya meragu tiba-tiba danau yang dikelilingi
“Kau tahu kenapa disebut pucuk sukma, Sumirah?” Nyai Mutik menatap ke arah Sumirah dengan tatapan sendu seolah menyesalkan keputusan Sumirah yang menempuh jalan ini, jalan yang juga diambilnya yaitu menyembah Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng. Nyai Mutik sejatinya sangat berharap tidak ada lagi seseorang yang akan mengalami hal tragis saat ingin meraih keabadian. Namun, Sumirah yang rupanya telah dipenuhi oleh amarah dan dendam itu bersikeras untuk menginjak dan menempuh jalanan yang kesemuanya bertebaran tulang belulang dari manusia yang gagal melakukan ritual.Sumirah menggelengkan kepalanya, pertanda tidak tahu. Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng tersenyum penuh misteri.“Disebut pucuk sukma karena dia adalah jelmaan dari sukma seseorang yang menjadi tuannya. Sukmamu perlahan akan bercampur dengan bangsa kami melalui bunga teratai itu, Sumirah. Saat kelopak pertama masuk ke tubuhmu, maka sukmamu tak lagi milikmu, tapi milikku sang penguasa Rawa Ireng. Namun kamu jangan khawatir, Sumir
Suasana di dalam gua sangat gelap, sementara suara kakek tua terus terdengar berulang-ulang. Suaranya terdengar hingga menembus jiwa. Sumirah semakin rapat menutup matanya.Tiba-tiba suara sang kakek menghilang, gua terasa sunyi dan gelap.Terdengar suara riak air dari bejana emas yang bergetar karena gerakan tangan Sumirah yang ketakutan.Sumirah berusaha menenangkan degup jantungnya hingga akhirnya gemetar di tangannya perlahan mereda, bejana tak lagi bergetar.Cukup lama Sumirah ditelan keheningan gua, hingga tiba-tiba terdengar suara kaki yang melangkah perlahan. Mantan istri dari Permana itu menajamkan pendengarannya.Sumirah begitu familiar dengan suara yang didengarnya. Itu suara langkah kaki sang rama saat berjalan menggunakan sandal selopnya.Suara langkah kaki terdengar semakin mendekat, dan berhenti tepat di hadapannya. Sumirah masih tetap menutup matanya.Nyai Mutik berpesan supaya dirinya jangan sekali-kali membuka matanya, apa pun yang dia dengar jangan sekali-kali membu
“Bapak ….” Seruni yang sudah sadar menyebut nama bapaknya. Sementara itu Pak Ahmad memeluk tubuh Seruni dengan tangan yang gemetar. Lelaki itu begitu senang karena anaknya itu telah kembali dengan selamat.“Bapak kenapa? Kenapa bapak menangis?” Lagi Seruni bertanya, kini tangannya dengan pelan mengusap pipi ayahnya yang telah basah oleh air mata.“Nggak apa-apa. Ayah tidak apa-apa. Kamu masih kepanasan?” Paman Ahmad tentu saja tidak ingin mengaku jika dirinya begitu mengkhawatirkan anaknya yang tiba-tiba menjerit kepanasan seperti tenggelam dalam kobaran api.“Panas? Aku nggak kepanasan kok, Pak?” Nampaknya Seruni sama sekali tidak ingat dengan apa yang telah terjadi dengan nya barusan. Paman Ahmad yang mengerti pun langsung melepaskan pelukannya dari tubuh anak semata wayangnya itu.Paman Ahmad yang melihat anak gadisnya telah melupakan semuanya sedikit lega. Yang mana itu berarti Seruni yang ada di hadapannya saat ini adalah Seruni yang tubuhnya benar-benar berisi jiwa Seruni yang a
“Apa yang kamu lakukan, Kyai Ibrahim!” Paman Ahmad berteriak.Kyai Ibrahim kaget kenapa bisa bapak Seruni itu bisa berada di dunia yang bukan dunianya manusia.Paman Ahmad yang belum juga mendapatkan jawaban pun berlari mendekati sang Kyai dan begitu sampai Paman Ahmad langsung menarik pergi tangan Kyai agar menjauh dari hadapan sosok ular Sumirah yang sedang terbakar oleh api yang berkobar.“Ada apa ini sebenarnya, Kyai? Kenapa ada makhluk mengerikan itu di sana?” Paman Ahmad mengulang kembali pertanyaannya sambil menatap ular Sumirah.“Aku sedang berusaha mengembalikan sukma Satria ke tempat yang seharusnya, Pak Ahmad. Dan ini sangat mendesak. Aku tidak bisa menjelaskan panjang lebar sekarang.” Kyai Ibrahim berusaha menjelaskan dengan singkat dan jelas.“Satria? Bagaimana bisa?” Paman Ahmad masih belum percaya dengan ucapan sang Kyai.“Lihatlah disana.” Kyai Ibrahim menunjuk ke arah mana Satria masih duduk bengong tak bergerak sama sekali.“Itu Satria, Kyai?!” Paman Ahmad kaget kena
"Kenapa kamu kesini! Kamu tidak aku undang!" Wanita yang memeluk Satria langsung memasang wajah marah."Kembalikan apa yang seharusnya kamu kembalikan. Dia dan kamu bukan lah makhluk yang sama. Seberapapun kerasnya kamu berusaha takdir kalian tidak akan pernah bersama." Kyai Ibrahim dengan tegas meminta wanita cantik itu melepaskan Satria yang ada di cengkramannya."Tidak! Kangmas Satria akan ikut bersamaku dalam keabadian. Di dalam tubuhnya mengalir darah kekasihku! Selamanya dia akan menjadi milikku. Pergi lah kau wahai tua bangka! Aku benci auramu itu!" Lagi suara perempuan yang memeluk Satria menggelegar."Dia bukan milikmu, Sumirah! Jangan paksa aku untuk bertarung denganmu!" Kyai Ibrahim menyodorkan tasbih yang dirinya genggam ke arah Sumirah."Kau menantangku! Dasar tua bangka! Tak sadarkah kamu bahwa kamu sebentar lagi akan masuk ke liang lahat?! Jangan urusi urusanku dan pergilah, urusi saja umurmu yang tak lama lagi itu!" Sumira menatap dengan tatapan yang begitu tajam.“Kam
Bu Hafsah yang kebingungan melihat keadaan anaknya yang duduk bersandar di tembok dalam keadaan pingsan pun nekat pergi ke rumah Kyai Ibrahim menggunakan sepeda yang ada di rumahnya. Bu Hafsah melepaskan mukena nya dengan tergesa dan memakai kerudungnya. "Tunggu ibu, sebentar." Bu Hafsah menatap anaknya sebentar baru kemudian pergi keluar dari rumahnya. Di perjalanan menuju ke rumah Kyai Ibrahim Bu Hafsah tidak mempedulikan dirinya sendiri yang seolah dirinya tengah di tatap oleh ratusan pasang mata. Di pikiran Bu Hafsah saat ini adalah bagaimana caranya agar dirinya bisa segera sampai di rumah Kyai Ibrahim dan meminta tolong kepada beliau. Di pertengahan jalan, Bu Hafsah dihadang oleh seekor ular hijau yang ujung ekor dan kepalanya berwarna merah terang sebesar pohon bambu. "Astagfirullah!" Bu Hafsah menghentikan sepeda yang dirinya kendarai secara mendadak. Ular yang menghadang Bu Hafsah melotot tajam sambil menjulurkan lidahnya yang bercabang dan terus berdesis. Kepala ular ter
Bu Hafsah duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Ibu paruh baya tersebut merasa jika dirinya sudah keterlaluan karena membiarkan anak lelakinya itu begitu saja di depan rumah, padahal Bu Hafsah sangat yakin jika anak semata wayangnya itu pasti belum makan karena satria hilang sejak subuh tadi. Tadi pagi, setelah sholat subuh, Bu Hafsah ingin membangunkan anak lelakinya yang sering kesiangan itu, Namun, alangkah kagetnya jika ternyata anak lelakinya tidak ada di kamarnya. Tentu saja Bu Hafsah kebingungan dan mencari anaknya. Ternyata anaknya itu benar-benar pergi dari rumah. Bu Hafsah pun resah. Namun, ketika sudah tenang, wanita tersebut berpikir jika anak lelakinya itu mungkin saja ada urusan mendadak jadi tidak sempat untuk pait dengannya. Tapi siapa sangka jika ternyata Saria itu pergi ke reruntuhan pondok pesantren. Padahal Bu Hafsah sudah melarang keras agar anaknya itu tidak pergi kesana. Namun, ternyata Satria nekat pergi kesana dan tidak berpamitan. Tentu saja Bu Hafsa
"Nggih, Bu. Saya dari reruntuhan pondok pesantren peninggalan Eyang Kakung Anggara." Satria berkata sambil menundukkan kepalanya karena takut melihat sorot tajam dari mata ibunya. Lelaki itu tak bisa untuk membohongi ibunya."Kamu ...!" Bu Hafsah berkata sambil menunjuk wajah anak semata wayangnya itu menggunakan jari telunjuk yang bergetar karena menahan emosi yang meluap-luap."Bu, ada apa toh ini sebenarnya. Saya ini sudah dewasa, Bu. Kenapa ibu begitu banyak menyimpan rahasia?" Satria memberanikan diri untuk menatap wajah ibunya yang sedang marah."Lupakan!" Bu Hafsah menarik telunjuknya dengan kasar, lalu membalik badannya hendak meninggalkan anaknya."Ibu, tunggu!" Satria mencengkram erat pergelangan tangan ibunya sehingga Bu Hafsah terpaksa menghentikan langkahnya."Ibu, Ibu kenapa toh? Kenapa Ibu tidak mau berterus terang kepada saya, Bu?" Satria menuntut penjelasan kepada sang ibu mengapa dirinya terus diperlakukan seperti seorang anak kecil.Namun, Bu Hafsah tetap saja membi
Pagi-pagi sekali Satria berjalan perlahan menuju tempat yang pernah dia datangi di dalam mimpi. Bahkan adzan subuh baru saja berkumandang dan sinar mentari pagi pun baru sedikit terlihat warna jingganya. Lelaki muda tersebut mengendap-ngendap keluar dari rumah ibunya. Tidak ingin membuat sang ibu khawatir. Kemarin setelah siuman dari pingsan Satria sempat beradu pendapat dengan sang ibu. Ibunya yaitu Bu Hafsah sangat menyesali keputusan Satria yang mengusir Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad. Terlebih Satria berkata jika dirinya tidak mempercayai kedua orang tersebut. Padahal justru mereka berdua lah yang sangat perhatian dengan apa yang terjadi pada Satria. "Kamu sudah salah paham, Satria. Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad itu sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Walau memang cara pandang kedua orang itu berbeda tapi ibu yakin jika Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad sangat mengkhawatirkanmu. Mereka peduli denganmu, Satria. Bagaimana mungkin kamu bisa tidak mempercayai mereka." Bu Hafsah terlihat beg
Di saat Kyai Ibrahim, Bu Hafsah dan Paman Ahmad bertengkar. Satria yang jiwanya telah lepas justru kini tengah melangkah bersama sosok yang begitu mirip dengan eyang putrinya, Eyang Putri Fatimah. Sosok perempuan cantik dengan gamis melayu dan rok senda, tak lupa juga selendang menutupi kepalanya yang membuat sosok tersebut terlihat anggun walaupun berpenampilan sederhana. Sosok yang begitu berbeda dengan Sumirah yang walaupun cantik tapi terasa begitu berbahaya.Jiwa Satria dibawa pergi ke suatu tempat yang tidak asing bagi Satria."Tempat ini kan ...." Satria tidak melanjutkan perkataannya, tapi justru memandang sosok yang berdiri di sampingnya.Sosok yang bersama Satria itu jarinya menunjuk ke sebuah arah di antara puing-puing bangunan sisa peninggalan dari suaminya. Sosok Fatimah muda tersenyum menatap Satria. Sosok tersebut hanya tersenyum, tapi tak berkata-kata."Aku harus ke sana?" Satria menunjuk dirinya sendiri.Sosok Fatimah mengangguk."Tapi disana tidak ada apapun, Eyang?"
"Pak Ahmad! Pak! Bapak tidak apa-apa?" Kyai Ibrahim menepuk pelan pundak Paman Ahmad yang sedari tadi membisu. Paman Ahmad menepis kasar tangan sang kyai yang menempel di pundaknya. Paman Ahmad kembali membuang muka sambil tangannya bersedekap. "Mari kita lupakan dulu permasalahan antara Saeruni dan Nur, Pak Ahmad. Terpenting untuk saat ini kita harus menyelamatkan Satria. Karena akar dari permasalahan ini ada pada Satria." Paman Ahmad mengendurkan raut wajahnya yang kaku. Terdengar hembusan nafas pelan. "Lalu, apa saranmu, Kyai?" Paman Ahmad berbicara dengan nada yang lebih lembut walaupun masih terkesan ketus. "Satria itu masih muda. Dia adalah lelaki yang berada di usia yang mana nafsunya sebagai seorang lelaki sedang berada di puncaknya. Satria sangat lemah jika berhadapan dengan kecantikan wanita. Jujur saja ini sangat berat mengingat yang mengikat jiwanya adalah perempuan yang jelita." Kata-kata dari Kyai Ibrahim seketika membuat bu Hafsah lemas karena kehilangan harapan un