Suara guntur saling bersahutan. Hujan deras menari bersama sang angin. Tangan Sumirah berusaha menggapai sesuatu, seluruh badannya mati rasa. Pandangan matanya semakin memudar. Ditambah dengan guyuran hujan yang bagai ribuan jarum jatuh dari langit tepat di atas kulitnya yang terluka dan penuh memar itu menyempurnakan rasa sakit yang diderita oleh sang wanita yang dikhianati oleh lelaki yang selama ini menjadi lintah menyedot habis harta dan juga kebahagiaannya.
Sumirah terus menggaungkan nama sosok yang diharap dapat mengangkatnya dari penderitaannya saat ini.
Tak lama sesosok pria melangkah ke arahnya, itu adalah hal terakhir yang dia lihat sebelum kesadarannya menghilang.
Sang pria menutupi tubuh polos Sumirah dengan selembar kain jarik bermotif emas lalu membopongnya menembus derasnya hujan, membawanya ke tempat di mana Sumirah memanggil nama ratunya, penguasa Rawa Ireng.
Sang ratu yang berwujud seekor ular mengelilingi tubuh Sumirah yang tergeletak di sebuah meja batu. Sang ratu mendesis dan menjulurkan lidah bercabang miliknya. Mata merah delimanya menatap tajam ke arah Sumirah.
“Apakah kau begitu putus asa, Cah Ayu. Hingga kau memanggilku, bukan memanggil Tuhanmu.”
Sang ratu menjulurkan lidahnya yang bercabang ke tubuh Sumirah, perlahan Sumirah tersadar dari pingsannya.
Awalnya Sumirah kaget melihat kembali sang ratu yang berwujud ular putih raksasa, tapi perlahan Sumirah terisak, suara seraknya semakin membuat tangisnya terdengar pilu.
“Sssst ... menengo, Cah Ayu, ojo nangis meneh, kowe njaluk opo? Bakalan tak tulungi kekarepanmu!”
(Diamlah anak cantik, jangan menangis lagi, kamu minta apa, aku akan membantu semua keinginanmu).
“Tolong saya Kanjeng Ratu.”
“Kau ingin aku menolong untuk apa, Cah Ayu?”
Sumirah diam, bingung bagaimana cara menjelaskan tentang keinginannya kepada Ratu Penguasa Rawa Ireng di hadapannya saat ini.
Sang ratu mendekatkan kepalanya ke wajah Sumirah, mencari tahu isi hati sesungguhnya dari anak manusia yang ada di depannya. Mencari kepastian sebelum dirinya benar-benar membantunya, mencari kepastian apakah benar-benar sudah tidak ada Tuhan di dalam hati Sumirah.
“Jika aku membantumu, apa yang akan kau berikan padaku sebagai balas budi, Sumirah?”
“Apa yang kanjeng ratu inginkan dari saya? Saya sudah tidak punya apa-apa lagi selain nyawa saya.” Sumirah menunduk, karena dia memang tak punya apa-apa lagi untuk dipersembahkan kepada penguasa Rawa Ireng di depannya.
“Kau ingin lepas dari guna-guna uwan setunggal bukan, Sumirah?”
Wajah Sumirah mendongak tak percaya menatap wajah sang ratu, kenapa dia bisa tahu keinginannya.
“Lalu kau ingin menjadi cantik lagi kan, Cah Ayu? Seperti Mutik?”
“Be—nar Kanjeng Ra—tu.” Sumirah menjawab dengan terbata-bata karena tidak menyangka jika Penguasa Rawa Ireng itu tahu semua isi hatinya.
Kanjeng ratu menjulurkan lidah bercabangnya ke arah perut Sumirah.
“Berikan aku keturunanmu, maka akan aku kabulkan permintaanmu!”
“Keturunan? Maksud Kanjeng Ratu?”
Sumirah sungguh tak paham dengan apa yang dimaksud dengan keturunan, dirinya mandul karena selama empat tahun tidak mampu mengandung benih dari mantan suaminya.
“Kau sedang mengandung, Sumirah. Kau mengandung anak dari Permana. Berikan keturunanmu padaku, maka akan aku kabulkan permintaanmu!”
Sumirah otomatis memegang perutnya, dia tidak tahu kalau dirinya tengah mengandung benih Permana, buah hati yang dia tunggu-tunggu selama empat tahun. Anak adalah yang menjadi alasan kenapa dirinya dicerai, karena dituduh mandul. Apakah dia tega anaknya dimakan oleh penguasa Rawa Ireng demi membalas dendam kepada Permana. Ayah dari si jabang bayi dalam perutnya.
Kanjeng ratu melingkarkan badannya mengelilingi Sumirah, kepalanya menyembul lalu bergerak dari arah belakang mendekati pendengaran Sumirah.
“Aku tidak akan memakan anakmu, dia akan menjadi wadahku selanjutnya, dia akan menjadi ratu Rawa Ireng yang baru, Sumirah.”
“Anakmu tidak akan mati, Sumirah. Justru dia akan hidup abadi sebagai wadah dari jiwaku yang baru. Begitulah cara kami bangsa lelembut Rawa Ireng tetap kekal. Termasuk Mutik, dia juga akan mencari wadah baru setiap seratus tahun sekali, dan akan berganti kulit setiap sepuluh tahun sekali”
Sumirah masih terus diam, memikirkan apa yang dikatakan oleh Kanjeng Ratu kepadanya.
“Apa kamu ragu, Sumirah? Kalau kamu ragu, pergilah dari sini, dan jangan kembali lagi untuk meminta bantuanku.”
Mendengar suara Kanjeng Ratu yang marah, Sumirah bergegas menjawab tawaran dari Ratu Rawa Ireng di hadapannya. Bagi Sumirah, kesempatan takkan datang dua kali.
“Tidak! Saya tidak ragu Kanjeng Ratu, saya hanya bingung, bagaimana cara saya menyerahkan si jabang bayi karena dia masih berada di rahim saya?”
Sang ratu menatap tepat di manik hitam milik Sumirah.
“Bersumpah setialah padaku, Sumirah. Lalu lupakan Tuhanmu. Niscaya aku akan membantumu. Jadikan aku tuanmu, tempat kamu meminta bantuan, dan serahkanlah nyawamu padaku maka kekhawatiranmu akan sirna.
Jadilah kau dayang abadiku, pelayan setiaku, dan lakukan semua syarat yang aku minta darimu, sebagai bukti janji setiamu padaku, Sumirah! Maka apa yang kau mau akan aku wujudkan.”
Sang ratu melepaskan lingkaran tubuhnya, kepalanya masih tetap menatap lurus ke mata Sumirah.
“Baik Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng. Saya, Sumirah bersumpah akan memenuhi segala syarat yang Kanjeng Ratu berikan. Saya persembahkan nyawa saya, serta akan menjadi pelayan abadi, dayang setia, dan menjadikan Kanjeng Ratu tuanku selamanya.”
Setelah Sumirah mengucap sumpah setia, tiba-tiba tubuh kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng bersinar sangat terang, cahayanya menembus langit malam yang diselimuti mendung pekat.
Para warga desa Kalimas keluar dari rumahnya, menatap takjub sekaligus ketakutan dengan cahaya tersebut. Cahaya yang konon hanya muncul jika penguasa Rawa Ireng sedang murka serta akan terjadi hal yang mengerikan.
Suara kentongan dari bambu bergegas dibunyikan oleh warga pribumi sebagai pertanda jika hal buruk akan terjadi.
“Awas, ati-ati pagebluk, ojo podo metu seko umah, poso mutih o telu dino, ojo podo nyembeleh kewan. Ati-ati ratu lelembut rawa ireng ngamuk.! Ojo podo metu soko omah telu dino! Omahe siram o nganggo uyah segoro. “ ( Awas, hati-hati wabah bencana, jangan ada yang keluar rumah, lakukan puasa mutih selama tiga hari, jangan ada yang menyembelih hewan. Hati-hati penguasa Rawa Ireng sedang murka, jangan ada yang keluar rumah selama tiga hari, sekeliling rumah ditaburi dengan garam laut!”
Kepala desa dan sesepuh langsung memberi pengumuman dan arahan kepada warganya.
Kejadian dua ratus tahun silam kini terulang kembali.
Warga langsung menyebarkan garam di sekeliling rumah mereka, lalu menutup rapat pintu rumahnya.
Hal ini juga berlaku di kediaman Permana. Gendis yang ketakutan memeluk erat tubuh lelaki di sampingnya.
Anak buahnya sibuk menabur garam di sekitar rumahnya. Wajah Gendis pucat karena ketakutan.
“Kang Mas, ono opo iki sakjane?” (Kang Mas, ada apa ini sebenarnya?)
Permana tak menjawab pertanyaan Gendis, dirinya sibuk dengan pikirannya sendiri sambil mengepalkan tangannya.
“Sumirah, opo kowe isih urip?” ( Sumirah, apakah kamu masih hidup?)
Pendar cahaya yang terpancar dari tubuh Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng perlahan menghilang.Mata Sumirah yang terpejam terbuka perlahan. Dirinya terbengong mendapati perubahan besar yang tersaji di hadapannya.Sesosok perempuan sangat anggun berdiri di hadapannya, dengan pakaian ratu khas kerajaan Jawa kuno, rambut ter sanggul dengan indahnya berhias ronce bunga melati dan mahkota yang berkilau, aroma kembang kantil menyeruak darinya. Kecantikan yang dia punya ribuan kali lebih menawan daripada kecantikan Nyai Mutik yang Sumirah pikir wanita tercantik yang pernah dia temui.Namun kini dia sadar, penguasa Rawa Ireng yang baru saja menjadi tempat dirinya meminta pertolongan adalah sosok teramat sangat cantik menawan.“Kemarilah, Cah Ayu!”Sumirah sungguh terpesona oleh kecantikan Ratunya. Bahkan suaranya begitu merdu, halus, lemah lembut, tatapan matanya tajam penuh misteri tapi dia tetap tidak kehilangan pesonanya.Perlahan Sumirah turun dari meja batu tempat dirinya pingsan, ragu ka
Nyai Mutik semakin pias, tanda-tanda keberadaan Sumirah sudah tidak ada.Matikah dia? Atau masih hidupkah? Nyai Mutik benar-benar tidak bisa merasakan keberadaan anak manusia yang putus asa hingga menyambangi junjungannya dan nekat melakukan ritual yang teramat berbahaya itu.Nyai Mutik melirik ratunya yang tengah tersenyum penuh misteri. Senyuman yang mengerikan namun mempesona secara bersamaan.Nyai Mutik tahu betul betapa sulitnya menyeberangi danau jelmaan Rawa Ireng di hadapannya itu.Sesungguhnya danau yang kelihatan jernih tersebut tetaplah sebuah rawa yang hitam pekat dan berbau busuk, hanya rupanya saja yang berubah, namun tidak mengubah kenyataan bahwa Sumirah kini tengah masuk ke dalam Rawa yang berbau busuk.Dirinya pernah melewati proses seperti yang dilakukan Sumirah saat ini, menyeberang danau yang jernih demi mendapatkan sesuatu yang bersinar di tengah danau tersebut. Awalnya dia mampu menyeberang dengan mudah, namun saat hatinya meragu tiba-tiba danau yang dikelilingi
“Kau tahu kenapa disebut pucuk sukma, Sumirah?” Nyai Mutik menatap ke arah Sumirah dengan tatapan sendu seolah menyesalkan keputusan Sumirah yang menempuh jalan ini, jalan yang juga diambilnya yaitu menyembah Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng. Nyai Mutik sejatinya sangat berharap tidak ada lagi seseorang yang akan mengalami hal tragis saat ingin meraih keabadian. Namun, Sumirah yang rupanya telah dipenuhi oleh amarah dan dendam itu bersikeras untuk menginjak dan menempuh jalanan yang kesemuanya bertebaran tulang belulang dari manusia yang gagal melakukan ritual.Sumirah menggelengkan kepalanya, pertanda tidak tahu. Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng tersenyum penuh misteri.“Disebut pucuk sukma karena dia adalah jelmaan dari sukma seseorang yang menjadi tuannya. Sukmamu perlahan akan bercampur dengan bangsa kami melalui bunga teratai itu, Sumirah. Saat kelopak pertama masuk ke tubuhmu, maka sukmamu tak lagi milikmu, tapi milikku sang penguasa Rawa Ireng. Namun kamu jangan khawatir, Sumir
Suasana di dalam gua sangat gelap, sementara suara kakek tua terus terdengar berulang-ulang. Suaranya terdengar hingga menembus jiwa. Sumirah semakin rapat menutup matanya.Tiba-tiba suara sang kakek menghilang, gua terasa sunyi dan gelap.Terdengar suara riak air dari bejana emas yang bergetar karena gerakan tangan Sumirah yang ketakutan.Sumirah berusaha menenangkan degup jantungnya hingga akhirnya gemetar di tangannya perlahan mereda, bejana tak lagi bergetar.Cukup lama Sumirah ditelan keheningan gua, hingga tiba-tiba terdengar suara kaki yang melangkah perlahan. Mantan istri dari Permana itu menajamkan pendengarannya.Sumirah begitu familiar dengan suara yang didengarnya. Itu suara langkah kaki sang rama saat berjalan menggunakan sandal selopnya.Suara langkah kaki terdengar semakin mendekat, dan berhenti tepat di hadapannya. Sumirah masih tetap menutup matanya.Nyai Mutik berpesan supaya dirinya jangan sekali-kali membuka matanya, apa pun yang dia dengar jangan sekali-kali membu
Hanya dalam sekejap penguasa Rawa Ireng dan Nyai Mutik sudah berada di depan mulut Gua Pitutur yang terlihat gelap. Tak ada sinar sedikitpun yang menerangi dalamnya gua. Hanya sinar rembulan yang melapisi tipis gua bagian atas serta luar gua, selebihnya semakin menatap mulut gua maka hanya kegelapan yang terpampang nyata.Saat langkah pertama sang ratu memasuki gua, semua obor yang berada di gua yang tadinya mati, kini apinya kembali menyala, gua kembali terang.Sumirah kaget karena kini di sekitarnya menjadi terang. Akan tetapi dirinya berusaha untuk tetap tenang, dirinya merapatkan matanya agar tak terbuka. Sang ratu dan Nyai Mutik tersenyum melihat keteguhan hati yang dimiliki Sumirah.“Bukalah matamu, Sumirah. Aku datang menjemputmu!” Suara lembut Kanjeng Ratu Lintang Pethak terdengar.Sumirah masih ragu membuka kelopak matanya, dia takut kalau lagi-lagi makhluk di depannya bukanlah kanjeng ratu yang asli.“Bukalah matamu, Sumirah. Aku datang kemari bersama Kanjeng Ratu untuk menj
“Pendopo jati?” Sumirah menatap takjub bangunan kuno di hadapannya.“Ya, Sumirah. Bangunan megah di depanmu disebut pendopo jati, tempat ritual terakhirmu, ayo kita masuk!”Sumirah memasuki pendopo jati dengan perlahan, pandangannya menyapu seluruh sisi pendopo, dirinya sangat takjub dengan bangunan ini, kuno namun megah dan gagah serta pesona keindahannya yang tak terbayangkan.Tidak ada emas, perak maupun berlian, hanya bangunan yang lantai, pondasi dan seluruh kerangka yang benar-benar hanya terbuat dari kayu jati. Setiap pilarnya berdiri kokoh seolah mereka adalah pohon hidup yang akarnya masih menyebar dan tertancap kuat di bawah bangunan, gagah dan kokoh.“Silakan kamu duduk di mana pun kamu inginkan, Sumirah!”“Di mana pun?”“I
Nyai Mutik telah pergi, kini Sumirah tinggal sendiri di pendopo jati yang diterangi obor di setiap sudutnya. Sumirah menghirup nafas panjang, bersiap untuk melakukan ritual melebur sukma. Tak bisa dipungkiri jika hatinya masih ada sisa rasa keraguan mengingat jika ritual pertama saja begitu berbahaya jadi tidak mungkin jika ritual yang kedua akan lebih mudah. Terlebih kali ini Nyai Mutik yang mengingatkan dirinya jika apa yang ada di dalam gua ini adalah sesuatu yang tidak nampak wujudnya yang mana justru lebih berbahaya. Berkali-kali Sumirah menarik nafas dan menghembuskannya demi bisa meredam rasa gejolak di dalam hatinya. Barulah setelah beberapa saat akhirnya wanita yang dipenuhi dengan dendam kesumat itu berhasil meyakinkan dirinya kembali.Sumirah menatap lama bunga teratai di pangkuannya. Meyakinkan dirinya lagi jika jalan yang dia ambil memanglah yang terbaik.Dirinya melakukan hal ini dem
Nyai Mutik hanya mampu menjerit di dalam hati. Kali ini dirinya tidak mampu membantu Sumirah. Tubuh Nyai Mutik bergetar hebat, dua ratus tahun hidup, baru kali ini dirinya menemui manusia ambisius dan senekat ini.Saat nyai Mutik ketakutan justru sang ratu tersenyum senang, dia akan memiliki dayang abadi yang baru. Mata merah delimanya menyala, lidah bercabangnya keluar dan berdesis, karena begitu senangnya sang ratu tak mampu mempertahankan wujud manusianya dengan sempurna.Sementara itu di pendopo jati Sumirah tengah menatap sepuluh kelopak bunga terakhir yang dia pegang, dia meyakinkan diri bahwa apa yang dia lakukan adalah pilihan yang tepat. Sumirah menutup kedua matanya, lalu dalam sekali suapan Sumirah menelan seluruh kelopak bunga teratai di tangannya.Sumirah tersungkur dan tubuhnya menegang, kemudian tulang-tulang di tubuh Sumirah terdengar patah seperti rempe
Pak Ahmad masih duduk termenung di ruang tamu rumahnya. Lelaki itu ingin segera bertemu dengan Kyai Ibrahim agar bisa lebih jelas menanyakan perihal apa yang terjadi dengan Seruni.Namun, entah mengapa, ada keraguan yang menahannya untuk melangkah. Pada akhirnya, ia masih saja tetap duduk di sofa, terpaku dalam lamunannya.“Hah~” Pak Ahmad menghela napas panjang.Tubuhnya terasa begitu lelah. Ia baru saja pulang setelah bertemu dengan Mbah Bejo, dan kini pikirannya kembali dipenuhi kebingungan akibat tingkah aneh Seruni. Lebih parahnya lagi, Kyai Ibrahimlah yang saat itu ada di rumahnya saat kejadian aneh itu terjadi."Apa yang sebenarnya terjadi..." gumam Pak Ahmad sambil memijat pelipisnya yang terasa nyeri karena terlalu banyak beban yang menghimpit pikirannya.Dalam hati, ia ingin sekali menyeruput secangkir kopi hitam kental dan pahit, dengan sedikit gula, serta menikmati sebatang rokok tembakau kesukaannya. Namun, tubuhnya yang letih membuatnya enggan beranjak ke dapur untuk sek
"Argh! Sialan! Manusia keparat! Dasar Kyai keparat! Berani-beraninya dia membuatku seperti ini! Akan ku bunuh kau!"Sumirah berteriak sambil memegangi wajahnya yang sudah tak elok dipandang.Wajah wanita yang pernah menyerahkan jiwanya kepada iblis itu kini terlihat pecah-pecah, seperti tanah tandus yang merekah di musim kemarau panjang."Kyai Ibrahim! Melihat dia, aku jadi teringat pada tua bangka yang menjadi cinta dari Nyai Mutik yang kini telah musnah itu! Kenapa makhluk-makhluk yang hampir mati itu terus saja mengganggu rencanaku?!" Sumirah terus mengumpat."Arrgh! Keparat! Sialan!" Sumirah kembali berteriak, melampiaskan emosinya yang meluap-luap.Setiap kali ia berteriak, kulit wajahnya yang penuh retakan akan terkelupas, jatuh ke air rawa dengan warna hitam pekat dan bau menyengat yang memuakkan.Ya…Kini Sumirah berada di dimensi lain, sebuah dunia di mana hanya ada malam yang abadi, tempat para lelembut pemuja Kanjeng Ratu Lintang Pethak tinggal.Tempat ini adalah tempat di
“Kiai sudah di sini dari tadi?” Seseorang menepuk pelan pundak Kiai Ibrahim dengan lembut.Kiai Ibrahim menoleh dan tersenyum saat tahu yang menepuknya adalah manusia, bukan jin. “Sudah dari tadi, sekalian nunggu adzan, Fauzi.”Rupanya, yang menepuk pundak sang Kiai adalah Fauzi, marbot masjid sekaligus muadzin yang biasanya mengumandangkan adzan di Masjid Tiban.“Maaf, Kiai. Tadi saya pulang dulu, lapar, lalu mandi,” ujar Fauzi sambil cengar-cengir, tampak malu karena Kiai Ibrahim sudah lebih dulu datang ke masjid.“Tidak apa-apa, Fauzi. Ini sudah masuk waktu sholat. Kamu adzan dulu,” jawab Kiai Ibrahim sambil tersenyum ke arah Fauzi.“Nggih, Kiai.” Fauzi pun bergegas menuju tempat adzan untuk mengumandangkannya, menandakan waktu sholat Ashar telah tiba.Lantunan suara Fauzi yang merdu memenuhi ruang masjid, menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. Kiai Ibrahim menutup mata sejenak, meresapi setiap lafaz adzan yang terasa sejuk di hati. Meski suasana masjid masih sepi, ada ket
Kiai Ibrahim pulang bersama kedua muridnya setelah urusannya dengan Pak Ahmad selesai. Langkah mereka pelan menyusuri jalan yang sunyi, hanya suara serangga malam yang sesekali terdengar.“Kalian berdua jangan sebarkan apa pun tentang apa yang kalian lihat di rumah Seruni. Jika kalian bertamu ke rumah orang lain, maka ketika kalian pulang, mata kalian harus buta, mulut harus bisu, dan telinga harus tuli. Paham, kan?” ujar Kiai Ibrahim dengan nada tegas, pandangannya tajam mengarah pada kedua muridnya.“Baik, Kiai,” jawab kedua murid itu serempak, mengangguk tanpa berani membantah.Perjalanan mereka dilanjutkan dalam keheningan. Kiai Ibrahim berjalan paling depan, sementara kedua muridnya mengikutinya dengan langkah penuh kehati-hatian. Masing-masing larut dalam pikirannya sendiri, terutama Kiai Ibrahim.Hati kiai sepuh itu dipenuhi berbagai tanda tanya. Ia tidak menyangka keadaan Seruni sedemikian mengkhawatirkan. Apakah Pak Ahmad benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada putrinya?
“Bapak?” suara Seruni terdengar lirih, wajahnya pucat pasi setelah melalui pengalaman yang melampaui akal sehatnya. Namun, ekspresi lega menyelimuti wajahnya saat melihat sang ayah, Pak Ahmad, berdiri di depan pintu rumah.Pak Ahmad yang baru tiba langsung berlari menghampiri Seruni. Sandalnya bahkan tidak sempat dilepas. Ia memeluk erat anak gadisnya dengan perasaan campur aduk—antara lega, lelah, dan khawatir.Kiai Ibrahim yang menyaksikan momen itu memilih menyingkir, memberikan ruang bagi ayah dan anak tersebut. Beliau bergabung dengan para muridnya yang menunggu di sudut ruangan. Para murid tampak tegang, menyadari situasi yang mungkin berubah menjadi lebih rumit.“Bapak akhirnya pulang,” ucap Seruni sambil terisak. Tubuhnya gemetar, tapi pelukan ayahnya memberinya sedikit ketenangan. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya mengalir deras, membasahi bahu Pak Ahmad.Namun, suasana haru itu tak bertahan lama. Wajah Pak Ahmad yang awalnya penuh kasih berubah menjadi tegang. Ia
Seruni menggeliat kesakitan di lantai, tubuhnya yang tadi tegang seperti ular kini mulai melonggar. Wajahnya berubah menjadi ekspresi penuh penderitaan. Kedua matanya yang tadi berkilau tajam dengan warna kuning keemasan perlahan mulai memudar, kembali menjadi seperti mata manusia biasa, meskipun pupilnya masih terlihat aneh.Kiai Ibrahim segera berjongkok mendekat, tangannya gemetar namun penuh niat untuk membantu. "Seruni, Nak, bertahanlah! Kamu harus melawan apa pun yang menguasaimu ini!" katanya dengan suara lembut namun tegas.Dua pemuda yang tadi mendampingi Kiai Ibrahim saling berpandangan, bingung dan ketakutan. Namun, mereka tetap mendekat dengan hati-hati, mengikuti aba-aba Kiai Ibrahim.“A-apa yang harus kita lakukan, Kyai?” salah satu dari mereka bertanya dengan nada gemetar.Kiai Ibrahim tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju pada Seruni yang kini terengah-engah di lantai. Tubuh gadis itu tampak gemetar hebat, seolah sedang berperang melawan sesuatu yang tak terli
Seruni terlihat sibuk mondar-mandir di ruang tamu rumahnya sambil sesekali menengok ke jendela, berharap bapaknya segera pulang.Sudah tiga hari bapaknya tidak pulang, dan hal itu membuat Seruni semakin khawatir.Malam terakhir sebelum kepergiannya, Seruni sempat melihat sang bapak panik sambil berkata sesuatu yang tidak terlalu ia pahami—"Aku harus ke karang bolong secepatnya." Malam itu pula sang bapak berpamitan, mengatakan bahwa ia harus pergi ke suatu tempat dan akan kembali dalam tiga hari.Seruni sebenarnya tidak terlalu kaget dengan kebiasaan bapaknya. Sejak dulu, Pak Ahmad memang sering pergi ke tempat-tempat yang bahkan ia sendiri tidak tahu. Namun, kali ini berbeda.“Jangan terima tamu siapa pun di malam hari, kecuali itu bapak,” pesan Pak Ahmad sebelum pergi.Seruni hanya mengangguk, melepas kepergian bapaknya tanpa banyak bertanya. Namun, kini dua malam sudah berlalu tanpa ada tanda-tanda kepulangan bapaknya. Ini sudah pagi ketiga, dan Pak Ahmad belum juga kembali.Malam-
Mbah Bejo mengepulkan asap rokok menyannya tinggi-tinggi sambil memandang ke arah laut dari pintu gubuk tuanya yang terbuka lebar. Matahari mulai tenggelam, mengenakan selendang senja berwarna jingga yang indah namun menyimpan aura mencekam.Gubuk tua itu sunyi, hanya dihuni Mbah Bejo seorang diri setelah Pak Ahmad pulang membawa cerita tentang Sumirah.Di rumah itu juga ada setitik sinar dari lampu teplok minyak tanah yang mana apinya yang berwarna jingga terang itu sesekali bergoyang karena angin cukup kencang padahal nyala api kecil itu dilindungi oleh kaca dari lampu teplok tua itu.Suasana yang tadinya hanya sepi kini mulai berubah. Hawa di sekitarnya menjadi berat, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang.Mbah Bejo menghisap rokok menyannya dalam-dalam, matanya tak lepas dari laut yang perlahan berubah kelam. Angin dingin tiba-tiba berhembus kencang, membawa aroma asin yang bercampur bau amis. Ia menghela nafas panjang, mengamati bagaimana langit berganti dar
"Jadi, makhluk yang bikin kamu jauh-jauh cari ilmu kanuragan sampai rela kasih tumbal tujuh darah perawan itu si Sumirah? Aduh, tobat!" Mbah Bejo tampak frustasi, mengusap wajahnya dengan kesal."Lah, apa salahnya, Mbah? Kan waktu itu Mbah sendiri yang bilang, kalau saya kasih tumbal tujuh darah perawan, Mbah bakal kasih keris wulu ireng. Lagian, keris itu beneran berfungsi, kok," Pak Ahmad masih mencoba membela diri."Tapi waktu itu kamu cuma bilang kalau keponakanmu kesurupan Jin Nasab! Dasar sontoloyo! Kalau tahu begini, aku nggak bakal mau bantu kamu!" Mbah Bejo melotot tajam ke arah Pak Ahmad, suaranya meninggi.Pak Ahmad menunduk dalam, tak berani menatap langsung ke mata Mbah Bejo. Tatapan dukun tua itu seolah-olah menusuk sampai ke tulang, membuat seluruh tubuhnya gemetar. Bahkan, bernafas pun terasa sulit. Dadanya sesak, seperti ada tangan tak terlihat yang meremas jantungnya.Mbah Bejo, yang masih marah, mengambil sebatang rokok menyan dari kantongnya. Ia menyulut rokok itu