Sumirah kini tinggal di gudang padi milik Nyai Aminah karena bangunan utama rusak parah. Beruntung si jago merah tak sampai melahap gudang padi yang terletak di belakang rumah uwaknya tersebut.
Sumirah bertahan hidup dari hasil mengais sisa-sisa harta benda milik uwaknya.
Perut milik Sumirah berbunyi, pertanda minta diisi. Sumirah melahap nasi jagung yang tadi dia beli di pasar, uang dari hasil menjual perhiasan milik Nyai Aminah yang tak sengaja dia temukan di reruntuhan rumah sudah hampir habis untuk menyambung hidupnya selama sebulan ini.
Bukan niat Sumirah hanya ingin menghabiskan harta uwaknya, dirinya berusaha mencari rezeki dengan cara menawarkan tenaganya kepada penduduk, tapi entah kenapa semua menolak dirinya.
Ada yang merasa ketakutan jika bertemu dengannya, tapi kebanyakan dari mereka menatap jijik mukanya yang rusak karena luka bakar waktu itu.
Hidung mancungnya kini sedikit pesek karena banyak dagingnya yang berkoreng dan terkelupas. Mata kanannya sedikit kabur. Serta hampir separuh dari mukanya terdapat bekas luka bakar. Bagi mereka yang baru mengenal Sumirah tidak akan percaya jika dia dulunya adalah wanita tercantik di desanya.
“Uwak, Sumirah kangen....”
Bulir air matanya mengalir di pipinya. Sumirah meratapi nasibnya yang begitu hina di mata manusia.
Sumirah tak menyangka dirinya yang masih berusia dua puluh tahun harus berakhir dengan sangat mengenaskan.
Sumirah menghapus dengan kasar air matanya, menghabiskan segera makanannya karena dirinya akan mencuci di sungai.
Sumirah terseok-seok membawa tubuhnya ke arah sungai. Setiap orang yang berpapasan dengannya selalu membuang muka. Sumirah hanya bisa menundukkan wajahnya yang sudah dia tutup dengan selembar kain dalam-dalam.
“Heh, demit borok, minggat kowe, ojo ngumbahi ning kali kene, gawe banyune mambu.” ( Heh, hantu koreng, pergi kamu dari sini, jangan cuci baju di sungai ini. Nanti airnya bau)
Seorang gadis mendorong tubuh Sumirah yang tengah membawa ember yang terbuat dari anyaman bambu dari arah belakang. Baju kotornya tumpah seluruhnya di atas tanah. Sumirah terduduk, matanya menatap tajam si perempuan yang mendorongnya.
“Ngopo mlerok-mlerok matamu, nantangi hah!” (Ngapain matamu melotot? Nantang kamu?)
Terlihat si perempuan menendang tubuh kurus Sumirah hingga tengkurap, lalu dirinya melangkahi tubuh Sumirah sambil tertawa mengejek diikuti kelima teman sebayanya. Sumirah mengepalkan tangannya.
“Lestari!” Sumirah menyebut pelan nama si perempuan yang menghina dirinya.
Lestari adalah adik dari Permana, mantan suaminya. Sifatnya tak jauh berbeda dengan sang kakak, angkuh, sombong dan merasa berkuasa dengan harta yang dimiliki oleh Sumirah.
Lestari beranggapan bahwa Permana sang kakak lah yang kaya, sementara Sumirah hanya menumpang hidup di tempat sang kakak.
Serta yang paling membuat Lestari membenci Sumirah tentu saja karena dia adalah perempuan yang sangatlah cantik. Itulah mengapa dirinya sangat senang tatkala mengetahui jikalau Sumirah sudah menjadi si buruk rupa.
Lestari bahkan yang menyebarkan fitnah jika penyakit Sumirah akan menular kepada gadis-gadis yang lain sehingga Sumirah dikucilkan.
Sumirah memungut satu persatu bajunya yang berserakan di tanah. Lalu melangkahkan kakinya ke hilir sungai yang semakin jauh dari pemukiman warga. Lestari masih terus menatapnya dan tidak mengizinkan dirinya mencuci pakaian di sungai ini.
Terengah-engah Sumirah melangkahkan kakinya ke arah sungai demi bisa mencuci pakaian miliknya.
“Aaa!”
Tiba-tiba rambut kusut Sumirah ditarik paksa oleh seseorang. Di tengah rasa perih di kepalanya mata Sumirah berusaha mencari siapa pemilik tangan tersebut.
“Permanaa ...!” Sumirah mendesis saat tahu siapakah gerangan yang telah membuatnya sakit seperti itu.
"Apa lihat-lihat! Dasar perempuan buluk, bau dan sundal!" Tubuh Sumirah terpelanting saat dengan kasar Permana melepaskan tangannya dari rambut mantan istrinya itu.
Sumirah tidak menanggapi ocehan Permana dan memilih untuk membuang wajahnya. wanita itu sungguh jijik dengan lelaki yang sedang berdiri di hadapannya itu dengan angkuhnya.
"Woy wanita hina, cium kakiku sekarang dengan begitu aku akan membiarkanmu hidup." Selesai berkata Permana dengan angkuhnya meludahi kepala Sumirah yang ada dibawahnya itu.
"Keparat! Tak puaskah kamu melakukan itu kepadaku. Tak puaskah kamu mengusirku dari rumah bapakku dan sekarang kamu menghinaku seperti ini. Kamu benar-benar manusia tak punya hati!" Sumirah meluapkan emosinya sambil menahan air mata yang hampir tumpah itu. Setidaknya, Sumirah tidak ingin terlihat lemah dan mengemis dihadapan lelaki yang telah membuat hidupnya hancur tersebut.
Permana mengangkat tangan kanannya dan tak menunggu waktu lama ada sepuluh lelaki mengelilingi Sumirah yang terduduk di atas tanah.
“Lakukan seperti yang aku perintahkan tadi!” Permana memberikan instruksi kepada anak buahnya.
“Aaa!” Sumirah melawan saat bajunya dirobek paksa oleh anak buat Permana.
“Brengsek kamu, Permana. Apa yang kau lakukan padaku hah! Tak puaskah kamu menyiksaku, Permana!” Sumirah berteriak.
Permana mengangkat sebelah tangannya, para anak buahnya menghentikan aksi mereka. Dia mendekati Sumirah yang berusaha menutupi kembali tubuhnya yang sebagian telah terbuka.
“Aaa...!” Sumirah menjerit kesakitan dengan tangan memegangi rambutnya yang ditarik oleh Permana.
Permana melotot tepat di mata Sumirah sambil tersenyum mengejek.
“Kamu harus mati, Sumirah. Gendis tak suka jika kamu tetap hidup. Aku ingin Gendis bahagia, jadi kamu harus mati, dengan syarat aku akan membuat kamu mati perlahan.” Permana tertawa puas melihat wajah Sumirah.
“Aaa...!”
Sumirah kembali menjerit saat Permana menempeleng kepalanya.
Permana menganggukkan kepalanya pertanda agar mereka kembali menyiksa Sumirah.
Sumirah dijamah secara bergantian oleh sepuluh anak buah Permana, sementara Permana tertawa terbahak-bahak menyaksikan Sumirah tersiksa.
Tubuh Sumirah lebam karena berkali-kali ditendang dan dipukul, bahkan anjing pun lebih mereka hargai daripada Sumirah.
Wajah Sumirah penuh luka, hidungnya mengalirkan darah. Pakaiannya terlepas seluruhnya. Kehormatannya dirampas dengan cara yang sangat hina.
“Permana....” Suara serak Sumirah masih terdengar.
Permana mengarahkan pandangannya ke salah satu anak buahnya.
Detik kemudian kepala Sumirah dihantam batu, darahnya mengalir. Tubuh Sumirah ambruk begitu saja di atas tanah.
“Heh, kok batunya kecil, Jo! Kurang besar. Buat supaya kepala Sumirah hancur!” Permana melotot ke arah Paijo karena memukul kepala Sumirah hanya dengan batu sebesar genggaman tangannya.
“Batunya berat, Juragan. Lagi pula Sumirah juga sudah mati. Kasihan kalau mayatnya hancur. Nanti kualat loh, Juragan.”
“Halah, kamu itu, penakut! Tidak akan kualat. Cepat ambil batu itu! Pukul Sumirah sampai kepalanya hancur.”
Paijo menggelengkan kepalanya, menolak permintaan Juragannya yang menurutnya sudah keterlaluan itu.
Karena perintahnya tak dituruti oleh Paijo dan anak buahnya yang lain, Permana akhirnya bangkit dari duduknya, lalu mengangkat batu sebesar kepala manusia dewasa.
Saat hendak mengarahkan batu tepat di kepala mantan istrinya. Tiba-tiba langit gelap gulita, petir menyambar dan hujan turun dengan derasnya. Permana meletakkan dengan kasar batu yang telah dia angkat di sebelah kepala Sumirah.
“Kalian! Ayo balik, hujan!”
“Siap, Juragan!”
Permana dan anak buahnya berlari menerobos hujan yang turun dengan sangat derasnya.
Ternyata Sumirah masih hidup, tangannya berusaha menggapai sesuatu, suara seraknya terdengar memohon serta memanggil sebuah nama.
“Kanjeng Ratu, tolong saya ....”
Suara guntur saling bersahutan. Hujan deras menari bersama sang angin. Tangan Sumirah berusaha menggapai sesuatu, seluruh badannya mati rasa. Pandangan matanya semakin memudar. Ditambah dengan guyuran hujan yang bagai ribuan jarum jatuh dari langit tepat di atas kulitnya yang terluka dan penuh memar itu menyempurnakan rasa sakit yang diderita oleh sang wanita yang dikhianati oleh lelaki yang selama ini menjadi lintah menyedot habis harta dan juga kebahagiaannya.Sumirah terus menggaungkan nama sosok yang diharap dapat mengangkatnya dari penderitaannya saat ini.Tak lama sesosok pria melangkah ke arahnya, itu adalah hal terakhir yang dia lihat sebelum kesadarannya menghilang.Sang pria menutupi tubuh polos Sumirah dengan selembar kain jarik bermotif emas lalu membopongnya menembus derasnya hujan, membawanya ke tempat di mana Sumirah memanggil nama ratunya, penguasa Rawa Ireng.Sang ratu yang berwujud seekor ular mengelilingi tubuh Sumirah yang tergeletak di sebuah meja batu. Sang ratu
Pendar cahaya yang terpancar dari tubuh Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng perlahan menghilang.Mata Sumirah yang terpejam terbuka perlahan. Dirinya terbengong mendapati perubahan besar yang tersaji di hadapannya.Sesosok perempuan sangat anggun berdiri di hadapannya, dengan pakaian ratu khas kerajaan Jawa kuno, rambut ter sanggul dengan indahnya berhias ronce bunga melati dan mahkota yang berkilau, aroma kembang kantil menyeruak darinya. Kecantikan yang dia punya ribuan kali lebih menawan daripada kecantikan Nyai Mutik yang Sumirah pikir wanita tercantik yang pernah dia temui.Namun kini dia sadar, penguasa Rawa Ireng yang baru saja menjadi tempat dirinya meminta pertolongan adalah sosok teramat sangat cantik menawan.“Kemarilah, Cah Ayu!”Sumirah sungguh terpesona oleh kecantikan Ratunya. Bahkan suaranya begitu merdu, halus, lemah lembut, tatapan matanya tajam penuh misteri tapi dia tetap tidak kehilangan pesonanya.Perlahan Sumirah turun dari meja batu tempat dirinya pingsan, ragu ka
Nyai Mutik semakin pias, tanda-tanda keberadaan Sumirah sudah tidak ada.Matikah dia? Atau masih hidupkah? Nyai Mutik benar-benar tidak bisa merasakan keberadaan anak manusia yang putus asa hingga menyambangi junjungannya dan nekat melakukan ritual yang teramat berbahaya itu.Nyai Mutik melirik ratunya yang tengah tersenyum penuh misteri. Senyuman yang mengerikan namun mempesona secara bersamaan.Nyai Mutik tahu betul betapa sulitnya menyeberangi danau jelmaan Rawa Ireng di hadapannya itu.Sesungguhnya danau yang kelihatan jernih tersebut tetaplah sebuah rawa yang hitam pekat dan berbau busuk, hanya rupanya saja yang berubah, namun tidak mengubah kenyataan bahwa Sumirah kini tengah masuk ke dalam Rawa yang berbau busuk.Dirinya pernah melewati proses seperti yang dilakukan Sumirah saat ini, menyeberang danau yang jernih demi mendapatkan sesuatu yang bersinar di tengah danau tersebut. Awalnya dia mampu menyeberang dengan mudah, namun saat hatinya meragu tiba-tiba danau yang dikelilingi
“Kau tahu kenapa disebut pucuk sukma, Sumirah?” Nyai Mutik menatap ke arah Sumirah dengan tatapan sendu seolah menyesalkan keputusan Sumirah yang menempuh jalan ini, jalan yang juga diambilnya yaitu menyembah Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng. Nyai Mutik sejatinya sangat berharap tidak ada lagi seseorang yang akan mengalami hal tragis saat ingin meraih keabadian. Namun, Sumirah yang rupanya telah dipenuhi oleh amarah dan dendam itu bersikeras untuk menginjak dan menempuh jalanan yang kesemuanya bertebaran tulang belulang dari manusia yang gagal melakukan ritual.Sumirah menggelengkan kepalanya, pertanda tidak tahu. Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng tersenyum penuh misteri.“Disebut pucuk sukma karena dia adalah jelmaan dari sukma seseorang yang menjadi tuannya. Sukmamu perlahan akan bercampur dengan bangsa kami melalui bunga teratai itu, Sumirah. Saat kelopak pertama masuk ke tubuhmu, maka sukmamu tak lagi milikmu, tapi milikku sang penguasa Rawa Ireng. Namun kamu jangan khawatir, Sumir
Suasana di dalam gua sangat gelap, sementara suara kakek tua terus terdengar berulang-ulang. Suaranya terdengar hingga menembus jiwa. Sumirah semakin rapat menutup matanya.Tiba-tiba suara sang kakek menghilang, gua terasa sunyi dan gelap.Terdengar suara riak air dari bejana emas yang bergetar karena gerakan tangan Sumirah yang ketakutan.Sumirah berusaha menenangkan degup jantungnya hingga akhirnya gemetar di tangannya perlahan mereda, bejana tak lagi bergetar.Cukup lama Sumirah ditelan keheningan gua, hingga tiba-tiba terdengar suara kaki yang melangkah perlahan. Mantan istri dari Permana itu menajamkan pendengarannya.Sumirah begitu familiar dengan suara yang didengarnya. Itu suara langkah kaki sang rama saat berjalan menggunakan sandal selopnya.Suara langkah kaki terdengar semakin mendekat, dan berhenti tepat di hadapannya. Sumirah masih tetap menutup matanya.Nyai Mutik berpesan supaya dirinya jangan sekali-kali membuka matanya, apa pun yang dia dengar jangan sekali-kali membu
Hanya dalam sekejap penguasa Rawa Ireng dan Nyai Mutik sudah berada di depan mulut Gua Pitutur yang terlihat gelap. Tak ada sinar sedikitpun yang menerangi dalamnya gua. Hanya sinar rembulan yang melapisi tipis gua bagian atas serta luar gua, selebihnya semakin menatap mulut gua maka hanya kegelapan yang terpampang nyata.Saat langkah pertama sang ratu memasuki gua, semua obor yang berada di gua yang tadinya mati, kini apinya kembali menyala, gua kembali terang.Sumirah kaget karena kini di sekitarnya menjadi terang. Akan tetapi dirinya berusaha untuk tetap tenang, dirinya merapatkan matanya agar tak terbuka. Sang ratu dan Nyai Mutik tersenyum melihat keteguhan hati yang dimiliki Sumirah.“Bukalah matamu, Sumirah. Aku datang menjemputmu!” Suara lembut Kanjeng Ratu Lintang Pethak terdengar.Sumirah masih ragu membuka kelopak matanya, dia takut kalau lagi-lagi makhluk di depannya bukanlah kanjeng ratu yang asli.“Bukalah matamu, Sumirah. Aku datang kemari bersama Kanjeng Ratu untuk menj
“Pendopo jati?” Sumirah menatap takjub bangunan kuno di hadapannya.“Ya, Sumirah. Bangunan megah di depanmu disebut pendopo jati, tempat ritual terakhirmu, ayo kita masuk!”Sumirah memasuki pendopo jati dengan perlahan, pandangannya menyapu seluruh sisi pendopo, dirinya sangat takjub dengan bangunan ini, kuno namun megah dan gagah serta pesona keindahannya yang tak terbayangkan.Tidak ada emas, perak maupun berlian, hanya bangunan yang lantai, pondasi dan seluruh kerangka yang benar-benar hanya terbuat dari kayu jati. Setiap pilarnya berdiri kokoh seolah mereka adalah pohon hidup yang akarnya masih menyebar dan tertancap kuat di bawah bangunan, gagah dan kokoh.“Silakan kamu duduk di mana pun kamu inginkan, Sumirah!”“Di mana pun?”“I
Nyai Mutik telah pergi, kini Sumirah tinggal sendiri di pendopo jati yang diterangi obor di setiap sudutnya. Sumirah menghirup nafas panjang, bersiap untuk melakukan ritual melebur sukma. Tak bisa dipungkiri jika hatinya masih ada sisa rasa keraguan mengingat jika ritual pertama saja begitu berbahaya jadi tidak mungkin jika ritual yang kedua akan lebih mudah. Terlebih kali ini Nyai Mutik yang mengingatkan dirinya jika apa yang ada di dalam gua ini adalah sesuatu yang tidak nampak wujudnya yang mana justru lebih berbahaya. Berkali-kali Sumirah menarik nafas dan menghembuskannya demi bisa meredam rasa gejolak di dalam hatinya. Barulah setelah beberapa saat akhirnya wanita yang dipenuhi dengan dendam kesumat itu berhasil meyakinkan dirinya kembali.Sumirah menatap lama bunga teratai di pangkuannya. Meyakinkan dirinya lagi jika jalan yang dia ambil memanglah yang terbaik.Dirinya melakukan hal ini dem
“Bapak ….” Seruni yang sudah sadar menyebut nama bapaknya. Sementara itu Pak Ahmad memeluk tubuh Seruni dengan tangan yang gemetar. Lelaki itu begitu senang karena anaknya itu telah kembali dengan selamat.“Bapak kenapa? Kenapa bapak menangis?” Lagi Seruni bertanya, kini tangannya dengan pelan mengusap pipi ayahnya yang telah basah oleh air mata.“Nggak apa-apa. Ayah tidak apa-apa. Kamu masih kepanasan?” Paman Ahmad tentu saja tidak ingin mengaku jika dirinya begitu mengkhawatirkan anaknya yang tiba-tiba menjerit kepanasan seperti tenggelam dalam kobaran api.“Panas? Aku nggak kepanasan kok, Pak?” Nampaknya Seruni sama sekali tidak ingat dengan apa yang telah terjadi dengan nya barusan. Paman Ahmad yang mengerti pun langsung melepaskan pelukannya dari tubuh anak semata wayangnya itu.Paman Ahmad yang melihat anak gadisnya telah melupakan semuanya sedikit lega. Yang mana itu berarti Seruni yang ada di hadapannya saat ini adalah Seruni yang tubuhnya benar-benar berisi jiwa Seruni yang a
“Apa yang kamu lakukan, Kyai Ibrahim!” Paman Ahmad berteriak.Kyai Ibrahim kaget kenapa bisa bapak Seruni itu bisa berada di dunia yang bukan dunianya manusia.Paman Ahmad yang belum juga mendapatkan jawaban pun berlari mendekati sang Kyai dan begitu sampai Paman Ahmad langsung menarik pergi tangan Kyai agar menjauh dari hadapan sosok ular Sumirah yang sedang terbakar oleh api yang berkobar.“Ada apa ini sebenarnya, Kyai? Kenapa ada makhluk mengerikan itu di sana?” Paman Ahmad mengulang kembali pertanyaannya sambil menatap ular Sumirah.“Aku sedang berusaha mengembalikan sukma Satria ke tempat yang seharusnya, Pak Ahmad. Dan ini sangat mendesak. Aku tidak bisa menjelaskan panjang lebar sekarang.” Kyai Ibrahim berusaha menjelaskan dengan singkat dan jelas.“Satria? Bagaimana bisa?” Paman Ahmad masih belum percaya dengan ucapan sang Kyai.“Lihatlah disana.” Kyai Ibrahim menunjuk ke arah mana Satria masih duduk bengong tak bergerak sama sekali.“Itu Satria, Kyai?!” Paman Ahmad kaget kena
"Kenapa kamu kesini! Kamu tidak aku undang!" Wanita yang memeluk Satria langsung memasang wajah marah."Kembalikan apa yang seharusnya kamu kembalikan. Dia dan kamu bukan lah makhluk yang sama. Seberapapun kerasnya kamu berusaha takdir kalian tidak akan pernah bersama." Kyai Ibrahim dengan tegas meminta wanita cantik itu melepaskan Satria yang ada di cengkramannya."Tidak! Kangmas Satria akan ikut bersamaku dalam keabadian. Di dalam tubuhnya mengalir darah kekasihku! Selamanya dia akan menjadi milikku. Pergi lah kau wahai tua bangka! Aku benci auramu itu!" Lagi suara perempuan yang memeluk Satria menggelegar."Dia bukan milikmu, Sumirah! Jangan paksa aku untuk bertarung denganmu!" Kyai Ibrahim menyodorkan tasbih yang dirinya genggam ke arah Sumirah."Kau menantangku! Dasar tua bangka! Tak sadarkah kamu bahwa kamu sebentar lagi akan masuk ke liang lahat?! Jangan urusi urusanku dan pergilah, urusi saja umurmu yang tak lama lagi itu!" Sumira menatap dengan tatapan yang begitu tajam.“Kam
Bu Hafsah yang kebingungan melihat keadaan anaknya yang duduk bersandar di tembok dalam keadaan pingsan pun nekat pergi ke rumah Kyai Ibrahim menggunakan sepeda yang ada di rumahnya. Bu Hafsah melepaskan mukena nya dengan tergesa dan memakai kerudungnya. "Tunggu ibu, sebentar." Bu Hafsah menatap anaknya sebentar baru kemudian pergi keluar dari rumahnya. Di perjalanan menuju ke rumah Kyai Ibrahim Bu Hafsah tidak mempedulikan dirinya sendiri yang seolah dirinya tengah di tatap oleh ratusan pasang mata. Di pikiran Bu Hafsah saat ini adalah bagaimana caranya agar dirinya bisa segera sampai di rumah Kyai Ibrahim dan meminta tolong kepada beliau. Di pertengahan jalan, Bu Hafsah dihadang oleh seekor ular hijau yang ujung ekor dan kepalanya berwarna merah terang sebesar pohon bambu. "Astagfirullah!" Bu Hafsah menghentikan sepeda yang dirinya kendarai secara mendadak. Ular yang menghadang Bu Hafsah melotot tajam sambil menjulurkan lidahnya yang bercabang dan terus berdesis. Kepala ular ter
Bu Hafsah duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Ibu paruh baya tersebut merasa jika dirinya sudah keterlaluan karena membiarkan anak lelakinya itu begitu saja di depan rumah, padahal Bu Hafsah sangat yakin jika anak semata wayangnya itu pasti belum makan karena satria hilang sejak subuh tadi. Tadi pagi, setelah sholat subuh, Bu Hafsah ingin membangunkan anak lelakinya yang sering kesiangan itu, Namun, alangkah kagetnya jika ternyata anak lelakinya tidak ada di kamarnya. Tentu saja Bu Hafsah kebingungan dan mencari anaknya. Ternyata anaknya itu benar-benar pergi dari rumah. Bu Hafsah pun resah. Namun, ketika sudah tenang, wanita tersebut berpikir jika anak lelakinya itu mungkin saja ada urusan mendadak jadi tidak sempat untuk pait dengannya. Tapi siapa sangka jika ternyata Saria itu pergi ke reruntuhan pondok pesantren. Padahal Bu Hafsah sudah melarang keras agar anaknya itu tidak pergi kesana. Namun, ternyata Satria nekat pergi kesana dan tidak berpamitan. Tentu saja Bu Hafsa
"Nggih, Bu. Saya dari reruntuhan pondok pesantren peninggalan Eyang Kakung Anggara." Satria berkata sambil menundukkan kepalanya karena takut melihat sorot tajam dari mata ibunya. Lelaki itu tak bisa untuk membohongi ibunya."Kamu ...!" Bu Hafsah berkata sambil menunjuk wajah anak semata wayangnya itu menggunakan jari telunjuk yang bergetar karena menahan emosi yang meluap-luap."Bu, ada apa toh ini sebenarnya. Saya ini sudah dewasa, Bu. Kenapa ibu begitu banyak menyimpan rahasia?" Satria memberanikan diri untuk menatap wajah ibunya yang sedang marah."Lupakan!" Bu Hafsah menarik telunjuknya dengan kasar, lalu membalik badannya hendak meninggalkan anaknya."Ibu, tunggu!" Satria mencengkram erat pergelangan tangan ibunya sehingga Bu Hafsah terpaksa menghentikan langkahnya."Ibu, Ibu kenapa toh? Kenapa Ibu tidak mau berterus terang kepada saya, Bu?" Satria menuntut penjelasan kepada sang ibu mengapa dirinya terus diperlakukan seperti seorang anak kecil.Namun, Bu Hafsah tetap saja membi
Pagi-pagi sekali Satria berjalan perlahan menuju tempat yang pernah dia datangi di dalam mimpi. Bahkan adzan subuh baru saja berkumandang dan sinar mentari pagi pun baru sedikit terlihat warna jingganya. Lelaki muda tersebut mengendap-ngendap keluar dari rumah ibunya. Tidak ingin membuat sang ibu khawatir. Kemarin setelah siuman dari pingsan Satria sempat beradu pendapat dengan sang ibu. Ibunya yaitu Bu Hafsah sangat menyesali keputusan Satria yang mengusir Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad. Terlebih Satria berkata jika dirinya tidak mempercayai kedua orang tersebut. Padahal justru mereka berdua lah yang sangat perhatian dengan apa yang terjadi pada Satria. "Kamu sudah salah paham, Satria. Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad itu sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Walau memang cara pandang kedua orang itu berbeda tapi ibu yakin jika Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad sangat mengkhawatirkanmu. Mereka peduli denganmu, Satria. Bagaimana mungkin kamu bisa tidak mempercayai mereka." Bu Hafsah terlihat beg
Di saat Kyai Ibrahim, Bu Hafsah dan Paman Ahmad bertengkar. Satria yang jiwanya telah lepas justru kini tengah melangkah bersama sosok yang begitu mirip dengan eyang putrinya, Eyang Putri Fatimah. Sosok perempuan cantik dengan gamis melayu dan rok senda, tak lupa juga selendang menutupi kepalanya yang membuat sosok tersebut terlihat anggun walaupun berpenampilan sederhana. Sosok yang begitu berbeda dengan Sumirah yang walaupun cantik tapi terasa begitu berbahaya.Jiwa Satria dibawa pergi ke suatu tempat yang tidak asing bagi Satria."Tempat ini kan ...." Satria tidak melanjutkan perkataannya, tapi justru memandang sosok yang berdiri di sampingnya.Sosok yang bersama Satria itu jarinya menunjuk ke sebuah arah di antara puing-puing bangunan sisa peninggalan dari suaminya. Sosok Fatimah muda tersenyum menatap Satria. Sosok tersebut hanya tersenyum, tapi tak berkata-kata."Aku harus ke sana?" Satria menunjuk dirinya sendiri.Sosok Fatimah mengangguk."Tapi disana tidak ada apapun, Eyang?"
"Pak Ahmad! Pak! Bapak tidak apa-apa?" Kyai Ibrahim menepuk pelan pundak Paman Ahmad yang sedari tadi membisu. Paman Ahmad menepis kasar tangan sang kyai yang menempel di pundaknya. Paman Ahmad kembali membuang muka sambil tangannya bersedekap. "Mari kita lupakan dulu permasalahan antara Saeruni dan Nur, Pak Ahmad. Terpenting untuk saat ini kita harus menyelamatkan Satria. Karena akar dari permasalahan ini ada pada Satria." Paman Ahmad mengendurkan raut wajahnya yang kaku. Terdengar hembusan nafas pelan. "Lalu, apa saranmu, Kyai?" Paman Ahmad berbicara dengan nada yang lebih lembut walaupun masih terkesan ketus. "Satria itu masih muda. Dia adalah lelaki yang berada di usia yang mana nafsunya sebagai seorang lelaki sedang berada di puncaknya. Satria sangat lemah jika berhadapan dengan kecantikan wanita. Jujur saja ini sangat berat mengingat yang mengikat jiwanya adalah perempuan yang jelita." Kata-kata dari Kyai Ibrahim seketika membuat bu Hafsah lemas karena kehilangan harapan un