“Aku harus lari, jangan sampai Juragan Jarwo yang mata keranjang itu menangkapku lagi! Aku harus selamat.”
Seorang perempuan berlari menembus rimbunnya hutan yang gelap. Hanya cahaya rembulan yang menjadi penerang langkahnya.
Kain jariknya sobek hingga terlihat paha mulusnya, baju kebayanya sobek di bagian dada. Telapak kakinya terluka karena menginjak ranting-ranting kering yang tajam.
Nafasnya terputus-putus, tapi sekuat tenaga tetap dia pacu dengan menarik nafas sekuat-kuatnya berharap tenaganya takkan hilang.
Wanita itu adalah Sumirah, perempuan tercantik di kampungnya, kampung Kalimas.
“Sumirah! Sumirah! Jangan kabur kamu, Sumirah!” Juragan Jarwo berteriak kencang.
“Itu suara Juragan Jarwo. Oh tidak! Suaranya semakin dekat. Aku harus terus berlari, tidak sudi aku menjadi gundiknya!” Sumirah bermonolog dengan dirinya sendiri.
Perempuan yang baru saja ditalak oleh suaminya itu terus berlari tanpa menoleh lagi ke belakang. Hingga akhirnya dirinya terjatuh karena kakinya tersangkut pohon gadung. Durinya menancap dan menyisakan luka berdarah di betis Sumirah.
Sumirah kembali berdiri dan berusaha terus berlari walau kakinya harus berjalan dengan terpincang-pincang.
Dia terus berlari sambil menangis. Hatinya sakit, jiwanya rapuh, raganya tercabik-cabik, harga dirinya terinjak-injak dengan sangat mengenaskan.
“Kang Mas Permana, ini semua salahmu!”
Sumirah terus melanjutkan larinya, tangisnya kini benar-benar pecah. Bayangan suaminya tadi siang sungguh menancapkan amarah di sukmanya.
“Kang Mas! Apa yang kamu lakukan, Kang Mas! Kenapa kamu tega melakukan ini semua kepadaku, Kang Mas! Apa salahku!”
Sumirah yang baru saja pulang dari rumah uwaknya terkejut mendapati suaminya, Permana tengah bergumul dengan perempuan yang tidak halal baginya.
Perempuan itu adalah Gendis,. Seorang penari yang sangat terkenal di seluruh kampung. Penari yang dikenal dengan kemolekan tubuhnya yang sintal berisi, buah dada yang menantang setiap mata lelaki. Lenggokan tubuhnya saat menari mampu menghentikan laju angin seolah berhenti hanya untuk melihat dirinya menari.
Sebenarnya untuk kecantikan, Sumirah jauh lebih menawan dibandingkan Gendis. Sumirah dengan aura keibuan serta kelemah-lembutan tutur katanya yang menjadikannya primadona saat dirinya masih gadis dulu, sementara Gendis hanya bermodalkan pesona senyum genit serta suara yang dia buat mendayu-dayu memanja dan tubuhnya saja.
Mata Sumirah melotot melihat pemandangan menjijikan itu. Gendis tersenyum sinis saat melihat Sumirah memergoki suaminya tengah mencumbu dirinya dengan sangat liar. Sementara Permana suami Sumirah tampak acuh dan tetap melanjutkan kegiatannya, dia tak peduli dengan amukkan dan tangisan sang istri. Baginya Gendis lebih memberikannya kepuasan daripada Sumirah. Dirinya sudah bosan dengan perempuan yang sudah dia nikahi selama empat tahun itu. Raga Sumirah sudah tak lagi menimbulkan gairah di mata Permana.
Sumirah membanting pintu dengan kasar, matanya tak kuasa melihat hal yang menjijikan itu, terlebih kedua iblis itu sengaja membuatnya mendengar suara desahan serta rintihan kenikmatan dari mulut mereka.
Entah kenapa Sumirah tak mampu menggerakkan badannya, padahal sungguh dirinya ingin mencincang tubuh kedua manusia laknat tersebut. Tapi jangankan mencincang mendekati mereka saja kakinya mendadak terpaku, hingga akhirnya dia memilih keluar dan terduduk lemas di ruang tamunya.
Pendengarannya masih dengan jelas mendengar lenguhan demi lenguhan suara yang baginya sangat menjijikkan itu.
Sumirah hanya bisa menangis, hingga akhirnya suara itu berhenti dengan sendirinya.
Pintu kamar terbuka lebar, Sumirah mengangkat kepalanya dan melihat suaminya memakai kembali pakaiannya, sementara wajah kelelahan milik Gendis menyunggingkan senyum sinisnya, dia membiarkan tubuh polosnya tetap seperti saat Permana menikmatinya. Sengaja tidak dia selimuti, seolah memberi tahu bahwa Permana adalah miliknya.
Permana melangkahkan kakinya ke arah Sumirah yang terduduk di lantai sambil menangis, tangannya dia letakkan di pinggang, matanya menatap bengis Sumirah. Hingga detik kemudian, dengan kejamnya
Permana menampar wajah ayu Sumirah hingga tubuhnya tersungkur, bibir Sumirah mengeluarkan darah segar.
Terdengar suara rintih kesakitan saat Permana menendang tubuh istrinya hingga terjungkal. Tak hanya itu, bahkan dengan teganya tangan kanan Permana menarik rambut Sumirah hingga gelungannya terlepas.
Tangan Permana dengan kasar menarik rambut Sumirah hingga kepala istrinya itu mendongak ke atas.
Permana meludahi wajah sumirah yang telah basah oleh airmata.
Gendis keluar dari kamar ingin melihat Sumirah yang terinjak harga dirinya itu. Pakaian telah dia kenakan. Gendis duduk dengan jumawa menghadap Sumirah yang tengah disiksa suaminya.
“Aaa ... sakit Kang Mas ....” Sumirah merintih tatkala Permana menarik rambutnya.
Kepala perih rasanya, tapi sakit di hatinya seribu kali lebih perih.
Gendis mendekatkan wajahnya dengan kepala Sumirah yang tengah ditarik rambutnya oleh Permana. Gendis meludahi wajah Sumirah.
Bagai luka yang masih meneteskan darahnya sengaja dia siram dengan cuka. Perih tak terkira.
Lagi-lagi Sumirah memekik, Permana menjambak rambut Sumirah dengan kasar hingga banyak helaian rambut yang tersangkut di ttangannya Rambut Sumirah tergerai berantakan.
“Heh mandul! Pergi kau dari sini, mulai saat ini kau aku ceraikan. Wanita mandul sepertimu tak pantas dipertahankan,” suara Permana menggelegar, meremukkan hati Sumirah.
“Ta—pi aku harus pergi ke mana Kang Mas? Ini sudah malam. Lagipula rumah ini adalah milikku, warisan dari ramaku, kamu yang harusnya pergi bukan aku!”
Suara Sumirah terdengar sangat pilu tatkala Permana menyeret paksa tangan Sumirah lalu melemparkannya keluar pintu bagai anjing buduk.
“Ini rumahku, terserah kau mau ke mana. Ramamu sudah mati. Jadi harta beserta rumah ini milikku. Enyahlah kau dari hadapanku! Dasar wanita mandul!”
Rama Sumirah adalah juragan tanah yang sangat kaya raya, tapi entah kenapa sangat menyayangi Permana yang seorang pemabuk dan pemalas hingga akhirnya mengangkatnya sebagai menantunya, suami Sumirah.
Tapi hanya berhitung bulan pernikahan Sumirah dan Permana, rama Sumirah meninggal tiba-tiba, padahal tidak pernah sakit. Hingga akhirnya semua hartanya jatuh di tangan Sumirah yang secara otomatis menjadi milik Permana.
Warga kampung berkumpul melihat apa yang tengah terjadi, mereka iba dengan Sumirah tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Seluruh warga kampung sangat takut dengan Permana, karena mereka mempunyai hutang yang sangat banyak. Jika ada yang berani membantu Sumirah, maka dapat dipastikan orang itu akan kehilangan rumahnya karena disita oleh Permana si lintah darat.
Sumirah berdiri terhuyung-huyung. Dia diusir tanpa boleh membawa seperserpun uang, harta satu-satunya hanya pakaian yang melekat ditubuhnya.
Sumirah berjalan pelan meninggalkan rumah yang sudah dia tempati sedari kecil itu.
Gendis tertawa penuh kemenangan melihat Sumirah pergi, Permana menggandeng Gendis agar masuk ke rumah lalu menutup pintu dengan keras.
Sumirah berjalan menyusuri pinggir hutan, dia akan kembali kerumah uwaknya, hanya itu satu-satunya tempat dia kembali.
Tapi tiba-tiba dirinya dihadang oleh Juragan Jarwo, Maman dan Paijo. Mereka menyeret Sumirah ke tengah hutan dan melemparkan paksa Sumirah ke dalam gubuk tua.
“Jo, Man, kalian jaga di luar, aku mau bersenang-senang.”
“Wokey, Juragan. Siap!”
Sumirah ketakutan, dia tak sudi tubuhnya disentuh oleh Juragan Jarwo. Sumirah berusaha lari, tetapi tubuhnya dengan mudah ditangkap Juragan Jarwo karena memang tubuh dan tenaga mereka jauh berbeda.
Dengan beringas Juragan Jarwo membuka paksa kancing kebaya Sumirah dengan susah hingga sobek karena ditahan tangan Sumirah.
“Wadoh....” Juragan Jarwo menjerit kesakitan.
Sumirah menggigit tangan Juragan Jarwo, sehingga dapat berdiri dari posisi yang ditimpa tubuh besar Juragan Jarwo.
Juragan Jarwo menarik paksa jarik yang digunakan oleh Sumirah hingga sobek hingga terlihat paha mulus milik Sumirah.
Sumirah yang terpojok akhirnya mendendang keras pusaka Juragan Jarwo dan kabur melalu pintu belakang gubuk.
Sumirah terus berlari hingga dirinya sampai di Rawa Ireng.
Dia menyadari bahwa Rawa Ireng adalah tempat keramat yang dijauhi semua orang, yang konon katanya orang yang masuk tak dapat lagi keluar.
Sumirah tak peduli, dia lebih memilih mati di Rawa Ireng daripada dinodai oleh Juragan Jarwo.
Sumirah menangis tersedu, kini dia berada di pusat Rawa Ireng. Dirinya sudah tidak mendengar lagi suara langkah kaki mengejarnya. Sumirah berfikir jika Juragan Jarwo dan anak buahnya pasti tak berani mengikuti dirinya hingga ke Rawa Ireng.
Sumirah terduduk di tanah rawa yang lembab dan basah.
“Aaa!” Sumirah berteriak kencang sambil memukul-mukul keras dadanya.
Sumirah terus memukul-mukul dadanya berharap sesak di dadanya bisa keluar, berharap rasa sakit di dadanya bisa berkurang. Tapi nyatanya sia-sia.
“Aaa!” Permpuan ayu tersebut terus berteriak dengan putus asa, dia tak peduli lagi jika para penghuni Rawa Ireng akan marah karena terganggu dengan teriakan dan tangisnya. Baginya rasa sakit dihatinya sangat besar, dia tak peduli jika dia harus mati di Rawa Ireng.
Tiba-tiba bau bangkai tercium dengan pekat, bukan tak menyadari hal ini tapi Sumirah sudah tidak peduli.
Dirinya kembali memukul-mukul dadanya dengan keras, tangisnya kembali pecah dan terdengar sangat menyayat. Dia mengeluarkan semua air matanya, biarlah kering asal perasaannya membaik.
Tapi sebanyak apapun air matanya keluar, justru rasa sakit di hatinya semakin terasa. Dia merasa menjadi wanita bodoh dan lemah karena tak mampu melawan Permana suaminya, manusia berhati iblis itu.
Tiba-tiba bau busuk itu menghilang dan berubah menjadi wangi aroma kenanga.
“Mungkin ini akhir dari hidupku,” Sumirah berkata lirih sambil terus menangis dan memukul dadanya dengan keras.
Sumirah sudah siap mati dimakan lelembut Rawa Ireng.
Mata Sumirah terpejam, bersiap-siap menghadapi murka para penghuni Rawa Ireng.
Aroma bunga kenanga semakin tercium pekat, Sumirah lemas dan pasrah.
Namun apa yang Sumirah pikirkan tidak terjadi, tidak ada hal buruk yang menimpa dirinya.
Justru dia mendengar suara halus perempuan memanggil dirinya.
“Cah Ayu ....” (Anak cantik.)
“Cah Ayu....”Sumirah mendengar suara halus perempuan memanggil dirinya, tengkuknya meremang, matanya semakin dia tutup rapat. Suaranya masih tetap menangis sesenggukkan. Sumirah sudah pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya.“Cah Ayu, ojo nangis. Menengo.” ( Anak cantik, jangan menangis. Diamlah...”Suara lembut perempuan terdengar kembali. Sumirah perlahan menghentikan tangisnya.“Cah Ayu, bukak o mripatmu.” ( Anak cantik, bukalah matamu.)Sumirah membuka pelan matanya, detik kemudian matanya terbuka lebar, matanya melotot melihat apa yang ada di depannya.Seekor ular kobra sebesar pohon jati yang berusia ratusan tahun tengah menatap wajahnya, sisiknya yang berwarna putih susu berkilau memantulkan cahaya rembulan. Matanya merah bagaikan batu delima, gigi taringnya tajam bagai sebilah pedang. Ular itu tapi tak beraroma amis khas hewan melata, melainkan ber-aromakan wangi bunga kantil.Perlahan kepala ular semakin mendekati wajah Sumirah.Dekat dan semakin dekat hingga sang ular
Nyai Mutik tersenyum miris, sambil menggelengkan kepalanya perlahan setelah mendengar permintaan perempuan ayu yang semalam ditolongnya. Sementara itu Sumirah menunduk takut bila Nyai Mutik marah kepadanya."Apa tujuanmu sebenarnya, Cah Ayu. Sehingga kamu ingin menjadi sepertiku? Sekarang, coba kamu lihat ke arahku, Cah Ayu." Nyai Mutik berkata lirih.Sumirah mengangkat wajahnya, bola matanya beradu dengan bola mata milik Nyai Mutik.Sumirah kaget karena tiba-tiba bola mata Nyai Mutik berubah seperti mata seekor ular, bukan bola mata manusia normal.Tubuh Sumirah kaku, matanya seolah terkunci dan dipaksa menatap bola mata milik Nyai Mutik."Jika menatap mataku saja kau ketakutan, apa mungkin kau bisa menjadi sepertiku, Sumirah?"Perlahan bola mata Nyai Mutik kembali seperti semula, sedangkan tubuh Sumirah terjatuh ke lantai. Tubuhnya penuh keringat dan bergetar hebat, nafasnya cepat. Dadanya terasa sesak, bahkan dia sampai harus bernafas menggunakan mulutnya.Perlahan Nyai Mutik mende
“Kebakaran!”“Tolong! Ada kebakaran!”“Kebakaran!”Suara kentongan dari bambu terus berbunyi di tengah malam buta, suara riuh warga berlari pontang panting mengambil air dengan ember untuk memadamkan api, tapi sia-sia kobaran api masih berdiri dengan gagahnya, panasnya siap memanggang manusia-manusia yang berani mendekati dirinya.“Sumirah dan Nyai Aminah masih di dalam, bagaimana ini.”Bapak kepala desa bingung, warga panik.Permana tertawa-tawa melihat pemandangan di hadapannya. Setelah puas, lelaki itu pulang karena Gendis telah menunggunya di rumah.“Pie Kang Mas? Wis mbok bakar si Sumirah? Ben kae mati terus aku paling ayu sak ndeso Kang Mas.” ( Bagaimana Mas? Sudah kamu bakar si Sumirah, biar dia mati lalu aku jadi wanita tercantik di desa Mas.)Permana mengelus rambut ikal panjang milik Gendis yang selalu beraroma melati itu. Lalu mencubit pipi wanitanya itu dengan gemas.“Uwis, tenang wae, Sumirah mesti mati nyusul ramane ning neroko” ( Sudah, tenang saja, Sumirah pasti mati,
Sumirah kini tinggal di gudang padi milik Nyai Aminah karena bangunan utama rusak parah. Beruntung si jago merah tak sampai melahap gudang padi yang terletak di belakang rumah uwaknya tersebut.Sumirah bertahan hidup dari hasil mengais sisa-sisa harta benda milik uwaknya.Perut milik Sumirah berbunyi, pertanda minta diisi. Sumirah melahap nasi jagung yang tadi dia beli di pasar, uang dari hasil menjual perhiasan milik Nyai Aminah yang tak sengaja dia temukan di reruntuhan rumah sudah hampir habis untuk menyambung hidupnya selama sebulan ini.Bukan niat Sumirah hanya ingin menghabiskan harta uwaknya, dirinya berusaha mencari rezeki dengan cara menawarkan tenaganya kepada penduduk, tapi entah kenapa semua menolak dirinya.Ada yang merasa ketakutan jika bertemu dengannya, tapi kebanyakan dari mereka menatap jijik mukanya yang rusak karena luka bakar waktu itu.Hidung mancungnya kini sedikit pesek karena banyak dagingnya yang berkoreng dan terkelupas. Mata kanannya sedikit kabur. Serta ha
Suara guntur saling bersahutan. Hujan deras menari bersama sang angin. Tangan Sumirah berusaha menggapai sesuatu, seluruh badannya mati rasa. Pandangan matanya semakin memudar. Ditambah dengan guyuran hujan yang bagai ribuan jarum jatuh dari langit tepat di atas kulitnya yang terluka dan penuh memar itu menyempurnakan rasa sakit yang diderita oleh sang wanita yang dikhianati oleh lelaki yang selama ini menjadi lintah menyedot habis harta dan juga kebahagiaannya.Sumirah terus menggaungkan nama sosok yang diharap dapat mengangkatnya dari penderitaannya saat ini.Tak lama sesosok pria melangkah ke arahnya, itu adalah hal terakhir yang dia lihat sebelum kesadarannya menghilang.Sang pria menutupi tubuh polos Sumirah dengan selembar kain jarik bermotif emas lalu membopongnya menembus derasnya hujan, membawanya ke tempat di mana Sumirah memanggil nama ratunya, penguasa Rawa Ireng.Sang ratu yang berwujud seekor ular mengelilingi tubuh Sumirah yang tergeletak di sebuah meja batu. Sang ratu
Pendar cahaya yang terpancar dari tubuh Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng perlahan menghilang.Mata Sumirah yang terpejam terbuka perlahan. Dirinya terbengong mendapati perubahan besar yang tersaji di hadapannya.Sesosok perempuan sangat anggun berdiri di hadapannya, dengan pakaian ratu khas kerajaan Jawa kuno, rambut ter sanggul dengan indahnya berhias ronce bunga melati dan mahkota yang berkilau, aroma kembang kantil menyeruak darinya. Kecantikan yang dia punya ribuan kali lebih menawan daripada kecantikan Nyai Mutik yang Sumirah pikir wanita tercantik yang pernah dia temui.Namun kini dia sadar, penguasa Rawa Ireng yang baru saja menjadi tempat dirinya meminta pertolongan adalah sosok teramat sangat cantik menawan.“Kemarilah, Cah Ayu!”Sumirah sungguh terpesona oleh kecantikan Ratunya. Bahkan suaranya begitu merdu, halus, lemah lembut, tatapan matanya tajam penuh misteri tapi dia tetap tidak kehilangan pesonanya.Perlahan Sumirah turun dari meja batu tempat dirinya pingsan, ragu ka
Nyai Mutik semakin pias, tanda-tanda keberadaan Sumirah sudah tidak ada.Matikah dia? Atau masih hidupkah? Nyai Mutik benar-benar tidak bisa merasakan keberadaan anak manusia yang putus asa hingga menyambangi junjungannya dan nekat melakukan ritual yang teramat berbahaya itu.Nyai Mutik melirik ratunya yang tengah tersenyum penuh misteri. Senyuman yang mengerikan namun mempesona secara bersamaan.Nyai Mutik tahu betul betapa sulitnya menyeberangi danau jelmaan Rawa Ireng di hadapannya itu.Sesungguhnya danau yang kelihatan jernih tersebut tetaplah sebuah rawa yang hitam pekat dan berbau busuk, hanya rupanya saja yang berubah, namun tidak mengubah kenyataan bahwa Sumirah kini tengah masuk ke dalam Rawa yang berbau busuk.Dirinya pernah melewati proses seperti yang dilakukan Sumirah saat ini, menyeberang danau yang jernih demi mendapatkan sesuatu yang bersinar di tengah danau tersebut. Awalnya dia mampu menyeberang dengan mudah, namun saat hatinya meragu tiba-tiba danau yang dikelilingi
“Kau tahu kenapa disebut pucuk sukma, Sumirah?” Nyai Mutik menatap ke arah Sumirah dengan tatapan sendu seolah menyesalkan keputusan Sumirah yang menempuh jalan ini, jalan yang juga diambilnya yaitu menyembah Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng. Nyai Mutik sejatinya sangat berharap tidak ada lagi seseorang yang akan mengalami hal tragis saat ingin meraih keabadian. Namun, Sumirah yang rupanya telah dipenuhi oleh amarah dan dendam itu bersikeras untuk menginjak dan menempuh jalanan yang kesemuanya bertebaran tulang belulang dari manusia yang gagal melakukan ritual.Sumirah menggelengkan kepalanya, pertanda tidak tahu. Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng tersenyum penuh misteri.“Disebut pucuk sukma karena dia adalah jelmaan dari sukma seseorang yang menjadi tuannya. Sukmamu perlahan akan bercampur dengan bangsa kami melalui bunga teratai itu, Sumirah. Saat kelopak pertama masuk ke tubuhmu, maka sukmamu tak lagi milikmu, tapi milikku sang penguasa Rawa Ireng. Namun kamu jangan khawatir, Sumir
“Bapak ….” Seruni yang sudah sadar menyebut nama bapaknya. Sementara itu Pak Ahmad memeluk tubuh Seruni dengan tangan yang gemetar. Lelaki itu begitu senang karena anaknya itu telah kembali dengan selamat.“Bapak kenapa? Kenapa bapak menangis?” Lagi Seruni bertanya, kini tangannya dengan pelan mengusap pipi ayahnya yang telah basah oleh air mata.“Nggak apa-apa. Ayah tidak apa-apa. Kamu masih kepanasan?” Paman Ahmad tentu saja tidak ingin mengaku jika dirinya begitu mengkhawatirkan anaknya yang tiba-tiba menjerit kepanasan seperti tenggelam dalam kobaran api.“Panas? Aku nggak kepanasan kok, Pak?” Nampaknya Seruni sama sekali tidak ingat dengan apa yang telah terjadi dengan nya barusan. Paman Ahmad yang mengerti pun langsung melepaskan pelukannya dari tubuh anak semata wayangnya itu.Paman Ahmad yang melihat anak gadisnya telah melupakan semuanya sedikit lega. Yang mana itu berarti Seruni yang ada di hadapannya saat ini adalah Seruni yang tubuhnya benar-benar berisi jiwa Seruni yang a
“Apa yang kamu lakukan, Kyai Ibrahim!” Paman Ahmad berteriak.Kyai Ibrahim kaget kenapa bisa bapak Seruni itu bisa berada di dunia yang bukan dunianya manusia.Paman Ahmad yang belum juga mendapatkan jawaban pun berlari mendekati sang Kyai dan begitu sampai Paman Ahmad langsung menarik pergi tangan Kyai agar menjauh dari hadapan sosok ular Sumirah yang sedang terbakar oleh api yang berkobar.“Ada apa ini sebenarnya, Kyai? Kenapa ada makhluk mengerikan itu di sana?” Paman Ahmad mengulang kembali pertanyaannya sambil menatap ular Sumirah.“Aku sedang berusaha mengembalikan sukma Satria ke tempat yang seharusnya, Pak Ahmad. Dan ini sangat mendesak. Aku tidak bisa menjelaskan panjang lebar sekarang.” Kyai Ibrahim berusaha menjelaskan dengan singkat dan jelas.“Satria? Bagaimana bisa?” Paman Ahmad masih belum percaya dengan ucapan sang Kyai.“Lihatlah disana.” Kyai Ibrahim menunjuk ke arah mana Satria masih duduk bengong tak bergerak sama sekali.“Itu Satria, Kyai?!” Paman Ahmad kaget kena
"Kenapa kamu kesini! Kamu tidak aku undang!" Wanita yang memeluk Satria langsung memasang wajah marah."Kembalikan apa yang seharusnya kamu kembalikan. Dia dan kamu bukan lah makhluk yang sama. Seberapapun kerasnya kamu berusaha takdir kalian tidak akan pernah bersama." Kyai Ibrahim dengan tegas meminta wanita cantik itu melepaskan Satria yang ada di cengkramannya."Tidak! Kangmas Satria akan ikut bersamaku dalam keabadian. Di dalam tubuhnya mengalir darah kekasihku! Selamanya dia akan menjadi milikku. Pergi lah kau wahai tua bangka! Aku benci auramu itu!" Lagi suara perempuan yang memeluk Satria menggelegar."Dia bukan milikmu, Sumirah! Jangan paksa aku untuk bertarung denganmu!" Kyai Ibrahim menyodorkan tasbih yang dirinya genggam ke arah Sumirah."Kau menantangku! Dasar tua bangka! Tak sadarkah kamu bahwa kamu sebentar lagi akan masuk ke liang lahat?! Jangan urusi urusanku dan pergilah, urusi saja umurmu yang tak lama lagi itu!" Sumira menatap dengan tatapan yang begitu tajam.“Kam
Bu Hafsah yang kebingungan melihat keadaan anaknya yang duduk bersandar di tembok dalam keadaan pingsan pun nekat pergi ke rumah Kyai Ibrahim menggunakan sepeda yang ada di rumahnya. Bu Hafsah melepaskan mukena nya dengan tergesa dan memakai kerudungnya. "Tunggu ibu, sebentar." Bu Hafsah menatap anaknya sebentar baru kemudian pergi keluar dari rumahnya. Di perjalanan menuju ke rumah Kyai Ibrahim Bu Hafsah tidak mempedulikan dirinya sendiri yang seolah dirinya tengah di tatap oleh ratusan pasang mata. Di pikiran Bu Hafsah saat ini adalah bagaimana caranya agar dirinya bisa segera sampai di rumah Kyai Ibrahim dan meminta tolong kepada beliau. Di pertengahan jalan, Bu Hafsah dihadang oleh seekor ular hijau yang ujung ekor dan kepalanya berwarna merah terang sebesar pohon bambu. "Astagfirullah!" Bu Hafsah menghentikan sepeda yang dirinya kendarai secara mendadak. Ular yang menghadang Bu Hafsah melotot tajam sambil menjulurkan lidahnya yang bercabang dan terus berdesis. Kepala ular ter
Bu Hafsah duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Ibu paruh baya tersebut merasa jika dirinya sudah keterlaluan karena membiarkan anak lelakinya itu begitu saja di depan rumah, padahal Bu Hafsah sangat yakin jika anak semata wayangnya itu pasti belum makan karena satria hilang sejak subuh tadi. Tadi pagi, setelah sholat subuh, Bu Hafsah ingin membangunkan anak lelakinya yang sering kesiangan itu, Namun, alangkah kagetnya jika ternyata anak lelakinya tidak ada di kamarnya. Tentu saja Bu Hafsah kebingungan dan mencari anaknya. Ternyata anaknya itu benar-benar pergi dari rumah. Bu Hafsah pun resah. Namun, ketika sudah tenang, wanita tersebut berpikir jika anak lelakinya itu mungkin saja ada urusan mendadak jadi tidak sempat untuk pait dengannya. Tapi siapa sangka jika ternyata Saria itu pergi ke reruntuhan pondok pesantren. Padahal Bu Hafsah sudah melarang keras agar anaknya itu tidak pergi kesana. Namun, ternyata Satria nekat pergi kesana dan tidak berpamitan. Tentu saja Bu Hafsa
"Nggih, Bu. Saya dari reruntuhan pondok pesantren peninggalan Eyang Kakung Anggara." Satria berkata sambil menundukkan kepalanya karena takut melihat sorot tajam dari mata ibunya. Lelaki itu tak bisa untuk membohongi ibunya."Kamu ...!" Bu Hafsah berkata sambil menunjuk wajah anak semata wayangnya itu menggunakan jari telunjuk yang bergetar karena menahan emosi yang meluap-luap."Bu, ada apa toh ini sebenarnya. Saya ini sudah dewasa, Bu. Kenapa ibu begitu banyak menyimpan rahasia?" Satria memberanikan diri untuk menatap wajah ibunya yang sedang marah."Lupakan!" Bu Hafsah menarik telunjuknya dengan kasar, lalu membalik badannya hendak meninggalkan anaknya."Ibu, tunggu!" Satria mencengkram erat pergelangan tangan ibunya sehingga Bu Hafsah terpaksa menghentikan langkahnya."Ibu, Ibu kenapa toh? Kenapa Ibu tidak mau berterus terang kepada saya, Bu?" Satria menuntut penjelasan kepada sang ibu mengapa dirinya terus diperlakukan seperti seorang anak kecil.Namun, Bu Hafsah tetap saja membi
Pagi-pagi sekali Satria berjalan perlahan menuju tempat yang pernah dia datangi di dalam mimpi. Bahkan adzan subuh baru saja berkumandang dan sinar mentari pagi pun baru sedikit terlihat warna jingganya. Lelaki muda tersebut mengendap-ngendap keluar dari rumah ibunya. Tidak ingin membuat sang ibu khawatir. Kemarin setelah siuman dari pingsan Satria sempat beradu pendapat dengan sang ibu. Ibunya yaitu Bu Hafsah sangat menyesali keputusan Satria yang mengusir Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad. Terlebih Satria berkata jika dirinya tidak mempercayai kedua orang tersebut. Padahal justru mereka berdua lah yang sangat perhatian dengan apa yang terjadi pada Satria. "Kamu sudah salah paham, Satria. Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad itu sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Walau memang cara pandang kedua orang itu berbeda tapi ibu yakin jika Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad sangat mengkhawatirkanmu. Mereka peduli denganmu, Satria. Bagaimana mungkin kamu bisa tidak mempercayai mereka." Bu Hafsah terlihat beg
Di saat Kyai Ibrahim, Bu Hafsah dan Paman Ahmad bertengkar. Satria yang jiwanya telah lepas justru kini tengah melangkah bersama sosok yang begitu mirip dengan eyang putrinya, Eyang Putri Fatimah. Sosok perempuan cantik dengan gamis melayu dan rok senda, tak lupa juga selendang menutupi kepalanya yang membuat sosok tersebut terlihat anggun walaupun berpenampilan sederhana. Sosok yang begitu berbeda dengan Sumirah yang walaupun cantik tapi terasa begitu berbahaya.Jiwa Satria dibawa pergi ke suatu tempat yang tidak asing bagi Satria."Tempat ini kan ...." Satria tidak melanjutkan perkataannya, tapi justru memandang sosok yang berdiri di sampingnya.Sosok yang bersama Satria itu jarinya menunjuk ke sebuah arah di antara puing-puing bangunan sisa peninggalan dari suaminya. Sosok Fatimah muda tersenyum menatap Satria. Sosok tersebut hanya tersenyum, tapi tak berkata-kata."Aku harus ke sana?" Satria menunjuk dirinya sendiri.Sosok Fatimah mengangguk."Tapi disana tidak ada apapun, Eyang?"
"Pak Ahmad! Pak! Bapak tidak apa-apa?" Kyai Ibrahim menepuk pelan pundak Paman Ahmad yang sedari tadi membisu. Paman Ahmad menepis kasar tangan sang kyai yang menempel di pundaknya. Paman Ahmad kembali membuang muka sambil tangannya bersedekap. "Mari kita lupakan dulu permasalahan antara Saeruni dan Nur, Pak Ahmad. Terpenting untuk saat ini kita harus menyelamatkan Satria. Karena akar dari permasalahan ini ada pada Satria." Paman Ahmad mengendurkan raut wajahnya yang kaku. Terdengar hembusan nafas pelan. "Lalu, apa saranmu, Kyai?" Paman Ahmad berbicara dengan nada yang lebih lembut walaupun masih terkesan ketus. "Satria itu masih muda. Dia adalah lelaki yang berada di usia yang mana nafsunya sebagai seorang lelaki sedang berada di puncaknya. Satria sangat lemah jika berhadapan dengan kecantikan wanita. Jujur saja ini sangat berat mengingat yang mengikat jiwanya adalah perempuan yang jelita." Kata-kata dari Kyai Ibrahim seketika membuat bu Hafsah lemas karena kehilangan harapan un