Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun

Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun

last updateLast Updated : 2025-04-24
By:  Kelaras ijo Updated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
37Chapters
41views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Di balik ketenangan sebuah desa terpencil, tersembunyi rahasia kelam yang tak boleh diganggu. Bukit kecil, dua pohon beringin tua, sumur peninggalan Belanda, dan rawa yang tampak biasa ternyata menjadi gerbang menuju dunia lain—kampung bangsa lelembut yang tak kasat mata. Reza, perantau yang pulang kampung, tak sengaja melanggar larangan tak tertulis: Jangan pernah ambil sesuatu dari tanah itu. Sejak saat itu, dunia sekitarnya berubah. Bayangan-bayangan muncul dari kabut, suara-suara dari sumur memanggil namanya, dan sosok yang menyerupai dirinya sendiri mulai menampakkan wujud... Tanah Larangan adalah novel horor berdasarkan kisah nyata dari sebuah desa wingit di Indonesia. Atmosfer mencekam, teror perlahan yang merayap, dan misteri gaib yang siap menarik pembaca ke dunia lain—ini bukan sekadar cerita, ini adalah peringatan. Apakah kamu cukup berani untuk masuk, dan keluar dengan selamat? ---

View More

Latest chapter

Free Preview

Bab 1: Pulang ke Kampung yang Tak Sama Lagi Oleh Kelaras Ijo (±1.600 kata – horor atmosferik, merayap, dan menyesakkan)

Malam itu, awan menggantung rendah di atas langit desa. Angin berdesir pelan, membawa bau tanah basah yang entah kenapa terasa... asing. Di kejauhan, kabut tipis mulai merambat pelan dari arah bukit kecil di sebelah timur desa—bukit yang dulunya sering aku datangi waktu kecil, tapi sekarang... hanya didiamkan.Namaku Reza. Setelah sepuluh tahun merantau, aku kembali ke kampung halaman—Desa Warasari. Sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, rawa, dan kisah-kisah yang orang kota pasti anggap cuma tahayul. Tapi bagi kami yang tumbuh di sini, cerita itu bukan buat ditertawakan. Tapi dihindari. Dihormati.Malam pertama pulang, ibu sudah berpesan, “Jangan ke arah bukit itu, Le. Sekarang beda. Banyak yang hilang, banyak yang... gak balik.”Aku cuma mengangguk sambil senyum. Kupikir itu cuma kecemasan khas orang tua. Tapi malam itu, sesuatu membuatku tak bisa tidur. Seperti ada bisikan halus dari luar jendela kamar. Bukan suara orang. Bukan suara binatang. Tapi... suara seperti tanah yang me...

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
37 Chapters
Bab 1: Pulang ke Kampung yang Tak Sama Lagi Oleh Kelaras Ijo (±1.600 kata – horor atmosferik, merayap, dan menyesakkan)
Malam itu, awan menggantung rendah di atas langit desa. Angin berdesir pelan, membawa bau tanah basah yang entah kenapa terasa... asing. Di kejauhan, kabut tipis mulai merambat pelan dari arah bukit kecil di sebelah timur desa—bukit yang dulunya sering aku datangi waktu kecil, tapi sekarang... hanya didiamkan.Namaku Reza. Setelah sepuluh tahun merantau, aku kembali ke kampung halaman—Desa Warasari. Sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, rawa, dan kisah-kisah yang orang kota pasti anggap cuma tahayul. Tapi bagi kami yang tumbuh di sini, cerita itu bukan buat ditertawakan. Tapi dihindari. Dihormati.Malam pertama pulang, ibu sudah berpesan, “Jangan ke arah bukit itu, Le. Sekarang beda. Banyak yang hilang, banyak yang... gak balik.”Aku cuma mengangguk sambil senyum. Kupikir itu cuma kecemasan khas orang tua. Tapi malam itu, sesuatu membuatku tak bisa tidur. Seperti ada bisikan halus dari luar jendela kamar. Bukan suara orang. Bukan suara binatang. Tapi... suara seperti tanah yang me
last updateLast Updated : 2025-04-11
Read more
Bab 2: Mereka yang Tak Terlihat
Malam ketiga setelah kejadian di bukit itu, aku tidak benar-benar tidur. Tubuhku lelah, demamku turun naik, tapi mata ini enggan terpejam. Ada sesuatu yang mengendap di udara. Seperti... seseorang—atau sesuatu—mengintipku dari balik gelap.Aku memejamkan mata. Tapi justru di situlah semuanya dimulai.Dalam mimpi, aku berdiri di tengah kabut. Kabutnya tebal, nyaris seperti kapas busuk, dan berbau amis. Di sekelilingku hanya suara-suara—bukan suara manusia. Mereka bergumam dalam bahasa yang tidak kumengerti, tapi entah bagaimana aku tahu, mereka membicarakanku.Di depan, sosok-sosok samar mulai bermunculan. Bayangan-bayangan tinggi, kurus, kepala mereka terlalu panjang, wajahnya ditutupi rambut, dan kakinya... melayang. Mereka tidak berjalan. Mereka mengambang—bergerak perlahan seperti asap.Salah satu dari mereka menunjukku.Lalu semuanya memekik dalam satu suara.“Balikke...! Ojo lali...!”(Kembalikan...! Jangan lupa...!)Aku terbangun dengan tubuh menggigil dan nafas memburu.Di luar
last updateLast Updated : 2025-04-11
Read more
Bab 3: Pintu yang Terbuka Sendiri
Sejak malam itu, setiap aku memejamkan mata, aku tak lagi bermimpi—aku dibawa. Seolah ada tali tak kasat mata yang menarikku ke dunia mereka, ke kampung gelap yang sunyi, lembap, dan dingin.Kampung itu tidak berubah. Rumah-rumah berjajar dengan bentuk aneh, atap-atap dari rambut hitam, dinding dari anyaman daun kering yang seperti bernafas. Di tengah kampung, ada sumur—mirip dengan yang di desa, tapi lebih dalam, dengan uap panas mengepul dari dalamnya.Di sana, anak-anak kecil berlarian. Tapi wajah mereka tidak wajar—sebagian tanpa mata, sebagian tersenyum dengan mulut robek hingga ke telinga. Dan di balik rumah-rumah itu, makhluk-makhluk tinggi, kurus, wajahnya tidak pernah terlihat, hanya mengamati.Mereka tidak mendekat. Tidak juga bicara. Tapi aku tahu... mereka menunggu sesuatu. Menunggu aku melakukan kesalahan.Dan malam itu, aku melangkah lebih jauh dari biasanya.---Aku mengikuti suara tangisan itu—suara si perempuan dari malam-malam sebelumnya. Tangisnya lirih, seperti ana
last updateLast Updated : 2025-04-11
Read more
Masuk ke Cermin
Langit malam itu aneh—seperti luka hitam yang menganga. Bintang-bintang seolah padam, digantikan kerlip merah kecil yang menari di kejauhan. Udara panas, tapi dingin menyusup dari tanah. Desa terasa sunyi, terlalu sunyi. Seperti semua suara disedot oleh sesuatu yang tak terlihat. Aku berdiri di halaman belakang rumah, di mana Bu Darmi sudah menyiapkan lingkaran dari abu dan jerami kering. “Sekali kamu masuk, kamu harus tahu jalan keluar,” katanya pelan. “Kalau enggak, kamu akan tetap di sana, selamanya.” Di hadapanku berdiri sebuah cermin besar, tua, usang, dan penuh bercak hitam. Itu cermin yang dulu disimpan di bedeng tua—salah satu benda terakhir dari zaman Belanda yang masih tersisa. Ditemukan kembali oleh warga dan diam-diam disimpan oleh Bu Darmi. “Kenapa harus lewat cermin?” tanyaku. “Karena dari sinilah mereka dulu keluar,” jawabnya, menaburkan garam di sekitar lingkaran. “Dan dari sinilah kamu bisa masuk. Tapi ingat, hanya bisa lewat satu kali. Kalau kamu gagal narik di
last updateLast Updated : 2025-04-12
Read more
Kutukan yang Bangkit
Sudah tiga hari sejak Reza kembali dari tempat itu—dari dunia di balik cermin yang tak semestinya dijamah manusia. Tubuhnya masih terasa lemas, tapi pikirannya jauh lebih berat. Ia terus teringat sosok makhluk bersisik itu... dan suara-suara yang masih terngiang meski ia sudah terbangun.Namun yang paling mengganggunya adalah desa. Segalanya tidak lagi sama.Burung-burung tak berkicau di pagi hari. Embun yang biasanya menyejukkan kini terasa berat, seperti air dari sumur yang tak pernah disentuh cahaya. Anak-anak berhenti bermain di dekat rawa. Bahkan para tetua, yang biasa duduk di gardu sambil mengunyah sirih, kini hanya berdiam diri, menatap kosong ke arah bukit kecil tempat pohon beringin kembar itu tumbuh.Dan malam pertama setelah ritual...Langit desa berubah menjadi merah darah.---“Za, kamu harus datang ke rumahku,” suara Bu Darmi gemetar di ujung telepon.Reza melangkah cepat ke rumah wanita tua itu. Begitu tiba, ia mencium bau amis yang sangat kuat—seperti darah busuk berc
last updateLast Updated : 2025-04-12
Read more
Malam Para Penjemput
Malam itu, langit desa seperti terbelah. Awan hitam menggulung tebal, menutup bulan sepenuhnya. Tak ada cahaya. Hanya suara malam yang aneh—sunyi, namun menyimpan sesuatu yang mengintai.Reza berdiri di teras rumahnya, menatap ke arah bukit. Angin malam menyapu dedaunan, namun tak ada suara jangkrik, tak ada burung hantu. Bahkan suara kodok pun tak terdengar.Lalu terdengar... bunyi kendang.Pelan. Tapi ritmenya seperti denyut nadi.Dug... dug... dug... dug...Dari arah rawa.---Sementara itu, di rumah Pak Saman—seorang tetua kampung yang dikenal religius dan punya “mata batin”—istri dan anak-anaknya sedang tertidur. Tapi saat tengah malam, Pak Saman mendengar suara pintu terbuka sendiri.Ia bangun, melangkah pelan menuju ruang depan.Dan di sana... berdiri sesosok perempuan.Rambutnya panjang menyapu lantai. Bajunya lusuh, penuh tanah basah dan lumut rawa. Wajahnya... tidak terlihat. Hanya rambut dan bayangan hitam seperti kabut.“Maaf, Nduk... ini rumah siapa?” tanya Pak Saman deng
last updateLast Updated : 2025-04-12
Read more
Bukan Reza
Pagi itu, langit di atas desa tampak tenang. Matahari bersinar hangat, burung berkicau riang, dan udara terasa bersih. Warga yang kemarin histeris dan kalut kini seperti terbangun dari tidur panjang. Mereka tak sepenuhnya ingat apa yang terjadi. Namun ada satu hal yang semua orang tahu dengan pasti: Reza menghilang. Pak Sastro, kepala desa, menemukan kendi tua di tepi rawa. Ia mengangkatnya pelan, lalu membawanya ke balai desa. Anehnya, kendi itu dingin... tapi berembun, seolah menyimpan hawa dari dunia lain. Tak lama, warga mulai berkumpul. Mereka saling bertanya. Semua tampak tenang, tapi... ketenangan itu terasa palsu. --- Tiga hari kemudian, seseorang terlihat berjalan dari arah bukit. Tubuhnya penuh lumpur kering, pakaian sobek, dan langkahnya gontai. Warga langsung mengenalinya. Itu Reza. Tapi ada yang aneh. Matanya kosong. Tak ada senyum, tak ada emosi. Ia hanya menatap orang-orang di sekitarnya dengan wajah datar. Bu Siti, tetangga dekatnya, menyambut dengan haru. Tapi
last updateLast Updated : 2025-04-12
Read more
Tumbal
Dini hari itu, setelah upacara penutupan sumur dan rawa, semua warga berharap ketenangan akan kembali. Tapi mereka salah.Keesokan paginya, tubuh Pak Sastro ditemukan di bawah pohon beringin. Mata terbuka menatap kosong ke langit, mulutnya ternganga seolah ingin berteriak, dan seluruh tubuhnya tertutup lumpur hitam. Jari-jarinya menggenggam tanah, seperti berusaha mencakar keluar dari neraka.Tak ada tanda-tanda kekerasan. Tapi wajahnya... seperti melihat sesuatu yang tak sanggup ditanggung oleh manusia.---Bu Darmi pingsan saat mendengar kabar itu. Setelah siuman, ia hanya bisa berkata lirih:> "Sudah dimulai... Mereka menagih tumbal..."---Warga yang dulu skeptis kini mulai percaya. Mereka sadar bahwa ritual itu bukan mengusir, tapi hanya menunda.Dan harga penundaan itu... adalah nyawa.---Desa mendadak sunyi. Aktivitas berhenti. Anak-anak dilarang keluar. Beberapa keluarga memilih pindah sementara ke kampung sebelah.Namun malam itu... suara lonceng kecil terdengar dari arah ra
last updateLast Updated : 2025-04-14
Read more
Empat Lagi
Angin malam itu membawa bau anyir. Bukan seperti bau bangkai biasa, tapi lebih seperti darah yang sudah lama mengering—tercampur tanah basah dan aroma daun-daun busuk.Seluruh desa sepi. Rumah-rumah tertutup rapat. Tirai-tirai digantung tinggi, tak ada satu jendela pun yang terbuka.Anak-anak dilarang keluar. Bahkan ayam pun tak lagi berkokok.Namun suara lain justru semakin sering terdengar...Tuk... tuk... tuk...Seperti ketukan pelan di dinding, jendela, dan pintu—berulang-ulang tiap tengah malam. Tapi saat dibuka, tak ada siapa pun di luar. Hanya bekas jejak lumpur yang menetes, membentuk pola aneh seperti simbol kuno yang tak dikenal.---Di rumah Bu Marni, ketukan itu tak berhenti selama tiga malam berturut-turut. Dan di malam keempat, anak gadisnya, Tika, ditemukan berjalan sendirian menuju arah pohon beringin.Matanya kosong. Bibirnya berkomat-kamit seperti mengucapkan mantra yang tak dimengerti.Saat warga mencoba menahannya, tubuh Tika seperti terangkat sendiri. Melayang beb
last updateLast Updated : 2025-04-14
Read more
Penjemputan
Langit malam itu tidak lagi kelam seperti biasanya. Ia tampak terbakar dari kejauhan—warna jingga menyala seperti bara, berpadu dengan kabut pekat yang turun tanpa suara. Bukit kecil di tepi desa, tempat dua pohon beringin tua berdiri, tampak menyala samar, seakan sedang menyimpan bara dendam yang membara sejak ratusan tahun lalu.Di desa, para warga memilih bersembunyi di rumah masing-masing. Tak ada suara. Tak ada doa. Tak ada harapan.Yang terdengar hanyalah detak jam tua dan napas orang-orang yang mencoba tidur dengan mata terbuka lebar.Namun malam itu bukan malam biasa.Karena malam itu adalah malam penjemputan.---Sulastri, seorang janda tua yang tinggal dekat rawa, adalah orang pertama yang mendengar suara itu.Gugggg... glugggg...Seperti suara sesuatu yang mengambang dan ditarik dari dasar lumpur. Di luar rumahnya, rawa bergetar—airnya membentuk pusaran besar. Dari tengah pusaran, muncul sesosok tubuh hitam mengilap. Sosok itu perlahan naik ke permukaan, tinggi lebih dari d
last updateLast Updated : 2025-04-14
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status