Perjalanan menuju makam leluhur Reza dilakukan pagi-pagi buta. Udara masih berkabut tipis, seakan alam pun enggan melepas mereka pergi. Ki Harjo memimpin di depan, membawa kendi kecil berisi air kembang dan seikat daun kelor. Wirya membawa tongkat kayu tua berukir, sementara Reza menggenggam kotak warisan pusaka milik leluhurnya. Bu Darmi ikut di belakang, membawa sesajen kecil dan dupa. Makam itu terletak di pinggir hutan, di sebuah bukit kecil yang jarang dikunjungi warga. Menurut cerita orang-orang tua, tempat itu dulunya merupakan pemakaman para tetua desa, namun lama tak terurus hingga akhirnya tertutup semak dan pohon-pohon liar. Tapi anehnya, satu makam selalu tampak bersih dan tak pernah ditumbuhi rumput: makam Buyut Reksonegoro—kakek buyut Reza. Begitu mereka sampai di depan makam itu, udara terasa lebih berat. Sunyi. Seolah alam menahan napasnya. Ki Harjo menancapkan tongkat kecil di tanah dan mulai membaca doa-doa Jawa Kuno. Wirya menaburkan air bunga tujuh rupa di sekit
Suasana rumah Bu Darmi pagi itu masih terasa berat. Reza belum berkata sepatah kata pun sejak malam tadi. Ia hanya duduk di serambi, menatap kosong ke arah pohon jambu yang daunnya bergoyang pelan ditiup angin pagi.Ki Harjo keluar dari bilik semedinya, langkahnya pelan tapi penuh wibawa. Ia berdiri di belakang Reza, lalu menepuk pundaknya dengan ringan.“Sudah datang, ya?” tanyanya tenang.Reza menoleh pelan. “Ki… tadi malam… ada seseorang. Wajahnya… seperti kakek tua. Tapi bukan manusia biasa. Dia bilang ‘pulang’... hanya itu.”Ki Harjo mengangguk. “Kakek buyutmu, Reza. Ia datang dalam bentuk yang hanya bisa dilihat oleh yang telah ditunjuk. Kau bukan lagi orang biasa. Kau telah membuka pintu yang selama ini tertutup.”Bu Darmi yang datang membawa teh panas pun duduk di sebelah Reza. Wajahnya serius.“Rumah yang dimaksud dalam mimpimu… adalah makamnya,” kata Bu Darmi pelan. “Dan kalau benar dia memintamu datang ke sana… artinya, ada sesuatu yang harus kau ambil. Warisan, bukan dalam
Angin sore di kaki bukit mulai berhembus aneh. Udara terasa lebih dingin, seperti ada sesuatu yang ikut pulang bersama Reza dan Ki Harjo. Meski langit masih cerah, perasaan tak nyaman menyelimuti sepanjang perjalanan turun dari makam leluhur. Reza menggenggam cincin hitam itu erat, sementara kain merah tua disimpan dalam buntalan kecil di tas kanvas lusuh. Tapi entah kenapa, sejak cincin itu masuk ke tangannya… ia merasa seperti dilihat oleh sesuatu dari balik bayang-bayang hutan. “Ki… ada yang ngikutin kita, ya?” tanya Reza pelan, tanpa menoleh ke belakang. Ki Harjo tidak menjawab. Ia hanya meludah ke tanah dan mencubit daun kemuning dari kantong bajunya, lalu mengusapkannya ke tengkuk Reza. “Jangan lihat ke belakang. Jangan ucapkan apapun lagi sebelum sampai rumah Bu Darmi.” Langkah mereka semakin cepat. Tapi suasana sekitar seakan berubah. Bayangan pohon memanjang tak wajar, bunyi daun kering seperti diinjak sesuatu yang tak terlihat, dan udara menjadi pengap… seolah mereka te
Malam itu, desa seperti dibungkus hawa dingin yang tak biasa. Kabut turun lebih pekat dari biasanya, dan bulan tak tampak meski langit tak berawan. Hening, terlalu hening—seolah seluruh alam menahan napas. Bahkan jangkrik pun enggan bersuara.Dan tepat saat jam menunjukkan pukul dua dini hari, dentuman samar terdengar dari arah rawa.Keesokan harinya, kabar duka mengguncang warga. Pak Samin, pria paruh baya yang terbiasa mencari rumput untuk kambingnya, tidak pulang sejak sore kemarin. Istrinya panik dan melapor ke perangkat desa. Warga pun mengadakan pencarian.Mereka menemukan sabit Pak Samin tergeletak di pinggir rawa, namun tubuhnya tak ditemukan. Anehnya, di sekeliling sabit itu, tanah seperti terbakar… dan jejak rumput menghitam membentuk lingkaran sempurna. Salah satu warga bahkan sempat melihat bekas seretan besar menuju dalam rawa, tapi tak ada bekas kaki manusia.“Kayak ditarik sesuatu yang besar…” gumam warga dengan wajah pucat.Belum habis duka itu, kabar lain menyusul. Se
Sepekan setelah kunjungan ke makam leluhur Reza, suasana di desa mulai terasa berubah. Langit sering mendung tanpa hujan, kabut turun lebih awal dari biasanya, dan malam terasa lebih panjang dari yang semestinya.Ki Harjo dan Bu Darmi mulai mencium gelagat tidak biasa. Binatang peliharaan mendadak sakit, ayam-ayam bertelur dengan warna darah, dan suara gamelan samar sering terdengar dari arah rawa saat tengah malam.Namun gangguan nyata baru benar-benar terasa saat Pak Sarto, seorang petani yang tiap pagi mencari rumput di ujung barat desa, tak kunjung pulang. Istrinya, Bu Sari, melapor ke balai desa dengan wajah panik. Pencarian dilakukan keesokan harinya. Hasilnya? Nol besar. Yang mereka temukan hanyalah cap kaki yang berhenti tiba-tiba di tengah rerumputan basah, seperti orang itu hilang begitu saja dari dunia nyata.“Ini bukan hilang biasa, Ki…” ujar Bu Darmi pelan sambil menatap Ki Harjo.Ki Harjo mengangguk. “Tirai mereka mulai terbuka…”Beberapa hari kemudian, seorang warga ber
Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Embun di pucuk daun masih belum sempat menguap, saat Ki Harjo sudah berdiri di depan rumah Bu Darmi dengan kain lurik dan ikat kepala hitam. Di tangannya tergenggam tongkat kayu cendana yang sudah terlihat tua, tapi memancarkan aura aneh. Reza keluar dari rumah dengan ransel kecil di punggung, wajahnya tegang tapi tekadnya sudah bulat.“Kita mulai hari ini,” kata Ki Harjo tanpa basa-basi. “Segel pertama terletak di tengah-tengah hutan sebelah timur, di sebuah petilasan tua yang ditutupi akar beringin.”Reza mengangguk. “Apa yang akan kita lakukan di sana?”“Membuka kembali segel yang sudah mengendur. Tapi untuk melakukannya, kita harus melalui ujian. Bukan dari bangsa lelembut… tapi dari tempat itu sendiri.”Perjalanan dimulai. Mereka melewati jalan setapak yang biasa dilalui para petani—tapi semakin jauh ke dalam, semak-semak mulai merapat, pepohonan makin gelap, dan hawa menjadi lembab serta mencekam. Bahkan suara burung pun tak terd
Pagi itu, udara desa terasa berat. Kabut turun lebih tebal dari biasanya, menyelimuti setiap sudut jalan, ladang, dan pepohonan. Matahari bahkan tampak enggan menampakkan diri. Ki Harjo, Reza, dan Bu Darmi berdiri di depan gerbang kecil menuju makam leluhur yang terletak di tengah hutan keramat. Tak banyak bicara, hanya saling tatap penuh makna. Reza menggenggam erat buntelan kain berisi bunga tujuh rupa dan dupa, sementara Ki Harjo membawa kendi air dan tongkat kayunya. "Kau sudah siap, Le?" tanya Ki Harjo pelan, namun tegas. Reza mengangguk. "Saya siap, Ki." Perjalanan menuju makam tak jauh, namun suasananya berbeda. Angin tak bergerak, tapi dedaunan gemeretak. Suara burung pun lenyap—digantikan bisikan-bisikan lirih dari arah hutan. Saat mereka tiba di pemakaman tua, Reza langsung mengenali nisan kakek buyutnya. Nisan itu berbeda—besar, terbuat dari batu andesit, dan dililit akar pohon beringin kecil. Kabut seakan memusat pada titik itu. Ki Harjo menancapkan tongkatnya ke tana
Udara pagi itu terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis yang menyelimuti desa seolah menyimpan sesuatu yang belum terungkap. Di balik embun yang menempel di dedaunan dan aroma tanah basah yang menusuk hidung, Reza memandangi sebuah jalur setapak yang jarang dilewati. Di sanalah, konon, segel kedua tersembunyi.Ki Harjo sudah menyiapkan segala sesuatu sejak subuh. Bunga tujuh rupa, dupa, air dari tujuh mata air, dan kain mori yang sebelumnya digunakan untuk membungkus sesaji. Reza, yang kini tampak lebih tenang namun matanya menyiratkan ketegangan, berdiri di samping Bu Darmi yang terus menerus merapal doa.“Perjalanan kali ini tidak seperti yang pertama,” ucap Ki Harjo, sembari menyalakan dupa. “Segel kedua dijaga oleh sesuatu yang tidak bisa kita lawan dengan senjata atau mantra.”Reza menelan ludahnya. “Lalu, dengan apa kita menghadapinya, Ki?”“Keberanian... dan hati yang bersih,” jawab Ki Harjo singkat.Mereka menyusuri jalur setapak yang semakin lama terasa sunyi dan m
Sejak kepergian Reza dan Ki Harjo, Desa Waringin Sepuh seolah kehilangan cahaya.Hari-hari berlalu dalam selimut ketakutan. Udara desa yang biasanya hangat berubah menjadi berat dan dingin, membuat bulu kuduk warga berdiri tanpa sebab.Bu Darmi, satu-satunya penjaga yang tersisa, berusaha sekuat tenaga mempertahankan ketenangan. Ia membakar dupa dan kemenyan setiap sore di empat penjuru desa, membacakan doa-doa kuno yang diajarkan nenek moyangnya.Namun, kekuatan Bu Darmi tidak cukup untuk menahan amarah yang sudah bangkit.Malam pertama setelah ritual penyucian Reza, seorang pemuda, Toni, ditemukan pingsan di tepi rawa. Tubuhnya penuh bekas cakaran aneh, seperti dicabik oleh cakar makhluk besar. Ketika ia siuman, Toni hanya bisa berteriak-teriak histeris, matanya kosong tanpa fokus."Mereka... mereka menari di atas air... mereka memanggilku...," gumam Toni sambil terisak.Warga yang ketakutan mulai mengunci diri di rumah masing-masing sebelum senja. Tidak ada yang berani keluar, bahk
Sinar mentari pagi baru saja mengintip dari balik pegunungan jauh ketika Reza dan Ki Harjo melangkahkan kaki meninggalkan desa. Udara masih basah oleh embun, dan kabut tipis menggantung rendah, seolah-olah menahan langkah mereka untuk pergi.Bu Darmi berdiri di ambang pintu, menatap kepergian mereka dengan mata sendu yang diselimuti kecemasan. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah awal dari perubahan besar—bagi Reza, bagi desa, dan mungkin, bagi seluruh wilayah yang dihuni oleh bangsa lelembut.Dengan membawa bekal secukupnya, serta beberapa kain putih yang telah dirituali, Reza mengikuti Ki Harjo menembus hutan tua yang berada di luar batas desa. Hutan yang bahkan di siang bolong pun terasa gelap dan lembap. Burung-burung pun tampaknya enggan berkicau, seolah mengetahui bahwa hari ini ada sesuatu yang sedang bergerak di antara semak-semak tua itu.Sementara itu, di dalam desa, setelah Reza dan Ki Harjo pergi, sesuatu mulai berubah.Angin yang bertiup teras
Malam itu, setelah suasana sedikit mereda, Ki Harjo mengajak Reza duduk bersila di ruang tengah. Dupa wangi terus mengepul, membentuk asap tipis yang mengambang di langit-langit rumah."Reza," Ki Harjo membuka percakapan dengan nada berat, "apa yang kau alami malam ini... baru permulaan."Reza menatapnya, masih dengan sisa ketakutan di mata. Tapi kini ada juga api kecil yang mulai berkobar dalam dirinya — semangat untuk memahami, untuk melawan kalau perlu."Aku akan mengajarkanmu dasar-dasar bertahan," lanjut Ki Harjo. "Bukan dengan kekuatan otot, tapi kekuatan hati dan pikiran."Bu Darmi datang membawa segenggam bunga kenanga dan segelas air putih dalam kendi tanah liat. Ia duduk di sebelah Reza, menatapnya dengan penuh harap dan doa."Yang harus kau ingat," kata Ki Harjo sambil mengambil bunga kenanga dan meremasnya perlahan, "bangsa lelembut itu tidak bisa menyentuh kita... kecuali kita membiarkan mereka masuk."Reza mengernyit. "Membiarkan masuk, gimana maksudnya, Ki?"Ki Harjo te
Malam makin larut. Angin bertiup keras, membawa aroma tanah basah dan bau aneh seperti kayu lapuk yang membusuk. Reza dan Ki Harjo tiba kembali di rumah Bu Darmi dengan langkah terseok, membawa peti kayu hitam yang terasa lebih berat dari sebelumnya — seolah bukan hanya benda, tapi juga beban tak kasat mata.Bu Darmi sudah menunggu di teras, membawa dupa yang asapnya mengepul pelan ke atas, membentuk pusaran aneh di udara. Wajahnya serius, matanya menatap tajam pada peti di tangan Reza."Letakkan di tengah lingkaran garam," perintah Ki Harjo cepat.Reza mengikuti tanpa banyak bicara. Lingkaran garam dan bunga tujuh rupa sudah disiapkan di ruang tengah. Begitu peti diletakkan di sana, suasana seketika berubah — udara terasa lebih berat, suhu di dalam rumah turun drastis. Lampu minyak bergoyang-goyang padahal tidak ada angin.Ki Harjo duduk bersila, matanya terpejam. Ia mulai merapalkan mantra dalam bahasa Jawa Kuno yang terdengar seperti gemuruh dari dasar bumi. Suaranya berat, bergema
Matahari baru saja tenggelam di balik bukit, menyisakan garis merah tipis di cakrawala saat Reza dan Ki Harjo bersiap berangkat. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk kulit seperti jarum-jarum halus yang tak kasat mata. Langit malam di atas desa seolah tertutup selimut hitam tanpa bintang.Mereka berjalan melewati jalan setapak yang menuju ke area makam leluhur, hanya berbekal obor kecil yang cahayanya bergetar diterpa angin. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah itu sendiri menolak mereka untuk melanjutkan perjalanan."Jaga langkahmu, Reza," Ki Harjo berbisik lirih, hampir seperti gumaman. "Tempat ini sudah lama tidur. Jangan sampai kita membangunkan sesuatu yang lebih tua dari sekadar bangsa lelembut."Reza menelan ludah. Ia bisa merasakan tatapan-tatapan tak kasat mata mengawasinya dari balik semak, dari balik bayang-bayang pohon besar yang menjulang seperti raksasa di dalam kegelapan. Di kejauhan, samar, terdengar suara seperti batu-batu kecil yang bergulir...
Malam itu, setelah meminum air dari kendi tanah liat pemberian Ki Harjo, Reza merasa tubuhnya mulai ringan, seolah pelan-pelan tercerabut dari dunia nyata. Ia masih duduk di ruang depan rumah Bu Darmi, namun pandangannya kabur, suara di sekelilingnya mulai menjauh, dan tubuhnya terasa berat seperti ditarik ke kedalaman yang gelap. Dalam sekejap, Reza berada di sebuah tempat asing. Hamparan kabut tebal menyelimuti tanah yang basah dan berbau anyir. Di kejauhan, tampak pepohonan tua menjulang bengkok, seperti tangan-tangan raksasa yang ingin meraih langit. Tak ada bulan, hanya langit kelam dengan bintang-bintang yang redup seperti nyawa yang sekarat. "Reza…" Suara parau memanggil namanya dari balik kabut. Reza berbalik, mencari sumber suara itu. Dari balik kabut, muncul sosok... bukan manusia. Ia tinggi, kurus, kulitnya pucat kebiruan, dan matanya kosong. Mulutnya tersenyum lebar, penuh gigi tajam. "Siapakah kau?!" teriak Reza, meski suaranya terdengar kecil. Sosok itu melangkah
Malam itu, hujan turun tak seperti biasanya. Air seakan tak hanya jatuh dari langit, tapi juga menyusup dari balik tanah. Langit hitam pekat, tak ada bintang, dan bulan pun tertutup awan gelap yang bergulung seperti naga tidur. Desa sepi, tapi udara terasa berat. Seolah-olah desa sedang menahan napas menunggu sesuatu yang tak kasatmata. Di tengah hutan bambu, tempat makam tua berada, tampak samar nyala api. Bukan api biasa. Warna merahnya terlalu pekat, menyala-nyala seperti darah yang membara. Api itu berdansa di udara, berputar, naik turun, seolah membentuk sesuatu. Lalu... terdengar suara. Pelan. Parau. Berdesis seperti lidah yang terbakar. “Segel... telah dibuka... Waktu... telah hampir tiba...” Di dalam rumah Bu Darmi, Reza terbangun dari tidurnya dengan napas terengah. Dadanya sesak, dan matanya terasa perih. Ia melihat ke sekeliling—tak ada apa-apa. Tapi ia tahu, malam ini berbeda. Sesuatu bergerak di luar. Ki Harjo sudah duduk di ruang depan, mata tuanya menatap lampu miny
Subuh belum menampakkan cahaya, langit masih pekat diselimuti kabut kelabu. Namun rumah Bu Darmi sudah ramai. Suara kidung Jawa lirih terdengar dari ruang belakang, tempat Ki Harjo dan Reza bersiap menuju lokasi segel terakhir. Kali ini, perjalanan mereka tak bisa sembarangan. Bu Darmi menyiapkan bekal berupa kemenyan, bunga telon, minyak kelapa campur kembang kantil, serta seikat tali janur yang sudah dibacakan mantra pelindung. “Kali ini kau akan berjalan di antara dua dunia, Za. Dunia kita dan dunia mereka. Tapi ada satu hal yang harus kau tahu... segel ketiga ini tak hanya dikunci oleh bangsa lelembut. Ia dikunci oleh darah.” Reza menatap wajah Bu Darmi dengan ragu. “Darah siapa, Bu?” “Darahmu.” Langkah mereka menembus kabut pagi, menyusuri jalan setapak yang menuju sebuah bukit kecil di timur desa. Dulu bukit ini dianggap tempat biasa, tempat warga mencari kayu atau sekadar berteduh. Tapi sejak tragedi tanah larangan terjadi, tak ada satu pun warga yang berani mendekat. Tiga
Langit menggantung kelabu, nyaris tanpa cahaya. Kabut dari rawa makin merangsek masuk ke desa, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Malam itu, udara terasa berat, dan keheningan yang menggantung bukan keheningan biasa—seolah alam menahan napas menanti sesuatu yang mengerikan akan datang.Reza duduk bersila di depan api kecil yang menyala redup. Wajahnya murung. Di belakangnya, Ki Harjo tengah membuat lingkar pelindung dari abu dupa dan bunga tujuh rupa, mengitari tubuh Reza dengan mantra-mantra pelindung. Bu Darmi menyiapkan ramuan dari akar-akaran dan air dari sumber mata air tua, yang katanya bisa menguatkan jiwa dalam menghadapi gangguan astral.“Segel kedua... dijaga oleh penjaga yang tak lagi berbentuk manusia,” ucap Ki Harjo pelan.Reza menoleh, bulu kuduknya berdiri.“Penjaga segel itu... dulunya manusia?” tanyanya.“Ya. Ia dulunya penjaga pertama tanah larangan. Karena melanggar sumpah, dia dihukum menjadi penunggu segel. Abadi, tanpa wujud pasti, hanya bisa dilihat oleh o