Malam itu, hujan turun tak seperti biasanya. Air seakan tak hanya jatuh dari langit, tapi juga menyusup dari balik tanah. Langit hitam pekat, tak ada bintang, dan bulan pun tertutup awan gelap yang bergulung seperti naga tidur. Desa sepi, tapi udara terasa berat. Seolah-olah desa sedang menahan napas menunggu sesuatu yang tak kasatmata. Di tengah hutan bambu, tempat makam tua berada, tampak samar nyala api. Bukan api biasa. Warna merahnya terlalu pekat, menyala-nyala seperti darah yang membara. Api itu berdansa di udara, berputar, naik turun, seolah membentuk sesuatu. Lalu... terdengar suara. Pelan. Parau. Berdesis seperti lidah yang terbakar. “Segel... telah dibuka... Waktu... telah hampir tiba...” Di dalam rumah Bu Darmi, Reza terbangun dari tidurnya dengan napas terengah. Dadanya sesak, dan matanya terasa perih. Ia melihat ke sekeliling—tak ada apa-apa. Tapi ia tahu, malam ini berbeda. Sesuatu bergerak di luar. Ki Harjo sudah duduk di ruang depan, mata tuanya menatap lampu miny
Malam itu, setelah meminum air dari kendi tanah liat pemberian Ki Harjo, Reza merasa tubuhnya mulai ringan, seolah pelan-pelan tercerabut dari dunia nyata. Ia masih duduk di ruang depan rumah Bu Darmi, namun pandangannya kabur, suara di sekelilingnya mulai menjauh, dan tubuhnya terasa berat seperti ditarik ke kedalaman yang gelap. Dalam sekejap, Reza berada di sebuah tempat asing. Hamparan kabut tebal menyelimuti tanah yang basah dan berbau anyir. Di kejauhan, tampak pepohonan tua menjulang bengkok, seperti tangan-tangan raksasa yang ingin meraih langit. Tak ada bulan, hanya langit kelam dengan bintang-bintang yang redup seperti nyawa yang sekarat. "Reza…" Suara parau memanggil namanya dari balik kabut. Reza berbalik, mencari sumber suara itu. Dari balik kabut, muncul sosok... bukan manusia. Ia tinggi, kurus, kulitnya pucat kebiruan, dan matanya kosong. Mulutnya tersenyum lebar, penuh gigi tajam. "Siapakah kau?!" teriak Reza, meski suaranya terdengar kecil. Sosok itu melangkah
Matahari baru saja tenggelam di balik bukit, menyisakan garis merah tipis di cakrawala saat Reza dan Ki Harjo bersiap berangkat. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk kulit seperti jarum-jarum halus yang tak kasat mata. Langit malam di atas desa seolah tertutup selimut hitam tanpa bintang.Mereka berjalan melewati jalan setapak yang menuju ke area makam leluhur, hanya berbekal obor kecil yang cahayanya bergetar diterpa angin. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah itu sendiri menolak mereka untuk melanjutkan perjalanan."Jaga langkahmu, Reza," Ki Harjo berbisik lirih, hampir seperti gumaman. "Tempat ini sudah lama tidur. Jangan sampai kita membangunkan sesuatu yang lebih tua dari sekadar bangsa lelembut."Reza menelan ludah. Ia bisa merasakan tatapan-tatapan tak kasat mata mengawasinya dari balik semak, dari balik bayang-bayang pohon besar yang menjulang seperti raksasa di dalam kegelapan. Di kejauhan, samar, terdengar suara seperti batu-batu kecil yang bergulir...
Malam makin larut. Angin bertiup keras, membawa aroma tanah basah dan bau aneh seperti kayu lapuk yang membusuk. Reza dan Ki Harjo tiba kembali di rumah Bu Darmi dengan langkah terseok, membawa peti kayu hitam yang terasa lebih berat dari sebelumnya — seolah bukan hanya benda, tapi juga beban tak kasat mata.Bu Darmi sudah menunggu di teras, membawa dupa yang asapnya mengepul pelan ke atas, membentuk pusaran aneh di udara. Wajahnya serius, matanya menatap tajam pada peti di tangan Reza."Letakkan di tengah lingkaran garam," perintah Ki Harjo cepat.Reza mengikuti tanpa banyak bicara. Lingkaran garam dan bunga tujuh rupa sudah disiapkan di ruang tengah. Begitu peti diletakkan di sana, suasana seketika berubah — udara terasa lebih berat, suhu di dalam rumah turun drastis. Lampu minyak bergoyang-goyang padahal tidak ada angin.Ki Harjo duduk bersila, matanya terpejam. Ia mulai merapalkan mantra dalam bahasa Jawa Kuno yang terdengar seperti gemuruh dari dasar bumi. Suaranya berat, bergema
Malam itu, setelah suasana sedikit mereda, Ki Harjo mengajak Reza duduk bersila di ruang tengah. Dupa wangi terus mengepul, membentuk asap tipis yang mengambang di langit-langit rumah."Reza," Ki Harjo membuka percakapan dengan nada berat, "apa yang kau alami malam ini... baru permulaan."Reza menatapnya, masih dengan sisa ketakutan di mata. Tapi kini ada juga api kecil yang mulai berkobar dalam dirinya — semangat untuk memahami, untuk melawan kalau perlu."Aku akan mengajarkanmu dasar-dasar bertahan," lanjut Ki Harjo. "Bukan dengan kekuatan otot, tapi kekuatan hati dan pikiran."Bu Darmi datang membawa segenggam bunga kenanga dan segelas air putih dalam kendi tanah liat. Ia duduk di sebelah Reza, menatapnya dengan penuh harap dan doa."Yang harus kau ingat," kata Ki Harjo sambil mengambil bunga kenanga dan meremasnya perlahan, "bangsa lelembut itu tidak bisa menyentuh kita... kecuali kita membiarkan mereka masuk."Reza mengernyit. "Membiarkan masuk, gimana maksudnya, Ki?"Ki Harjo te
Sinar mentari pagi baru saja mengintip dari balik pegunungan jauh ketika Reza dan Ki Harjo melangkahkan kaki meninggalkan desa. Udara masih basah oleh embun, dan kabut tipis menggantung rendah, seolah-olah menahan langkah mereka untuk pergi.Bu Darmi berdiri di ambang pintu, menatap kepergian mereka dengan mata sendu yang diselimuti kecemasan. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah awal dari perubahan besar—bagi Reza, bagi desa, dan mungkin, bagi seluruh wilayah yang dihuni oleh bangsa lelembut.Dengan membawa bekal secukupnya, serta beberapa kain putih yang telah dirituali, Reza mengikuti Ki Harjo menembus hutan tua yang berada di luar batas desa. Hutan yang bahkan di siang bolong pun terasa gelap dan lembap. Burung-burung pun tampaknya enggan berkicau, seolah mengetahui bahwa hari ini ada sesuatu yang sedang bergerak di antara semak-semak tua itu.Sementara itu, di dalam desa, setelah Reza dan Ki Harjo pergi, sesuatu mulai berubah.Angin yang bertiup teras
Sejak kepergian Reza dan Ki Harjo, Desa Waringin Sepuh seolah kehilangan cahaya.Hari-hari berlalu dalam selimut ketakutan. Udara desa yang biasanya hangat berubah menjadi berat dan dingin, membuat bulu kuduk warga berdiri tanpa sebab.Bu Darmi, satu-satunya penjaga yang tersisa, berusaha sekuat tenaga mempertahankan ketenangan. Ia membakar dupa dan kemenyan setiap sore di empat penjuru desa, membacakan doa-doa kuno yang diajarkan nenek moyangnya.Namun, kekuatan Bu Darmi tidak cukup untuk menahan amarah yang sudah bangkit.Malam pertama setelah ritual penyucian Reza, seorang pemuda, Toni, ditemukan pingsan di tepi rawa. Tubuhnya penuh bekas cakaran aneh, seperti dicabik oleh cakar makhluk besar. Ketika ia siuman, Toni hanya bisa berteriak-teriak histeris, matanya kosong tanpa fokus."Mereka... mereka menari di atas air... mereka memanggilku...," gumam Toni sambil terisak.Warga yang ketakutan mulai mengunci diri di rumah masing-masing sebelum senja. Tidak ada yang berani keluar, bahk
Malam itu, awan menggantung rendah di atas langit desa. Angin berdesir pelan, membawa bau tanah basah yang entah kenapa terasa... asing. Di kejauhan, kabut tipis mulai merambat pelan dari arah bukit kecil di sebelah timur desa—bukit yang dulunya sering aku datangi waktu kecil, tapi sekarang... hanya didiamkan.Namaku Reza. Setelah sepuluh tahun merantau, aku kembali ke kampung halaman—Desa Warasari. Sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, rawa, dan kisah-kisah yang orang kota pasti anggap cuma tahayul. Tapi bagi kami yang tumbuh di sini, cerita itu bukan buat ditertawakan. Tapi dihindari. Dihormati.Malam pertama pulang, ibu sudah berpesan, “Jangan ke arah bukit itu, Le. Sekarang beda. Banyak yang hilang, banyak yang... gak balik.”Aku cuma mengangguk sambil senyum. Kupikir itu cuma kecemasan khas orang tua. Tapi malam itu, sesuatu membuatku tak bisa tidur. Seperti ada bisikan halus dari luar jendela kamar. Bukan suara orang. Bukan suara binatang. Tapi... suara seperti tanah yang me
Sejak kepergian Reza dan Ki Harjo, Desa Waringin Sepuh seolah kehilangan cahaya.Hari-hari berlalu dalam selimut ketakutan. Udara desa yang biasanya hangat berubah menjadi berat dan dingin, membuat bulu kuduk warga berdiri tanpa sebab.Bu Darmi, satu-satunya penjaga yang tersisa, berusaha sekuat tenaga mempertahankan ketenangan. Ia membakar dupa dan kemenyan setiap sore di empat penjuru desa, membacakan doa-doa kuno yang diajarkan nenek moyangnya.Namun, kekuatan Bu Darmi tidak cukup untuk menahan amarah yang sudah bangkit.Malam pertama setelah ritual penyucian Reza, seorang pemuda, Toni, ditemukan pingsan di tepi rawa. Tubuhnya penuh bekas cakaran aneh, seperti dicabik oleh cakar makhluk besar. Ketika ia siuman, Toni hanya bisa berteriak-teriak histeris, matanya kosong tanpa fokus."Mereka... mereka menari di atas air... mereka memanggilku...," gumam Toni sambil terisak.Warga yang ketakutan mulai mengunci diri di rumah masing-masing sebelum senja. Tidak ada yang berani keluar, bahk
Sinar mentari pagi baru saja mengintip dari balik pegunungan jauh ketika Reza dan Ki Harjo melangkahkan kaki meninggalkan desa. Udara masih basah oleh embun, dan kabut tipis menggantung rendah, seolah-olah menahan langkah mereka untuk pergi.Bu Darmi berdiri di ambang pintu, menatap kepergian mereka dengan mata sendu yang diselimuti kecemasan. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah awal dari perubahan besar—bagi Reza, bagi desa, dan mungkin, bagi seluruh wilayah yang dihuni oleh bangsa lelembut.Dengan membawa bekal secukupnya, serta beberapa kain putih yang telah dirituali, Reza mengikuti Ki Harjo menembus hutan tua yang berada di luar batas desa. Hutan yang bahkan di siang bolong pun terasa gelap dan lembap. Burung-burung pun tampaknya enggan berkicau, seolah mengetahui bahwa hari ini ada sesuatu yang sedang bergerak di antara semak-semak tua itu.Sementara itu, di dalam desa, setelah Reza dan Ki Harjo pergi, sesuatu mulai berubah.Angin yang bertiup teras
Malam itu, setelah suasana sedikit mereda, Ki Harjo mengajak Reza duduk bersila di ruang tengah. Dupa wangi terus mengepul, membentuk asap tipis yang mengambang di langit-langit rumah."Reza," Ki Harjo membuka percakapan dengan nada berat, "apa yang kau alami malam ini... baru permulaan."Reza menatapnya, masih dengan sisa ketakutan di mata. Tapi kini ada juga api kecil yang mulai berkobar dalam dirinya — semangat untuk memahami, untuk melawan kalau perlu."Aku akan mengajarkanmu dasar-dasar bertahan," lanjut Ki Harjo. "Bukan dengan kekuatan otot, tapi kekuatan hati dan pikiran."Bu Darmi datang membawa segenggam bunga kenanga dan segelas air putih dalam kendi tanah liat. Ia duduk di sebelah Reza, menatapnya dengan penuh harap dan doa."Yang harus kau ingat," kata Ki Harjo sambil mengambil bunga kenanga dan meremasnya perlahan, "bangsa lelembut itu tidak bisa menyentuh kita... kecuali kita membiarkan mereka masuk."Reza mengernyit. "Membiarkan masuk, gimana maksudnya, Ki?"Ki Harjo te
Malam makin larut. Angin bertiup keras, membawa aroma tanah basah dan bau aneh seperti kayu lapuk yang membusuk. Reza dan Ki Harjo tiba kembali di rumah Bu Darmi dengan langkah terseok, membawa peti kayu hitam yang terasa lebih berat dari sebelumnya — seolah bukan hanya benda, tapi juga beban tak kasat mata.Bu Darmi sudah menunggu di teras, membawa dupa yang asapnya mengepul pelan ke atas, membentuk pusaran aneh di udara. Wajahnya serius, matanya menatap tajam pada peti di tangan Reza."Letakkan di tengah lingkaran garam," perintah Ki Harjo cepat.Reza mengikuti tanpa banyak bicara. Lingkaran garam dan bunga tujuh rupa sudah disiapkan di ruang tengah. Begitu peti diletakkan di sana, suasana seketika berubah — udara terasa lebih berat, suhu di dalam rumah turun drastis. Lampu minyak bergoyang-goyang padahal tidak ada angin.Ki Harjo duduk bersila, matanya terpejam. Ia mulai merapalkan mantra dalam bahasa Jawa Kuno yang terdengar seperti gemuruh dari dasar bumi. Suaranya berat, bergema
Matahari baru saja tenggelam di balik bukit, menyisakan garis merah tipis di cakrawala saat Reza dan Ki Harjo bersiap berangkat. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk kulit seperti jarum-jarum halus yang tak kasat mata. Langit malam di atas desa seolah tertutup selimut hitam tanpa bintang.Mereka berjalan melewati jalan setapak yang menuju ke area makam leluhur, hanya berbekal obor kecil yang cahayanya bergetar diterpa angin. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah itu sendiri menolak mereka untuk melanjutkan perjalanan."Jaga langkahmu, Reza," Ki Harjo berbisik lirih, hampir seperti gumaman. "Tempat ini sudah lama tidur. Jangan sampai kita membangunkan sesuatu yang lebih tua dari sekadar bangsa lelembut."Reza menelan ludah. Ia bisa merasakan tatapan-tatapan tak kasat mata mengawasinya dari balik semak, dari balik bayang-bayang pohon besar yang menjulang seperti raksasa di dalam kegelapan. Di kejauhan, samar, terdengar suara seperti batu-batu kecil yang bergulir...
Malam itu, setelah meminum air dari kendi tanah liat pemberian Ki Harjo, Reza merasa tubuhnya mulai ringan, seolah pelan-pelan tercerabut dari dunia nyata. Ia masih duduk di ruang depan rumah Bu Darmi, namun pandangannya kabur, suara di sekelilingnya mulai menjauh, dan tubuhnya terasa berat seperti ditarik ke kedalaman yang gelap. Dalam sekejap, Reza berada di sebuah tempat asing. Hamparan kabut tebal menyelimuti tanah yang basah dan berbau anyir. Di kejauhan, tampak pepohonan tua menjulang bengkok, seperti tangan-tangan raksasa yang ingin meraih langit. Tak ada bulan, hanya langit kelam dengan bintang-bintang yang redup seperti nyawa yang sekarat. "Reza…" Suara parau memanggil namanya dari balik kabut. Reza berbalik, mencari sumber suara itu. Dari balik kabut, muncul sosok... bukan manusia. Ia tinggi, kurus, kulitnya pucat kebiruan, dan matanya kosong. Mulutnya tersenyum lebar, penuh gigi tajam. "Siapakah kau?!" teriak Reza, meski suaranya terdengar kecil. Sosok itu melangkah
Malam itu, hujan turun tak seperti biasanya. Air seakan tak hanya jatuh dari langit, tapi juga menyusup dari balik tanah. Langit hitam pekat, tak ada bintang, dan bulan pun tertutup awan gelap yang bergulung seperti naga tidur. Desa sepi, tapi udara terasa berat. Seolah-olah desa sedang menahan napas menunggu sesuatu yang tak kasatmata. Di tengah hutan bambu, tempat makam tua berada, tampak samar nyala api. Bukan api biasa. Warna merahnya terlalu pekat, menyala-nyala seperti darah yang membara. Api itu berdansa di udara, berputar, naik turun, seolah membentuk sesuatu. Lalu... terdengar suara. Pelan. Parau. Berdesis seperti lidah yang terbakar. “Segel... telah dibuka... Waktu... telah hampir tiba...” Di dalam rumah Bu Darmi, Reza terbangun dari tidurnya dengan napas terengah. Dadanya sesak, dan matanya terasa perih. Ia melihat ke sekeliling—tak ada apa-apa. Tapi ia tahu, malam ini berbeda. Sesuatu bergerak di luar. Ki Harjo sudah duduk di ruang depan, mata tuanya menatap lampu miny
Subuh belum menampakkan cahaya, langit masih pekat diselimuti kabut kelabu. Namun rumah Bu Darmi sudah ramai. Suara kidung Jawa lirih terdengar dari ruang belakang, tempat Ki Harjo dan Reza bersiap menuju lokasi segel terakhir. Kali ini, perjalanan mereka tak bisa sembarangan. Bu Darmi menyiapkan bekal berupa kemenyan, bunga telon, minyak kelapa campur kembang kantil, serta seikat tali janur yang sudah dibacakan mantra pelindung. “Kali ini kau akan berjalan di antara dua dunia, Za. Dunia kita dan dunia mereka. Tapi ada satu hal yang harus kau tahu... segel ketiga ini tak hanya dikunci oleh bangsa lelembut. Ia dikunci oleh darah.” Reza menatap wajah Bu Darmi dengan ragu. “Darah siapa, Bu?” “Darahmu.” Langkah mereka menembus kabut pagi, menyusuri jalan setapak yang menuju sebuah bukit kecil di timur desa. Dulu bukit ini dianggap tempat biasa, tempat warga mencari kayu atau sekadar berteduh. Tapi sejak tragedi tanah larangan terjadi, tak ada satu pun warga yang berani mendekat. Tiga
Langit menggantung kelabu, nyaris tanpa cahaya. Kabut dari rawa makin merangsek masuk ke desa, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Malam itu, udara terasa berat, dan keheningan yang menggantung bukan keheningan biasa—seolah alam menahan napas menanti sesuatu yang mengerikan akan datang.Reza duduk bersila di depan api kecil yang menyala redup. Wajahnya murung. Di belakangnya, Ki Harjo tengah membuat lingkar pelindung dari abu dupa dan bunga tujuh rupa, mengitari tubuh Reza dengan mantra-mantra pelindung. Bu Darmi menyiapkan ramuan dari akar-akaran dan air dari sumber mata air tua, yang katanya bisa menguatkan jiwa dalam menghadapi gangguan astral.“Segel kedua... dijaga oleh penjaga yang tak lagi berbentuk manusia,” ucap Ki Harjo pelan.Reza menoleh, bulu kuduknya berdiri.“Penjaga segel itu... dulunya manusia?” tanyanya.“Ya. Ia dulunya penjaga pertama tanah larangan. Karena melanggar sumpah, dia dihukum menjadi penunggu segel. Abadi, tanpa wujud pasti, hanya bisa dilihat oleh o