หน้าหลัก / Horor / Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun / Bab 1: Pulang ke Kampung yang Tak Sama Lagi Oleh Kelaras Ijo (±1.600 kata – horor atmosferik, merayap, dan menyesakkan)

แชร์

Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun
Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun
ผู้แต่ง: Kelaras ijo

Bab 1: Pulang ke Kampung yang Tak Sama Lagi Oleh Kelaras Ijo (±1.600 kata – horor atmosferik, merayap, dan menyesakkan)

ผู้เขียน: Kelaras ijo
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-04-11 09:34:46

Malam itu, awan menggantung rendah di atas langit desa. Angin berdesir pelan, membawa bau tanah basah yang entah kenapa terasa... asing. Di kejauhan, kabut tipis mulai merambat pelan dari arah bukit kecil di sebelah timur desa—bukit yang dulunya sering aku datangi waktu kecil, tapi sekarang... hanya didiamkan.

Namaku Reza. Setelah sepuluh tahun merantau, aku kembali ke kampung halaman—Desa Warasari. Sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, rawa, dan kisah-kisah yang orang kota pasti anggap cuma tahayul. Tapi bagi kami yang tumbuh di sini, cerita itu bukan buat ditertawakan. Tapi dihindari. Dihormati.

Malam pertama pulang, ibu sudah berpesan, “Jangan ke arah bukit itu, Le. Sekarang beda. Banyak yang hilang, banyak yang... gak balik.”

Aku cuma mengangguk sambil senyum. Kupikir itu cuma kecemasan khas orang tua. Tapi malam itu, sesuatu membuatku tak bisa tidur. Seperti ada bisikan halus dari luar jendela kamar. Bukan suara orang. Bukan suara binatang. Tapi... suara seperti tanah yang mengerang.

Aku bangun. Kutatap jendela yang mengembun. Kabut sudah sampai halaman. Dan entah kenapa... aku merasa dipanggil.

---

Esok harinya, aku bertemu Pak Tarmo, tetua kampung yang sudah seperti kakek sendiri. Tubuhnya kurus, wajahnya keriput, tapi matanya tajam seperti dulu.

“Kamu masih inget daerah ‘Kana Endas’?” tanyanya tiba-tiba saat kami duduk di beranda. Kana Endas... ya, begitu warga menyebut tempat wingit itu. Secara harfiah artinya ‘kepala tertinggal’—entah kenapa dinamai begitu, tapi semua orang paham satu hal: itu tempat larangan.

“Masih, Pak. Bukit kecil dekat rawa, yang ada dua beringin besar?”

“Betul. Sekarang gak ada yang berani deketin. Banyak kejadian, Za. Anak muda nyari jangkrik—besoknya mati. Orang mancing, pulangnya ngigo terus. Bahkan, ada yang cuma duduk di situ sambil makan rujak—besok paginya lidahnya biru, gak bisa ngomong, terus... hilang.”

Aku menelan ludah. Angin siang itu tiba-tiba berbau amis.

“Kamu jangan penasaran, Za. Di situ ada... urip liyane. Kampung yang gak bisa kamu lihat, tapi mereka bisa lihat kamu. Kalau kamu ngambil sesuatu dari sana—bahkan daun—itu sama aja kayak nyolong dari meja makan mereka.”

Aku mengangguk, pura-pura tenang. Tapi hatiku mulai gelisah.

---

Dua hari kemudian, rasa penasaran mengalahkan akal sehatku.

Menjelang maghrib, aku berjalan ke arah bukit kecil itu. Jalannya sudah berubah, rumput liar tinggi menjulang, dan pohon-pohon seperti membentuk lorong gelap. Semakin dekat ke area beringin, udara terasa lebih dingin, dan... hening. Tak ada jangkrik, tak ada burung. Hanya sunyi yang pekat, seperti ditutup selimut kematian.

Aku berhenti di depan dua pohon beringin raksasa yang tumbuh berdampingan. Di antara mereka, ada bekas fondasi bangunan—konon dulu itu bedeng peninggalan Belanda. Sekarang hanya reruntuhan samar, diselimuti lumut dan akar liar.

Dan di dekatnya... sumur tua.

Sumur itu hitam. Gelap. Bau besi dan tanah basah menyeruak dari mulutnya. Sekilas, aku merasa melihat sesuatu bergerak di dalamnya. Tapi saat kutatap lebih lama, hanya kegelapan.

Lalu, dari arah rawa, terdengar plung... plong... plong...

Suara ikan meloncat dari air.

Aku menoleh. Benar saja—permukaan rawa meluap sedikit, dan banyak ikan kecil naik ke darat, menari-nari di lumpur.

“Aneh... biasanya malam baru naik,” gumamku.

Aku menunduk. Salah satu ikan tergeletak di kakiku—warnanya perak kehijauan, besar, menggeliat lemah.

Tanpa sadar, aku memungutnya.

Baru satu.

Lalu dua.

Lalu lima.

Tapi begitu aku hendak mengambil yang keenam... suara keras bergema dari balik beringin.

“Cukup.”

Aku membeku. Tangan yang hendak mengambil ikan keenam terasa berat, seperti ditekan oleh tangan tak kasat mata.

Aku menoleh ke kanan—tak ada siapa-siapa.

Ke kiri—kosong.

Tapi dari balik sumur, keluar asap tipis kehitaman yang melingkar seperti kabut, merambat pelan ke arahku.

“Cukup,” suara itu datang lagi. Pelan. Tapi menggema, seperti berasal dari bawah tanah.

Aku menjatuhkan ikan di tangan, dan berlari.

Tapi lorong pohon yang tadi kulewati kini... tak sama lagi.

Jalan seperti berubah. Dahan beringin melengkung membentuk lengkungan tinggi, seperti gerbang... tapi bukan gerbang manusia.

Di belakangku, suara langkah kaki. Tapi bukan kaki manusia. Lebih seperti... seretan basah.

Dan bisikan. Banyak. Dari segala arah.

“Ngambek...

Ngambil...

Ngilang...

Bayar...

Bayar...”

Aku menjerit dan berlari sekencangnya. Napasku putus-putus, tapi suara itu mengikuti terus. Baru saat kutabrak pagar bambu kebun belakang rumah seseorang, aku sadar aku telah kembali ke perkampungan.

Aku menoleh.

Kabut itu masih di sana. Tapi tak melangkah keluar dari batas.

Dia hanya... menunggu.

---

Malam itu aku demam tinggi. Tubuhku panas dingin. Dan yang paling aneh—ikan-ikan yang tadi sempat kuambil muncul di depan pintu rumah, tersusun rapi.

Ibu menangis.

“Siapa suruh kamu ke sana...?! Kamu sudah narik perhatian mereka...”

---

Esok paginya, aku memutuskan untuk meninggalkan desa lagi. Tapi sebelum pergi, Pak Tarmo memberiku satu benda—seikat rambut putih panjang, katanya milik penjaga tanah. Harus dikubur di depan pintu rumah, sebagai tanda permintaan maaf.

“Kalau kamu masih bisa bermimpi malam ini, berarti mereka belum menjemput. Tapi kalau malam nanti kamu cuma lihat bayangan dan kabut... artinya kamu sudah ada di separuh dunia mereka.”

Aku menatap sumur tua dari kejauhan saat mobil meninggalkan desa.

Kabut belum hilang.

Dan di kaca belakang... aku lihat sosok berdiri di antara dua beringin, menatapku dengan wajah yang... sama seperti aku.

---

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bab 2: Mereka yang Tak Terlihat

    Malam ketiga setelah kejadian di bukit itu, aku tidak benar-benar tidur. Tubuhku lelah, demamku turun naik, tapi mata ini enggan terpejam. Ada sesuatu yang mengendap di udara. Seperti... seseorang—atau sesuatu—mengintipku dari balik gelap.Aku memejamkan mata. Tapi justru di situlah semuanya dimulai.Dalam mimpi, aku berdiri di tengah kabut. Kabutnya tebal, nyaris seperti kapas busuk, dan berbau amis. Di sekelilingku hanya suara-suara—bukan suara manusia. Mereka bergumam dalam bahasa yang tidak kumengerti, tapi entah bagaimana aku tahu, mereka membicarakanku.Di depan, sosok-sosok samar mulai bermunculan. Bayangan-bayangan tinggi, kurus, kepala mereka terlalu panjang, wajahnya ditutupi rambut, dan kakinya... melayang. Mereka tidak berjalan. Mereka mengambang—bergerak perlahan seperti asap.Salah satu dari mereka menunjukku.Lalu semuanya memekik dalam satu suara.“Balikke...! Ojo lali...!”(Kembalikan...! Jangan lupa...!)Aku terbangun dengan tubuh menggigil dan nafas memburu.Di luar

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-11
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bab 3: Pintu yang Terbuka Sendiri

    Sejak malam itu, setiap aku memejamkan mata, aku tak lagi bermimpi—aku dibawa. Seolah ada tali tak kasat mata yang menarikku ke dunia mereka, ke kampung gelap yang sunyi, lembap, dan dingin.Kampung itu tidak berubah. Rumah-rumah berjajar dengan bentuk aneh, atap-atap dari rambut hitam, dinding dari anyaman daun kering yang seperti bernafas. Di tengah kampung, ada sumur—mirip dengan yang di desa, tapi lebih dalam, dengan uap panas mengepul dari dalamnya.Di sana, anak-anak kecil berlarian. Tapi wajah mereka tidak wajar—sebagian tanpa mata, sebagian tersenyum dengan mulut robek hingga ke telinga. Dan di balik rumah-rumah itu, makhluk-makhluk tinggi, kurus, wajahnya tidak pernah terlihat, hanya mengamati.Mereka tidak mendekat. Tidak juga bicara. Tapi aku tahu... mereka menunggu sesuatu. Menunggu aku melakukan kesalahan.Dan malam itu, aku melangkah lebih jauh dari biasanya.---Aku mengikuti suara tangisan itu—suara si perempuan dari malam-malam sebelumnya. Tangisnya lirih, seperti ana

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-11
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun    Masuk ke Cermin

    Langit malam itu aneh—seperti luka hitam yang menganga. Bintang-bintang seolah padam, digantikan kerlip merah kecil yang menari di kejauhan. Udara panas, tapi dingin menyusup dari tanah. Desa terasa sunyi, terlalu sunyi. Seperti semua suara disedot oleh sesuatu yang tak terlihat. Aku berdiri di halaman belakang rumah, di mana Bu Darmi sudah menyiapkan lingkaran dari abu dan jerami kering. “Sekali kamu masuk, kamu harus tahu jalan keluar,” katanya pelan. “Kalau enggak, kamu akan tetap di sana, selamanya.” Di hadapanku berdiri sebuah cermin besar, tua, usang, dan penuh bercak hitam. Itu cermin yang dulu disimpan di bedeng tua—salah satu benda terakhir dari zaman Belanda yang masih tersisa. Ditemukan kembali oleh warga dan diam-diam disimpan oleh Bu Darmi. “Kenapa harus lewat cermin?” tanyaku. “Karena dari sinilah mereka dulu keluar,” jawabnya, menaburkan garam di sekitar lingkaran. “Dan dari sinilah kamu bisa masuk. Tapi ingat, hanya bisa lewat satu kali. Kalau kamu gagal narik di

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-12
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kutukan yang Bangkit

    Sudah tiga hari sejak Reza kembali dari tempat itu—dari dunia di balik cermin yang tak semestinya dijamah manusia. Tubuhnya masih terasa lemas, tapi pikirannya jauh lebih berat. Ia terus teringat sosok makhluk bersisik itu... dan suara-suara yang masih terngiang meski ia sudah terbangun.Namun yang paling mengganggunya adalah desa. Segalanya tidak lagi sama.Burung-burung tak berkicau di pagi hari. Embun yang biasanya menyejukkan kini terasa berat, seperti air dari sumur yang tak pernah disentuh cahaya. Anak-anak berhenti bermain di dekat rawa. Bahkan para tetua, yang biasa duduk di gardu sambil mengunyah sirih, kini hanya berdiam diri, menatap kosong ke arah bukit kecil tempat pohon beringin kembar itu tumbuh.Dan malam pertama setelah ritual...Langit desa berubah menjadi merah darah.---“Za, kamu harus datang ke rumahku,” suara Bu Darmi gemetar di ujung telepon.Reza melangkah cepat ke rumah wanita tua itu. Begitu tiba, ia mencium bau amis yang sangat kuat—seperti darah busuk berc

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-12
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Malam Para Penjemput

    Malam itu, langit desa seperti terbelah. Awan hitam menggulung tebal, menutup bulan sepenuhnya. Tak ada cahaya. Hanya suara malam yang aneh—sunyi, namun menyimpan sesuatu yang mengintai.Reza berdiri di teras rumahnya, menatap ke arah bukit. Angin malam menyapu dedaunan, namun tak ada suara jangkrik, tak ada burung hantu. Bahkan suara kodok pun tak terdengar.Lalu terdengar... bunyi kendang.Pelan. Tapi ritmenya seperti denyut nadi.Dug... dug... dug... dug...Dari arah rawa.---Sementara itu, di rumah Pak Saman—seorang tetua kampung yang dikenal religius dan punya “mata batin”—istri dan anak-anaknya sedang tertidur. Tapi saat tengah malam, Pak Saman mendengar suara pintu terbuka sendiri.Ia bangun, melangkah pelan menuju ruang depan.Dan di sana... berdiri sesosok perempuan.Rambutnya panjang menyapu lantai. Bajunya lusuh, penuh tanah basah dan lumut rawa. Wajahnya... tidak terlihat. Hanya rambut dan bayangan hitam seperti kabut.“Maaf, Nduk... ini rumah siapa?” tanya Pak Saman deng

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-12
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bukan Reza

    Pagi itu, langit di atas desa tampak tenang. Matahari bersinar hangat, burung berkicau riang, dan udara terasa bersih. Warga yang kemarin histeris dan kalut kini seperti terbangun dari tidur panjang. Mereka tak sepenuhnya ingat apa yang terjadi. Namun ada satu hal yang semua orang tahu dengan pasti: Reza menghilang. Pak Sastro, kepala desa, menemukan kendi tua di tepi rawa. Ia mengangkatnya pelan, lalu membawanya ke balai desa. Anehnya, kendi itu dingin... tapi berembun, seolah menyimpan hawa dari dunia lain. Tak lama, warga mulai berkumpul. Mereka saling bertanya. Semua tampak tenang, tapi... ketenangan itu terasa palsu. --- Tiga hari kemudian, seseorang terlihat berjalan dari arah bukit. Tubuhnya penuh lumpur kering, pakaian sobek, dan langkahnya gontai. Warga langsung mengenalinya. Itu Reza. Tapi ada yang aneh. Matanya kosong. Tak ada senyum, tak ada emosi. Ia hanya menatap orang-orang di sekitarnya dengan wajah datar. Bu Siti, tetangga dekatnya, menyambut dengan haru. Tapi

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-12
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tumbal

    Dini hari itu, setelah upacara penutupan sumur dan rawa, semua warga berharap ketenangan akan kembali. Tapi mereka salah.Keesokan paginya, tubuh Pak Sastro ditemukan di bawah pohon beringin. Mata terbuka menatap kosong ke langit, mulutnya ternganga seolah ingin berteriak, dan seluruh tubuhnya tertutup lumpur hitam. Jari-jarinya menggenggam tanah, seperti berusaha mencakar keluar dari neraka.Tak ada tanda-tanda kekerasan. Tapi wajahnya... seperti melihat sesuatu yang tak sanggup ditanggung oleh manusia.---Bu Darmi pingsan saat mendengar kabar itu. Setelah siuman, ia hanya bisa berkata lirih:> "Sudah dimulai... Mereka menagih tumbal..."---Warga yang dulu skeptis kini mulai percaya. Mereka sadar bahwa ritual itu bukan mengusir, tapi hanya menunda.Dan harga penundaan itu... adalah nyawa.---Desa mendadak sunyi. Aktivitas berhenti. Anak-anak dilarang keluar. Beberapa keluarga memilih pindah sementara ke kampung sebelah.Namun malam itu... suara lonceng kecil terdengar dari arah ra

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-14
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Empat Lagi

    Angin malam itu membawa bau anyir. Bukan seperti bau bangkai biasa, tapi lebih seperti darah yang sudah lama mengering—tercampur tanah basah dan aroma daun-daun busuk.Seluruh desa sepi. Rumah-rumah tertutup rapat. Tirai-tirai digantung tinggi, tak ada satu jendela pun yang terbuka.Anak-anak dilarang keluar. Bahkan ayam pun tak lagi berkokok.Namun suara lain justru semakin sering terdengar...Tuk... tuk... tuk...Seperti ketukan pelan di dinding, jendela, dan pintu—berulang-ulang tiap tengah malam. Tapi saat dibuka, tak ada siapa pun di luar. Hanya bekas jejak lumpur yang menetes, membentuk pola aneh seperti simbol kuno yang tak dikenal.---Di rumah Bu Marni, ketukan itu tak berhenti selama tiga malam berturut-turut. Dan di malam keempat, anak gadisnya, Tika, ditemukan berjalan sendirian menuju arah pohon beringin.Matanya kosong. Bibirnya berkomat-kamit seperti mengucapkan mantra yang tak dimengerti.Saat warga mencoba menahannya, tubuh Tika seperti terangkat sendiri. Melayang beb

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-14

บทล่าสุด

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Api di Tengah Bambu

    Malam itu, hujan turun tak seperti biasanya. Air seakan tak hanya jatuh dari langit, tapi juga menyusup dari balik tanah. Langit hitam pekat, tak ada bintang, dan bulan pun tertutup awan gelap yang bergulung seperti naga tidur. Desa sepi, tapi udara terasa berat. Seolah-olah desa sedang menahan napas menunggu sesuatu yang tak kasatmata. Di tengah hutan bambu, tempat makam tua berada, tampak samar nyala api. Bukan api biasa. Warna merahnya terlalu pekat, menyala-nyala seperti darah yang membara. Api itu berdansa di udara, berputar, naik turun, seolah membentuk sesuatu. Lalu... terdengar suara. Pelan. Parau. Berdesis seperti lidah yang terbakar. “Segel... telah dibuka... Waktu... telah hampir tiba...” Di dalam rumah Bu Darmi, Reza terbangun dari tidurnya dengan napas terengah. Dadanya sesak, dan matanya terasa perih. Ia melihat ke sekeliling—tak ada apa-apa. Tapi ia tahu, malam ini berbeda. Sesuatu bergerak di luar. Ki Harjo sudah duduk di ruang depan, mata tuanya menatap lampu miny

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Segel Terakhir, Gerbang Terbuka

    Subuh belum menampakkan cahaya, langit masih pekat diselimuti kabut kelabu. Namun rumah Bu Darmi sudah ramai. Suara kidung Jawa lirih terdengar dari ruang belakang, tempat Ki Harjo dan Reza bersiap menuju lokasi segel terakhir. Kali ini, perjalanan mereka tak bisa sembarangan. Bu Darmi menyiapkan bekal berupa kemenyan, bunga telon, minyak kelapa campur kembang kantil, serta seikat tali janur yang sudah dibacakan mantra pelindung. “Kali ini kau akan berjalan di antara dua dunia, Za. Dunia kita dan dunia mereka. Tapi ada satu hal yang harus kau tahu... segel ketiga ini tak hanya dikunci oleh bangsa lelembut. Ia dikunci oleh darah.” Reza menatap wajah Bu Darmi dengan ragu. “Darah siapa, Bu?” “Darahmu.” Langkah mereka menembus kabut pagi, menyusuri jalan setapak yang menuju sebuah bukit kecil di timur desa. Dulu bukit ini dianggap tempat biasa, tempat warga mencari kayu atau sekadar berteduh. Tapi sejak tragedi tanah larangan terjadi, tak ada satu pun warga yang berani mendekat. Tiga

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Darah Penjaga Segel

    Langit menggantung kelabu, nyaris tanpa cahaya. Kabut dari rawa makin merangsek masuk ke desa, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Malam itu, udara terasa berat, dan keheningan yang menggantung bukan keheningan biasa—seolah alam menahan napas menanti sesuatu yang mengerikan akan datang.Reza duduk bersila di depan api kecil yang menyala redup. Wajahnya murung. Di belakangnya, Ki Harjo tengah membuat lingkar pelindung dari abu dupa dan bunga tujuh rupa, mengitari tubuh Reza dengan mantra-mantra pelindung. Bu Darmi menyiapkan ramuan dari akar-akaran dan air dari sumber mata air tua, yang katanya bisa menguatkan jiwa dalam menghadapi gangguan astral.“Segel kedua... dijaga oleh penjaga yang tak lagi berbentuk manusia,” ucap Ki Harjo pelan.Reza menoleh, bulu kuduknya berdiri.“Penjaga segel itu... dulunya manusia?” tanyanya.“Ya. Ia dulunya penjaga pertama tanah larangan. Karena melanggar sumpah, dia dihukum menjadi penunggu segel. Abadi, tanpa wujud pasti, hanya bisa dilihat oleh o

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tawa dari Balik Kabut

    Udara pagi itu terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis yang menyelimuti desa seolah menyimpan sesuatu yang belum terungkap. Di balik embun yang menempel di dedaunan dan aroma tanah basah yang menusuk hidung, Reza memandangi sebuah jalur setapak yang jarang dilewati. Di sanalah, konon, segel kedua tersembunyi.Ki Harjo sudah menyiapkan segala sesuatu sejak subuh. Bunga tujuh rupa, dupa, air dari tujuh mata air, dan kain mori yang sebelumnya digunakan untuk membungkus sesaji. Reza, yang kini tampak lebih tenang namun matanya menyiratkan ketegangan, berdiri di samping Bu Darmi yang terus menerus merapal doa.“Perjalanan kali ini tidak seperti yang pertama,” ucap Ki Harjo, sembari menyalakan dupa. “Segel kedua dijaga oleh sesuatu yang tidak bisa kita lawan dengan senjata atau mantra.”Reza menelan ludahnya. “Lalu, dengan apa kita menghadapinya, Ki?”“Keberanian... dan hati yang bersih,” jawab Ki Harjo singkat.Mereka menyusuri jalur setapak yang semakin lama terasa sunyi dan m

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tawa dari Balik Kabut

    Pagi itu, udara desa terasa berat. Kabut turun lebih tebal dari biasanya, menyelimuti setiap sudut jalan, ladang, dan pepohonan. Matahari bahkan tampak enggan menampakkan diri. Ki Harjo, Reza, dan Bu Darmi berdiri di depan gerbang kecil menuju makam leluhur yang terletak di tengah hutan keramat. Tak banyak bicara, hanya saling tatap penuh makna. Reza menggenggam erat buntelan kain berisi bunga tujuh rupa dan dupa, sementara Ki Harjo membawa kendi air dan tongkat kayunya. "Kau sudah siap, Le?" tanya Ki Harjo pelan, namun tegas. Reza mengangguk. "Saya siap, Ki." Perjalanan menuju makam tak jauh, namun suasananya berbeda. Angin tak bergerak, tapi dedaunan gemeretak. Suara burung pun lenyap—digantikan bisikan-bisikan lirih dari arah hutan. Saat mereka tiba di pemakaman tua, Reza langsung mengenali nisan kakek buyutnya. Nisan itu berbeda—besar, terbuat dari batu andesit, dan dililit akar pohon beringin kecil. Kabut seakan memusat pada titik itu. Ki Harjo menancapkan tongkatnya ke tana

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Perjalanan ke Segel Pertama

    Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Embun di pucuk daun masih belum sempat menguap, saat Ki Harjo sudah berdiri di depan rumah Bu Darmi dengan kain lurik dan ikat kepala hitam. Di tangannya tergenggam tongkat kayu cendana yang sudah terlihat tua, tapi memancarkan aura aneh. Reza keluar dari rumah dengan ransel kecil di punggung, wajahnya tegang tapi tekadnya sudah bulat.“Kita mulai hari ini,” kata Ki Harjo tanpa basa-basi. “Segel pertama terletak di tengah-tengah hutan sebelah timur, di sebuah petilasan tua yang ditutupi akar beringin.”Reza mengangguk. “Apa yang akan kita lakukan di sana?”“Membuka kembali segel yang sudah mengendur. Tapi untuk melakukannya, kita harus melalui ujian. Bukan dari bangsa lelembut… tapi dari tempat itu sendiri.”Perjalanan dimulai. Mereka melewati jalan setapak yang biasa dilalui para petani—tapi semakin jauh ke dalam, semak-semak mulai merapat, pepohonan makin gelap, dan hawa menjadi lembab serta mencekam. Bahkan suara burung pun tak terd

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tanda-Tanda dari Dunia Lain

    Sepekan setelah kunjungan ke makam leluhur Reza, suasana di desa mulai terasa berubah. Langit sering mendung tanpa hujan, kabut turun lebih awal dari biasanya, dan malam terasa lebih panjang dari yang semestinya.Ki Harjo dan Bu Darmi mulai mencium gelagat tidak biasa. Binatang peliharaan mendadak sakit, ayam-ayam bertelur dengan warna darah, dan suara gamelan samar sering terdengar dari arah rawa saat tengah malam.Namun gangguan nyata baru benar-benar terasa saat Pak Sarto, seorang petani yang tiap pagi mencari rumput di ujung barat desa, tak kunjung pulang. Istrinya, Bu Sari, melapor ke balai desa dengan wajah panik. Pencarian dilakukan keesokan harinya. Hasilnya? Nol besar. Yang mereka temukan hanyalah cap kaki yang berhenti tiba-tiba di tengah rerumputan basah, seperti orang itu hilang begitu saja dari dunia nyata.“Ini bukan hilang biasa, Ki…” ujar Bu Darmi pelan sambil menatap Ki Harjo.Ki Harjo mengangguk. “Tirai mereka mulai terbuka…”Beberapa hari kemudian, seorang warga ber

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Ketika Mereka Muncul

    Malam itu, desa seperti dibungkus hawa dingin yang tak biasa. Kabut turun lebih pekat dari biasanya, dan bulan tak tampak meski langit tak berawan. Hening, terlalu hening—seolah seluruh alam menahan napas. Bahkan jangkrik pun enggan bersuara.Dan tepat saat jam menunjukkan pukul dua dini hari, dentuman samar terdengar dari arah rawa.Keesokan harinya, kabar duka mengguncang warga. Pak Samin, pria paruh baya yang terbiasa mencari rumput untuk kambingnya, tidak pulang sejak sore kemarin. Istrinya panik dan melapor ke perangkat desa. Warga pun mengadakan pencarian.Mereka menemukan sabit Pak Samin tergeletak di pinggir rawa, namun tubuhnya tak ditemukan. Anehnya, di sekeliling sabit itu, tanah seperti terbakar… dan jejak rumput menghitam membentuk lingkaran sempurna. Salah satu warga bahkan sempat melihat bekas seretan besar menuju dalam rawa, tapi tak ada bekas kaki manusia.“Kayak ditarik sesuatu yang besar…” gumam warga dengan wajah pucat.Belum habis duka itu, kabar lain menyusul. Se

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Warisan yang Terbangun

    Angin sore di kaki bukit mulai berhembus aneh. Udara terasa lebih dingin, seperti ada sesuatu yang ikut pulang bersama Reza dan Ki Harjo. Meski langit masih cerah, perasaan tak nyaman menyelimuti sepanjang perjalanan turun dari makam leluhur. Reza menggenggam cincin hitam itu erat, sementara kain merah tua disimpan dalam buntalan kecil di tas kanvas lusuh. Tapi entah kenapa, sejak cincin itu masuk ke tangannya… ia merasa seperti dilihat oleh sesuatu dari balik bayang-bayang hutan. “Ki… ada yang ngikutin kita, ya?” tanya Reza pelan, tanpa menoleh ke belakang. Ki Harjo tidak menjawab. Ia hanya meludah ke tanah dan mencubit daun kemuning dari kantong bajunya, lalu mengusapkannya ke tengkuk Reza. “Jangan lihat ke belakang. Jangan ucapkan apapun lagi sebelum sampai rumah Bu Darmi.” Langkah mereka semakin cepat. Tapi suasana sekitar seakan berubah. Bayangan pohon memanjang tak wajar, bunyi daun kering seperti diinjak sesuatu yang tak terlihat, dan udara menjadi pengap… seolah mereka te

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status