Share

Kutukan yang Bangkit

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-04-12 15:31:23

Sudah tiga hari sejak Reza kembali dari tempat itu—dari dunia di balik cermin yang tak semestinya dijamah manusia. Tubuhnya masih terasa lemas, tapi pikirannya jauh lebih berat. Ia terus teringat sosok makhluk bersisik itu... dan suara-suara yang masih terngiang meski ia sudah terbangun.

Namun yang paling mengganggunya adalah desa. Segalanya tidak lagi sama.

Burung-burung tak berkicau di pagi hari. Embun yang biasanya menyejukkan kini terasa berat, seperti air dari sumur yang tak pernah disentuh cahaya. Anak-anak berhenti bermain di dekat rawa. Bahkan para tetua, yang biasa duduk di gardu sambil mengunyah sirih, kini hanya berdiam diri, menatap kosong ke arah bukit kecil tempat pohon beringin kembar itu tumbuh.

Dan malam pertama setelah ritual...

Langit desa berubah menjadi merah darah.

---

“Za, kamu harus datang ke rumahku,” suara Bu Darmi gemetar di ujung telepon.

Reza melangkah cepat ke rumah wanita tua itu. Begitu tiba, ia mencium bau amis yang sangat kuat—seperti darah busuk bercampur lumpur rawa.

“Lihat ini,” kata Bu Darmi sambil menunjuk dinding belakang rumahnya.

Ada cakar hitam tercetak di tembok. Lima jari panjang, dengan bekas luka seperti dibakar.

“Ini bukan dari manusia. Bukan juga dari binatang,” bisik Bu Darmi.

“Lelembut... marah,” lanjutnya. “Kamu ambil satu dari mereka. Dan sekarang mereka mau ganti tumbal.”

Reza menatap tangan tuanya yang gemetar.

“Warga gak tahu apa-apa. Tapi mulai semalam, Pak Roji—tukang tambal ban—ditemukan meninggal di pinggir sawah. Tubuhnya kering, seperti diisap sesuatu.”

Dan keesokan paginya, mayat anak kecil ditemukan mengambang di rawa. Matanya terbuka lebar. Tapi yang paling menyeramkan—tubuhnya penuh lumpur, dan di bibirnya tumbuh jamur putih kecil. Tidak lazim. Terlalu aneh untuk ukuran kematian wajar.

---

Desa mulai panik.

Rumor menyebar: bahwa tanah itu kembali haus darah.

“Kayak dulu... waktu zaman simbah-simbah,” bisik beberapa warga. “Dulu banyak yang hilang tanpa jejak. Sekarang mulai lagi.”

Lalu... kejadian malam ketiga menghantam semuanya.

---

Salah satu keluarga dukun lokal ditemukan tak bernyawa.

Bukan karena luka. Tapi karena semua tubuh mereka tertutup sisik—persis seperti makhluk dari balik sumur itu. Rumahnya hancur seperti dilempar badai dari dalam. Di dinding, tergores tulisan yang seolah ditulis pakai kuku:

"KEMBALIKAN YANG TELAH DIAMBIL."

---

Reza tidak bisa lagi tinggal diam.

Ia kembali menemui Bu Darmi, dan untuk pertama kalinya, wanita itu membukakan buku tua—kitab kuno berbahasa Jawa Kuno dan Belanda. Di dalamnya tertulis sejarah kelam tanah mereka.

Ternyata, bedeng Belanda yang dulu berdiri di dekat rawa bukanlah bangunan biasa.

Ia dibangun di atas makam kuno—tanah persembahan untuk bangsa lelembut. Orang Belanda yang pertama tinggal di situ menggunakan sumur tua itu sebagai media komunikasi untuk “menguasai wilayah”.

“Mereka bikin perjanjian. Minta kekayaan, hasil panen, bahkan keselamatan. Tapi dibayar dengan nyawa. Tiap bulan, satu tumbal,” jelas Bu Darmi dengan suara gemetar.

“Lalu bedeng itu runtuh... bukan karena usia. Tapi karena mereka yang di dalam tanah marah.”

Dan yang lebih buruk: perjanjian belum selesai.

Setiap kali seseorang mencoba mengganggu keseimbangan—masuk ke wilayah mereka, menyentuh sumur, memanggil nama mereka tanpa izin—kutukan akan bangkit kembali.

---

Dan Reza... sudah melanggar semuanya.

Malam itu, hujan turun deras.

Petir menyambar tanpa henti. Langit seperti berteriak.

Reza berdiam di rumah, tapi seluruh jendela bergetar. Dari kaca, ia bisa melihat... bayangan seseorang berdiri di halaman. Tubuh tinggi, rambut panjang basah kuyup. Tapi wajahnya tertutup kain putih.

Saat Reza membuka pintu—

tidak ada siapa-siapa.

Namun dari tanah, muncul jejak kaki hitam menuju dalam rumah.

Pintu belakang terbuka pelan... dan suara gamelan mulai terdengar samar-samar, seolah dari bawah lantai rumah.

"Ilir... ilir... tandure wus sumilir..."

Reza menutup telinganya. Tapi suara itu tetap terdengar—bukan dari luar, tapi dari dalam kepala.

---

Pagi harinya, satu keluarga lagi hilang.

Hanya tersisa bayi mereka—menangis tanpa suara di dalam ayunan. Dan di dahinya... tercetak tanda lingkaran abu, persis seperti yang digunakan Bu Darmi saat membuka portal cermin.

---

“Za... ini baru awalnya,” kata Bu Darmi dengan wajah yang kini tampak pucat dan tua. “Yang kamu bangunkan... bukan cuma satu.”

Reza hanya bisa mengangguk, tatapannya kosong menatap perbukitan yang tertutup kabut.

Ia sadar, perang belum selesai.

Dan kali ini... semua desa jadi medan tempurnya.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Malam Para Penjemput

    Malam itu, langit desa seperti terbelah. Awan hitam menggulung tebal, menutup bulan sepenuhnya. Tak ada cahaya. Hanya suara malam yang aneh—sunyi, namun menyimpan sesuatu yang mengintai.Reza berdiri di teras rumahnya, menatap ke arah bukit. Angin malam menyapu dedaunan, namun tak ada suara jangkrik, tak ada burung hantu. Bahkan suara kodok pun tak terdengar.Lalu terdengar... bunyi kendang.Pelan. Tapi ritmenya seperti denyut nadi.Dug... dug... dug... dug...Dari arah rawa.---Sementara itu, di rumah Pak Saman—seorang tetua kampung yang dikenal religius dan punya “mata batin”—istri dan anak-anaknya sedang tertidur. Tapi saat tengah malam, Pak Saman mendengar suara pintu terbuka sendiri.Ia bangun, melangkah pelan menuju ruang depan.Dan di sana... berdiri sesosok perempuan.Rambutnya panjang menyapu lantai. Bajunya lusuh, penuh tanah basah dan lumut rawa. Wajahnya... tidak terlihat. Hanya rambut dan bayangan hitam seperti kabut.“Maaf, Nduk... ini rumah siapa?” tanya Pak Saman deng

    Last Updated : 2025-04-12
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bukan Reza

    Pagi itu, langit di atas desa tampak tenang. Matahari bersinar hangat, burung berkicau riang, dan udara terasa bersih. Warga yang kemarin histeris dan kalut kini seperti terbangun dari tidur panjang. Mereka tak sepenuhnya ingat apa yang terjadi. Namun ada satu hal yang semua orang tahu dengan pasti: Reza menghilang. Pak Sastro, kepala desa, menemukan kendi tua di tepi rawa. Ia mengangkatnya pelan, lalu membawanya ke balai desa. Anehnya, kendi itu dingin... tapi berembun, seolah menyimpan hawa dari dunia lain. Tak lama, warga mulai berkumpul. Mereka saling bertanya. Semua tampak tenang, tapi... ketenangan itu terasa palsu. --- Tiga hari kemudian, seseorang terlihat berjalan dari arah bukit. Tubuhnya penuh lumpur kering, pakaian sobek, dan langkahnya gontai. Warga langsung mengenalinya. Itu Reza. Tapi ada yang aneh. Matanya kosong. Tak ada senyum, tak ada emosi. Ia hanya menatap orang-orang di sekitarnya dengan wajah datar. Bu Siti, tetangga dekatnya, menyambut dengan haru. Tapi

    Last Updated : 2025-04-12
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tumbal

    Dini hari itu, setelah upacara penutupan sumur dan rawa, semua warga berharap ketenangan akan kembali. Tapi mereka salah.Keesokan paginya, tubuh Pak Sastro ditemukan di bawah pohon beringin. Mata terbuka menatap kosong ke langit, mulutnya ternganga seolah ingin berteriak, dan seluruh tubuhnya tertutup lumpur hitam. Jari-jarinya menggenggam tanah, seperti berusaha mencakar keluar dari neraka.Tak ada tanda-tanda kekerasan. Tapi wajahnya... seperti melihat sesuatu yang tak sanggup ditanggung oleh manusia.---Bu Darmi pingsan saat mendengar kabar itu. Setelah siuman, ia hanya bisa berkata lirih:> "Sudah dimulai... Mereka menagih tumbal..."---Warga yang dulu skeptis kini mulai percaya. Mereka sadar bahwa ritual itu bukan mengusir, tapi hanya menunda.Dan harga penundaan itu... adalah nyawa.---Desa mendadak sunyi. Aktivitas berhenti. Anak-anak dilarang keluar. Beberapa keluarga memilih pindah sementara ke kampung sebelah.Namun malam itu... suara lonceng kecil terdengar dari arah ra

    Last Updated : 2025-04-14
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Empat Lagi

    Angin malam itu membawa bau anyir. Bukan seperti bau bangkai biasa, tapi lebih seperti darah yang sudah lama mengering—tercampur tanah basah dan aroma daun-daun busuk.Seluruh desa sepi. Rumah-rumah tertutup rapat. Tirai-tirai digantung tinggi, tak ada satu jendela pun yang terbuka.Anak-anak dilarang keluar. Bahkan ayam pun tak lagi berkokok.Namun suara lain justru semakin sering terdengar...Tuk... tuk... tuk...Seperti ketukan pelan di dinding, jendela, dan pintu—berulang-ulang tiap tengah malam. Tapi saat dibuka, tak ada siapa pun di luar. Hanya bekas jejak lumpur yang menetes, membentuk pola aneh seperti simbol kuno yang tak dikenal.---Di rumah Bu Marni, ketukan itu tak berhenti selama tiga malam berturut-turut. Dan di malam keempat, anak gadisnya, Tika, ditemukan berjalan sendirian menuju arah pohon beringin.Matanya kosong. Bibirnya berkomat-kamit seperti mengucapkan mantra yang tak dimengerti.Saat warga mencoba menahannya, tubuh Tika seperti terangkat sendiri. Melayang beb

    Last Updated : 2025-04-14
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjemputan

    Langit malam itu tidak lagi kelam seperti biasanya. Ia tampak terbakar dari kejauhan—warna jingga menyala seperti bara, berpadu dengan kabut pekat yang turun tanpa suara. Bukit kecil di tepi desa, tempat dua pohon beringin tua berdiri, tampak menyala samar, seakan sedang menyimpan bara dendam yang membara sejak ratusan tahun lalu.Di desa, para warga memilih bersembunyi di rumah masing-masing. Tak ada suara. Tak ada doa. Tak ada harapan.Yang terdengar hanyalah detak jam tua dan napas orang-orang yang mencoba tidur dengan mata terbuka lebar.Namun malam itu bukan malam biasa.Karena malam itu adalah malam penjemputan.---Sulastri, seorang janda tua yang tinggal dekat rawa, adalah orang pertama yang mendengar suara itu.Gugggg... glugggg...Seperti suara sesuatu yang mengambang dan ditarik dari dasar lumpur. Di luar rumahnya, rawa bergetar—airnya membentuk pusaran besar. Dari tengah pusaran, muncul sesosok tubuh hitam mengilap. Sosok itu perlahan naik ke permukaan, tinggi lebih dari d

    Last Updated : 2025-04-14
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   penjemputan 2

    Malam itu, kabut turun lebih cepat dari biasanya. Suara jangkrik dan kodok di rawa lenyap bagai dihisap kegelapan. Udara dingin menggigit, meski seharusnya masih musim kemarau. Di desa, orang-orang mulai merasa gelisah. Sejak kejadian terakhir di tanah larangan, tak ada yang berani lewat dekat bukit kecil, apalagi mendekati pohon beringin kembar yang menjulang di sana seperti dua penjaga dunia lain.Pak Lurah sendiri mendadak jatuh sakit. Tubuhnya panas tinggi, namun anehnya darahnya dingin saat disentuh. Matanya terbuka terus, tak bisa tertutup, dan ia terus mengigau menyebut dua nama: “Darmi… Reza… Darmi… Reza…”Sementara itu, Kardi—pemuda yang dulu pernah menantang larangan desa dan berhasil selamat—mulai bermimpi aneh. Dalam mimpinya, ia melihat seorang anak laki-laki berdiri di depan sumur tua yang kini hanya tinggal cekungan tanah hitam. Anak itu memanggilnya, tapi suaranya serak dan berat, bukan suara manusia biasa. Di belakang anak itu berdiri seorang perempuan tua berjubah ke

    Last Updated : 2025-04-14
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Yang Tak Terlihat

    Malam itu, langit desa ditutupi awan gelap pekat. Petir menyambar-nyambar, tapi anehnya hujan tak kunjung turun. Suasana terasa ganjil, seperti ada sesuatu yang ditahan di langit, menggantung, menunggu waktu jatuh.Bu Darmi berdiri di depan rumah panggungnya, mata tuanya menatap langit dengan wajah muram. Di tangannya tergenggam sebuah kain lusuh yang telah ia simpan selama puluhan tahun—kain itu milik suaminya yang hilang secara misterius setelah melanggar pantangan di Tanah Larangan. Sejak saat itu, Bu Darmi menyimpan dendam yang dalam… bukan pada lelembut, tapi pada ketidaktahuan manusia.Dari kejauhan, Reza berjalan pelan menyusuri jalan setapak, tubuhnya kurus kering, matanya kosong namun kali ini ada sesuatu yang berbeda—ada sinar samar yang perlahan kembali ke dalam sorot matanya. Sejak kejadian di sumur tua, Reza tak pernah benar-benar kembali… sampai malam itu.Bu Darmi menoleh, seolah tahu siapa yang datang sebelum mendengar suara langkahnya.“Kau kembali…” bisiknya lirih.R

    Last Updated : 2025-04-16
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tenang yang Palsu

    Setelah tumbal dikorbankan di bawah beringin kembar dan ritual pemanggilan dituntaskan oleh Bu Darmi dengan bantuan Reza, desa tampak kembali tenang. Tak ada lagi suara tangis tengah malam. Tak ada penampakan di jalan setapak dekat rawa. Bahkan sumur tua itu tampak sepi, seperti tak pernah menyimpan apa-apa. Namun… suasananya berbeda. Bukan tenang yang menenangkan. Tapi tenang yang bikin bulu kuduk meremang. Tenang yang membuat orang takut keluar rumah lewat Maghrib. Tenang yang menyimpan bisikan dari balik ilalang basah dan angin yang tak lagi dingin… tapi basah, seperti napas dari dalam tanah. Orang-orang mulai mencoba hidup seperti biasa. Tapi sesuatu terasa janggal. Ibu-ibu pasar sering kehilangan barang dagangannya begitu saja. Ayam-ayam mati mendadak. Air dari mata air utama berubah agak keruh, dan beberapa warga yang meminumnya mengaku mual dan demam. Reza merasa... ini belum selesai. Bu Darmi mulai lemas, sering melamun di beranda rumahnya. Katanya, dalam mimpinya, ia

    Last Updated : 2025-04-16

Latest chapter

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tawa dari Balik Kabut

    Udara pagi itu terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis yang menyelimuti desa seolah menyimpan sesuatu yang belum terungkap. Di balik embun yang menempel di dedaunan dan aroma tanah basah yang menusuk hidung, Reza memandangi sebuah jalur setapak yang jarang dilewati. Di sanalah, konon, segel kedua tersembunyi.Ki Harjo sudah menyiapkan segala sesuatu sejak subuh. Bunga tujuh rupa, dupa, air dari tujuh mata air, dan kain mori yang sebelumnya digunakan untuk membungkus sesaji. Reza, yang kini tampak lebih tenang namun matanya menyiratkan ketegangan, berdiri di samping Bu Darmi yang terus menerus merapal doa.“Perjalanan kali ini tidak seperti yang pertama,” ucap Ki Harjo, sembari menyalakan dupa. “Segel kedua dijaga oleh sesuatu yang tidak bisa kita lawan dengan senjata atau mantra.”Reza menelan ludahnya. “Lalu, dengan apa kita menghadapinya, Ki?”“Keberanian... dan hati yang bersih,” jawab Ki Harjo singkat.Mereka menyusuri jalur setapak yang semakin lama terasa sunyi dan m

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tawa dari Balik Kabut

    Pagi itu, udara desa terasa berat. Kabut turun lebih tebal dari biasanya, menyelimuti setiap sudut jalan, ladang, dan pepohonan. Matahari bahkan tampak enggan menampakkan diri. Ki Harjo, Reza, dan Bu Darmi berdiri di depan gerbang kecil menuju makam leluhur yang terletak di tengah hutan keramat. Tak banyak bicara, hanya saling tatap penuh makna. Reza menggenggam erat buntelan kain berisi bunga tujuh rupa dan dupa, sementara Ki Harjo membawa kendi air dan tongkat kayunya. "Kau sudah siap, Le?" tanya Ki Harjo pelan, namun tegas. Reza mengangguk. "Saya siap, Ki." Perjalanan menuju makam tak jauh, namun suasananya berbeda. Angin tak bergerak, tapi dedaunan gemeretak. Suara burung pun lenyap—digantikan bisikan-bisikan lirih dari arah hutan. Saat mereka tiba di pemakaman tua, Reza langsung mengenali nisan kakek buyutnya. Nisan itu berbeda—besar, terbuat dari batu andesit, dan dililit akar pohon beringin kecil. Kabut seakan memusat pada titik itu. Ki Harjo menancapkan tongkatnya ke tana

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Perjalanan ke Segel Pertama

    Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Embun di pucuk daun masih belum sempat menguap, saat Ki Harjo sudah berdiri di depan rumah Bu Darmi dengan kain lurik dan ikat kepala hitam. Di tangannya tergenggam tongkat kayu cendana yang sudah terlihat tua, tapi memancarkan aura aneh. Reza keluar dari rumah dengan ransel kecil di punggung, wajahnya tegang tapi tekadnya sudah bulat.“Kita mulai hari ini,” kata Ki Harjo tanpa basa-basi. “Segel pertama terletak di tengah-tengah hutan sebelah timur, di sebuah petilasan tua yang ditutupi akar beringin.”Reza mengangguk. “Apa yang akan kita lakukan di sana?”“Membuka kembali segel yang sudah mengendur. Tapi untuk melakukannya, kita harus melalui ujian. Bukan dari bangsa lelembut… tapi dari tempat itu sendiri.”Perjalanan dimulai. Mereka melewati jalan setapak yang biasa dilalui para petani—tapi semakin jauh ke dalam, semak-semak mulai merapat, pepohonan makin gelap, dan hawa menjadi lembab serta mencekam. Bahkan suara burung pun tak terd

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tanda-Tanda dari Dunia Lain

    Sepekan setelah kunjungan ke makam leluhur Reza, suasana di desa mulai terasa berubah. Langit sering mendung tanpa hujan, kabut turun lebih awal dari biasanya, dan malam terasa lebih panjang dari yang semestinya.Ki Harjo dan Bu Darmi mulai mencium gelagat tidak biasa. Binatang peliharaan mendadak sakit, ayam-ayam bertelur dengan warna darah, dan suara gamelan samar sering terdengar dari arah rawa saat tengah malam.Namun gangguan nyata baru benar-benar terasa saat Pak Sarto, seorang petani yang tiap pagi mencari rumput di ujung barat desa, tak kunjung pulang. Istrinya, Bu Sari, melapor ke balai desa dengan wajah panik. Pencarian dilakukan keesokan harinya. Hasilnya? Nol besar. Yang mereka temukan hanyalah cap kaki yang berhenti tiba-tiba di tengah rerumputan basah, seperti orang itu hilang begitu saja dari dunia nyata.“Ini bukan hilang biasa, Ki…” ujar Bu Darmi pelan sambil menatap Ki Harjo.Ki Harjo mengangguk. “Tirai mereka mulai terbuka…”Beberapa hari kemudian, seorang warga ber

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Ketika Mereka Muncul

    Malam itu, desa seperti dibungkus hawa dingin yang tak biasa. Kabut turun lebih pekat dari biasanya, dan bulan tak tampak meski langit tak berawan. Hening, terlalu hening—seolah seluruh alam menahan napas. Bahkan jangkrik pun enggan bersuara.Dan tepat saat jam menunjukkan pukul dua dini hari, dentuman samar terdengar dari arah rawa.Keesokan harinya, kabar duka mengguncang warga. Pak Samin, pria paruh baya yang terbiasa mencari rumput untuk kambingnya, tidak pulang sejak sore kemarin. Istrinya panik dan melapor ke perangkat desa. Warga pun mengadakan pencarian.Mereka menemukan sabit Pak Samin tergeletak di pinggir rawa, namun tubuhnya tak ditemukan. Anehnya, di sekeliling sabit itu, tanah seperti terbakar… dan jejak rumput menghitam membentuk lingkaran sempurna. Salah satu warga bahkan sempat melihat bekas seretan besar menuju dalam rawa, tapi tak ada bekas kaki manusia.“Kayak ditarik sesuatu yang besar…” gumam warga dengan wajah pucat.Belum habis duka itu, kabar lain menyusul. Se

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Warisan yang Terbangun

    Angin sore di kaki bukit mulai berhembus aneh. Udara terasa lebih dingin, seperti ada sesuatu yang ikut pulang bersama Reza dan Ki Harjo. Meski langit masih cerah, perasaan tak nyaman menyelimuti sepanjang perjalanan turun dari makam leluhur. Reza menggenggam cincin hitam itu erat, sementara kain merah tua disimpan dalam buntalan kecil di tas kanvas lusuh. Tapi entah kenapa, sejak cincin itu masuk ke tangannya… ia merasa seperti dilihat oleh sesuatu dari balik bayang-bayang hutan. “Ki… ada yang ngikutin kita, ya?” tanya Reza pelan, tanpa menoleh ke belakang. Ki Harjo tidak menjawab. Ia hanya meludah ke tanah dan mencubit daun kemuning dari kantong bajunya, lalu mengusapkannya ke tengkuk Reza. “Jangan lihat ke belakang. Jangan ucapkan apapun lagi sebelum sampai rumah Bu Darmi.” Langkah mereka semakin cepat. Tapi suasana sekitar seakan berubah. Bayangan pohon memanjang tak wajar, bunyi daun kering seperti diinjak sesuatu yang tak terlihat, dan udara menjadi pengap… seolah mereka te

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tanda dari Leluhur

    Suasana rumah Bu Darmi pagi itu masih terasa berat. Reza belum berkata sepatah kata pun sejak malam tadi. Ia hanya duduk di serambi, menatap kosong ke arah pohon jambu yang daunnya bergoyang pelan ditiup angin pagi.Ki Harjo keluar dari bilik semedinya, langkahnya pelan tapi penuh wibawa. Ia berdiri di belakang Reza, lalu menepuk pundaknya dengan ringan.“Sudah datang, ya?” tanyanya tenang.Reza menoleh pelan. “Ki… tadi malam… ada seseorang. Wajahnya… seperti kakek tua. Tapi bukan manusia biasa. Dia bilang ‘pulang’... hanya itu.”Ki Harjo mengangguk. “Kakek buyutmu, Reza. Ia datang dalam bentuk yang hanya bisa dilihat oleh yang telah ditunjuk. Kau bukan lagi orang biasa. Kau telah membuka pintu yang selama ini tertutup.”Bu Darmi yang datang membawa teh panas pun duduk di sebelah Reza. Wajahnya serius.“Rumah yang dimaksud dalam mimpimu… adalah makamnya,” kata Bu Darmi pelan. “Dan kalau benar dia memintamu datang ke sana… artinya, ada sesuatu yang harus kau ambil. Warisan, bukan dalam

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pusaka Leluhur

    Perjalanan menuju makam leluhur Reza dilakukan pagi-pagi buta. Udara masih berkabut tipis, seakan alam pun enggan melepas mereka pergi. Ki Harjo memimpin di depan, membawa kendi kecil berisi air kembang dan seikat daun kelor. Wirya membawa tongkat kayu tua berukir, sementara Reza menggenggam kotak warisan pusaka milik leluhurnya. Bu Darmi ikut di belakang, membawa sesajen kecil dan dupa. Makam itu terletak di pinggir hutan, di sebuah bukit kecil yang jarang dikunjungi warga. Menurut cerita orang-orang tua, tempat itu dulunya merupakan pemakaman para tetua desa, namun lama tak terurus hingga akhirnya tertutup semak dan pohon-pohon liar. Tapi anehnya, satu makam selalu tampak bersih dan tak pernah ditumbuhi rumput: makam Buyut Reksonegoro—kakek buyut Reza. Begitu mereka sampai di depan makam itu, udara terasa lebih berat. Sunyi. Seolah alam menahan napasnya. Ki Harjo menancapkan tongkat kecil di tanah dan mulai membaca doa-doa Jawa Kuno. Wirya menaburkan air bunga tujuh rupa di sekit

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Warisan yang Terbangun

    Pagi itu matahari bersinar cerah, tapi udara di Desa Tunggul Arum tetap terasa dingin. Aneh, seperti sisa-sisa kabut ritual semalam masih menempel di setiap sudut desa. Warga tampak beraktivitas seperti biasa, tapi beberapa di antara mereka diam-diam berbisik-bisik soal suara gamelan dan petir yang terdengar sepanjang malam.Di rumah Bu Darmi, suasana masih tegang. Reza duduk di bale bambu dengan segelas teh jahe di tangannya. Wajahnya letih, namun ada ketenangan baru di matanya. Ki Harjo duduk di depannya, memperhatikan pria tua yang baru datang malam tadi—Wirya.Orang itu tak banyak bicara sejak tadi malam. Hanya memperkenalkan diri lalu diam seribu bahasa, seakan menunggu waktu yang tepat untuk membuka rahasia yang ia bawa.Dan pagi ini, waktunya tiba.Ki Harjo membuka percakapan lebih dulu. “Tadi malam kau menunjukkan lambang yang sama dengan yang tertanam di batu segitiga bukit. Kau siapa sebenarnya?”Wirya menghela napas. Ia membuka bungkusan kain lusuh dari dalam tas kulitnya,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status