"Kenapa, Pak? Ada yang salah?" tanyaku. "Eh, nggak, nggak .. Cuma, kalian orang pertama yang menempati rumah ini semenjak ... " Pria tua itu terlihat gugup seolah tak ingin melanjutkan perkataannya. "Semenjak apa?" *** Entah kenapa aku tergerak untuk melangkahkan kakiku ke kamar gadis itu untuk melihatnya. Ia sedang berbaring sambil memejamkan matanya. Perlahan aku beranjak mendekatinya lalu duduk di ujung tempat tidurnya. Aku memperhatikan wajah gadis itu sesaat, ia tampak lelah. Aku tersenyum. Aku bahagia karena aku tak lagi sendirian di rumah ini.
View MoreMungkin segalanya akan menjadi lebih baik dengan memulai hidup dengan suasana yang baru, sehingga aku bisa melupakan semua kejadian yang hampir membuatku jadi gila.
Tante Eliza mengajakku pindah ke rumah baru yang ia beli di Selumba, sebuah kota kecil. Aku mengikut saja, meskipun sebenarnya sangat berat bagiku untuk meninggalkan rumah tempat aku dibesarkan dari lahir hingga sekarang. Namun, semakin lama aku berdiam di sana, semakin aku tak bisa melupakan semua kenangan itu.
Mobil kami menyusuri pejalanan yang cukup panjang, dari satu kota ke kota lain. Kami sudah berada di mobil selama berjam-jam untuk sampai di rumah baru itu. Aku pun mulai merasa bosan. Aku menoleh pada Tante El yang masih fokus menyetir, wajahnya terlihat lelah.
"Capek ya?" Seolah tahu aku sedang memperhatikannya, Tante El menoleh lalu tersenyum padaku.
"Iya Tan, udah gak sabar pengen liat rumah baru," ucapku seraya membalas senyuman Tante El.
"Pasti kamu suka. Rumahnya luas dan banyak kamar di dalamnya, kamu bisa pilih mau tidur di mana aja."
Aku tersenyum tipis. Aku berharap, dengan ini aku bisa melupakan kejadian itu yang merenggut nyawa kedua orang tuaku.
"Tante rasa, ini akan jadi awalan yang baik buat kita berdua untuk memulai semuanya dari awal. Dan tante dengar sekolah kamu yang baru itu terkenal banget, sampek kerja sama sama sekolah-sekolah luar negeri," ucap Tante El berusaha membuatku merasa lebih baik.
"Wah, keren dong," ucapku meskipun aku sama sekali tidak tertarik.
"Tante tahu, pasti ini semua sulit buat kamu, terlalu banyak perubahan."
"Hhh, nggak kok Tan. Aku udah biasa." Aku menghela napas sambil tersenyum tipis melihat Tante El. Dialah satu-satunya yang kupunya saat ini.
"Di sekolah yang baru, kamu bisa dapat temen-temen yang baru. Tante tahu, kamu pasti ngerasa kesepian, apalagi kalo Tante kerja sampek larut malem. Kamu pasti butuh temen buat ngobrol."
"Nggak kok, Tan. Aku kan kalo ada apa-apa, ceritanya ke Tante. Itu udah cukup buat aku."
"Tapi kan, pasti nggak semua hal mau kamu ceritain ke Tante, kamu juga butuh temen seusiamu buat cerita-cerita."
"Tante kan gak terlalu tua juga buat cerita-cerita masalah remaja."
"Heheh, makasih," Tante El tergelak.
Aku senang melihat Tante El tertawa. Setelah aku kehilangan kedua orangtuaku yang selalu mendukungku, Tante El lah yang mengambil alih tugas mereka untuk memenuhi semua kebutuhanku.
Aku perlahan memejamkan mata ketika mobil kami berjalan menyusuri jalanan yang cukup sepi. Dengan pohon-pohon rindang di sekitarnya, dan cahaya matahari yang mulai terbenam menerobosnya melalui celah-celahnya. Terlihat indah.
Setelah satu jam akhirnya kami berhenti di suatu jalan.
"Akhirnya sampai juga kita. Lihat di sebelah kanan."
"Di sana." Tante El menunjuk sebuah rumah yang tampak besar, namun sedikit kusam. Mungkin karena sudah lama tak ditempati, pikirku. Entah kenapa, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh.
"Bagus, ya?" Tante El tersenyum padaku.
"Iya," ucapku sembari melangkahkan kakiku keluar dari mobil mengikutinya.
Padanganku mengedar melihat sekeliling. Awalnya, semuanya terlihat normal, seperti rumah-rumah pada umumnya. Aku kembali memperhatikan setiap detil bagian rumah yang terlihat cukup kuno itu, hingga tanpa sengaja mataku menangkap sesuatu yang terlihat samar-samar di balik tirai kaca jendela. Dadaku berdegup kencang ketika melihat ada bayangan seseorang di sana.
"Yuk, masuk," ucap Tante El. Aku sontak menoleh dan melihat Tante El masih dengan senyum manisnya, seolah tanpa lelah.
Aku tergelagap sesaat, lalu kembali melirik ke arah jendela itu, namun tak ada siapa-siapa lagi di sana.
"Ayuk," ucapku membalas senyuman Tante El. Aku menghela napas dalam, mungkin aku hanya lelah dan butuh istirahat, pikirku.
Perlahan aku melangkahkan kakiku memasuki rumah itu, mengekor di belakang Tante El yang sudah lebih dulu masuk.
Padanganku mengedar ke setiap sudut ruangan. Rumah ini sepertinya sudah begitu lama tak ditempati, dinding, dan lantainya begitu berdebu ditambah jaring laba-laba menempel di sudut-sudut atapnya. Pandanganku menelisik ke kamar dengan seprai putih dan beberapa perabot yang entah mengapa terlihat sedikit menyeramkan.
Aku menaiki tangga berderit yang mengarah ke lorong panjang yang memiliki banyak pintu. Aku mengulurkan tangan dan perlahan memutar kenop pintu.
"Kamu di situ?" ucap Tanteku seketika membuatku terlonjak.
"Maaf, Tante nggak bermaksud ngagetin kamu."
"Nggak kok, Tan," ucapku sambil tersenyum tipis. "Kamarku yang mana?"
"Kamu boleh pilih kamar yang mana aja. Tapi, Tante rasa kamu pasti suka kamar yang itu." Tante El berjalan menuju kamar yang terletak paling ujung. Persis dekat dengan ruang tamu.
Perlahan ia membuka kamar itu, kamar itu terlihat lebih luas dari kamar lainnya, meskipun tetap sama dengan debu dan jaring laba-laba bertebaran di mana-mana. Tapi, ada kursi dekat jendela yang mengarah ke luar. Kelihatannya bagus, aku bisa duduk di kursi sambil melihat pemandangan ke luar dari jendela.
"Iya, aku suka yang ini, Tan," ucapku.
"Tante seneng kalo kamu suka." Tante El tersenyum, aku balas tersenyum. Tante El memang selalu tersenyum dan melihat segala sesuatu dari sisi baiknya, aku suka itu.
"Kapan barang-barang kita sampai ke sini?" tanyaku tak sabar menunggu jasa angkutan barang itu.
"Mungkin sebentar lagi mereka sampai," jawab Tante El.
"Hmm. Kalo gitu aku mau beres-beres dulu."
"Ya udah, Tante juga mau beres-beres. Nanti setelah barang-barang kita sampai, kita cari makan di luar," ucap Tante El.
"Ok, Tante El," Aku mengangguk dengan semangat mendengar kata 'makan'.
Tante El beranjak pergi, ia membersihkan ruangan demi ruangan di rumah ini. Aku pun mengambil sapu yang kulihat ada di dapur dan mulai membersihkan kamarku. Setelah hampir satu jam aku membersihkan dan merapikan semuanya, aku tersenyum melihat hasilnya, akhirnya kamarku bisa terlihat rapi.
Aku mendengar pintu kamarku terbuka, dan Tante El masuk. "Wah, rapi banget," pujinya.
Aku tersenyum.
"Barang-barang kita udah sampai. Ayo kita cari makan dulu di luar, biar mereka yang menyusun semuanya," ucap Tante El.
"Oke."
Kami pun beranjak ke luar, di halaman sudah ada truk angkutan umum yang membawa barang-barang kami dan segala perabotannya. Mereka menurunkan barang-barang itu satu per satu.
"Eh, bentar ya dompet Tante ketinggalan," ucap Tante El sembari kembali bergegas masuk.
Aku melihat orang-orang yang tadi sibuk menurunkan barang-barang. Mereka menatap aneh pada rumah yang kini aku tempati.
"Kenapa Pak? Ada yang salah?" tanyaku.
"Eh, nggak, nggak. Cuma.. kalian orang pertama yang menempati rumah ini semenjak .." tiba-tiba ucapannya terhenti. Pria tua itu terlihat gugup, seolah tak ingin melanjutkan perkataannya.
"Semenjak apa?" tanyaku penasaran.
Pria itu menatapku seolah tak tahu harus menjelaskan bagaimana. Ketika ia baru saja ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba Tante El datang.
"Udah siap?" tanyanya padaku.
"Udah."
***
AryaAku merasa sangat buruk, kenapa aku bertingkah seperti itu pada Sella! Aku harap ia akan berbicara denganku lagi. Tapi kalau ia tidak mau berbicara denganku lagi, aku tak akan menyalahkannya.Kenapa aku berbicara seperti itu padanya aku seharusnya ikut bahagia untuknya, karena Daniel adalah pria yang baik. Dan Sella benar, aku tidak mengenalnya sama sekali. Apa yang salah denganku?Dan juga, ia tidak perlu memberitahuku apa pun tentang masa lalunya, itu bukan urusanku, dia menghargai masa laluku dan tidak menanyakan apa pun padaku. Tapi aku hampir bertindak seolah-olah aku cemburu? Padahal aku bukan siapa-siapa baginya seperti yang ia katakan kami hanya bersahabat tidak lebih, meskipun aku menginginkan lebih dari itu. aku sudah sendirian begitu lama dan sekarang aku menemukan seorang teman dalam hidupku, aku malah ingin menghancurkan perasaannya. Tidak! Aku tidak ingin kehilangannya, ia adalah hal terbaik yang aku punya setelah w
"Aku seneng banget." Kia berkata keesokan paginya."Aku tidak bisa tidur sama sekali setiap suara yang kudengar membuatku terus berpikir bahwa hantu itu akan berada di ujung tempat tidur siap untuk membunuhku," ucap Icha sambil menggigil.Aku senang arya berada di ruang bawah tanah."Dan sekarang kamu tahu tidak ada yang perlu ditakuti," ucap Kia mencoba melihat sisi baiknya."Terima kasih telah datang, aku senang sekali," ucapku jujur."Kami juga senang," ucap Kia sambil memelukku."Bye," ucap Icha sembari berjalan ke mobil."Sampai jumpa hari Senin," ucapkan sebelum ia benar-benar pergi."Arya, kamu bisa ke atas sekarang." Aku membuka pintu ruang bawah tanah dan memberitahunya. Setelah beberapa menit dia naik ke atas."Apakah mereka baru saja pergi?" Ia bertanya."Ya" jawabku."Apakah kamu senang bersama mereka?" tanyanya."Iya aku sangat senang," jawabku. Ia tersenyum mending harinya.
"Suara apa itu?" bisik Kia."Suara apa, mungkin kamu salah dengar," ucapku berpura-pura, namun kemudian aku mendengar suara itu lagi."Nggak ada orang lain di rumah ini kan?" tanya Kia. Aku bisa melihat dengan jelas, ia berusaha untuk tidak panik."Gak ada, hanya kita," dan Arya."Kuharap aku nggak akan sekarat di rumah ini," ucap Icha ketakutan.Aku melihat Arya berjalan ke jendela dan menghela nafas. "Itu hanya beberapa anak lelaki yang melempar barang-barangnya ke jendela."Aku berjalan ke jendela dan dia benar. "Itu Daniel dan Evan," ucapku sembari menghela napas."Apa yang dilakukan orang-orang idiot itu di sini?" Icha memutar bola matanya jengah.Kia membuka jendela, "Kenapa kalian ke sini? Acara ini khusus untuk perempuan!" ucap Kia geram.Aku melirik ke arah Arya, ia terkekeh sambil menatapku, aku memutar bola mataku."Ayo, biarkan kami masuk," ucap Daniel."Ya! Kami ingin melihat rumah hantu!
"Jadi, apakah kamu akan membongkar barang-barangmu sebelum tidur bersama teman-temanmu Minggu depan?" Arya bertanya padaku. Aku terus menundanya untuk membuka barang-barangku dari rumah lama. aku tahu aku harus melakukannya, tapi aku belum siap. Aku tidak tahu apakah aku akan pernah siap untuk melihat barang-barang yang penuh kenangan itu."Aku mungkin akan memindahkannya ke sudut," ucapku berharap ia tidak bicara lebih banyak tentang hal ini. Untungnya ia tak membicarakannya lagi."Kapan kau akan selesai?" Arya mengeluh melihatku begitu lama mengerjakan pekerjaan rumahku. Apakah ia merindukanku?"Sabar," ucapku sambil menghela napas.Aku tergelak ketika melihatnya cemberut, ia menjatuhkan dirinya di tempat tidurku, sembari menungguku mengerjakan pekerjaan rumah."Aku sudah selesai sekarang, kau senang?" ucapku sambil meletakkan buku-bukuku di meja."Yeeeeyy!!" ia bersorak."Kamu seperti anak-anak," Aku memutar bola mataku."Ak
Akhir pekan berlalu cukup cepat. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Arya. Hingga keesokan paginya, tiba lagi."Selamat pagi. Semangat ya, sekolahnya," ucap Tante El."Aku males banget hari ini," keluhku."Harus semangat, dong." Kulihat Tante El cemberut."Akan kucoba," ucapku sambil terkekeh.***"Hey, ayo duduk," ucap Kia sambil mengambil bekal makan siangku."Hai teman-teman," sapa Daniel yang sudah lebih dulu duduk dari tadi."Hai," balasku."Gimana pestanya kemarin, seru?" tanya Evan yang tidak tahu kalau aku hampir pingsan kemarin."Iya," ujarku sambil mengangguk, sedikit menahan malu karena aku telah merepotkan teman-temanku."Jadi, kemarin kalian masuk ke rumahnya?" Icha bertanya sambil menatap Daniel dan Kia."Tentu saja. Itu kan cuma rumah. Apa yang perlu ditakuti?" Daniel memutar bola matanya malas."Iya, tapi dulu kan di rumah itu ada banyak or
"Mau kau bawa ke mana dia?" tiba-tiba aku mendengar suara Daniel, namun aku merasa mabuk.Kurasakan Daniel menarik lenganku dari pria itu dan kurasakan kesadaranku semakin berkurang, rasanya seperti mau pingsan."Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Daniel khawatir. Aku mengangguk."Jangan terima minuman dari orang yang tidak kamu kenal," ucap Daniel. Aku kembali mengangguk, namun kepalaku terasa berat."Hei, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Kia ketika melihatku memijit keningku."Aku merasa nggak enak badan," ucapku."Ayo kita antar kamu pulang," ucap Daniel terlihat khawatir. Ia menggandengku menuju parkiran, namun langkahku terseok-seok karena aku memakai sepatu hak tinggi."Ayo masuk ke mobil," ucapnya."Ya," ucapku namun aku tak bisa menggerakkan kakiku."Kamu harus menggendongnya," ucap Kia pada Daniel."Ayo, Sella!" Daniel mengangkat tubuhku dengan kedua lengannya, aku melingkarkan lenganku di lehernya. Ia mendu
AryaAku dan Sella duduk di ruang tamu menunggu teman-temannya, kuperhatikan kaki gadis itu terus gemetar, dia terlihat sangat gugup."Jangan gugup, nanti kamu akan seru-seruan dengan teman-temanmu," ucapku. Ia mengangguk. Andai aku masih hidup, aku ingin sekali bisa pergi bersamanya.Kami mendengar bel pintu berdering, membuat gadis di sampingku terjingkat kaget."Mereka datang!" ujarnya sembari menghela napas. Bergegas ia menuju pintu dan membukanya."Wah, kamu cantik sekali!" ucap gadis berambut panjang begitu pintu terbuka. Gadis itu tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mungkin mencari apakah ada hantu di rumah ini."Terimakasih, kamu juga cantik sekali Kia. Dan, terimakasih banyak untuk gaunnya," ucap Sella."Sama-sama.""Wow. Georgeous!" Tampak seorang lelaki berjalan mendekat, ia terus menatap ke arah Sella dari ujung kepala hingga ujung kaki."Kalian siap?" tanya Sella."Ya, ayo pergi," ujar tema
Malam itu berjalan cukup normal, kecuali satu hal yang masih membuatku tak percaya bahwa aku hidup bersama hantu di rumahku, tapi setidaknya aku tahu kalau aku mendengar suara-suara aneh, itu berarti suara Arya.Ia tampak baik, tapi aku tak percaya begitu saja. Kisah tentang pria berusia tujuh belas tahun yang membunuh ibu dan saudara perempuannya lalu bunuh diri di rumah ini sudah menyebar sejak dulu hingga hampir semua orang yang tinggal di kota ini mengetahuinya. Aku tak bisa berhenti memikirkannya, apakah cerita itu benar?Ia terlihat baik, namun aku belum mengenalnya. Mungkin saja ia berencana untuk membunuhku. Biar bagaimanapun aku harus tetap waspada.Aku terbangun di pagi hari dengan rasa yang cukup nyaman setelah mendapatkan tidur yang cukup, tak seperti hari-hari sebelumnya."Boleh nggak, Tan? Aku mau pergi ke pesta bersama teman-temanku nanti malam," ucapku ketika aku dan Tante El sedang sarapan bersama."Pesta apa?" tanyanya."Pe
Aku segera bersiap-siap ke sekolah dan kemudian turun ke bawah untuk mengambil secangkir kopi."Pagi." Tante El menyapaku dengan ceria. Ia mempersilahkanku untuk duduk dan ikut makan."Pagi juga, Tan.""Hari ini Tante akan lembur lagi. Ini Tante tinggalin uang buat kamu beli makan." Tante El menyodorkanku selembar uang berwarna biru."Oke, Tan. Makasih," ucapku seraya meraih pemberiannya.Sebelumnya aku merasa takut untuk berada sendirian di rumah ini. Namun, setelah aku tahu kalau benar-benar ada hantu di rumah ini, aku malah tidak takut sama sekali. Benar-benar aneh."Kamu yakin, gak mau Tante anterin ke sekolah?" tanyanya."Nggak tan, Aku sendirian aja gak apa-apa, kok. Sampai jumpa nanti malam, Tan." Ucapku sambil mengambil tasku lalu berjalan ke pintu depan, sementara Tante El menunggu ojek online pesanannya datang.***Jam makan siang di sekolah sudah tiba. Aku dan beberapa temanku saling berbincang.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments