Pagi itu, langit di atas desa tampak tenang. Matahari bersinar hangat, burung berkicau riang, dan udara terasa bersih. Warga yang kemarin histeris dan kalut kini seperti terbangun dari tidur panjang. Mereka tak sepenuhnya ingat apa yang terjadi.
Namun ada satu hal yang semua orang tahu dengan pasti: Reza menghilang. Pak Sastro, kepala desa, menemukan kendi tua di tepi rawa. Ia mengangkatnya pelan, lalu membawanya ke balai desa. Anehnya, kendi itu dingin... tapi berembun, seolah menyimpan hawa dari dunia lain. Tak lama, warga mulai berkumpul. Mereka saling bertanya. Semua tampak tenang, tapi... ketenangan itu terasa palsu. --- Tiga hari kemudian, seseorang terlihat berjalan dari arah bukit. Tubuhnya penuh lumpur kering, pakaian sobek, dan langkahnya gontai. Warga langsung mengenalinya. Itu Reza. Tapi ada yang aneh. Matanya kosong. Tak ada senyum, tak ada emosi. Ia hanya menatap orang-orang di sekitarnya dengan wajah datar. Bu Siti, tetangga dekatnya, menyambut dengan haru. Tapi Reza hanya diam. Ia masuk ke rumahnya... lalu mengunci pintu rapat-rapat. Malam itu, terdengar suara aneh dari dalam rumahnya—bunyi air menetes, lalu suara langkah kaki basah, seperti berjalan di rawa. --- Keesokan harinya, kejadian-kejadian aneh mulai muncul lagi. Tapi kali ini... hanya terjadi di sekitar rumah Reza. Lampu rumah-rumah tetangga berkedip tanpa alasan. Anjing menggonggong ke arah dinding kosong. Seorang anak kecil tiba-tiba histeris, mengaku melihat “Om Reza” duduk di atas plafon rumah sambil menatapnya tanpa berkedip. Bu Darmi, yang sempat dirawat karena sakit, memanggil Pak Sastro dan berbisik, > “Itu bukan Reza... tubuhnya memang iya, tapi bukan dia.” --- Malamnya, Pak Sastro dan beberapa warga berkumpul di masjid untuk berdoa bersama. Saat itulah terdengar suara ketukan dari luar. Tok... tok... tok... Tiga kali. Pelan. Teratur. Saat pintu dibuka... tak ada siapa-siapa. Hanya angin dingin yang menyapu masuk, membawa bau lumpur dan bunga kenanga busuk. Salah satu warga, Pak Rahman, langsung muntah darah. Matanya merah seperti habis menangis seharian. Ia pingsan, dan saat sadar—ia lupa siapa dirinya. --- Sementara itu, Reza mulai bertingkah aneh. Ia bicara sendiri, kadang tertawa, kadang menangis. Kadang berdiri berjam-jam di tepi sumur belakang rumahnya sambil menatap ke dalam—seolah ada yang memanggil dari dasar sumur. Anak-anak kecil dilarang main ke sana. Tapi larangan itu datang terlambat. Suatu sore, tiga anak bermain di halaman belakang rumah Reza. Salah satunya—namanya Rendi—menghilang. Yang tersisa hanyalah sandal kecil dan bekas telapak tangan berlumur tanah di dinding sumur. --- Bu Darmi memanggil Reza untuk bicara. Ia membawa kendi tua itu, meyakini benda itu kunci dari segalanya. “Za... kalau kamu masih di sana... tolong beri tanda,” lirihnya. Reza memalingkan wajah. Tiba-tiba ia tertawa—tapi tawanya bukan milik Reza. Suaranya berat, bergema, seperti berasal dari perut bumi. > “Reza sudah pergi... dia menukar tempatnya. Sekarang giliran kalian yang menunggu... giliran kalian yang akan dijemput.” Bu Darmi gemetar. Ia melempar kendi itu ke tanah. Pecah. Dan dari pecahan itu... keluar kabut hitam yang langsung menyelimuti kaki Reza. --- Kabar cepat menyebar. Warga mulai ketakutan lagi. Tapi kali ini berbeda—tidak ada yang berani bergerak. Karena setiap malam, satu demi satu warga mulai menghilang. Tanpa jejak. Tanpa suara. Hanya ada tanda: jejak lumpur di depan rumah mereka. Pak Sastro memutuskan untuk mengumpulkan orang-orang dan membakar rumah Reza, berharap api bisa mengusir makhluk yang bersemayam di dalam tubuhnya. Malam itu mereka datang, membawa obor dan bensin. Namun saat mereka hendak menyiramkan api... pintu rumah terbuka sendiri. Di dalam... duduk Reza. Atau sesuatu yang menyerupainya. Wajahnya setengah busuk. Matanya hitam legam. Ia tersenyum—senyum yang membuat darah mereka membeku. > “Ayo... bakar. Tapi pastikan kalian siap... untuk menggantikanku.” Dan saat api menyala... seluruh rumah lenyap begitu saja. Tak ada api. Tak ada puing. Hanya... lumpur. Menggenang di tempat rumah itu berdiri. Dan di tengah lumpur... sebuah tangan perlahan muncul dari dalam, melambai pelan... Seolah memanggil siapa saja yang berani mendekat. Beberapa malam setelah rumah Reza “lenyap”, warga desa tak lagi berani keluar selepas Magrib. Pintu-pintu rumah digembok dari dalam. Jendela ditutup rapat. Tapi suara-suara aneh tetap terdengar—ratapan, jeritan, suara kaki berlari... semuanya tanpa wujud. Bu Darmi yang dulu berani kini hanya bisa komat-kamit membaca doa. Ia percaya, bangsa lelembut sudah tak lagi tinggal di bukit... mereka kini ada di antara manusia. --- Pak Sastro mencoba bicara dengan seorang sesepuh desa, Mbah Rono, yang sudah lama menarik diri dari kehidupan masyarakat. Ia tinggal di gubuk bambu dekat makam tua. Ketika Pak Sastro datang, Mbah Rono sudah menunggu di depan pintu. Seolah tahu kedatangannya. > “Kowe terlambat, Nak. Pintu sudah kebuka... dan mereka marah.” Pak Sastro gemetar. “Apa yang harus kita lakukan, Mbah?” Mbah Rono memejamkan mata, lalu berkata, > “Ada yang ditukar. Arwah lama dibangkitkan. Tubuh Reza sudah jadi wadah... dan kini mereka mencari tubuh lain. Kalau tidak dihentikan, seluruh desa ini akan menjadi desa mereka.” --- Malamnya, langit berubah merah darah. Tak ada angin, tapi daun-daun beterbangan. Rawa di belakang bukit menghitam, airnya berbuih. Bau amis menyebar sampai ke tengah desa. Anak-anak kecil mulai demam tinggi. Beberapa warga melihat penampakan sosok-sosok besar berjalan di pinggiran desa—tinggi, berjubah gelap, dan tidak menyentuh tanah. Orang-orang mulai pingsan tanpa sebab. Yang bangun, bicara dengan suara bukan miliknya. Seorang ibu tua bahkan ditemukan duduk di atas genteng rumahnya sendiri, menangis sambil memeluk boneka lumpur. --- Malam keempat sejak rumah Reza hilang, mimpi-mimpi buruk mulai merayap ke semua warga. Dalam mimpinya, mereka melihat desa tenggelam dalam rawa. Rumah-rumah terendam, dan dari dasar air... ribuan tangan pucat menarik mereka ke dalam. Semua mimpi itu berakhir sama: suara berbisik pelan, > "Kalian melanggar... tanah ini bukan milikmu." --- Bu Darmi menemukan catatan tua dari ayahnya, yang dulunya adalah juru kunci area bukit. Di dalamnya, tertulis: > “Bedeng Belanda yang dulu berdiri... adalah segel. Di bawahnya tertidur makhluk tua yang pernah memakan satu desa utuh pada masa penjajahan. Sumur itu adalah mata mereka, dan dua beringin adalah penjaganya. Jika ketiganya rusak, mereka akan bangun... dan dunia manusia takkan aman lagi.” Bedeng sudah dibongkar. Sumur sudah dibuka. Salah satu beringin—dipotong warga tiga tahun lalu. Semua segel... telah rusak. --- Pak Sastro dan Mbah Rono memutuskan untuk mengadakan ritual terakhir—memanggil kembali arwah Reza, jika masih bisa, dan memutuskan perjanjian gaib yang telah terbuka. Tapi untuk itu... seseorang harus menjadi umpan. Bu Darmi menawarkan diri. Malam purnama tiba. Ritual dimulai di bawah pohon beringin yang tersisa. Lilin menyala membentuk lingkaran. Kendi yang pecah disatukan kembali, lalu diisi air dari rawa yang menghitam. Bu Darmi duduk di tengah. Mata tertutup kain putih. Mantra dilantunkan. Dan tak lama kemudian... ia menjerit. Tubuhnya kejang. Mata terbuka, penuh darah. Dari mulutnya keluar suara yang sangat berat—bukan suara manusia. > “Kenapa kalian ganggu? Dia sudah milik kami! Kalian... semua... akan jadi bayangan di hutan kami!” Lilin padam serentak. Angin kencang berhembus dari rawa. Lalu... semuanya gelap. --- Ketika cahaya kembali, Bu Darmi tergeletak. Tapi ia sadar. “Reza... masih di sana. Terkunci. Tapi belum terlambat,” ucapnya lemah. Warga mulai berkumpul. Semua sepakat: rawa harus ditutup. Sumur harus dikunci. Dan pohon beringin tak boleh disentuh lagi. Malam itu, mereka menutup mulut sumur dengan batu besar dan tanah merah. Kendi dikubur dalam di bawah akar beringin. Mereka bakar dupa dan tabur bunga tujuh rupa. Saat upacara selesai, angin berhenti. Bau amis hilang. Dan langit kembali hitam... biasa. --- Tapi ketika semua kembali ke rumah, Mbah Rono menatap bukit dari kejauhan. Ia tahu... itu belum akhir. Karena dari jauh... di balik kabut malam... tampak satu sosok berdiri di atas bukit. Tersenyum. Dengan mata yang sangat... sangat kosong. --- ---Dini hari itu, setelah upacara penutupan sumur dan rawa, semua warga berharap ketenangan akan kembali. Tapi mereka salah.Keesokan paginya, tubuh Pak Sastro ditemukan di bawah pohon beringin. Mata terbuka menatap kosong ke langit, mulutnya ternganga seolah ingin berteriak, dan seluruh tubuhnya tertutup lumpur hitam. Jari-jarinya menggenggam tanah, seperti berusaha mencakar keluar dari neraka.Tak ada tanda-tanda kekerasan. Tapi wajahnya... seperti melihat sesuatu yang tak sanggup ditanggung oleh manusia.---Bu Darmi pingsan saat mendengar kabar itu. Setelah siuman, ia hanya bisa berkata lirih:> "Sudah dimulai... Mereka menagih tumbal..."---Warga yang dulu skeptis kini mulai percaya. Mereka sadar bahwa ritual itu bukan mengusir, tapi hanya menunda.Dan harga penundaan itu... adalah nyawa.---Desa mendadak sunyi. Aktivitas berhenti. Anak-anak dilarang keluar. Beberapa keluarga memilih pindah sementara ke kampung sebelah.Namun malam itu... suara lonceng kecil terdengar dari arah ra
Angin malam itu membawa bau anyir. Bukan seperti bau bangkai biasa, tapi lebih seperti darah yang sudah lama mengering—tercampur tanah basah dan aroma daun-daun busuk.Seluruh desa sepi. Rumah-rumah tertutup rapat. Tirai-tirai digantung tinggi, tak ada satu jendela pun yang terbuka.Anak-anak dilarang keluar. Bahkan ayam pun tak lagi berkokok.Namun suara lain justru semakin sering terdengar...Tuk... tuk... tuk...Seperti ketukan pelan di dinding, jendela, dan pintu—berulang-ulang tiap tengah malam. Tapi saat dibuka, tak ada siapa pun di luar. Hanya bekas jejak lumpur yang menetes, membentuk pola aneh seperti simbol kuno yang tak dikenal.---Di rumah Bu Marni, ketukan itu tak berhenti selama tiga malam berturut-turut. Dan di malam keempat, anak gadisnya, Tika, ditemukan berjalan sendirian menuju arah pohon beringin.Matanya kosong. Bibirnya berkomat-kamit seperti mengucapkan mantra yang tak dimengerti.Saat warga mencoba menahannya, tubuh Tika seperti terangkat sendiri. Melayang beb
Langit malam itu tidak lagi kelam seperti biasanya. Ia tampak terbakar dari kejauhan—warna jingga menyala seperti bara, berpadu dengan kabut pekat yang turun tanpa suara. Bukit kecil di tepi desa, tempat dua pohon beringin tua berdiri, tampak menyala samar, seakan sedang menyimpan bara dendam yang membara sejak ratusan tahun lalu.Di desa, para warga memilih bersembunyi di rumah masing-masing. Tak ada suara. Tak ada doa. Tak ada harapan.Yang terdengar hanyalah detak jam tua dan napas orang-orang yang mencoba tidur dengan mata terbuka lebar.Namun malam itu bukan malam biasa.Karena malam itu adalah malam penjemputan.---Sulastri, seorang janda tua yang tinggal dekat rawa, adalah orang pertama yang mendengar suara itu.Gugggg... glugggg...Seperti suara sesuatu yang mengambang dan ditarik dari dasar lumpur. Di luar rumahnya, rawa bergetar—airnya membentuk pusaran besar. Dari tengah pusaran, muncul sesosok tubuh hitam mengilap. Sosok itu perlahan naik ke permukaan, tinggi lebih dari d
Malam itu, kabut turun lebih cepat dari biasanya. Suara jangkrik dan kodok di rawa lenyap bagai dihisap kegelapan. Udara dingin menggigit, meski seharusnya masih musim kemarau. Di desa, orang-orang mulai merasa gelisah. Sejak kejadian terakhir di tanah larangan, tak ada yang berani lewat dekat bukit kecil, apalagi mendekati pohon beringin kembar yang menjulang di sana seperti dua penjaga dunia lain.Pak Lurah sendiri mendadak jatuh sakit. Tubuhnya panas tinggi, namun anehnya darahnya dingin saat disentuh. Matanya terbuka terus, tak bisa tertutup, dan ia terus mengigau menyebut dua nama: “Darmi… Reza… Darmi… Reza…”Sementara itu, Kardi—pemuda yang dulu pernah menantang larangan desa dan berhasil selamat—mulai bermimpi aneh. Dalam mimpinya, ia melihat seorang anak laki-laki berdiri di depan sumur tua yang kini hanya tinggal cekungan tanah hitam. Anak itu memanggilnya, tapi suaranya serak dan berat, bukan suara manusia biasa. Di belakang anak itu berdiri seorang perempuan tua berjubah ke
Malam itu, langit desa ditutupi awan gelap pekat. Petir menyambar-nyambar, tapi anehnya hujan tak kunjung turun. Suasana terasa ganjil, seperti ada sesuatu yang ditahan di langit, menggantung, menunggu waktu jatuh.Bu Darmi berdiri di depan rumah panggungnya, mata tuanya menatap langit dengan wajah muram. Di tangannya tergenggam sebuah kain lusuh yang telah ia simpan selama puluhan tahun—kain itu milik suaminya yang hilang secara misterius setelah melanggar pantangan di Tanah Larangan. Sejak saat itu, Bu Darmi menyimpan dendam yang dalam… bukan pada lelembut, tapi pada ketidaktahuan manusia.Dari kejauhan, Reza berjalan pelan menyusuri jalan setapak, tubuhnya kurus kering, matanya kosong namun kali ini ada sesuatu yang berbeda—ada sinar samar yang perlahan kembali ke dalam sorot matanya. Sejak kejadian di sumur tua, Reza tak pernah benar-benar kembali… sampai malam itu.Bu Darmi menoleh, seolah tahu siapa yang datang sebelum mendengar suara langkahnya.“Kau kembali…” bisiknya lirih.R
Setelah tumbal dikorbankan di bawah beringin kembar dan ritual pemanggilan dituntaskan oleh Bu Darmi dengan bantuan Reza, desa tampak kembali tenang. Tak ada lagi suara tangis tengah malam. Tak ada penampakan di jalan setapak dekat rawa. Bahkan sumur tua itu tampak sepi, seperti tak pernah menyimpan apa-apa. Namun… suasananya berbeda. Bukan tenang yang menenangkan. Tapi tenang yang bikin bulu kuduk meremang. Tenang yang membuat orang takut keluar rumah lewat Maghrib. Tenang yang menyimpan bisikan dari balik ilalang basah dan angin yang tak lagi dingin… tapi basah, seperti napas dari dalam tanah. Orang-orang mulai mencoba hidup seperti biasa. Tapi sesuatu terasa janggal. Ibu-ibu pasar sering kehilangan barang dagangannya begitu saja. Ayam-ayam mati mendadak. Air dari mata air utama berubah agak keruh, dan beberapa warga yang meminumnya mengaku mual dan demam. Reza merasa... ini belum selesai. Bu Darmi mulai lemas, sering melamun di beranda rumahnya. Katanya, dalam mimpinya, ia
Kabut masih menyelimuti Desa Guna Jaya pagi itu. Matahari seolah enggan menampakkan sinarnya. Awan menggumpal pekat, dan aroma tanah basah bercampur dengan bau amis yang tak wajar tercium hingga ke pelosok rumah warga. Sesuatu terasa sangat berbeda pagi itu. Tenang, tapi bukan tenang yang menenangkan. Lebih mirip dengan keheningan sebelum badai.Pagi-pagi benar, suara jeritan memecah kesunyian dari arah pohon beringin tua di ujung desa. Warga yang mendengar langsung berlarian ke sumber suara. Beberapa masih memakai sarung, belum sempat mencuci muka. Yang lain membawa senter dan kayu panjang, berjaga-jaga seandainya sesuatu yang tak diinginkan terjadi.Mereka tiba tepat di bawah pohon itu—pohon beringin tua yang sudah ratusan tahun berdiri, menjulang dan menjalar seperti monster diam. Dan di sanalah mereka melihatnya…Sesuatu tergantung di salah satu dahannya.Awalnya mereka kira boneka. Tapi saat kabut perlahan menyingkap wajah benda itu, suara isak tangis dan jeritan terdengar dari b
Setelah kejadian di pohon beringin, suasana Desa Guna Jaya berubah drastis. Warga mulai enggan keluar rumah selepas maghrib. Bahkan suara jangkrik pun seperti ikut hilang. Hanya suara angin yang kadang terdengar seperti bisikan lirih, menyelinap di antara celah genteng dan dinding rumah-rumah tua.Reza duduk di beranda rumahnya malam itu. Tangannya menggenggam kopi yang tak lagi hangat. Matanya menatap ke arah jalan setapak yang mengarah ke bukit—ke tempat itu. Hatinya tak tenang. Ada rasa yang sulit dijelaskan, seperti ada sesuatu yang mengamatinya dari kejauhan.Tiba-tiba, seekor anjing milik tetangganya melolong panjang. Suaranya seperti jeritan manusia yang disiksa. Lalu... sunyi. Sunyi yang menusuk. Beberapa detik kemudian terdengar suara "krak... krak...", seperti ranting diinjak perlahan. Reza berdiri, mencoba mencari sumber suara. Tapi tak ada siapa-siapa.Saat ia hendak masuk ke dalam rumah, ia melihat sesuatu di ujung jalan.Bayangan hitam. Tinggi. Diam. Berdiri tepat di baw
Angin malam itu menderu lebih kencang dari biasanya. Awan hitam menutupi rembulan, membuat seluruh desa tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Pepohonan berderak keras seolah tengah berbisik satu sama lain, membawa kabar buruk yang sulit diterjemahkan.Bu Darmi yang menjaga desa malam itu merasakan firasat aneh. Ia memandangi langit gelap dari serambi rumahnya sambil memeluk erat selendang lusuh pemberian gurunya dahulu — satu-satunya benda yang membuatnya merasa sedikit aman.“Kenapa angin seperti ini...?” gumam Bu Darmi, matanya tajam memandang ke arah hutan kecil yang menjadi gerbang ke rawa terlarang.Suara gemuruh mendadak terdengar. Bukan gemuruh petir, melainkan seperti suara ribuan langkah kaki... dan di antaranya, suara genderang serta gemerincing gamelan.Dari kegelapan, kabut tebal mulai merayap perlahan, menyelimuti tanah, menelusup ke sela-sela rumah warga. Suasana desa mendadak berubah: sepi, namun terasa seperti ribuan pasang mata tengah mengintai dari kegelapan.Warga y
Langit di atas desa semakin gelap. Putaran pusaran awan hitam yang terbentuk akibat ulah Putri Tanjung Biru makin membesar, seakan hendak menelan seluruh tanah di bawahnya. Kilatan-kilatan cahaya berwarna ungu tua sesekali menyambar di dalam pusaran, menggetarkan tanah dan membuat pohon-pohon tua berderak, daunnya luruh ke tanah.Di tengah lapangan desa, Putri Tanjung Biru berdiri dengan angkuh. Rambut panjangnya yang biru keperakan melayang liar tertiup angin badai. Matanya menyala, memancarkan cahaya kehijauan menyeramkan. Di belakangnya, sosok-sosok bangsa lelembut telah mengambil bentuk nyata — ada yang menyerupai manusia dengan tubuh membusuk, ada yang setengah hewan, ada pula yang hanya berupa kabut kelabu mengambang.Bu Darmi menggenggam rajahnya lebih erat, gemetar, namun tetap bertahan di sisi Reza dan Ki Harjo. Sementara itu, Ki Harjo menancapkan tongkat kayu pulosari ke tanah, membentuk lingkaran perlindungan samar yang berpendar lemah di bawah kaki mereka."Ki Harjo... kek
Malam itu, langit di atas desa tampak jernih. Bulan purnama menggantung utuh, sinarnya menghamparkan cahaya keperakan di atas tanah, seolah memberkati keberhasilan yang baru saja diraih Reza, Ki Harjo, dan Bu Darmi.Mereka bertiga duduk di serambi rumah Bu Darmi, menikmati malam yang damai, sesekali menyesap teh hangat dan berbincang ringan tentang harapan masa depan desa."Kita berhasil, Bu," ucap Reza sambil menghela napas lega.Ki Harjo mengangguk pelan. "Untuk sementara, Nak. Tapi ingat, tanah ini sudah lama dikunci oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tua dari yang kau bayangkan."Bu Darmi hanya tersenyum tipis, meski dalam hatinya ada sebersit kekhawatiran yang belum sepenuhnya lenyap.Namun, ketika jarum jam hampir menunjuk ke pukul dua dini hari, angin kencang mendadak berhembus dari arah rawa. Bukan angin biasa — hembusannya dingin menggigit, membawa aroma anyir dan tanah basah.Bersamaan dengan itu, suara gamelan tua terdengar lirih dari kejauhan. Nada-nadanya ganjil, seperti l
Tubuh Reza bergetar hebat.Bukan karena takut, melainkan karena kekuatan besar yang mulai bangkit dari dalam dirinya.Saat segel pusaka mencakar tanah, sebuah aura kuno yang selama ini tersegel dalam darahnya terlepas.Udara di sekitarnya bergetar, suara-suara gaib mengerang, seolah makhluk dari zaman purba bangkit bersama amarah Reza.Dari balik kegelapan, sosok samar seorang kakek renta bermantel putih muncul di belakang Reza.Itu adalah roh buyutnya — sang penjaga rahasia kuno keluarga.Wajahnya bijaksana, namun matanya memancarkan ketegasan luar biasa."Cucuku... kini saatnya. Ambil seluruh warisan darah kita. Jadilah perisai baru bagi tanah ini!"Reza mengepalkan tangannya, merasakan darah leluhurnya mendidih bagaikan lava.Tubuhnya perlahan diselimuti cahaya keemasan redup, membentuk pola-pola kuno di kulitnya.Setiap tarikan napasnya kini terasa berat, namun penuh kekuatan.Pemimpin bangsa lelembut itu meringis sinis."Tak peduli siapa leluhurmu, manusia! Semuanya akan berlutut
Malam itu, langit Desa Waringin Sepuh menggulung dalam warna hitam pekat. Awan bergemuruh seperti amarah dewa yang tak terbendung. Angin bertiup liar, membawa aroma anyir darah dan tanah basah. Di batas desa, di depan gerbang tua yang sudah retak-retak, Bu Darmi berdiri dengan tubuh gemetar. Sisa-sisa kekuatan yang ia gunakan untuk mempertahankan batas pelindung desa nyaris habis. Peluh membanjiri wajahnya, tapi sorot matanya tetap tajam. Di hadapannya, makhluk-makhluk kegelapan sudah berkumpul. Ada sosok-sosok berkulit abu-abu, bertaring panjang, berambut api, bertubuh raksasa, hingga rombongan siluman anjing bertaring hitam. Jumlah mereka tak terhitung, mendesak, meraung, menjerit. Mereka lapar... lapar akan jiwa manusia. Seketika, tanah bergetar keras. Bu Darmi hampir saja jatuh, ketika cahaya putih menyilaukan tiba-tiba meledak dari ujung jalan desa. Semua makhluk itu mendadak berhenti, tubuh mereka gemetar, mulut mereka menggeram ketakutan. Karena di sana, berdiri Re
Di sebuah sungai keramat di luar Desa Waringin Sepuh, di tengah kabut tebal yang membeku di atas air, Reza berlutut di atas batu datar. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tapi karena energi aneh yang mengalir dari sungai itu menembus daging dan tulangnya. Ki Harjo berdiri di belakangnya, menggenggam sebuah tongkat kayu tua yang ujungnya bersinar samar. Wajah Ki Harjo serius, lebih serius dari sebelumnya. Suasana begitu hening, bahkan suara serangga pun seolah takut berbunyi. "Dengarkan aku baik-baik, Reza," suara Ki Harjo berat, menggema di antara kabut. "Di sungai ini, semua warisan leluhur, semua kekuatan tanah dan darah desa ini akan menguji dirimu." Reza mengangguk perlahan, walau hatinya penuh kecemasan. "Jika kau layak," lanjut Ki Harjo, "kau akan diberi kekuatan untuk menantang bangsa lelembut itu. Tapi jika kau gagal..." Ki Harjo tidak melanjutkan kata-katanya. Ia hanya menatap Reza dalam-dalam, sorot matanya berkata lebih keras dari kata-kata: "Kau
Malam itu, Desa Waringin Sepuh benar-benar seperti berada di ambang kiamat.Angin berhenti berhembus, seakan bumi sendiri menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.Di langit, tidak ada bintang, tidak ada rembulan. Hanya hitam kelam tak bertepi, seolah dunia telah kehilangan semua cahaya harapan.Bu Darmi duduk bersila di tengah pendopo desa, dikelilingi lingkaran lilin dan dupa.Keringat dingin membasahi tubuh tuanya, tapi ia tetap bertahan.Matanya terpejam, bibirnya tak henti-henti melafalkan doa-doa kuno, mantra pelindung yang diwariskan turun-temurun oleh leluhurnya.Namun, dari kejauhan, dari batas hutan yang mengelilingi desa, datang suara gemuruh yang semakin lama semakin keras.Suara itu seperti ribuan langkah kaki, teratur dan penuh tekad.Tanah mulai bergetar, genting-genting rumah berderak pelan seolah akan runtuh.Dan akhirnya, mereka muncul.Bangsa lelembut—dalam berbagai wujud mengerikan—menyerbu desa.Dari hutan, rawa, dan kebun karet, mereka datang berbondong-bondo
Sejak kepergian Reza dan Ki Harjo, Desa Waringin Sepuh seolah kehilangan cahaya.Hari-hari berlalu dalam selimut ketakutan. Udara desa yang biasanya hangat berubah menjadi berat dan dingin, membuat bulu kuduk warga berdiri tanpa sebab.Bu Darmi, satu-satunya penjaga yang tersisa, berusaha sekuat tenaga mempertahankan ketenangan. Ia membakar dupa dan kemenyan setiap sore di empat penjuru desa, membacakan doa-doa kuno yang diajarkan nenek moyangnya.Namun, kekuatan Bu Darmi tidak cukup untuk menahan amarah yang sudah bangkit.Malam pertama setelah ritual penyucian Reza, seorang pemuda, Toni, ditemukan pingsan di tepi rawa. Tubuhnya penuh bekas cakaran aneh, seperti dicabik oleh cakar makhluk besar. Ketika ia siuman, Toni hanya bisa berteriak-teriak histeris, matanya kosong tanpa fokus."Mereka... mereka menari di atas air... mereka memanggilku...," gumam Toni sambil terisak.Warga yang ketakutan mulai mengunci diri di rumah masing-masing sebelum senja. Tidak ada yang berani keluar, bahk
Sinar mentari pagi baru saja mengintip dari balik pegunungan jauh ketika Reza dan Ki Harjo melangkahkan kaki meninggalkan desa. Udara masih basah oleh embun, dan kabut tipis menggantung rendah, seolah-olah menahan langkah mereka untuk pergi.Bu Darmi berdiri di ambang pintu, menatap kepergian mereka dengan mata sendu yang diselimuti kecemasan. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah awal dari perubahan besar—bagi Reza, bagi desa, dan mungkin, bagi seluruh wilayah yang dihuni oleh bangsa lelembut.Dengan membawa bekal secukupnya, serta beberapa kain putih yang telah dirituali, Reza mengikuti Ki Harjo menembus hutan tua yang berada di luar batas desa. Hutan yang bahkan di siang bolong pun terasa gelap dan lembap. Burung-burung pun tampaknya enggan berkicau, seolah mengetahui bahwa hari ini ada sesuatu yang sedang bergerak di antara semak-semak tua itu.Sementara itu, di dalam desa, setelah Reza dan Ki Harjo pergi, sesuatu mulai berubah.Angin yang bertiup teras