Share

"Malam Seribu Bayangan"

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-04-28 06:47:19

Malam itu, Desa Waringin Sepuh benar-benar seperti berada di ambang kiamat.

Angin berhenti berhembus, seakan bumi sendiri menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.

Di langit, tidak ada bintang, tidak ada rembulan. Hanya hitam kelam tak bertepi, seolah dunia telah kehilangan semua cahaya harapan.

Bu Darmi duduk bersila di tengah pendopo desa, dikelilingi lingkaran lilin dan dupa.

Keringat dingin membasahi tubuh tuanya, tapi ia tetap bertahan.

Matanya terpejam, bibirnya tak henti-henti melafalkan doa-doa kuno, mantra pelindung yang diwariskan turun-temurun oleh leluhurnya.

Namun, dari kejauhan, dari batas hutan yang mengelilingi desa, datang suara gemuruh yang semakin lama semakin keras.

Suara itu seperti ribuan langkah kaki, teratur dan penuh tekad.

Tanah mulai bergetar, genting-genting rumah berderak pelan seolah akan runtuh.

Dan akhirnya, mereka muncul.

Bangsa lelembut—dalam berbagai wujud mengerikan—menyerbu desa.

Dari hutan, rawa, dan kebun karet, mereka datang berbondong-bondo
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pewaris yang Bangkit

    Di sebuah sungai keramat di luar Desa Waringin Sepuh, di tengah kabut tebal yang membeku di atas air, Reza berlutut di atas batu datar. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tapi karena energi aneh yang mengalir dari sungai itu menembus daging dan tulangnya. Ki Harjo berdiri di belakangnya, menggenggam sebuah tongkat kayu tua yang ujungnya bersinar samar. Wajah Ki Harjo serius, lebih serius dari sebelumnya. Suasana begitu hening, bahkan suara serangga pun seolah takut berbunyi. "Dengarkan aku baik-baik, Reza," suara Ki Harjo berat, menggema di antara kabut. "Di sungai ini, semua warisan leluhur, semua kekuatan tanah dan darah desa ini akan menguji dirimu." Reza mengangguk perlahan, walau hatinya penuh kecemasan. "Jika kau layak," lanjut Ki Harjo, "kau akan diberi kekuatan untuk menantang bangsa lelembut itu. Tapi jika kau gagal..." Ki Harjo tidak melanjutkan kata-katanya. Ia hanya menatap Reza dalam-dalam, sorot matanya berkata lebih keras dari kata-kata: "Kau

    Last Updated : 2025-04-28
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun    "Pertempuran di Gerbang Desa"

    Malam itu, langit Desa Waringin Sepuh menggulung dalam warna hitam pekat. Awan bergemuruh seperti amarah dewa yang tak terbendung. Angin bertiup liar, membawa aroma anyir darah dan tanah basah. Di batas desa, di depan gerbang tua yang sudah retak-retak, Bu Darmi berdiri dengan tubuh gemetar. Sisa-sisa kekuatan yang ia gunakan untuk mempertahankan batas pelindung desa nyaris habis. Peluh membanjiri wajahnya, tapi sorot matanya tetap tajam. Di hadapannya, makhluk-makhluk kegelapan sudah berkumpul. Ada sosok-sosok berkulit abu-abu, bertaring panjang, berambut api, bertubuh raksasa, hingga rombongan siluman anjing bertaring hitam. Jumlah mereka tak terhitung, mendesak, meraung, menjerit. Mereka lapar... lapar akan jiwa manusia. Seketika, tanah bergetar keras. Bu Darmi hampir saja jatuh, ketika cahaya putih menyilaukan tiba-tiba meledak dari ujung jalan desa. Semua makhluk itu mendadak berhenti, tubuh mereka gemetar, mulut mereka menggeram ketakutan. Karena di sana, berdiri Re

    Last Updated : 2025-04-29
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kemenangan Semu

    Tubuh Reza bergetar hebat.Bukan karena takut, melainkan karena kekuatan besar yang mulai bangkit dari dalam dirinya.Saat segel pusaka mencakar tanah, sebuah aura kuno yang selama ini tersegel dalam darahnya terlepas.Udara di sekitarnya bergetar, suara-suara gaib mengerang, seolah makhluk dari zaman purba bangkit bersama amarah Reza.Dari balik kegelapan, sosok samar seorang kakek renta bermantel putih muncul di belakang Reza.Itu adalah roh buyutnya — sang penjaga rahasia kuno keluarga.Wajahnya bijaksana, namun matanya memancarkan ketegasan luar biasa."Cucuku... kini saatnya. Ambil seluruh warisan darah kita. Jadilah perisai baru bagi tanah ini!"Reza mengepalkan tangannya, merasakan darah leluhurnya mendidih bagaikan lava.Tubuhnya perlahan diselimuti cahaya keemasan redup, membentuk pola-pola kuno di kulitnya.Setiap tarikan napasnya kini terasa berat, namun penuh kekuatan.Pemimpin bangsa lelembut itu meringis sinis."Tak peduli siapa leluhurmu, manusia! Semuanya akan berlutut

    Last Updated : 2025-04-29
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Sang Putri Tanjung Biru

    Malam itu, langit di atas desa tampak jernih. Bulan purnama menggantung utuh, sinarnya menghamparkan cahaya keperakan di atas tanah, seolah memberkati keberhasilan yang baru saja diraih Reza, Ki Harjo, dan Bu Darmi.Mereka bertiga duduk di serambi rumah Bu Darmi, menikmati malam yang damai, sesekali menyesap teh hangat dan berbincang ringan tentang harapan masa depan desa."Kita berhasil, Bu," ucap Reza sambil menghela napas lega.Ki Harjo mengangguk pelan. "Untuk sementara, Nak. Tapi ingat, tanah ini sudah lama dikunci oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tua dari yang kau bayangkan."Bu Darmi hanya tersenyum tipis, meski dalam hatinya ada sebersit kekhawatiran yang belum sepenuhnya lenyap.Namun, ketika jarum jam hampir menunjuk ke pukul dua dini hari, angin kencang mendadak berhembus dari arah rawa. Bukan angin biasa — hembusannya dingin menggigit, membawa aroma anyir dan tanah basah.Bersamaan dengan itu, suara gamelan tua terdengar lirih dari kejauhan. Nada-nadanya ganjil, seperti l

    Last Updated : 2025-04-29
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Amarah Sang Putri

    Langit di atas desa semakin gelap. Putaran pusaran awan hitam yang terbentuk akibat ulah Putri Tanjung Biru makin membesar, seakan hendak menelan seluruh tanah di bawahnya. Kilatan-kilatan cahaya berwarna ungu tua sesekali menyambar di dalam pusaran, menggetarkan tanah dan membuat pohon-pohon tua berderak, daunnya luruh ke tanah.Di tengah lapangan desa, Putri Tanjung Biru berdiri dengan angkuh. Rambut panjangnya yang biru keperakan melayang liar tertiup angin badai. Matanya menyala, memancarkan cahaya kehijauan menyeramkan. Di belakangnya, sosok-sosok bangsa lelembut telah mengambil bentuk nyata — ada yang menyerupai manusia dengan tubuh membusuk, ada yang setengah hewan, ada pula yang hanya berupa kabut kelabu mengambang.Bu Darmi menggenggam rajahnya lebih erat, gemetar, namun tetap bertahan di sisi Reza dan Ki Harjo. Sementara itu, Ki Harjo menancapkan tongkat kayu pulosari ke tanah, membentuk lingkaran perlindungan samar yang berpendar lemah di bawah kaki mereka."Ki Harjo... kek

    Last Updated : 2025-04-29
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kebangkitan Sang Penguasa Rawa”

    Angin malam itu menderu lebih kencang dari biasanya. Awan hitam menutupi rembulan, membuat seluruh desa tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Pepohonan berderak keras seolah tengah berbisik satu sama lain, membawa kabar buruk yang sulit diterjemahkan.Bu Darmi yang menjaga desa malam itu merasakan firasat aneh. Ia memandangi langit gelap dari serambi rumahnya sambil memeluk erat selendang lusuh pemberian gurunya dahulu — satu-satunya benda yang membuatnya merasa sedikit aman.“Kenapa angin seperti ini...?” gumam Bu Darmi, matanya tajam memandang ke arah hutan kecil yang menjadi gerbang ke rawa terlarang.Suara gemuruh mendadak terdengar. Bukan gemuruh petir, melainkan seperti suara ribuan langkah kaki... dan di antaranya, suara genderang serta gemerincing gamelan.Dari kegelapan, kabut tebal mulai merayap perlahan, menyelimuti tanah, menelusup ke sela-sela rumah warga. Suasana desa mendadak berubah: sepi, namun terasa seperti ribuan pasang mata tengah mengintai dari kegelapan.Warga y

    Last Updated : 2025-04-29
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Utusan dari Samudra

    Kabut belum juga surut. Malam terasa semakin panjang, seolah waktu enggan bergerak maju. Langit kelam membisu tanpa bintang, seperti telah menutup matanya atas bencana yang sedang terjadi di desa itu. Suara gamelan yang sempat mereda, kini terdengar kembali—lebih lirih, namun jauh lebih menusuk hati. Dentingannya membawa perasaan gentar yang sulit dijelaskan. Di dalam rumah, Bu Darmi terduduk lemas. Dupa sudah habis, rajah sudah terbakar angin. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya gemetar, dan nafasnya mulai terputus-putus. Pertahanan spiritualnya mulai runtuh. “Gusti... kuatna aku...” lirihnya, sambil berpegangan pada kendi yang hampir pecah. Di luar, para leluhur penjaga desa masih bertarung melawan pasukan lelembut yang tak ada habisnya. Sekali ditebas oleh cahaya tombak para leluhur, muncul dua makhluk baru menggantikan. Seakan-akan Putri Tanjung Biru sengaja membuka gerbang untuk membiarkan segala macam makhluk dari rawa berkeliaran di desa. Warga yang tak sadar, kini banyak yang k

    Last Updated : 2025-04-30
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Duel Dua alam

    Saat kabut mulai menipis dan udara kembali tenang, suara gamelan yang semula mencekam kini terdengar lirih, seperti sayup-sayup suara rintihan angin yang kelelahan. Sosok Putri Tanjung Biru perlahan kembali muncul dari bayang kabut, kali ini dalam wujud lamanya — sosok perempuan cantik berbalut gaun kabut biru yang telah sobek di beberapa bagian. Wajahnya pucat, penuh luka bercahaya, tapi matanya tak lagi menyala amarah, melainkan kelelahan dan… pengakuan.Ia menatap utusan dari Laut Kidul yang masih berdiri tegak, tak tersentuh sedikit pun.“Aku kalah…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, tapi seluruh alam seperti ikut mendengar dan diam menyimak.Langkahnya gontai. Ia menunduk dengan hormat, memberi penghormatan pada kekuatan yang lebih tua dan lebih agung.“Aku... akan menghentikan semua ini. Tak akan ada lagi penyerangan. Tak akan ada lagi pemaksaan wilayah. Tapi…” ia menatap Reza, Ki Harjo, dan Bu Darmi yang kini berdiri di tepian rawa. “Aku punya satu syarat.”Utusan Laut Kidu

    Last Updated : 2025-04-30

Latest chapter

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bersih Desa, Persembahan untuk Penjaga Alam

    Pagi setelah malam terakhir pertunjukan, suasana desa masih dipenuhi sisa-sisa kegembiraan. Namun kini, warga mulai bersiap untuk agenda penting selanjutnya: acara bersih desa.Matahari baru saja naik ketika dentang kentongan berbunyi tiga kali—tanda bagi seluruh warga untuk berkumpul. Dari berbagai penjuru, orang-orang datang membawa hasil panen: singkong, ketela, kelapa, labu, jagung, dan berbagai sayuran segar. Anak-anak membawa ayam kampung hidup-hidup, sementara para lelaki dewasa menggiring seekor kerbau besar yang akan dijadikan sesaji utama.Lapangan desa yang kemarin dipenuhi panggung dan penonton, kini berubah menjadi dapur raksasa. Warga perempuan sibuk menyiapkan bumbu dan alat masak. Periuk besar didirikan, dan api unggun menyala di beberapa titik. Bau rempah dan daging mulai menguar, membuat suasana hangat dan penuh kebersamaan.Semua sibuk tapi bahagia. Tak ada yang bersungut. Tak ada yang merasa diperintah. Hari itu, semua bekerja atas kesadaran dan tradisi yang sudah

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Menari di Ambang Dua Dunia

    Malam ketujuh datang dengan gegap gempita yang belum pernah terjadi sebelumnya. Langit malam terang oleh cahaya lentera minyak dan obor yang berderet dari ujung desa sampai lapangan. Irama gamelan menggema lebih cepat dan meriah, pertanda bahwa pertunjukan terakhir akan segera dimulai. Warga desa dan pendatang makin memadati lapangan. Bahkan banyak yang duduk di atas pohon, pagar, dan atap rumah hanya untuk menyaksikan acara ini.Wayang kulit malam ini mengangkat lakon penutup: "Semar Bangun Kayangan", kisah tentang keharmonisan dunia manusia dan dunia gaib, yang diyakini sebagai simbol damai antara dua alam.Di tengah kemeriahan, para penari kuda lumping mulai melakukan tarian pembuka. Dentuman kendang dan suara gong semakin memicu semangat penonton. Namun tanpa diduga, salah satu penari perempuan—berparas ayu dan dikenal pendiam—mendadak jatuh terduduk. Tubuhnya bergetar, matanya menatap kosong ke langit.Orang-orang mulai berdesakan. Seorang sesepuh mendekat, hendak menolong, namun

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tarian Dua Dunia

    Malam keenam turun dengan hawa yang berbeda. Tidak lagi menakutkan atau penuh tekanan seperti malam-malam sebelumnya. Justru ada sesuatu yang terasa... hangat. Seperti desa kecil ini tengah berada di antara dua dunia yang berdamai sejenak.Pertunjukan kuda lumping baru saja dimulai. Musik kendang menghentak ritmis, membuat jantung para penonton berdetak seirama. Asap dupa mengepul dari berbagai sudut lapangan desa, menciptakan aroma yang membuat kepala sedikit ringan. Para penari mulai kerasukan satu per satu, melompat, mengunyah pecahan kaca, bahkan ada yang merangkak seperti kuda liar.Namun malam itu, sesuatu yang luar biasa terjadi.Di antara kerumunan penonton, sosok-sosok tak biasa mulai terlihat—berdiri di tempat yang tak seharusnya ada ruang. Mereka berpakaian seperti penari dari masa lampau, mengenakan baju tradisional berwarna redup, dan wajah mereka… samar, seolah berada dalam kabut. Tapi mereka tak menakuti. Warga yang hadir malam itu merasa tenang, damai.Tiba-tiba, salah

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Di Balik Hiruk Pikuk

    Hari kedua pertunjukan dibuka dengan iring-iringan kuda lumping dari arah barat desa. Debu beterbangan, langkah-langkah kaki para pemain menabuh tanah, diiringi suara kendang dan gong yang menghentak hati. Para pengunjung dari desa tetangga mulai berdatangan, memenuhi lapangan bahkan sampai ke gang pinggir jalan. Lapak-lapak dagangan berjejer, menjual jajanan pasar, mainan anak-anak, hingga pernak-pernik mistik seperti gelang akar bahar, tasbih dari batu akik, dan dupa khusus pemanggil energi leluhur. Warga desa sendiri sibuk melayani tamu-tamu yang datang. Rumah-rumah yang biasanya sepi kini ramai dengan keluarga jauh yang ingin menyaksikan acara langka ini. Banyak yang percaya bahwa pertunjukan ini bukan sekadar hiburan, tapi momen sakral yang hanya terjadi beberapa generasi sekali. Suara gamelan kembali menggema menjelang siang, menandakan kuda lumping dimulai. Para pemain tampak lebih liar dari hari pertama. Ada yang melompat tinggi, menggigit pecahan kaca, hingga menari di atas

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Hari Pertama Perjanjian

    Pagi itu, kabut masih belum sepenuhnya mengangkat dari permukaan tanah. Aroma embun dan tanah basah menyeruak di sepanjang jalan desa yang mulai dipenuhi bisik-bisik warga. Malam sebelumnya, sebagian dari mereka memang sudah mendengar gamelan misterius dan suara angin mendesir seperti ratapan. Tapi tak ada yang benar-benar berani bicara—hingga hari ini.Bu Darmi berdiri di pelataran balai desa, mengenakan kebaya cokelat tua dan selendang hitam, wajahnya serius namun tenang. Di sampingnya, Reza berdiri diam. Tatapannya tajam menembus kerumunan, seolah mencari wajah-wajah yang masih ragu untuk percaya.Pak RT, lelaki paruh baya yang biasanya dikenal santai, kali ini bersuara lantang dan tegas.“Saudara-saudara…!” serunya sambil mengetuk kentongan kecil.Warga mulai berkumpul, beberapa masih dengan sarung dan kain lusuh, sebagian lain tampak penasaran dan khawatir.“Kami memanggil kalian semua bukan tanpa sebab,” lanjut Pak RT. “Tadi malam, sesuatu terjadi… sesuatu yang melibatkan alam y

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Duel Dua alam

    Saat kabut mulai menipis dan udara kembali tenang, suara gamelan yang semula mencekam kini terdengar lirih, seperti sayup-sayup suara rintihan angin yang kelelahan. Sosok Putri Tanjung Biru perlahan kembali muncul dari bayang kabut, kali ini dalam wujud lamanya — sosok perempuan cantik berbalut gaun kabut biru yang telah sobek di beberapa bagian. Wajahnya pucat, penuh luka bercahaya, tapi matanya tak lagi menyala amarah, melainkan kelelahan dan… pengakuan.Ia menatap utusan dari Laut Kidul yang masih berdiri tegak, tak tersentuh sedikit pun.“Aku kalah…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, tapi seluruh alam seperti ikut mendengar dan diam menyimak.Langkahnya gontai. Ia menunduk dengan hormat, memberi penghormatan pada kekuatan yang lebih tua dan lebih agung.“Aku... akan menghentikan semua ini. Tak akan ada lagi penyerangan. Tak akan ada lagi pemaksaan wilayah. Tapi…” ia menatap Reza, Ki Harjo, dan Bu Darmi yang kini berdiri di tepian rawa. “Aku punya satu syarat.”Utusan Laut Kidu

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Utusan dari Samudra

    Kabut belum juga surut. Malam terasa semakin panjang, seolah waktu enggan bergerak maju. Langit kelam membisu tanpa bintang, seperti telah menutup matanya atas bencana yang sedang terjadi di desa itu. Suara gamelan yang sempat mereda, kini terdengar kembali—lebih lirih, namun jauh lebih menusuk hati. Dentingannya membawa perasaan gentar yang sulit dijelaskan. Di dalam rumah, Bu Darmi terduduk lemas. Dupa sudah habis, rajah sudah terbakar angin. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya gemetar, dan nafasnya mulai terputus-putus. Pertahanan spiritualnya mulai runtuh. “Gusti... kuatna aku...” lirihnya, sambil berpegangan pada kendi yang hampir pecah. Di luar, para leluhur penjaga desa masih bertarung melawan pasukan lelembut yang tak ada habisnya. Sekali ditebas oleh cahaya tombak para leluhur, muncul dua makhluk baru menggantikan. Seakan-akan Putri Tanjung Biru sengaja membuka gerbang untuk membiarkan segala macam makhluk dari rawa berkeliaran di desa. Warga yang tak sadar, kini banyak yang k

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kebangkitan Sang Penguasa Rawa”

    Angin malam itu menderu lebih kencang dari biasanya. Awan hitam menutupi rembulan, membuat seluruh desa tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Pepohonan berderak keras seolah tengah berbisik satu sama lain, membawa kabar buruk yang sulit diterjemahkan.Bu Darmi yang menjaga desa malam itu merasakan firasat aneh. Ia memandangi langit gelap dari serambi rumahnya sambil memeluk erat selendang lusuh pemberian gurunya dahulu — satu-satunya benda yang membuatnya merasa sedikit aman.“Kenapa angin seperti ini...?” gumam Bu Darmi, matanya tajam memandang ke arah hutan kecil yang menjadi gerbang ke rawa terlarang.Suara gemuruh mendadak terdengar. Bukan gemuruh petir, melainkan seperti suara ribuan langkah kaki... dan di antaranya, suara genderang serta gemerincing gamelan.Dari kegelapan, kabut tebal mulai merayap perlahan, menyelimuti tanah, menelusup ke sela-sela rumah warga. Suasana desa mendadak berubah: sepi, namun terasa seperti ribuan pasang mata tengah mengintai dari kegelapan.Warga y

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Amarah Sang Putri

    Langit di atas desa semakin gelap. Putaran pusaran awan hitam yang terbentuk akibat ulah Putri Tanjung Biru makin membesar, seakan hendak menelan seluruh tanah di bawahnya. Kilatan-kilatan cahaya berwarna ungu tua sesekali menyambar di dalam pusaran, menggetarkan tanah dan membuat pohon-pohon tua berderak, daunnya luruh ke tanah.Di tengah lapangan desa, Putri Tanjung Biru berdiri dengan angkuh. Rambut panjangnya yang biru keperakan melayang liar tertiup angin badai. Matanya menyala, memancarkan cahaya kehijauan menyeramkan. Di belakangnya, sosok-sosok bangsa lelembut telah mengambil bentuk nyata — ada yang menyerupai manusia dengan tubuh membusuk, ada yang setengah hewan, ada pula yang hanya berupa kabut kelabu mengambang.Bu Darmi menggenggam rajahnya lebih erat, gemetar, namun tetap bertahan di sisi Reza dan Ki Harjo. Sementara itu, Ki Harjo menancapkan tongkat kayu pulosari ke tanah, membentuk lingkaran perlindungan samar yang berpendar lemah di bawah kaki mereka."Ki Harjo... kek

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status