Share

Sang Putri Tanjung Biru

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-04-29 07:04:21

Malam itu, langit di atas desa tampak jernih. Bulan purnama menggantung utuh, sinarnya menghamparkan cahaya keperakan di atas tanah, seolah memberkati keberhasilan yang baru saja diraih Reza, Ki Harjo, dan Bu Darmi.

Mereka bertiga duduk di serambi rumah Bu Darmi, menikmati malam yang damai, sesekali menyesap teh hangat dan berbincang ringan tentang harapan masa depan desa.

"Kita berhasil, Bu," ucap Reza sambil menghela napas lega.

Ki Harjo mengangguk pelan. "Untuk sementara, Nak. Tapi ingat, tanah ini sudah lama dikunci oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tua dari yang kau bayangkan."

Bu Darmi hanya tersenyum tipis, meski dalam hatinya ada sebersit kekhawatiran yang belum sepenuhnya lenyap.

Namun, ketika jarum jam hampir menunjuk ke pukul dua dini hari, angin kencang mendadak berhembus dari arah rawa. Bukan angin biasa — hembusannya dingin menggigit, membawa aroma anyir dan tanah basah.

Bersamaan dengan itu, suara gamelan tua terdengar lirih dari kejauhan. Nada-nadanya ganjil, seperti l
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Amarah Sang Putri

    Langit di atas desa semakin gelap. Putaran pusaran awan hitam yang terbentuk akibat ulah Putri Tanjung Biru makin membesar, seakan hendak menelan seluruh tanah di bawahnya. Kilatan-kilatan cahaya berwarna ungu tua sesekali menyambar di dalam pusaran, menggetarkan tanah dan membuat pohon-pohon tua berderak, daunnya luruh ke tanah.Di tengah lapangan desa, Putri Tanjung Biru berdiri dengan angkuh. Rambut panjangnya yang biru keperakan melayang liar tertiup angin badai. Matanya menyala, memancarkan cahaya kehijauan menyeramkan. Di belakangnya, sosok-sosok bangsa lelembut telah mengambil bentuk nyata — ada yang menyerupai manusia dengan tubuh membusuk, ada yang setengah hewan, ada pula yang hanya berupa kabut kelabu mengambang.Bu Darmi menggenggam rajahnya lebih erat, gemetar, namun tetap bertahan di sisi Reza dan Ki Harjo. Sementara itu, Ki Harjo menancapkan tongkat kayu pulosari ke tanah, membentuk lingkaran perlindungan samar yang berpendar lemah di bawah kaki mereka."Ki Harjo... kek

    Last Updated : 2025-04-29
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kebangkitan Sang Penguasa Rawa”

    Angin malam itu menderu lebih kencang dari biasanya. Awan hitam menutupi rembulan, membuat seluruh desa tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Pepohonan berderak keras seolah tengah berbisik satu sama lain, membawa kabar buruk yang sulit diterjemahkan.Bu Darmi yang menjaga desa malam itu merasakan firasat aneh. Ia memandangi langit gelap dari serambi rumahnya sambil memeluk erat selendang lusuh pemberian gurunya dahulu — satu-satunya benda yang membuatnya merasa sedikit aman.“Kenapa angin seperti ini...?” gumam Bu Darmi, matanya tajam memandang ke arah hutan kecil yang menjadi gerbang ke rawa terlarang.Suara gemuruh mendadak terdengar. Bukan gemuruh petir, melainkan seperti suara ribuan langkah kaki... dan di antaranya, suara genderang serta gemerincing gamelan.Dari kegelapan, kabut tebal mulai merayap perlahan, menyelimuti tanah, menelusup ke sela-sela rumah warga. Suasana desa mendadak berubah: sepi, namun terasa seperti ribuan pasang mata tengah mengintai dari kegelapan.Warga y

    Last Updated : 2025-04-29
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bab 1: Pulang ke Kampung yang Tak Sama Lagi Oleh Kelaras Ijo (±1.600 kata – horor atmosferik, merayap, dan menyesakkan)

    Malam itu, awan menggantung rendah di atas langit desa. Angin berdesir pelan, membawa bau tanah basah yang entah kenapa terasa... asing. Di kejauhan, kabut tipis mulai merambat pelan dari arah bukit kecil di sebelah timur desa—bukit yang dulunya sering aku datangi waktu kecil, tapi sekarang... hanya didiamkan.Namaku Reza. Setelah sepuluh tahun merantau, aku kembali ke kampung halaman—Desa Warasari. Sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, rawa, dan kisah-kisah yang orang kota pasti anggap cuma tahayul. Tapi bagi kami yang tumbuh di sini, cerita itu bukan buat ditertawakan. Tapi dihindari. Dihormati.Malam pertama pulang, ibu sudah berpesan, “Jangan ke arah bukit itu, Le. Sekarang beda. Banyak yang hilang, banyak yang... gak balik.”Aku cuma mengangguk sambil senyum. Kupikir itu cuma kecemasan khas orang tua. Tapi malam itu, sesuatu membuatku tak bisa tidur. Seperti ada bisikan halus dari luar jendela kamar. Bukan suara orang. Bukan suara binatang. Tapi... suara seperti tanah yang me

    Last Updated : 2025-04-11
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bab 2: Mereka yang Tak Terlihat

    Malam ketiga setelah kejadian di bukit itu, aku tidak benar-benar tidur. Tubuhku lelah, demamku turun naik, tapi mata ini enggan terpejam. Ada sesuatu yang mengendap di udara. Seperti... seseorang—atau sesuatu—mengintipku dari balik gelap.Aku memejamkan mata. Tapi justru di situlah semuanya dimulai.Dalam mimpi, aku berdiri di tengah kabut. Kabutnya tebal, nyaris seperti kapas busuk, dan berbau amis. Di sekelilingku hanya suara-suara—bukan suara manusia. Mereka bergumam dalam bahasa yang tidak kumengerti, tapi entah bagaimana aku tahu, mereka membicarakanku.Di depan, sosok-sosok samar mulai bermunculan. Bayangan-bayangan tinggi, kurus, kepala mereka terlalu panjang, wajahnya ditutupi rambut, dan kakinya... melayang. Mereka tidak berjalan. Mereka mengambang—bergerak perlahan seperti asap.Salah satu dari mereka menunjukku.Lalu semuanya memekik dalam satu suara.“Balikke...! Ojo lali...!”(Kembalikan...! Jangan lupa...!)Aku terbangun dengan tubuh menggigil dan nafas memburu.Di luar

    Last Updated : 2025-04-11
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bab 3: Pintu yang Terbuka Sendiri

    Sejak malam itu, setiap aku memejamkan mata, aku tak lagi bermimpi—aku dibawa. Seolah ada tali tak kasat mata yang menarikku ke dunia mereka, ke kampung gelap yang sunyi, lembap, dan dingin.Kampung itu tidak berubah. Rumah-rumah berjajar dengan bentuk aneh, atap-atap dari rambut hitam, dinding dari anyaman daun kering yang seperti bernafas. Di tengah kampung, ada sumur—mirip dengan yang di desa, tapi lebih dalam, dengan uap panas mengepul dari dalamnya.Di sana, anak-anak kecil berlarian. Tapi wajah mereka tidak wajar—sebagian tanpa mata, sebagian tersenyum dengan mulut robek hingga ke telinga. Dan di balik rumah-rumah itu, makhluk-makhluk tinggi, kurus, wajahnya tidak pernah terlihat, hanya mengamati.Mereka tidak mendekat. Tidak juga bicara. Tapi aku tahu... mereka menunggu sesuatu. Menunggu aku melakukan kesalahan.Dan malam itu, aku melangkah lebih jauh dari biasanya.---Aku mengikuti suara tangisan itu—suara si perempuan dari malam-malam sebelumnya. Tangisnya lirih, seperti ana

    Last Updated : 2025-04-11
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun    Masuk ke Cermin

    Langit malam itu aneh—seperti luka hitam yang menganga. Bintang-bintang seolah padam, digantikan kerlip merah kecil yang menari di kejauhan. Udara panas, tapi dingin menyusup dari tanah. Desa terasa sunyi, terlalu sunyi. Seperti semua suara disedot oleh sesuatu yang tak terlihat. Aku berdiri di halaman belakang rumah, di mana Bu Darmi sudah menyiapkan lingkaran dari abu dan jerami kering. “Sekali kamu masuk, kamu harus tahu jalan keluar,” katanya pelan. “Kalau enggak, kamu akan tetap di sana, selamanya.” Di hadapanku berdiri sebuah cermin besar, tua, usang, dan penuh bercak hitam. Itu cermin yang dulu disimpan di bedeng tua—salah satu benda terakhir dari zaman Belanda yang masih tersisa. Ditemukan kembali oleh warga dan diam-diam disimpan oleh Bu Darmi. “Kenapa harus lewat cermin?” tanyaku. “Karena dari sinilah mereka dulu keluar,” jawabnya, menaburkan garam di sekitar lingkaran. “Dan dari sinilah kamu bisa masuk. Tapi ingat, hanya bisa lewat satu kali. Kalau kamu gagal narik di

    Last Updated : 2025-04-12
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kutukan yang Bangkit

    Sudah tiga hari sejak Reza kembali dari tempat itu—dari dunia di balik cermin yang tak semestinya dijamah manusia. Tubuhnya masih terasa lemas, tapi pikirannya jauh lebih berat. Ia terus teringat sosok makhluk bersisik itu... dan suara-suara yang masih terngiang meski ia sudah terbangun.Namun yang paling mengganggunya adalah desa. Segalanya tidak lagi sama.Burung-burung tak berkicau di pagi hari. Embun yang biasanya menyejukkan kini terasa berat, seperti air dari sumur yang tak pernah disentuh cahaya. Anak-anak berhenti bermain di dekat rawa. Bahkan para tetua, yang biasa duduk di gardu sambil mengunyah sirih, kini hanya berdiam diri, menatap kosong ke arah bukit kecil tempat pohon beringin kembar itu tumbuh.Dan malam pertama setelah ritual...Langit desa berubah menjadi merah darah.---“Za, kamu harus datang ke rumahku,” suara Bu Darmi gemetar di ujung telepon.Reza melangkah cepat ke rumah wanita tua itu. Begitu tiba, ia mencium bau amis yang sangat kuat—seperti darah busuk berc

    Last Updated : 2025-04-12
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Malam Para Penjemput

    Malam itu, langit desa seperti terbelah. Awan hitam menggulung tebal, menutup bulan sepenuhnya. Tak ada cahaya. Hanya suara malam yang aneh—sunyi, namun menyimpan sesuatu yang mengintai.Reza berdiri di teras rumahnya, menatap ke arah bukit. Angin malam menyapu dedaunan, namun tak ada suara jangkrik, tak ada burung hantu. Bahkan suara kodok pun tak terdengar.Lalu terdengar... bunyi kendang.Pelan. Tapi ritmenya seperti denyut nadi.Dug... dug... dug... dug...Dari arah rawa.---Sementara itu, di rumah Pak Saman—seorang tetua kampung yang dikenal religius dan punya “mata batin”—istri dan anak-anaknya sedang tertidur. Tapi saat tengah malam, Pak Saman mendengar suara pintu terbuka sendiri.Ia bangun, melangkah pelan menuju ruang depan.Dan di sana... berdiri sesosok perempuan.Rambutnya panjang menyapu lantai. Bajunya lusuh, penuh tanah basah dan lumut rawa. Wajahnya... tidak terlihat. Hanya rambut dan bayangan hitam seperti kabut.“Maaf, Nduk... ini rumah siapa?” tanya Pak Saman deng

    Last Updated : 2025-04-12

Latest chapter

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kebangkitan Sang Penguasa Rawa”

    Angin malam itu menderu lebih kencang dari biasanya. Awan hitam menutupi rembulan, membuat seluruh desa tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Pepohonan berderak keras seolah tengah berbisik satu sama lain, membawa kabar buruk yang sulit diterjemahkan.Bu Darmi yang menjaga desa malam itu merasakan firasat aneh. Ia memandangi langit gelap dari serambi rumahnya sambil memeluk erat selendang lusuh pemberian gurunya dahulu — satu-satunya benda yang membuatnya merasa sedikit aman.“Kenapa angin seperti ini...?” gumam Bu Darmi, matanya tajam memandang ke arah hutan kecil yang menjadi gerbang ke rawa terlarang.Suara gemuruh mendadak terdengar. Bukan gemuruh petir, melainkan seperti suara ribuan langkah kaki... dan di antaranya, suara genderang serta gemerincing gamelan.Dari kegelapan, kabut tebal mulai merayap perlahan, menyelimuti tanah, menelusup ke sela-sela rumah warga. Suasana desa mendadak berubah: sepi, namun terasa seperti ribuan pasang mata tengah mengintai dari kegelapan.Warga y

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Amarah Sang Putri

    Langit di atas desa semakin gelap. Putaran pusaran awan hitam yang terbentuk akibat ulah Putri Tanjung Biru makin membesar, seakan hendak menelan seluruh tanah di bawahnya. Kilatan-kilatan cahaya berwarna ungu tua sesekali menyambar di dalam pusaran, menggetarkan tanah dan membuat pohon-pohon tua berderak, daunnya luruh ke tanah.Di tengah lapangan desa, Putri Tanjung Biru berdiri dengan angkuh. Rambut panjangnya yang biru keperakan melayang liar tertiup angin badai. Matanya menyala, memancarkan cahaya kehijauan menyeramkan. Di belakangnya, sosok-sosok bangsa lelembut telah mengambil bentuk nyata — ada yang menyerupai manusia dengan tubuh membusuk, ada yang setengah hewan, ada pula yang hanya berupa kabut kelabu mengambang.Bu Darmi menggenggam rajahnya lebih erat, gemetar, namun tetap bertahan di sisi Reza dan Ki Harjo. Sementara itu, Ki Harjo menancapkan tongkat kayu pulosari ke tanah, membentuk lingkaran perlindungan samar yang berpendar lemah di bawah kaki mereka."Ki Harjo... kek

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Sang Putri Tanjung Biru

    Malam itu, langit di atas desa tampak jernih. Bulan purnama menggantung utuh, sinarnya menghamparkan cahaya keperakan di atas tanah, seolah memberkati keberhasilan yang baru saja diraih Reza, Ki Harjo, dan Bu Darmi.Mereka bertiga duduk di serambi rumah Bu Darmi, menikmati malam yang damai, sesekali menyesap teh hangat dan berbincang ringan tentang harapan masa depan desa."Kita berhasil, Bu," ucap Reza sambil menghela napas lega.Ki Harjo mengangguk pelan. "Untuk sementara, Nak. Tapi ingat, tanah ini sudah lama dikunci oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tua dari yang kau bayangkan."Bu Darmi hanya tersenyum tipis, meski dalam hatinya ada sebersit kekhawatiran yang belum sepenuhnya lenyap.Namun, ketika jarum jam hampir menunjuk ke pukul dua dini hari, angin kencang mendadak berhembus dari arah rawa. Bukan angin biasa — hembusannya dingin menggigit, membawa aroma anyir dan tanah basah.Bersamaan dengan itu, suara gamelan tua terdengar lirih dari kejauhan. Nada-nadanya ganjil, seperti l

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kemenangan Semu

    Tubuh Reza bergetar hebat.Bukan karena takut, melainkan karena kekuatan besar yang mulai bangkit dari dalam dirinya.Saat segel pusaka mencakar tanah, sebuah aura kuno yang selama ini tersegel dalam darahnya terlepas.Udara di sekitarnya bergetar, suara-suara gaib mengerang, seolah makhluk dari zaman purba bangkit bersama amarah Reza.Dari balik kegelapan, sosok samar seorang kakek renta bermantel putih muncul di belakang Reza.Itu adalah roh buyutnya — sang penjaga rahasia kuno keluarga.Wajahnya bijaksana, namun matanya memancarkan ketegasan luar biasa."Cucuku... kini saatnya. Ambil seluruh warisan darah kita. Jadilah perisai baru bagi tanah ini!"Reza mengepalkan tangannya, merasakan darah leluhurnya mendidih bagaikan lava.Tubuhnya perlahan diselimuti cahaya keemasan redup, membentuk pola-pola kuno di kulitnya.Setiap tarikan napasnya kini terasa berat, namun penuh kekuatan.Pemimpin bangsa lelembut itu meringis sinis."Tak peduli siapa leluhurmu, manusia! Semuanya akan berlutut

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun    "Pertempuran di Gerbang Desa"

    Malam itu, langit Desa Waringin Sepuh menggulung dalam warna hitam pekat. Awan bergemuruh seperti amarah dewa yang tak terbendung. Angin bertiup liar, membawa aroma anyir darah dan tanah basah. Di batas desa, di depan gerbang tua yang sudah retak-retak, Bu Darmi berdiri dengan tubuh gemetar. Sisa-sisa kekuatan yang ia gunakan untuk mempertahankan batas pelindung desa nyaris habis. Peluh membanjiri wajahnya, tapi sorot matanya tetap tajam. Di hadapannya, makhluk-makhluk kegelapan sudah berkumpul. Ada sosok-sosok berkulit abu-abu, bertaring panjang, berambut api, bertubuh raksasa, hingga rombongan siluman anjing bertaring hitam. Jumlah mereka tak terhitung, mendesak, meraung, menjerit. Mereka lapar... lapar akan jiwa manusia. Seketika, tanah bergetar keras. Bu Darmi hampir saja jatuh, ketika cahaya putih menyilaukan tiba-tiba meledak dari ujung jalan desa. Semua makhluk itu mendadak berhenti, tubuh mereka gemetar, mulut mereka menggeram ketakutan. Karena di sana, berdiri Re

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pewaris yang Bangkit

    Di sebuah sungai keramat di luar Desa Waringin Sepuh, di tengah kabut tebal yang membeku di atas air, Reza berlutut di atas batu datar. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tapi karena energi aneh yang mengalir dari sungai itu menembus daging dan tulangnya. Ki Harjo berdiri di belakangnya, menggenggam sebuah tongkat kayu tua yang ujungnya bersinar samar. Wajah Ki Harjo serius, lebih serius dari sebelumnya. Suasana begitu hening, bahkan suara serangga pun seolah takut berbunyi. "Dengarkan aku baik-baik, Reza," suara Ki Harjo berat, menggema di antara kabut. "Di sungai ini, semua warisan leluhur, semua kekuatan tanah dan darah desa ini akan menguji dirimu." Reza mengangguk perlahan, walau hatinya penuh kecemasan. "Jika kau layak," lanjut Ki Harjo, "kau akan diberi kekuatan untuk menantang bangsa lelembut itu. Tapi jika kau gagal..." Ki Harjo tidak melanjutkan kata-katanya. Ia hanya menatap Reza dalam-dalam, sorot matanya berkata lebih keras dari kata-kata: "Kau

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   "Malam Seribu Bayangan"

    Malam itu, Desa Waringin Sepuh benar-benar seperti berada di ambang kiamat.Angin berhenti berhembus, seakan bumi sendiri menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.Di langit, tidak ada bintang, tidak ada rembulan. Hanya hitam kelam tak bertepi, seolah dunia telah kehilangan semua cahaya harapan.Bu Darmi duduk bersila di tengah pendopo desa, dikelilingi lingkaran lilin dan dupa.Keringat dingin membasahi tubuh tuanya, tapi ia tetap bertahan.Matanya terpejam, bibirnya tak henti-henti melafalkan doa-doa kuno, mantra pelindung yang diwariskan turun-temurun oleh leluhurnya.Namun, dari kejauhan, dari batas hutan yang mengelilingi desa, datang suara gemuruh yang semakin lama semakin keras.Suara itu seperti ribuan langkah kaki, teratur dan penuh tekad.Tanah mulai bergetar, genting-genting rumah berderak pelan seolah akan runtuh.Dan akhirnya, mereka muncul.Bangsa lelembut—dalam berbagai wujud mengerikan—menyerbu desa.Dari hutan, rawa, dan kebun karet, mereka datang berbondong-bondo

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjaga Terakhir

    Sejak kepergian Reza dan Ki Harjo, Desa Waringin Sepuh seolah kehilangan cahaya.Hari-hari berlalu dalam selimut ketakutan. Udara desa yang biasanya hangat berubah menjadi berat dan dingin, membuat bulu kuduk warga berdiri tanpa sebab.Bu Darmi, satu-satunya penjaga yang tersisa, berusaha sekuat tenaga mempertahankan ketenangan. Ia membakar dupa dan kemenyan setiap sore di empat penjuru desa, membacakan doa-doa kuno yang diajarkan nenek moyangnya.Namun, kekuatan Bu Darmi tidak cukup untuk menahan amarah yang sudah bangkit.Malam pertama setelah ritual penyucian Reza, seorang pemuda, Toni, ditemukan pingsan di tepi rawa. Tubuhnya penuh bekas cakaran aneh, seperti dicabik oleh cakar makhluk besar. Ketika ia siuman, Toni hanya bisa berteriak-teriak histeris, matanya kosong tanpa fokus."Mereka... mereka menari di atas air... mereka memanggilku...," gumam Toni sambil terisak.Warga yang ketakutan mulai mengunci diri di rumah masing-masing sebelum senja. Tidak ada yang berani keluar, bahk

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penyucian Jiwa dan Kegelapan yang Mengintai"

    Sinar mentari pagi baru saja mengintip dari balik pegunungan jauh ketika Reza dan Ki Harjo melangkahkan kaki meninggalkan desa. Udara masih basah oleh embun, dan kabut tipis menggantung rendah, seolah-olah menahan langkah mereka untuk pergi.Bu Darmi berdiri di ambang pintu, menatap kepergian mereka dengan mata sendu yang diselimuti kecemasan. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah awal dari perubahan besar—bagi Reza, bagi desa, dan mungkin, bagi seluruh wilayah yang dihuni oleh bangsa lelembut.Dengan membawa bekal secukupnya, serta beberapa kain putih yang telah dirituali, Reza mengikuti Ki Harjo menembus hutan tua yang berada di luar batas desa. Hutan yang bahkan di siang bolong pun terasa gelap dan lembap. Burung-burung pun tampaknya enggan berkicau, seolah mengetahui bahwa hari ini ada sesuatu yang sedang bergerak di antara semak-semak tua itu.Sementara itu, di dalam desa, setelah Reza dan Ki Harjo pergi, sesuatu mulai berubah.Angin yang bertiup teras

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status