Share

Masuk ke Cermin

Penulis: Kelaras ijo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-12 15:19:56

Langit malam itu aneh—seperti luka hitam yang menganga. Bintang-bintang seolah padam, digantikan kerlip merah kecil yang menari di kejauhan. Udara panas, tapi dingin menyusup dari tanah. Desa terasa sunyi, terlalu sunyi. Seperti semua suara disedot oleh sesuatu yang tak terlihat.

Aku berdiri di halaman belakang rumah, di mana Bu Darmi sudah menyiapkan lingkaran dari abu dan jerami kering.

“Sekali kamu masuk, kamu harus tahu jalan keluar,” katanya pelan. “Kalau enggak, kamu akan tetap di sana, selamanya.”

Di hadapanku berdiri sebuah cermin besar, tua, usang, dan penuh bercak hitam. Itu cermin yang dulu disimpan di bedeng tua—salah satu benda terakhir dari zaman Belanda yang masih tersisa. Ditemukan kembali oleh warga dan diam-diam disimpan oleh Bu Darmi.

“Kenapa harus lewat cermin?” tanyaku.

“Karena dari sinilah mereka dulu keluar,” jawabnya, menaburkan garam di sekitar lingkaran. “Dan dari sinilah kamu bisa masuk. Tapi ingat, hanya bisa lewat satu kali. Kalau kamu gagal narik dia keluar, pintu akan nutup... selamanya.”

Aku menarik napas panjang. Tubuhku gemetar, tapi aku tahu ini satu-satunya jalan.

Bu Darmi memulai mantranya.

Suara gamelan mulai terdengar—pelan, padahal tak ada alat musik di sekitar kami. Bau bunga kenanga dan kemenyan menyengat, dan cermin itu... mulai bergetar. Permukaannya berubah seperti air, bergelombang.

“Ayo, Za... waktunya!” teriak Bu Darmi.

Tanpa pikir panjang, aku melangkah maju... dan masuk.

---

Aku merasa ditarik, seperti tenggelam ke dasar sungai berlumpur. Tubuhku berat, nafasku tercekat, dan suara-suara aneh berbisik di telingaku.

“Manungsa... manungsa... nyasar maneh...”

“Dagingmu anget... jiwamu anyar...”

Lalu semuanya gelap.

Saat aku membuka mata, aku berdiri di tempat yang familier... tapi berbeda.

Itu desa. Tapi bukan desa kami.

Rumah-rumah terlihat sama, tapi terbuat dari tulang dan kulit. Langit merah darah, dan suara angin terdengar seperti rintihan. Pohon beringin tumbuh di tengah kampung, menjulang tinggi, dan akar-akarnya menjulur seperti ular.

Dan di bawahnya... dia berdiri.

Gadis itu. Masih dengan wajah lelah dan mata kosong.

“Mas Reza... kamu datang,” katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

“Cepat, sebelum mereka tahu... Kita harus ke sumur,” bisiknya.

Kami berlari melewati jalanan kampung yang basah dan licin. Dari balik rumah-rumah, makhluk-makhluk tinggi mulai muncul. Mata mereka menyala, lidah mereka menjulur panjang, dan mereka mengendus udara seperti anjing lapar.

“Dia datang...” gumam si gadis.

“Siapa?”

“Penjaga sumur... Pemilik cermin...”

---

Sumur itu berdiri di tengah tanah lapang, dikelilingi oleh bayangan yang terus bergerak. Uap keluar dari dalamnya, dan di pinggirnya, duduk sesosok makhluk besar—tingginya tiga meter, tubuhnya dilapisi sisik hitam, wajahnya datar, tak bermata.

Ia membuka mulutnya—dan suara jeritan terdengar, seperti ratusan suara manusia yang disiksa.

“Wayahe wes tekan... Sapa wani mbalekno nyawane, kudu nggo nyawane dewe...”

(Waktunya sudah datang... Siapa yang ingin mengembalikan jiwa, harus memakai jiwanya sendiri...)

Aku menatap gadis itu. Dia menatapku dengan tatapan putus asa.

“Kalau kamu narik aku keluar... salah satu dari kita... harus tinggal di sini.”

“Kenapa kamu gak bilang dari awal!?” teriakku.

“Karena kamu gak bakal mau nolong aku.”

Aku terdiam. Bayangan masa lalu muncul: malam-malam tanpa tidur, teror, pintu lemari yang terbuka sendiri, tangan yang merangkak keluar dari tempat tidur...

Aku menarik tangannya.

“Kalau aku tinggal, kamu harus hidup. Kamu harus balik dan... kasih tahu orang-orang. Jangan biarin ada yang masuk ke tempat ini lagi.”

Dia meneteskan air mata. “Tapi kamu masih muda...”

“Dan kamu sudah cukup lama di sini.”

Aku mendorongnya ke arah sumur. Tapi sebelum kami mencapai tepiannya, makhluk besar itu berdiri dan mengayunkan tangannya.

Aku terlempar ke tanah. Sakit. Darah mengalir dari kepalaku.

Gadis itu menjerit. Tapi di saat itulah, sesuatu dalam diriku berubah.

Aku berdiri. Menantang makhluk itu.

“Kalau kau mau jiwa, ambil milikku. Tapi biarkan dia pergi.”

Makhluk itu menghentikan gerakannya.

Lalu perlahan... ia mengangguk.

Dan dari sumur, keluar cahaya putih yang menyilaukan.

Aku mendorong gadis itu ke dalam cahaya.

Seketika, dunia itu mulai runtuh.

Tanah retak, pohon-pohon tumbang, langit merah terbakar. Aku berdiri sendiri, tubuhku hancur, tapi hatiku tenang.

Aku menutup mata.

---

Dan saat aku membukanya lagi... aku berada di kamarku.

Tubuhku gemetar. Napasku sesak. Tapi aku hidup.

Di meja, ada selembar kain tua... dengan motif Belanda. Bersih. Tak ada noda. Dan di atasnya, sehelai rambut hitam panjang.

Lalu aku dengar suara dari luar.

Suara perempuan... menyanyikan lagu Jawa lama.

“Ilir ilir... ilir ilir...”

Aku keluar ke teras. Dan di sana, berdiri dia—gadis itu. Tapi kini, wajahnya bersih, tersenyum. Ia hanya menatapku, lalu mengangguk... dan perlahan menghilang ke dalam kabut pagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kutukan yang Bangkit

    Sudah tiga hari sejak Reza kembali dari tempat itu—dari dunia di balik cermin yang tak semestinya dijamah manusia. Tubuhnya masih terasa lemas, tapi pikirannya jauh lebih berat. Ia terus teringat sosok makhluk bersisik itu... dan suara-suara yang masih terngiang meski ia sudah terbangun.Namun yang paling mengganggunya adalah desa. Segalanya tidak lagi sama.Burung-burung tak berkicau di pagi hari. Embun yang biasanya menyejukkan kini terasa berat, seperti air dari sumur yang tak pernah disentuh cahaya. Anak-anak berhenti bermain di dekat rawa. Bahkan para tetua, yang biasa duduk di gardu sambil mengunyah sirih, kini hanya berdiam diri, menatap kosong ke arah bukit kecil tempat pohon beringin kembar itu tumbuh.Dan malam pertama setelah ritual...Langit desa berubah menjadi merah darah.---“Za, kamu harus datang ke rumahku,” suara Bu Darmi gemetar di ujung telepon.Reza melangkah cepat ke rumah wanita tua itu. Begitu tiba, ia mencium bau amis yang sangat kuat—seperti darah busuk berc

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-12
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Malam Para Penjemput

    Malam itu, langit desa seperti terbelah. Awan hitam menggulung tebal, menutup bulan sepenuhnya. Tak ada cahaya. Hanya suara malam yang aneh—sunyi, namun menyimpan sesuatu yang mengintai.Reza berdiri di teras rumahnya, menatap ke arah bukit. Angin malam menyapu dedaunan, namun tak ada suara jangkrik, tak ada burung hantu. Bahkan suara kodok pun tak terdengar.Lalu terdengar... bunyi kendang.Pelan. Tapi ritmenya seperti denyut nadi.Dug... dug... dug... dug...Dari arah rawa.---Sementara itu, di rumah Pak Saman—seorang tetua kampung yang dikenal religius dan punya “mata batin”—istri dan anak-anaknya sedang tertidur. Tapi saat tengah malam, Pak Saman mendengar suara pintu terbuka sendiri.Ia bangun, melangkah pelan menuju ruang depan.Dan di sana... berdiri sesosok perempuan.Rambutnya panjang menyapu lantai. Bajunya lusuh, penuh tanah basah dan lumut rawa. Wajahnya... tidak terlihat. Hanya rambut dan bayangan hitam seperti kabut.“Maaf, Nduk... ini rumah siapa?” tanya Pak Saman deng

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-12
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bukan Reza

    Pagi itu, langit di atas desa tampak tenang. Matahari bersinar hangat, burung berkicau riang, dan udara terasa bersih. Warga yang kemarin histeris dan kalut kini seperti terbangun dari tidur panjang. Mereka tak sepenuhnya ingat apa yang terjadi. Namun ada satu hal yang semua orang tahu dengan pasti: Reza menghilang. Pak Sastro, kepala desa, menemukan kendi tua di tepi rawa. Ia mengangkatnya pelan, lalu membawanya ke balai desa. Anehnya, kendi itu dingin... tapi berembun, seolah menyimpan hawa dari dunia lain. Tak lama, warga mulai berkumpul. Mereka saling bertanya. Semua tampak tenang, tapi... ketenangan itu terasa palsu. --- Tiga hari kemudian, seseorang terlihat berjalan dari arah bukit. Tubuhnya penuh lumpur kering, pakaian sobek, dan langkahnya gontai. Warga langsung mengenalinya. Itu Reza. Tapi ada yang aneh. Matanya kosong. Tak ada senyum, tak ada emosi. Ia hanya menatap orang-orang di sekitarnya dengan wajah datar. Bu Siti, tetangga dekatnya, menyambut dengan haru. Tapi

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-12
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tumbal

    Dini hari itu, setelah upacara penutupan sumur dan rawa, semua warga berharap ketenangan akan kembali. Tapi mereka salah.Keesokan paginya, tubuh Pak Sastro ditemukan di bawah pohon beringin. Mata terbuka menatap kosong ke langit, mulutnya ternganga seolah ingin berteriak, dan seluruh tubuhnya tertutup lumpur hitam. Jari-jarinya menggenggam tanah, seperti berusaha mencakar keluar dari neraka.Tak ada tanda-tanda kekerasan. Tapi wajahnya... seperti melihat sesuatu yang tak sanggup ditanggung oleh manusia.---Bu Darmi pingsan saat mendengar kabar itu. Setelah siuman, ia hanya bisa berkata lirih:> "Sudah dimulai... Mereka menagih tumbal..."---Warga yang dulu skeptis kini mulai percaya. Mereka sadar bahwa ritual itu bukan mengusir, tapi hanya menunda.Dan harga penundaan itu... adalah nyawa.---Desa mendadak sunyi. Aktivitas berhenti. Anak-anak dilarang keluar. Beberapa keluarga memilih pindah sementara ke kampung sebelah.Namun malam itu... suara lonceng kecil terdengar dari arah ra

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-14
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Empat Lagi

    Angin malam itu membawa bau anyir. Bukan seperti bau bangkai biasa, tapi lebih seperti darah yang sudah lama mengering—tercampur tanah basah dan aroma daun-daun busuk.Seluruh desa sepi. Rumah-rumah tertutup rapat. Tirai-tirai digantung tinggi, tak ada satu jendela pun yang terbuka.Anak-anak dilarang keluar. Bahkan ayam pun tak lagi berkokok.Namun suara lain justru semakin sering terdengar...Tuk... tuk... tuk...Seperti ketukan pelan di dinding, jendela, dan pintu—berulang-ulang tiap tengah malam. Tapi saat dibuka, tak ada siapa pun di luar. Hanya bekas jejak lumpur yang menetes, membentuk pola aneh seperti simbol kuno yang tak dikenal.---Di rumah Bu Marni, ketukan itu tak berhenti selama tiga malam berturut-turut. Dan di malam keempat, anak gadisnya, Tika, ditemukan berjalan sendirian menuju arah pohon beringin.Matanya kosong. Bibirnya berkomat-kamit seperti mengucapkan mantra yang tak dimengerti.Saat warga mencoba menahannya, tubuh Tika seperti terangkat sendiri. Melayang beb

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-14
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjemputan

    Langit malam itu tidak lagi kelam seperti biasanya. Ia tampak terbakar dari kejauhan—warna jingga menyala seperti bara, berpadu dengan kabut pekat yang turun tanpa suara. Bukit kecil di tepi desa, tempat dua pohon beringin tua berdiri, tampak menyala samar, seakan sedang menyimpan bara dendam yang membara sejak ratusan tahun lalu.Di desa, para warga memilih bersembunyi di rumah masing-masing. Tak ada suara. Tak ada doa. Tak ada harapan.Yang terdengar hanyalah detak jam tua dan napas orang-orang yang mencoba tidur dengan mata terbuka lebar.Namun malam itu bukan malam biasa.Karena malam itu adalah malam penjemputan.---Sulastri, seorang janda tua yang tinggal dekat rawa, adalah orang pertama yang mendengar suara itu.Gugggg... glugggg...Seperti suara sesuatu yang mengambang dan ditarik dari dasar lumpur. Di luar rumahnya, rawa bergetar—airnya membentuk pusaran besar. Dari tengah pusaran, muncul sesosok tubuh hitam mengilap. Sosok itu perlahan naik ke permukaan, tinggi lebih dari d

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-14
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   penjemputan 2

    Malam itu, kabut turun lebih cepat dari biasanya. Suara jangkrik dan kodok di rawa lenyap bagai dihisap kegelapan. Udara dingin menggigit, meski seharusnya masih musim kemarau. Di desa, orang-orang mulai merasa gelisah. Sejak kejadian terakhir di tanah larangan, tak ada yang berani lewat dekat bukit kecil, apalagi mendekati pohon beringin kembar yang menjulang di sana seperti dua penjaga dunia lain.Pak Lurah sendiri mendadak jatuh sakit. Tubuhnya panas tinggi, namun anehnya darahnya dingin saat disentuh. Matanya terbuka terus, tak bisa tertutup, dan ia terus mengigau menyebut dua nama: “Darmi… Reza… Darmi… Reza…”Sementara itu, Kardi—pemuda yang dulu pernah menantang larangan desa dan berhasil selamat—mulai bermimpi aneh. Dalam mimpinya, ia melihat seorang anak laki-laki berdiri di depan sumur tua yang kini hanya tinggal cekungan tanah hitam. Anak itu memanggilnya, tapi suaranya serak dan berat, bukan suara manusia biasa. Di belakang anak itu berdiri seorang perempuan tua berjubah ke

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-14
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Yang Tak Terlihat

    Malam itu, langit desa ditutupi awan gelap pekat. Petir menyambar-nyambar, tapi anehnya hujan tak kunjung turun. Suasana terasa ganjil, seperti ada sesuatu yang ditahan di langit, menggantung, menunggu waktu jatuh.Bu Darmi berdiri di depan rumah panggungnya, mata tuanya menatap langit dengan wajah muram. Di tangannya tergenggam sebuah kain lusuh yang telah ia simpan selama puluhan tahun—kain itu milik suaminya yang hilang secara misterius setelah melanggar pantangan di Tanah Larangan. Sejak saat itu, Bu Darmi menyimpan dendam yang dalam… bukan pada lelembut, tapi pada ketidaktahuan manusia.Dari kejauhan, Reza berjalan pelan menyusuri jalan setapak, tubuhnya kurus kering, matanya kosong namun kali ini ada sesuatu yang berbeda—ada sinar samar yang perlahan kembali ke dalam sorot matanya. Sejak kejadian di sumur tua, Reza tak pernah benar-benar kembali… sampai malam itu.Bu Darmi menoleh, seolah tahu siapa yang datang sebelum mendengar suara langkahnya.“Kau kembali…” bisiknya lirih.R

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-16

Bab terbaru

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kebangkitan Sang Penguasa Rawa”

    Angin malam itu menderu lebih kencang dari biasanya. Awan hitam menutupi rembulan, membuat seluruh desa tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Pepohonan berderak keras seolah tengah berbisik satu sama lain, membawa kabar buruk yang sulit diterjemahkan.Bu Darmi yang menjaga desa malam itu merasakan firasat aneh. Ia memandangi langit gelap dari serambi rumahnya sambil memeluk erat selendang lusuh pemberian gurunya dahulu — satu-satunya benda yang membuatnya merasa sedikit aman.“Kenapa angin seperti ini...?” gumam Bu Darmi, matanya tajam memandang ke arah hutan kecil yang menjadi gerbang ke rawa terlarang.Suara gemuruh mendadak terdengar. Bukan gemuruh petir, melainkan seperti suara ribuan langkah kaki... dan di antaranya, suara genderang serta gemerincing gamelan.Dari kegelapan, kabut tebal mulai merayap perlahan, menyelimuti tanah, menelusup ke sela-sela rumah warga. Suasana desa mendadak berubah: sepi, namun terasa seperti ribuan pasang mata tengah mengintai dari kegelapan.Warga y

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Amarah Sang Putri

    Langit di atas desa semakin gelap. Putaran pusaran awan hitam yang terbentuk akibat ulah Putri Tanjung Biru makin membesar, seakan hendak menelan seluruh tanah di bawahnya. Kilatan-kilatan cahaya berwarna ungu tua sesekali menyambar di dalam pusaran, menggetarkan tanah dan membuat pohon-pohon tua berderak, daunnya luruh ke tanah.Di tengah lapangan desa, Putri Tanjung Biru berdiri dengan angkuh. Rambut panjangnya yang biru keperakan melayang liar tertiup angin badai. Matanya menyala, memancarkan cahaya kehijauan menyeramkan. Di belakangnya, sosok-sosok bangsa lelembut telah mengambil bentuk nyata — ada yang menyerupai manusia dengan tubuh membusuk, ada yang setengah hewan, ada pula yang hanya berupa kabut kelabu mengambang.Bu Darmi menggenggam rajahnya lebih erat, gemetar, namun tetap bertahan di sisi Reza dan Ki Harjo. Sementara itu, Ki Harjo menancapkan tongkat kayu pulosari ke tanah, membentuk lingkaran perlindungan samar yang berpendar lemah di bawah kaki mereka."Ki Harjo... kek

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Sang Putri Tanjung Biru

    Malam itu, langit di atas desa tampak jernih. Bulan purnama menggantung utuh, sinarnya menghamparkan cahaya keperakan di atas tanah, seolah memberkati keberhasilan yang baru saja diraih Reza, Ki Harjo, dan Bu Darmi.Mereka bertiga duduk di serambi rumah Bu Darmi, menikmati malam yang damai, sesekali menyesap teh hangat dan berbincang ringan tentang harapan masa depan desa."Kita berhasil, Bu," ucap Reza sambil menghela napas lega.Ki Harjo mengangguk pelan. "Untuk sementara, Nak. Tapi ingat, tanah ini sudah lama dikunci oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tua dari yang kau bayangkan."Bu Darmi hanya tersenyum tipis, meski dalam hatinya ada sebersit kekhawatiran yang belum sepenuhnya lenyap.Namun, ketika jarum jam hampir menunjuk ke pukul dua dini hari, angin kencang mendadak berhembus dari arah rawa. Bukan angin biasa — hembusannya dingin menggigit, membawa aroma anyir dan tanah basah.Bersamaan dengan itu, suara gamelan tua terdengar lirih dari kejauhan. Nada-nadanya ganjil, seperti l

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kemenangan Semu

    Tubuh Reza bergetar hebat.Bukan karena takut, melainkan karena kekuatan besar yang mulai bangkit dari dalam dirinya.Saat segel pusaka mencakar tanah, sebuah aura kuno yang selama ini tersegel dalam darahnya terlepas.Udara di sekitarnya bergetar, suara-suara gaib mengerang, seolah makhluk dari zaman purba bangkit bersama amarah Reza.Dari balik kegelapan, sosok samar seorang kakek renta bermantel putih muncul di belakang Reza.Itu adalah roh buyutnya — sang penjaga rahasia kuno keluarga.Wajahnya bijaksana, namun matanya memancarkan ketegasan luar biasa."Cucuku... kini saatnya. Ambil seluruh warisan darah kita. Jadilah perisai baru bagi tanah ini!"Reza mengepalkan tangannya, merasakan darah leluhurnya mendidih bagaikan lava.Tubuhnya perlahan diselimuti cahaya keemasan redup, membentuk pola-pola kuno di kulitnya.Setiap tarikan napasnya kini terasa berat, namun penuh kekuatan.Pemimpin bangsa lelembut itu meringis sinis."Tak peduli siapa leluhurmu, manusia! Semuanya akan berlutut

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun    "Pertempuran di Gerbang Desa"

    Malam itu, langit Desa Waringin Sepuh menggulung dalam warna hitam pekat. Awan bergemuruh seperti amarah dewa yang tak terbendung. Angin bertiup liar, membawa aroma anyir darah dan tanah basah. Di batas desa, di depan gerbang tua yang sudah retak-retak, Bu Darmi berdiri dengan tubuh gemetar. Sisa-sisa kekuatan yang ia gunakan untuk mempertahankan batas pelindung desa nyaris habis. Peluh membanjiri wajahnya, tapi sorot matanya tetap tajam. Di hadapannya, makhluk-makhluk kegelapan sudah berkumpul. Ada sosok-sosok berkulit abu-abu, bertaring panjang, berambut api, bertubuh raksasa, hingga rombongan siluman anjing bertaring hitam. Jumlah mereka tak terhitung, mendesak, meraung, menjerit. Mereka lapar... lapar akan jiwa manusia. Seketika, tanah bergetar keras. Bu Darmi hampir saja jatuh, ketika cahaya putih menyilaukan tiba-tiba meledak dari ujung jalan desa. Semua makhluk itu mendadak berhenti, tubuh mereka gemetar, mulut mereka menggeram ketakutan. Karena di sana, berdiri Re

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pewaris yang Bangkit

    Di sebuah sungai keramat di luar Desa Waringin Sepuh, di tengah kabut tebal yang membeku di atas air, Reza berlutut di atas batu datar. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tapi karena energi aneh yang mengalir dari sungai itu menembus daging dan tulangnya. Ki Harjo berdiri di belakangnya, menggenggam sebuah tongkat kayu tua yang ujungnya bersinar samar. Wajah Ki Harjo serius, lebih serius dari sebelumnya. Suasana begitu hening, bahkan suara serangga pun seolah takut berbunyi. "Dengarkan aku baik-baik, Reza," suara Ki Harjo berat, menggema di antara kabut. "Di sungai ini, semua warisan leluhur, semua kekuatan tanah dan darah desa ini akan menguji dirimu." Reza mengangguk perlahan, walau hatinya penuh kecemasan. "Jika kau layak," lanjut Ki Harjo, "kau akan diberi kekuatan untuk menantang bangsa lelembut itu. Tapi jika kau gagal..." Ki Harjo tidak melanjutkan kata-katanya. Ia hanya menatap Reza dalam-dalam, sorot matanya berkata lebih keras dari kata-kata: "Kau

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   "Malam Seribu Bayangan"

    Malam itu, Desa Waringin Sepuh benar-benar seperti berada di ambang kiamat.Angin berhenti berhembus, seakan bumi sendiri menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.Di langit, tidak ada bintang, tidak ada rembulan. Hanya hitam kelam tak bertepi, seolah dunia telah kehilangan semua cahaya harapan.Bu Darmi duduk bersila di tengah pendopo desa, dikelilingi lingkaran lilin dan dupa.Keringat dingin membasahi tubuh tuanya, tapi ia tetap bertahan.Matanya terpejam, bibirnya tak henti-henti melafalkan doa-doa kuno, mantra pelindung yang diwariskan turun-temurun oleh leluhurnya.Namun, dari kejauhan, dari batas hutan yang mengelilingi desa, datang suara gemuruh yang semakin lama semakin keras.Suara itu seperti ribuan langkah kaki, teratur dan penuh tekad.Tanah mulai bergetar, genting-genting rumah berderak pelan seolah akan runtuh.Dan akhirnya, mereka muncul.Bangsa lelembut—dalam berbagai wujud mengerikan—menyerbu desa.Dari hutan, rawa, dan kebun karet, mereka datang berbondong-bondo

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjaga Terakhir

    Sejak kepergian Reza dan Ki Harjo, Desa Waringin Sepuh seolah kehilangan cahaya.Hari-hari berlalu dalam selimut ketakutan. Udara desa yang biasanya hangat berubah menjadi berat dan dingin, membuat bulu kuduk warga berdiri tanpa sebab.Bu Darmi, satu-satunya penjaga yang tersisa, berusaha sekuat tenaga mempertahankan ketenangan. Ia membakar dupa dan kemenyan setiap sore di empat penjuru desa, membacakan doa-doa kuno yang diajarkan nenek moyangnya.Namun, kekuatan Bu Darmi tidak cukup untuk menahan amarah yang sudah bangkit.Malam pertama setelah ritual penyucian Reza, seorang pemuda, Toni, ditemukan pingsan di tepi rawa. Tubuhnya penuh bekas cakaran aneh, seperti dicabik oleh cakar makhluk besar. Ketika ia siuman, Toni hanya bisa berteriak-teriak histeris, matanya kosong tanpa fokus."Mereka... mereka menari di atas air... mereka memanggilku...," gumam Toni sambil terisak.Warga yang ketakutan mulai mengunci diri di rumah masing-masing sebelum senja. Tidak ada yang berani keluar, bahk

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penyucian Jiwa dan Kegelapan yang Mengintai"

    Sinar mentari pagi baru saja mengintip dari balik pegunungan jauh ketika Reza dan Ki Harjo melangkahkan kaki meninggalkan desa. Udara masih basah oleh embun, dan kabut tipis menggantung rendah, seolah-olah menahan langkah mereka untuk pergi.Bu Darmi berdiri di ambang pintu, menatap kepergian mereka dengan mata sendu yang diselimuti kecemasan. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah awal dari perubahan besar—bagi Reza, bagi desa, dan mungkin, bagi seluruh wilayah yang dihuni oleh bangsa lelembut.Dengan membawa bekal secukupnya, serta beberapa kain putih yang telah dirituali, Reza mengikuti Ki Harjo menembus hutan tua yang berada di luar batas desa. Hutan yang bahkan di siang bolong pun terasa gelap dan lembap. Burung-burung pun tampaknya enggan berkicau, seolah mengetahui bahwa hari ini ada sesuatu yang sedang bergerak di antara semak-semak tua itu.Sementara itu, di dalam desa, setelah Reza dan Ki Harjo pergi, sesuatu mulai berubah.Angin yang bertiup teras

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status