Malam itu, langit desa seperti terbelah. Awan hitam menggulung tebal, menutup bulan sepenuhnya. Tak ada cahaya. Hanya suara malam yang aneh—sunyi, namun menyimpan sesuatu yang mengintai.
Reza berdiri di teras rumahnya, menatap ke arah bukit. Angin malam menyapu dedaunan, namun tak ada suara jangkrik, tak ada burung hantu. Bahkan suara kodok pun tak terdengar. Lalu terdengar... bunyi kendang. Pelan. Tapi ritmenya seperti denyut nadi. Dug... dug... dug... dug... Dari arah rawa. --- Sementara itu, di rumah Pak Saman—seorang tetua kampung yang dikenal religius dan punya “mata batin”—istri dan anak-anaknya sedang tertidur. Tapi saat tengah malam, Pak Saman mendengar suara pintu terbuka sendiri. Ia bangun, melangkah pelan menuju ruang depan. Dan di sana... berdiri sesosok perempuan. Rambutnya panjang menyapu lantai. Bajunya lusuh, penuh tanah basah dan lumut rawa. Wajahnya... tidak terlihat. Hanya rambut dan bayangan hitam seperti kabut. “Maaf, Nduk... ini rumah siapa?” tanya Pak Saman dengan tenang. Perempuan itu tidak menjawab. Hanya mengangkat tangannya—dan menunjuk dinding rumah yang tiba-tiba menghitam dan meleleh seperti lilin. Lalu dia bicara. Suaranya dalam, berat, dan bergaung. “KEMBALIKAN TANAH KAMI...” Seketika lampu padam. Teriakan histeris menggema. Keesokan harinya, rumah Pak Saman kosong. Tak ada satu pun penghuni. Yang tersisa hanyalah sebuah kendi tua di tengah ruang tamu, dan dari dalamnya... keluar bisikan lirih yang hanya bisa didengar Reza saat ia tiba di sana. --- Desa geger. Warga mulai mengungsi. Beberapa menuju desa tetangga. Tapi anehnya, setiap orang yang mencoba pergi, selalu kembali dengan linglung—seolah lupa tujuan, atau seperti ditarik kembali oleh sesuatu yang tak kasat mata. Salah satu pemuda nekat merekam kejadian malam menggunakan ponsel. Tapi saat memutar hasil rekaman, yang terlihat hanya gambaran kabur rawa berdarah dan wajah-wajah membusuk mendekat ke kamera. Beberapa warga mulai kerasukan. Tubuh mereka membeku, mata melotot, dan mulut mengucapkan kata-kata dalam bahasa yang tidak dikenali—campuran Belanda dan Jawa kuno. “Verloren... wangsul... tumbal...” --- Reza kembali menemui Bu Darmi, yang kini kondisinya semakin lemah. Ia menjelaskan bahwa makhluk-makhluk itu bukan sekadar lelembut biasa. Mereka adalah penjaga wilayah yang dulunya disembah oleh penduduk awal, jauh sebelum Belanda datang. “Dan kamu, Za... kamu yang membuka gerbangnya,” ujar Bu Darmi lirih. “Sekarang mereka menuntut seimbang. Mereka ingin tubuh. Mereka ingin... dunia.” Reza mulai merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Setiap malam ia bermimpi berada di dasar sumur tua, dikelilingi ratusan tangan yang merayap dan menariknya. Ia melihat wajah-wajah yang mati penasaran. Anak-anak, orang tua, bahkan tentara Belanda. Tapi yang paling aneh—ia melihat dirinya... bercermin dengan makhluk bersisik. --- Malam berikutnya adalah puncaknya. Di seluruh desa terdengar suara gong dan kendang, padahal tak ada yang menabuhnya. Kabut turun tebal. Dan dari arah rawa... makhluk-makhluk itu datang. Bukan bayangan. Bukan ilusi. Mereka berjalan perlahan. Ada yang menyerupai manusia, tapi wajahnya terbalik. Ada yang tubuhnya setengah busuk dengan kain kafan sobek. Ada yang seperti wanita cantik, tapi tanpa mata dan darah menetes dari rongga kosongnya. Warga yang melihat... langsung jatuh pingsan atau berteriak ketakutan. Satu persatu rumah menjadi sunyi. Hanya terdengar suara angin yang membawa bau bangkai dan suara tangisan bayi yang tak tahu dari mana asalnya. --- Reza mengambil kendi milik Bu Darmi, yang ternyata adalah media pengikat perjanjian lama. Ia menuju ke sumber mata air di tengah rawa, tempat di mana tanah larangan pertama kali dikutuk. Ia tahu, ia harus mengembalikan benda itu. Atau... menukar dirinya. Saat sampai di sana, ia melihat cermin air mulai bergelombang, dan dari dalamnya... muncul sesosok makhluk bersisik, lebih besar dan lebih menyeramkan dari sebelumnya. “Kaulah yang memanggil... maka kaulah yang harus tinggal,” bisik suara itu. “Beri kami tubuh... atau seluruh desa ini kami bawa.” Reza menggenggam kendi erat-erat. Ia melangkah ke dalam air. Airnya dingin. Tapi tubuhnya justru terasa terbakar. Langit menggelegar. Kabut menari. Dan saat Reza mengangkat kendi tinggi-tinggi, makhluk itu membuka mulutnya lebar... menghisap kabut, angin, dan suara tangisan. Lalu... semua menjadi gelap. --- Pagi hari, desa menjadi hening. Langit cerah. Burung-burung kembali berkicau. Orang-orang perlahan bangun, bingung, seperti lupa apa yang terjadi. Tapi mereka sadar satu hal: Reza hilang. Di pinggir rawa, hanya tersisa kendi tua... dan jejak kaki yang perlahan menghilang ke dasar air. ---Pagi itu, langit di atas desa tampak tenang. Matahari bersinar hangat, burung berkicau riang, dan udara terasa bersih. Warga yang kemarin histeris dan kalut kini seperti terbangun dari tidur panjang. Mereka tak sepenuhnya ingat apa yang terjadi. Namun ada satu hal yang semua orang tahu dengan pasti: Reza menghilang. Pak Sastro, kepala desa, menemukan kendi tua di tepi rawa. Ia mengangkatnya pelan, lalu membawanya ke balai desa. Anehnya, kendi itu dingin... tapi berembun, seolah menyimpan hawa dari dunia lain. Tak lama, warga mulai berkumpul. Mereka saling bertanya. Semua tampak tenang, tapi... ketenangan itu terasa palsu. --- Tiga hari kemudian, seseorang terlihat berjalan dari arah bukit. Tubuhnya penuh lumpur kering, pakaian sobek, dan langkahnya gontai. Warga langsung mengenalinya. Itu Reza. Tapi ada yang aneh. Matanya kosong. Tak ada senyum, tak ada emosi. Ia hanya menatap orang-orang di sekitarnya dengan wajah datar. Bu Siti, tetangga dekatnya, menyambut dengan haru. Tapi
Dini hari itu, setelah upacara penutupan sumur dan rawa, semua warga berharap ketenangan akan kembali. Tapi mereka salah.Keesokan paginya, tubuh Pak Sastro ditemukan di bawah pohon beringin. Mata terbuka menatap kosong ke langit, mulutnya ternganga seolah ingin berteriak, dan seluruh tubuhnya tertutup lumpur hitam. Jari-jarinya menggenggam tanah, seperti berusaha mencakar keluar dari neraka.Tak ada tanda-tanda kekerasan. Tapi wajahnya... seperti melihat sesuatu yang tak sanggup ditanggung oleh manusia.---Bu Darmi pingsan saat mendengar kabar itu. Setelah siuman, ia hanya bisa berkata lirih:> "Sudah dimulai... Mereka menagih tumbal..."---Warga yang dulu skeptis kini mulai percaya. Mereka sadar bahwa ritual itu bukan mengusir, tapi hanya menunda.Dan harga penundaan itu... adalah nyawa.---Desa mendadak sunyi. Aktivitas berhenti. Anak-anak dilarang keluar. Beberapa keluarga memilih pindah sementara ke kampung sebelah.Namun malam itu... suara lonceng kecil terdengar dari arah ra
Angin malam itu membawa bau anyir. Bukan seperti bau bangkai biasa, tapi lebih seperti darah yang sudah lama mengering—tercampur tanah basah dan aroma daun-daun busuk.Seluruh desa sepi. Rumah-rumah tertutup rapat. Tirai-tirai digantung tinggi, tak ada satu jendela pun yang terbuka.Anak-anak dilarang keluar. Bahkan ayam pun tak lagi berkokok.Namun suara lain justru semakin sering terdengar...Tuk... tuk... tuk...Seperti ketukan pelan di dinding, jendela, dan pintu—berulang-ulang tiap tengah malam. Tapi saat dibuka, tak ada siapa pun di luar. Hanya bekas jejak lumpur yang menetes, membentuk pola aneh seperti simbol kuno yang tak dikenal.---Di rumah Bu Marni, ketukan itu tak berhenti selama tiga malam berturut-turut. Dan di malam keempat, anak gadisnya, Tika, ditemukan berjalan sendirian menuju arah pohon beringin.Matanya kosong. Bibirnya berkomat-kamit seperti mengucapkan mantra yang tak dimengerti.Saat warga mencoba menahannya, tubuh Tika seperti terangkat sendiri. Melayang beb
Langit malam itu tidak lagi kelam seperti biasanya. Ia tampak terbakar dari kejauhan—warna jingga menyala seperti bara, berpadu dengan kabut pekat yang turun tanpa suara. Bukit kecil di tepi desa, tempat dua pohon beringin tua berdiri, tampak menyala samar, seakan sedang menyimpan bara dendam yang membara sejak ratusan tahun lalu.Di desa, para warga memilih bersembunyi di rumah masing-masing. Tak ada suara. Tak ada doa. Tak ada harapan.Yang terdengar hanyalah detak jam tua dan napas orang-orang yang mencoba tidur dengan mata terbuka lebar.Namun malam itu bukan malam biasa.Karena malam itu adalah malam penjemputan.---Sulastri, seorang janda tua yang tinggal dekat rawa, adalah orang pertama yang mendengar suara itu.Gugggg... glugggg...Seperti suara sesuatu yang mengambang dan ditarik dari dasar lumpur. Di luar rumahnya, rawa bergetar—airnya membentuk pusaran besar. Dari tengah pusaran, muncul sesosok tubuh hitam mengilap. Sosok itu perlahan naik ke permukaan, tinggi lebih dari d
Malam itu, kabut turun lebih cepat dari biasanya. Suara jangkrik dan kodok di rawa lenyap bagai dihisap kegelapan. Udara dingin menggigit, meski seharusnya masih musim kemarau. Di desa, orang-orang mulai merasa gelisah. Sejak kejadian terakhir di tanah larangan, tak ada yang berani lewat dekat bukit kecil, apalagi mendekati pohon beringin kembar yang menjulang di sana seperti dua penjaga dunia lain.Pak Lurah sendiri mendadak jatuh sakit. Tubuhnya panas tinggi, namun anehnya darahnya dingin saat disentuh. Matanya terbuka terus, tak bisa tertutup, dan ia terus mengigau menyebut dua nama: “Darmi… Reza… Darmi… Reza…”Sementara itu, Kardi—pemuda yang dulu pernah menantang larangan desa dan berhasil selamat—mulai bermimpi aneh. Dalam mimpinya, ia melihat seorang anak laki-laki berdiri di depan sumur tua yang kini hanya tinggal cekungan tanah hitam. Anak itu memanggilnya, tapi suaranya serak dan berat, bukan suara manusia biasa. Di belakang anak itu berdiri seorang perempuan tua berjubah ke
Malam itu, langit desa ditutupi awan gelap pekat. Petir menyambar-nyambar, tapi anehnya hujan tak kunjung turun. Suasana terasa ganjil, seperti ada sesuatu yang ditahan di langit, menggantung, menunggu waktu jatuh.Bu Darmi berdiri di depan rumah panggungnya, mata tuanya menatap langit dengan wajah muram. Di tangannya tergenggam sebuah kain lusuh yang telah ia simpan selama puluhan tahun—kain itu milik suaminya yang hilang secara misterius setelah melanggar pantangan di Tanah Larangan. Sejak saat itu, Bu Darmi menyimpan dendam yang dalam… bukan pada lelembut, tapi pada ketidaktahuan manusia.Dari kejauhan, Reza berjalan pelan menyusuri jalan setapak, tubuhnya kurus kering, matanya kosong namun kali ini ada sesuatu yang berbeda—ada sinar samar yang perlahan kembali ke dalam sorot matanya. Sejak kejadian di sumur tua, Reza tak pernah benar-benar kembali… sampai malam itu.Bu Darmi menoleh, seolah tahu siapa yang datang sebelum mendengar suara langkahnya.“Kau kembali…” bisiknya lirih.R
Setelah tumbal dikorbankan di bawah beringin kembar dan ritual pemanggilan dituntaskan oleh Bu Darmi dengan bantuan Reza, desa tampak kembali tenang. Tak ada lagi suara tangis tengah malam. Tak ada penampakan di jalan setapak dekat rawa. Bahkan sumur tua itu tampak sepi, seperti tak pernah menyimpan apa-apa. Namun… suasananya berbeda. Bukan tenang yang menenangkan. Tapi tenang yang bikin bulu kuduk meremang. Tenang yang membuat orang takut keluar rumah lewat Maghrib. Tenang yang menyimpan bisikan dari balik ilalang basah dan angin yang tak lagi dingin… tapi basah, seperti napas dari dalam tanah. Orang-orang mulai mencoba hidup seperti biasa. Tapi sesuatu terasa janggal. Ibu-ibu pasar sering kehilangan barang dagangannya begitu saja. Ayam-ayam mati mendadak. Air dari mata air utama berubah agak keruh, dan beberapa warga yang meminumnya mengaku mual dan demam. Reza merasa... ini belum selesai. Bu Darmi mulai lemas, sering melamun di beranda rumahnya. Katanya, dalam mimpinya, ia
Kabut masih menyelimuti Desa Guna Jaya pagi itu. Matahari seolah enggan menampakkan sinarnya. Awan menggumpal pekat, dan aroma tanah basah bercampur dengan bau amis yang tak wajar tercium hingga ke pelosok rumah warga. Sesuatu terasa sangat berbeda pagi itu. Tenang, tapi bukan tenang yang menenangkan. Lebih mirip dengan keheningan sebelum badai.Pagi-pagi benar, suara jeritan memecah kesunyian dari arah pohon beringin tua di ujung desa. Warga yang mendengar langsung berlarian ke sumber suara. Beberapa masih memakai sarung, belum sempat mencuci muka. Yang lain membawa senter dan kayu panjang, berjaga-jaga seandainya sesuatu yang tak diinginkan terjadi.Mereka tiba tepat di bawah pohon itu—pohon beringin tua yang sudah ratusan tahun berdiri, menjulang dan menjalar seperti monster diam. Dan di sanalah mereka melihatnya…Sesuatu tergantung di salah satu dahannya.Awalnya mereka kira boneka. Tapi saat kabut perlahan menyingkap wajah benda itu, suara isak tangis dan jeritan terdengar dari b
Angin malam itu menderu lebih kencang dari biasanya. Awan hitam menutupi rembulan, membuat seluruh desa tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Pepohonan berderak keras seolah tengah berbisik satu sama lain, membawa kabar buruk yang sulit diterjemahkan.Bu Darmi yang menjaga desa malam itu merasakan firasat aneh. Ia memandangi langit gelap dari serambi rumahnya sambil memeluk erat selendang lusuh pemberian gurunya dahulu — satu-satunya benda yang membuatnya merasa sedikit aman.“Kenapa angin seperti ini...?” gumam Bu Darmi, matanya tajam memandang ke arah hutan kecil yang menjadi gerbang ke rawa terlarang.Suara gemuruh mendadak terdengar. Bukan gemuruh petir, melainkan seperti suara ribuan langkah kaki... dan di antaranya, suara genderang serta gemerincing gamelan.Dari kegelapan, kabut tebal mulai merayap perlahan, menyelimuti tanah, menelusup ke sela-sela rumah warga. Suasana desa mendadak berubah: sepi, namun terasa seperti ribuan pasang mata tengah mengintai dari kegelapan.Warga y
Langit di atas desa semakin gelap. Putaran pusaran awan hitam yang terbentuk akibat ulah Putri Tanjung Biru makin membesar, seakan hendak menelan seluruh tanah di bawahnya. Kilatan-kilatan cahaya berwarna ungu tua sesekali menyambar di dalam pusaran, menggetarkan tanah dan membuat pohon-pohon tua berderak, daunnya luruh ke tanah.Di tengah lapangan desa, Putri Tanjung Biru berdiri dengan angkuh. Rambut panjangnya yang biru keperakan melayang liar tertiup angin badai. Matanya menyala, memancarkan cahaya kehijauan menyeramkan. Di belakangnya, sosok-sosok bangsa lelembut telah mengambil bentuk nyata — ada yang menyerupai manusia dengan tubuh membusuk, ada yang setengah hewan, ada pula yang hanya berupa kabut kelabu mengambang.Bu Darmi menggenggam rajahnya lebih erat, gemetar, namun tetap bertahan di sisi Reza dan Ki Harjo. Sementara itu, Ki Harjo menancapkan tongkat kayu pulosari ke tanah, membentuk lingkaran perlindungan samar yang berpendar lemah di bawah kaki mereka."Ki Harjo... kek
Malam itu, langit di atas desa tampak jernih. Bulan purnama menggantung utuh, sinarnya menghamparkan cahaya keperakan di atas tanah, seolah memberkati keberhasilan yang baru saja diraih Reza, Ki Harjo, dan Bu Darmi.Mereka bertiga duduk di serambi rumah Bu Darmi, menikmati malam yang damai, sesekali menyesap teh hangat dan berbincang ringan tentang harapan masa depan desa."Kita berhasil, Bu," ucap Reza sambil menghela napas lega.Ki Harjo mengangguk pelan. "Untuk sementara, Nak. Tapi ingat, tanah ini sudah lama dikunci oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tua dari yang kau bayangkan."Bu Darmi hanya tersenyum tipis, meski dalam hatinya ada sebersit kekhawatiran yang belum sepenuhnya lenyap.Namun, ketika jarum jam hampir menunjuk ke pukul dua dini hari, angin kencang mendadak berhembus dari arah rawa. Bukan angin biasa — hembusannya dingin menggigit, membawa aroma anyir dan tanah basah.Bersamaan dengan itu, suara gamelan tua terdengar lirih dari kejauhan. Nada-nadanya ganjil, seperti l
Tubuh Reza bergetar hebat.Bukan karena takut, melainkan karena kekuatan besar yang mulai bangkit dari dalam dirinya.Saat segel pusaka mencakar tanah, sebuah aura kuno yang selama ini tersegel dalam darahnya terlepas.Udara di sekitarnya bergetar, suara-suara gaib mengerang, seolah makhluk dari zaman purba bangkit bersama amarah Reza.Dari balik kegelapan, sosok samar seorang kakek renta bermantel putih muncul di belakang Reza.Itu adalah roh buyutnya — sang penjaga rahasia kuno keluarga.Wajahnya bijaksana, namun matanya memancarkan ketegasan luar biasa."Cucuku... kini saatnya. Ambil seluruh warisan darah kita. Jadilah perisai baru bagi tanah ini!"Reza mengepalkan tangannya, merasakan darah leluhurnya mendidih bagaikan lava.Tubuhnya perlahan diselimuti cahaya keemasan redup, membentuk pola-pola kuno di kulitnya.Setiap tarikan napasnya kini terasa berat, namun penuh kekuatan.Pemimpin bangsa lelembut itu meringis sinis."Tak peduli siapa leluhurmu, manusia! Semuanya akan berlutut
Malam itu, langit Desa Waringin Sepuh menggulung dalam warna hitam pekat. Awan bergemuruh seperti amarah dewa yang tak terbendung. Angin bertiup liar, membawa aroma anyir darah dan tanah basah. Di batas desa, di depan gerbang tua yang sudah retak-retak, Bu Darmi berdiri dengan tubuh gemetar. Sisa-sisa kekuatan yang ia gunakan untuk mempertahankan batas pelindung desa nyaris habis. Peluh membanjiri wajahnya, tapi sorot matanya tetap tajam. Di hadapannya, makhluk-makhluk kegelapan sudah berkumpul. Ada sosok-sosok berkulit abu-abu, bertaring panjang, berambut api, bertubuh raksasa, hingga rombongan siluman anjing bertaring hitam. Jumlah mereka tak terhitung, mendesak, meraung, menjerit. Mereka lapar... lapar akan jiwa manusia. Seketika, tanah bergetar keras. Bu Darmi hampir saja jatuh, ketika cahaya putih menyilaukan tiba-tiba meledak dari ujung jalan desa. Semua makhluk itu mendadak berhenti, tubuh mereka gemetar, mulut mereka menggeram ketakutan. Karena di sana, berdiri Re
Di sebuah sungai keramat di luar Desa Waringin Sepuh, di tengah kabut tebal yang membeku di atas air, Reza berlutut di atas batu datar. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tapi karena energi aneh yang mengalir dari sungai itu menembus daging dan tulangnya. Ki Harjo berdiri di belakangnya, menggenggam sebuah tongkat kayu tua yang ujungnya bersinar samar. Wajah Ki Harjo serius, lebih serius dari sebelumnya. Suasana begitu hening, bahkan suara serangga pun seolah takut berbunyi. "Dengarkan aku baik-baik, Reza," suara Ki Harjo berat, menggema di antara kabut. "Di sungai ini, semua warisan leluhur, semua kekuatan tanah dan darah desa ini akan menguji dirimu." Reza mengangguk perlahan, walau hatinya penuh kecemasan. "Jika kau layak," lanjut Ki Harjo, "kau akan diberi kekuatan untuk menantang bangsa lelembut itu. Tapi jika kau gagal..." Ki Harjo tidak melanjutkan kata-katanya. Ia hanya menatap Reza dalam-dalam, sorot matanya berkata lebih keras dari kata-kata: "Kau
Malam itu, Desa Waringin Sepuh benar-benar seperti berada di ambang kiamat.Angin berhenti berhembus, seakan bumi sendiri menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.Di langit, tidak ada bintang, tidak ada rembulan. Hanya hitam kelam tak bertepi, seolah dunia telah kehilangan semua cahaya harapan.Bu Darmi duduk bersila di tengah pendopo desa, dikelilingi lingkaran lilin dan dupa.Keringat dingin membasahi tubuh tuanya, tapi ia tetap bertahan.Matanya terpejam, bibirnya tak henti-henti melafalkan doa-doa kuno, mantra pelindung yang diwariskan turun-temurun oleh leluhurnya.Namun, dari kejauhan, dari batas hutan yang mengelilingi desa, datang suara gemuruh yang semakin lama semakin keras.Suara itu seperti ribuan langkah kaki, teratur dan penuh tekad.Tanah mulai bergetar, genting-genting rumah berderak pelan seolah akan runtuh.Dan akhirnya, mereka muncul.Bangsa lelembut—dalam berbagai wujud mengerikan—menyerbu desa.Dari hutan, rawa, dan kebun karet, mereka datang berbondong-bondo
Sejak kepergian Reza dan Ki Harjo, Desa Waringin Sepuh seolah kehilangan cahaya.Hari-hari berlalu dalam selimut ketakutan. Udara desa yang biasanya hangat berubah menjadi berat dan dingin, membuat bulu kuduk warga berdiri tanpa sebab.Bu Darmi, satu-satunya penjaga yang tersisa, berusaha sekuat tenaga mempertahankan ketenangan. Ia membakar dupa dan kemenyan setiap sore di empat penjuru desa, membacakan doa-doa kuno yang diajarkan nenek moyangnya.Namun, kekuatan Bu Darmi tidak cukup untuk menahan amarah yang sudah bangkit.Malam pertama setelah ritual penyucian Reza, seorang pemuda, Toni, ditemukan pingsan di tepi rawa. Tubuhnya penuh bekas cakaran aneh, seperti dicabik oleh cakar makhluk besar. Ketika ia siuman, Toni hanya bisa berteriak-teriak histeris, matanya kosong tanpa fokus."Mereka... mereka menari di atas air... mereka memanggilku...," gumam Toni sambil terisak.Warga yang ketakutan mulai mengunci diri di rumah masing-masing sebelum senja. Tidak ada yang berani keluar, bahk
Sinar mentari pagi baru saja mengintip dari balik pegunungan jauh ketika Reza dan Ki Harjo melangkahkan kaki meninggalkan desa. Udara masih basah oleh embun, dan kabut tipis menggantung rendah, seolah-olah menahan langkah mereka untuk pergi.Bu Darmi berdiri di ambang pintu, menatap kepergian mereka dengan mata sendu yang diselimuti kecemasan. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah awal dari perubahan besar—bagi Reza, bagi desa, dan mungkin, bagi seluruh wilayah yang dihuni oleh bangsa lelembut.Dengan membawa bekal secukupnya, serta beberapa kain putih yang telah dirituali, Reza mengikuti Ki Harjo menembus hutan tua yang berada di luar batas desa. Hutan yang bahkan di siang bolong pun terasa gelap dan lembap. Burung-burung pun tampaknya enggan berkicau, seolah mengetahui bahwa hari ini ada sesuatu yang sedang bergerak di antara semak-semak tua itu.Sementara itu, di dalam desa, setelah Reza dan Ki Harjo pergi, sesuatu mulai berubah.Angin yang bertiup teras