Kabut masih menyelimuti Desa Guna Jaya pagi itu. Matahari seolah enggan menampakkan sinarnya. Awan menggumpal pekat, dan aroma tanah basah bercampur dengan bau amis yang tak wajar tercium hingga ke pelosok rumah warga. Sesuatu terasa sangat berbeda pagi itu. Tenang, tapi bukan tenang yang menenangkan. Lebih mirip dengan keheningan sebelum badai.Pagi-pagi benar, suara jeritan memecah kesunyian dari arah pohon beringin tua di ujung desa. Warga yang mendengar langsung berlarian ke sumber suara. Beberapa masih memakai sarung, belum sempat mencuci muka. Yang lain membawa senter dan kayu panjang, berjaga-jaga seandainya sesuatu yang tak diinginkan terjadi.Mereka tiba tepat di bawah pohon itu—pohon beringin tua yang sudah ratusan tahun berdiri, menjulang dan menjalar seperti monster diam. Dan di sanalah mereka melihatnya…Sesuatu tergantung di salah satu dahannya.Awalnya mereka kira boneka. Tapi saat kabut perlahan menyingkap wajah benda itu, suara isak tangis dan jeritan terdengar dari b
Setelah kejadian di pohon beringin, suasana Desa Guna Jaya berubah drastis. Warga mulai enggan keluar rumah selepas maghrib. Bahkan suara jangkrik pun seperti ikut hilang. Hanya suara angin yang kadang terdengar seperti bisikan lirih, menyelinap di antara celah genteng dan dinding rumah-rumah tua.Reza duduk di beranda rumahnya malam itu. Tangannya menggenggam kopi yang tak lagi hangat. Matanya menatap ke arah jalan setapak yang mengarah ke bukit—ke tempat itu. Hatinya tak tenang. Ada rasa yang sulit dijelaskan, seperti ada sesuatu yang mengamatinya dari kejauhan.Tiba-tiba, seekor anjing milik tetangganya melolong panjang. Suaranya seperti jeritan manusia yang disiksa. Lalu... sunyi. Sunyi yang menusuk. Beberapa detik kemudian terdengar suara "krak... krak...", seperti ranting diinjak perlahan. Reza berdiri, mencoba mencari sumber suara. Tapi tak ada siapa-siapa.Saat ia hendak masuk ke dalam rumah, ia melihat sesuatu di ujung jalan.Bayangan hitam. Tinggi. Diam. Berdiri tepat di baw
Setelah kejadian di lorong batu itu, Reza tidak bisa tidur semalaman. Wajah sosok tinggi berjubah dengan tangan seperti ranting masih menghantui pikirannya. Bahkan ketika pagi menjelang dan ayam-ayam mulai berkokok, rasa dingin yang membekukan tubuhnya belum juga hilang. Desa Tegalrandu terlihat seperti biasa—tenang, damai, dan sejuk. Tapi bagi Reza, semuanya terasa berbeda. Seakan-akan sesuatu yang kelam sedang merayap perlahan ke setiap sudut desa.Bu Darmi hanya berkata singkat pagi itu, "Waktumu di sini belum selesai, Reza. Masih ada yang harus kau lihat."Reza mengangguk dengan cemas. Ia tahu, apa pun itu, bukanlah sesuatu yang ingin dilihat manusia biasa.---Sehari setelah mereka menutup lorong, keanehan kembali terjadi. Kali ini bukan hanya suara-suara atau sosok hitam dalam kabut. Tapi lebih nyata. Seorang petani bernama Pak Wijaya ditemukan tergeletak di dekat rawa. Matanya melotot, mulutnya terbuka, dan tubuhnya membeku seperti orang yang melihat sesuatu sangat mengerikan.
Hujan turun deras sejak petang. Desa itu diselimuti kabut tipis yang membuat pandangan malam semakin mencekam. Di antara deru angin dan rintik hujan yang menghantam atap rumah, terdengar sayup-sayup suara gamelan kuno, seperti berasal dari dalam tanah.Bu Darmi duduk termenung di ruang tengah rumah panggungnya. Tatapannya kosong, namun pikirannya dipenuhi rasa was-was. Sejak tumbal dilakukan, memang desa kembali tenang. Tak ada lagi jerit malam, tak ada lagi warga yang hilang secara misterius. Namun Bu Darmi tahu, kedamaian ini hanya sementara.Reza yang kini tinggal bersamanya, merasa perubahan di desa ini bukanlah sebuah pertanda baik. Ia sering memimpikan suara-suara aneh dari pohon beringin tua, dan sosok bayangan hitam yang menatap dari balik kabut.“Bu... kenapa rasanya malam ini berbeda?” tanya Reza pelan.Bu Darmi hanya mengangguk pelan. “Mereka belum puas, Za. Tumbal memang menenangkan mereka sementara... tapi tanah ini sudah terlalu lama dibungkam. Dosa masa lalu belum diteb
Langit di atas Desa Karangjati terlihat kelabu sejak malam ritual terakhir. Matahari pun seperti enggan bersinar terang, seolah tahu bahwa sesuatu yang lebih besar sedang mengintai dari balik batas-batas dunia manusia. Warga desa yang semula mulai merasa lega usai pengorbanan itu, kembali dicekam resah. Hewan-hewan ternak tak mau makan, ayam berkokok di tengah malam, dan bau anyir darah kadang tercium dari arah rawa meski tidak ada bangkai apapun.Bu Darmi yang selama ini menjadi penjaga ilmu dan warisan leluhur, mulai gelisah. Mimpi buruk menghantuinya setiap malam—sosok perempuan berpakaian serba biru dengan rambut menjuntai hingga tanah, berdiri di tengah rawa sambil menatapnya dengan mata putih polos tanpa bola mata. Sosok itu tak berkata apapun, tapi setiap kali muncul, Bu Darmi akan terbangun dengan tubuh menggigil dan dada sesak."Ratu Tunjung Biru... dia sudah bangkit..." gumam Bu Darmi suatu pagi, saat Reza datang membawakannya sarapan. Reza yang mulai pulih dari trauma sebel
Pagi itu, Desa Karangjati terasa lebih hening dari biasanya. Burung-burung yang biasa berkicau di dahan pohon seolah enggan mengeluarkan suara. Embun belum sepenuhnya hilang dari rerumputan, dan kabut tipis masih menggantung di atas sawah. Namun, ketenangan itu hanya ilusi. Di baliknya, tersimpan teror yang siap mencuat kapan saja.Pak Lurah Sunarto mengumpulkan warga di balai desa. Wajahnya kusut, matanya merah karena semalaman tak tidur. Di hadapannya berdiri puluhan warga dengan ekspresi campur aduk antara takut dan penasaran."Semua sudah tahu apa yang terjadi malam tadi... Ratu itu datang bukan sekadar ancaman. Dia menginginkan penyerahan penuh dari kita," ucap Pak Lurah, suaranya serak."Apa maksudnya, Pak? Penyerahan bagaimana?" tanya Pak Warto, petani tua yang paling dituakan di desa.Pak Lurah menghela napas panjang. "Dia ingin desa ini mengakui kekuasaannya. Setiap malam Jumat Kliwon, kita harus mempersembahkan sesuatu di bawah pohon beringin kembar. Kalau tidak, dia akan me
Malam semakin larut, tetapi udara di sekitar desa Wingitan terasa lebih berat dari biasanya. Suasana yang seharusnya sunyi, malah dipenuhi dengan suara-suara aneh yang mengalir dari hutan dan rawa yang berada di ujung desa. Warga mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa. Meskipun ritual tumbal telah dilaksanakan, ada rasa cemas yang tetap mengganjal. Perasaan itu tumbuh perlahan, seperti benih yang disemai dalam hati, menunggu saatnya berkembang menjadi ketakutan yang sesungguhnya.Sutaji, yang sempat merasa lega setelah malam itu, mulai kembali resah. Ia merasa seperti ada yang mengawasinya, setiap langkahnya, setiap hembusan napasnya. Ia tak bisa menjelaskan perasaan itu. Waktu-waktu tertentu, ia merasa ada yang berjalan di belakang rumahnya, berhenti tepat di depan pintu, lalu pergi begitu saja. Namun, ketika ia membuka pintu, tak ada apa-apa.“Istriku pasti benar, ini hanya perasaan. Tapi kenapa aku merasa semakin terperangkap?” pikirnya dalam hati.Sutaji tidak tahu, bahwa malam
Aroma tanah basah masih menggantung di udara pagi itu. Kabut turun lebih tebal dari biasanya, menyelimuti Desa Wingitan seperti tirai tipis yang menutupi sesuatu yang mengerikan. Para warga berjalan pelan di jalanan desa, mata mereka terus waspada, menatap ke arah hutan, rawa, dan bukit kecil di mana beringin tua menjulang. Mereka tidak berbicara banyak. Sejak malam itu, ketakutan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.Bu Darmi duduk termenung di serambi rumahnya, menggenggam tasbih tua warisan neneknya. Tangan tuanya gemetar, dan bibirnya tak henti-hentinya melafalkan doa. Dia tahu, sesuatu telah berubah. Tumbal yang diberikan tak cukup untuk menenangkan mereka yang telah terusik. Bangsa lelembut… mereka tidak hanya marah, tapi merasa dikhianati.“Reza…” suara Bu Darmi pelan memanggil, seperti memanggil cucunya sendiri.Reza sedang duduk di ruang tamunya, wajahnya pucat, matanya sembab karena kurang tidur. “Ada apa, Bu?” tanyanya pelan.“Aku sudah mimpi lagi, Za. Kali ini... buka
Sejak kepergian Reza dan Ki Harjo, Desa Waringin Sepuh seolah kehilangan cahaya.Hari-hari berlalu dalam selimut ketakutan. Udara desa yang biasanya hangat berubah menjadi berat dan dingin, membuat bulu kuduk warga berdiri tanpa sebab.Bu Darmi, satu-satunya penjaga yang tersisa, berusaha sekuat tenaga mempertahankan ketenangan. Ia membakar dupa dan kemenyan setiap sore di empat penjuru desa, membacakan doa-doa kuno yang diajarkan nenek moyangnya.Namun, kekuatan Bu Darmi tidak cukup untuk menahan amarah yang sudah bangkit.Malam pertama setelah ritual penyucian Reza, seorang pemuda, Toni, ditemukan pingsan di tepi rawa. Tubuhnya penuh bekas cakaran aneh, seperti dicabik oleh cakar makhluk besar. Ketika ia siuman, Toni hanya bisa berteriak-teriak histeris, matanya kosong tanpa fokus."Mereka... mereka menari di atas air... mereka memanggilku...," gumam Toni sambil terisak.Warga yang ketakutan mulai mengunci diri di rumah masing-masing sebelum senja. Tidak ada yang berani keluar, bahk
Sinar mentari pagi baru saja mengintip dari balik pegunungan jauh ketika Reza dan Ki Harjo melangkahkan kaki meninggalkan desa. Udara masih basah oleh embun, dan kabut tipis menggantung rendah, seolah-olah menahan langkah mereka untuk pergi.Bu Darmi berdiri di ambang pintu, menatap kepergian mereka dengan mata sendu yang diselimuti kecemasan. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah awal dari perubahan besar—bagi Reza, bagi desa, dan mungkin, bagi seluruh wilayah yang dihuni oleh bangsa lelembut.Dengan membawa bekal secukupnya, serta beberapa kain putih yang telah dirituali, Reza mengikuti Ki Harjo menembus hutan tua yang berada di luar batas desa. Hutan yang bahkan di siang bolong pun terasa gelap dan lembap. Burung-burung pun tampaknya enggan berkicau, seolah mengetahui bahwa hari ini ada sesuatu yang sedang bergerak di antara semak-semak tua itu.Sementara itu, di dalam desa, setelah Reza dan Ki Harjo pergi, sesuatu mulai berubah.Angin yang bertiup teras
Malam itu, setelah suasana sedikit mereda, Ki Harjo mengajak Reza duduk bersila di ruang tengah. Dupa wangi terus mengepul, membentuk asap tipis yang mengambang di langit-langit rumah."Reza," Ki Harjo membuka percakapan dengan nada berat, "apa yang kau alami malam ini... baru permulaan."Reza menatapnya, masih dengan sisa ketakutan di mata. Tapi kini ada juga api kecil yang mulai berkobar dalam dirinya — semangat untuk memahami, untuk melawan kalau perlu."Aku akan mengajarkanmu dasar-dasar bertahan," lanjut Ki Harjo. "Bukan dengan kekuatan otot, tapi kekuatan hati dan pikiran."Bu Darmi datang membawa segenggam bunga kenanga dan segelas air putih dalam kendi tanah liat. Ia duduk di sebelah Reza, menatapnya dengan penuh harap dan doa."Yang harus kau ingat," kata Ki Harjo sambil mengambil bunga kenanga dan meremasnya perlahan, "bangsa lelembut itu tidak bisa menyentuh kita... kecuali kita membiarkan mereka masuk."Reza mengernyit. "Membiarkan masuk, gimana maksudnya, Ki?"Ki Harjo te
Malam makin larut. Angin bertiup keras, membawa aroma tanah basah dan bau aneh seperti kayu lapuk yang membusuk. Reza dan Ki Harjo tiba kembali di rumah Bu Darmi dengan langkah terseok, membawa peti kayu hitam yang terasa lebih berat dari sebelumnya — seolah bukan hanya benda, tapi juga beban tak kasat mata.Bu Darmi sudah menunggu di teras, membawa dupa yang asapnya mengepul pelan ke atas, membentuk pusaran aneh di udara. Wajahnya serius, matanya menatap tajam pada peti di tangan Reza."Letakkan di tengah lingkaran garam," perintah Ki Harjo cepat.Reza mengikuti tanpa banyak bicara. Lingkaran garam dan bunga tujuh rupa sudah disiapkan di ruang tengah. Begitu peti diletakkan di sana, suasana seketika berubah — udara terasa lebih berat, suhu di dalam rumah turun drastis. Lampu minyak bergoyang-goyang padahal tidak ada angin.Ki Harjo duduk bersila, matanya terpejam. Ia mulai merapalkan mantra dalam bahasa Jawa Kuno yang terdengar seperti gemuruh dari dasar bumi. Suaranya berat, bergema
Matahari baru saja tenggelam di balik bukit, menyisakan garis merah tipis di cakrawala saat Reza dan Ki Harjo bersiap berangkat. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk kulit seperti jarum-jarum halus yang tak kasat mata. Langit malam di atas desa seolah tertutup selimut hitam tanpa bintang.Mereka berjalan melewati jalan setapak yang menuju ke area makam leluhur, hanya berbekal obor kecil yang cahayanya bergetar diterpa angin. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah itu sendiri menolak mereka untuk melanjutkan perjalanan."Jaga langkahmu, Reza," Ki Harjo berbisik lirih, hampir seperti gumaman. "Tempat ini sudah lama tidur. Jangan sampai kita membangunkan sesuatu yang lebih tua dari sekadar bangsa lelembut."Reza menelan ludah. Ia bisa merasakan tatapan-tatapan tak kasat mata mengawasinya dari balik semak, dari balik bayang-bayang pohon besar yang menjulang seperti raksasa di dalam kegelapan. Di kejauhan, samar, terdengar suara seperti batu-batu kecil yang bergulir...
Malam itu, setelah meminum air dari kendi tanah liat pemberian Ki Harjo, Reza merasa tubuhnya mulai ringan, seolah pelan-pelan tercerabut dari dunia nyata. Ia masih duduk di ruang depan rumah Bu Darmi, namun pandangannya kabur, suara di sekelilingnya mulai menjauh, dan tubuhnya terasa berat seperti ditarik ke kedalaman yang gelap. Dalam sekejap, Reza berada di sebuah tempat asing. Hamparan kabut tebal menyelimuti tanah yang basah dan berbau anyir. Di kejauhan, tampak pepohonan tua menjulang bengkok, seperti tangan-tangan raksasa yang ingin meraih langit. Tak ada bulan, hanya langit kelam dengan bintang-bintang yang redup seperti nyawa yang sekarat. "Reza…" Suara parau memanggil namanya dari balik kabut. Reza berbalik, mencari sumber suara itu. Dari balik kabut, muncul sosok... bukan manusia. Ia tinggi, kurus, kulitnya pucat kebiruan, dan matanya kosong. Mulutnya tersenyum lebar, penuh gigi tajam. "Siapakah kau?!" teriak Reza, meski suaranya terdengar kecil. Sosok itu melangkah
Malam itu, hujan turun tak seperti biasanya. Air seakan tak hanya jatuh dari langit, tapi juga menyusup dari balik tanah. Langit hitam pekat, tak ada bintang, dan bulan pun tertutup awan gelap yang bergulung seperti naga tidur. Desa sepi, tapi udara terasa berat. Seolah-olah desa sedang menahan napas menunggu sesuatu yang tak kasatmata. Di tengah hutan bambu, tempat makam tua berada, tampak samar nyala api. Bukan api biasa. Warna merahnya terlalu pekat, menyala-nyala seperti darah yang membara. Api itu berdansa di udara, berputar, naik turun, seolah membentuk sesuatu. Lalu... terdengar suara. Pelan. Parau. Berdesis seperti lidah yang terbakar. “Segel... telah dibuka... Waktu... telah hampir tiba...” Di dalam rumah Bu Darmi, Reza terbangun dari tidurnya dengan napas terengah. Dadanya sesak, dan matanya terasa perih. Ia melihat ke sekeliling—tak ada apa-apa. Tapi ia tahu, malam ini berbeda. Sesuatu bergerak di luar. Ki Harjo sudah duduk di ruang depan, mata tuanya menatap lampu miny
Subuh belum menampakkan cahaya, langit masih pekat diselimuti kabut kelabu. Namun rumah Bu Darmi sudah ramai. Suara kidung Jawa lirih terdengar dari ruang belakang, tempat Ki Harjo dan Reza bersiap menuju lokasi segel terakhir. Kali ini, perjalanan mereka tak bisa sembarangan. Bu Darmi menyiapkan bekal berupa kemenyan, bunga telon, minyak kelapa campur kembang kantil, serta seikat tali janur yang sudah dibacakan mantra pelindung. “Kali ini kau akan berjalan di antara dua dunia, Za. Dunia kita dan dunia mereka. Tapi ada satu hal yang harus kau tahu... segel ketiga ini tak hanya dikunci oleh bangsa lelembut. Ia dikunci oleh darah.” Reza menatap wajah Bu Darmi dengan ragu. “Darah siapa, Bu?” “Darahmu.” Langkah mereka menembus kabut pagi, menyusuri jalan setapak yang menuju sebuah bukit kecil di timur desa. Dulu bukit ini dianggap tempat biasa, tempat warga mencari kayu atau sekadar berteduh. Tapi sejak tragedi tanah larangan terjadi, tak ada satu pun warga yang berani mendekat. Tiga
Langit menggantung kelabu, nyaris tanpa cahaya. Kabut dari rawa makin merangsek masuk ke desa, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Malam itu, udara terasa berat, dan keheningan yang menggantung bukan keheningan biasa—seolah alam menahan napas menanti sesuatu yang mengerikan akan datang.Reza duduk bersila di depan api kecil yang menyala redup. Wajahnya murung. Di belakangnya, Ki Harjo tengah membuat lingkar pelindung dari abu dupa dan bunga tujuh rupa, mengitari tubuh Reza dengan mantra-mantra pelindung. Bu Darmi menyiapkan ramuan dari akar-akaran dan air dari sumber mata air tua, yang katanya bisa menguatkan jiwa dalam menghadapi gangguan astral.“Segel kedua... dijaga oleh penjaga yang tak lagi berbentuk manusia,” ucap Ki Harjo pelan.Reza menoleh, bulu kuduknya berdiri.“Penjaga segel itu... dulunya manusia?” tanyanya.“Ya. Ia dulunya penjaga pertama tanah larangan. Karena melanggar sumpah, dia dihukum menjadi penunggu segel. Abadi, tanpa wujud pasti, hanya bisa dilihat oleh o