Share

Tumbal

Penulis: Kelaras ijo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-14 09:35:14

Dini hari itu, setelah upacara penutupan sumur dan rawa, semua warga berharap ketenangan akan kembali. Tapi mereka salah.

Keesokan paginya, tubuh Pak Sastro ditemukan di bawah pohon beringin. Mata terbuka menatap kosong ke langit, mulutnya ternganga seolah ingin berteriak, dan seluruh tubuhnya tertutup lumpur hitam. Jari-jarinya menggenggam tanah, seperti berusaha mencakar keluar dari neraka.

Tak ada tanda-tanda kekerasan. Tapi wajahnya... seperti melihat sesuatu yang tak sanggup ditanggung oleh manusia.

---

Bu Darmi pingsan saat mendengar kabar itu. Setelah siuman, ia hanya bisa berkata lirih:

> "Sudah dimulai... Mereka menagih tumbal..."

---

Warga yang dulu skeptis kini mulai percaya. Mereka sadar bahwa ritual itu bukan mengusir, tapi hanya menunda.

Dan harga penundaan itu... adalah nyawa.

---

Desa mendadak sunyi. Aktivitas berhenti. Anak-anak dilarang keluar. Beberapa keluarga memilih pindah sementara ke kampung sebelah.

Namun malam itu... suara lonceng kecil terdengar dari arah rawa.

Padahal... tidak ada siapa pun yang membawa lonceng.

---

Di rumah Bu Darmi, aroma melati menguar dari dalam kamar meski tak ada bunga. Lampu mati sendiri setiap pukul tiga pagi. Dan setiap malam, seseorang seperti mengetuk-ngetuk jendela rumahnya sambil bersenandung lagu Belanda kuno.

> "Slaap kindje slaap..."

---

Bu Darmi akhirnya mengunjungi kembali Mbah Rono, yang kini terlihat jauh lebih kurus dan pucat.

> “Desa ini butuh tumbal sejati,” ujar Mbah Rono tanpa basa-basi. “Seseorang yang rela... bukan dipaksa.”

> “Kalau tidak?”

> “Bangsa mereka akan memilih sendiri. Dan pilihan mereka... tak bisa dibantah.”

---

Malam itu, Bu Darmi berdiri di tengah lapangan desa. Ia membawa sesajen lengkap: ayam cemani, bunga kantil, air dari sumber mata air yang sudah lama ditinggalkan.

Ia bersimpuh di bawah langit gelap, memohon ampun dan perlindungan.

Tapi tak lama kemudian... suara langkah terdengar dari balik kegelapan.

Pelan, tapi pasti... seseorang mendekat.

Reza.

Tapi itu bukan Reza yang dulu. Wajahnya masih sama, tapi matanya... hitam sepenuhnya, tak ada bagian putih. Ia tak berkedip. Mulutnya kaku. Dan setiap langkahnya... meninggalkan bekas lumpur yang menghitam di tanah.

> “Kau memanggil kami... dan kini waktunya membayar,” ucapnya dengan suara seperti dua orang bicara bersamaan.

---

Bu Darmi menunduk, lalu berdiri perlahan.

> “Ambil aku... lepaskan desa ini.”

Tapi Reza—or whatever he had become—menggeleng.

> “Bukan kau yang kami inginkan. Kau sudah tua. Tubuhmu tak cocok.”

Lalu dari belakangnya muncul sosok lain. Tinggi, berjubah kabut, wajah tertutup kain lusuh, dan dari tubuhnya menguap aroma tanah basah.

> “Kami pilih yang muda... dan yang penuh kehidupan.”

---

Teriakan terdengar dari rumah sebelah. Seorang gadis kecil, anak pasangan muda di desa itu, menghilang dari tempat tidur. Jendela kamarnya terbuka lebar. Di tanah, jejak kaki kecil menuju ke arah... rawa.

Bu Darmi berlari sekencang-kencangnya. Tapi setibanya di rawa, hanya bayangan yang tersisa. Bayangan seperti tangan... menarik sesuatu ke dalam.

Gadis itu... lenyap.

---

Keesokan harinya, desa geger. Warga menuntut tindakan.

Mbah Rono kembali berkata, “Satu tumbal tidak cukup. Mereka ingin tujuh.”

> “Tujuh?” suara Pak Kepala Desa gemetar.

> “Tujuh jiwa... mewakili tujuh pelanggaran. Kalian yang membongkar bedeng, membuka sumur, menebang beringin, mengambil dari rawa tanpa izin, menertawakan peringatan, menolak tanda... dan terakhir, kalian yang pura-pura tak tahu.”

Semua saling pandang.

Satu per satu... mereka merasa menjadi bagian dari tujuh kesalahan itu.

---

Malam harinya, satu keluarga muda pergi diam-diam. Ingin lari dari desa. Tapi mobil mereka tak pernah sampai ke kota. Esoknya, ditemukan terguling di jalan turunan, seluruh tubuh gosong, seperti terbakar dari dalam.

Tak ada api. Tak ada bensin meledak. Tapi tubuh mereka... hangus.

Di kaca depan mobil, tertulis dengan lumpur:

> “Tak bisa lari dari tanah larangan.”

---

Bu Darmi akhirnya menulis surat.

> "Aku tahu aku bukan pilihan mereka. Tapi aku akan mencoba. Jika aku tak kembali, kuburkan aku di bawah pohon beringin. Jangan menangis. Jangan mencariku. Hanya doa yang bisa membantu."

Surat itu ditemukan pagi hari, bersama kain putih dan dupa sisa ritual.

Bu Darmi... tak pernah ditemukan lagi.

---

Tapi sejak malam itu, rawa mulai tenang.

Tak ada lagi bau amis.

Tak ada lagi jeritan.

Dan suara lonceng kecil... hilang.

---

Tapi saat warga mulai mencoba hidup kembali, satu hal kecil muncul kembali.

Di tengah lapangan desa... tumbuh pohon kecil.

Pohon beringin baru.

Tepat di tempat darah pertama tumpah.

Dan setiap malam Jumat, suara kecil terdengar dari akar pohon itu.

> “Masih empat lagi...”

Di malam-malam berikutnya, suasana desa makin berubah. Suara jangkrik menghilang. Angin tak lagi bertiup. Langit pun seperti murka, diselimuti awan kelam yang tak kunjung bubar.

Pak Sastro bukan satu-satunya korban.

Dalam sepekan, dua warga lainnya ditemukan tak bernyawa. Satu orang pemuda, Tegar, ditemukan terkapar di sawah, matanya terbuka lebar dan mulutnya dipenuhi lumpur. Tubuhnya dingin dan kaku seperti telah meninggal berhari-hari, padahal sore sebelumnya ia masih terlihat sehat dan ceria.

Korban lainnya adalah Mbak Weni, guru PAUD di desa. Ia ditemukan di dekat sumber mata air, tubuhnya terendam setengah di dalam air, seperti ditarik oleh sesuatu. Di sekelilingnya, bunga kantil berserakan tanpa ada yang menanam.

Desa kembali berduka.

Namun yang membuat warga semakin takut adalah satu fakta yang tak bisa dijelaskan…

Semua korban seminggu sebelum meninggal pernah melintasi daerah beringin dan berbicara tidak sopan.

---

Salah satu pemuda, Indra, pernah menantang dengan sengaja:

> “Ah, masa iya cuma karena nyari jangkrik aja bisa mati? Itu kan cuma mitos!”

Ia bahkan tertawa sambil meludah ke arah rawa saat berkata begitu.

Seminggu kemudian, Indra menghilang.

Motor miliknya ditemukan di tepi rawa. Mesin masih hangat, lampu masih menyala, tapi tak ada jejak keberadaannya. Satu-satunya petunjuk hanya helm yang tergeletak... dan sehelai rambut panjang putih melilit di pegangannya.

---

Warga mulai tak tidur malam.

Beberapa keluarga mulai membakar kemenyan dan menyalakan lampu minyak di tiap sudut rumah. Tapi semua itu terasa percuma.

Karena setiap malam, suara-suara dari balik pohon beringin makin jelas. Bukan hanya tawa... tapi juga suara tangis. Tangis anak kecil, tangis perempuan, dan bahkan suara teriakan orang dewasa—semuanya berbaur menjadi simfoni kesengsaraan.

---

Di malam Jumat Kliwon berikutnya, beberapa warga nekat melakukan ronda. Mereka tak ingin kehilangan korban lagi.

Empat orang: Pak Mukri, Darto, Leman, dan Andi.

Mereka membawa senter, bambu runcing, dan kitab suci di saku.

Malam itu sunyi. Langkah mereka berat menyusuri jalan setapak dekat rawa.

Namun saat melewati selokan kecil dekat sumber mata air, suara seperti orang menangis membuat mereka berhenti.

Tangisan lirih. Seperti suara anak kecil yang kesepian.

“Jangan dengerin...” bisik Pak Mukri.

Namun Darto yang paling muda penasaran. Ia mengarahkan senter ke arah semak-semak.

Dan di sana… terlihat sosok kecil membelakangi mereka. Berambut panjang, bajunya basah kuyup.

> “Dek, kamu kenapa?” tanya Darto pelan.

Tak ada jawaban.

Sosok itu berdiri perlahan. Kepalanya mulai menoleh... tapi bukan ke kiri atau kanan.

Lehernya memutar 180 derajat ke belakang. Matanya hitam kelam. Dan ia tersenyum.

> “Kamu bagian keempat…”

Lampu senter mati seketika.

Empat orang itu menjerit. Warga menemukan mereka pagi hari, gemetar, tak mampu berkata apa-apa.

Mulut mereka terbuka, tetapi hanya suara serak yang keluar. Mata mereka... kosong.

Dan di dada mereka masing-masing... tergores angka samar:

“4”

---

Kepanikan melanda. Warga ingin meninggalkan desa, tapi semua jalan keluar tertutup kabut tebal setiap malam. Seolah desa ini telah terputus dari dunia luar.

Mbah Rono, yang selama ini menjadi rujukan spiritual desa, mendadak tak sadarkan diri selama tiga hari. Saat sadar, ia hanya berkata:

> “Terlambat. Mereka sudah memilih... yang keempat sudah ditandai. Tiga lagi... dan tanah ini akan menjadi milik mereka sepenuhnya.”

---

Di akhir malam itu, satu hal aneh terjadi di langit desa.

Awan membentuk lingkaran. Di tengahnya, tampak kilatan cahaya merah seperti mata mengintip dari balik langit.

Dan terdengar bisikan... lembut namun menusuk:

> “Tiga jiwa lagi…”

---

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Empat Lagi

    Angin malam itu membawa bau anyir. Bukan seperti bau bangkai biasa, tapi lebih seperti darah yang sudah lama mengering—tercampur tanah basah dan aroma daun-daun busuk.Seluruh desa sepi. Rumah-rumah tertutup rapat. Tirai-tirai digantung tinggi, tak ada satu jendela pun yang terbuka.Anak-anak dilarang keluar. Bahkan ayam pun tak lagi berkokok.Namun suara lain justru semakin sering terdengar...Tuk... tuk... tuk...Seperti ketukan pelan di dinding, jendela, dan pintu—berulang-ulang tiap tengah malam. Tapi saat dibuka, tak ada siapa pun di luar. Hanya bekas jejak lumpur yang menetes, membentuk pola aneh seperti simbol kuno yang tak dikenal.---Di rumah Bu Marni, ketukan itu tak berhenti selama tiga malam berturut-turut. Dan di malam keempat, anak gadisnya, Tika, ditemukan berjalan sendirian menuju arah pohon beringin.Matanya kosong. Bibirnya berkomat-kamit seperti mengucapkan mantra yang tak dimengerti.Saat warga mencoba menahannya, tubuh Tika seperti terangkat sendiri. Melayang beb

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-14
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjemputan

    Langit malam itu tidak lagi kelam seperti biasanya. Ia tampak terbakar dari kejauhan—warna jingga menyala seperti bara, berpadu dengan kabut pekat yang turun tanpa suara. Bukit kecil di tepi desa, tempat dua pohon beringin tua berdiri, tampak menyala samar, seakan sedang menyimpan bara dendam yang membara sejak ratusan tahun lalu.Di desa, para warga memilih bersembunyi di rumah masing-masing. Tak ada suara. Tak ada doa. Tak ada harapan.Yang terdengar hanyalah detak jam tua dan napas orang-orang yang mencoba tidur dengan mata terbuka lebar.Namun malam itu bukan malam biasa.Karena malam itu adalah malam penjemputan.---Sulastri, seorang janda tua yang tinggal dekat rawa, adalah orang pertama yang mendengar suara itu.Gugggg... glugggg...Seperti suara sesuatu yang mengambang dan ditarik dari dasar lumpur. Di luar rumahnya, rawa bergetar—airnya membentuk pusaran besar. Dari tengah pusaran, muncul sesosok tubuh hitam mengilap. Sosok itu perlahan naik ke permukaan, tinggi lebih dari d

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-14
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   penjemputan 2

    Malam itu, kabut turun lebih cepat dari biasanya. Suara jangkrik dan kodok di rawa lenyap bagai dihisap kegelapan. Udara dingin menggigit, meski seharusnya masih musim kemarau. Di desa, orang-orang mulai merasa gelisah. Sejak kejadian terakhir di tanah larangan, tak ada yang berani lewat dekat bukit kecil, apalagi mendekati pohon beringin kembar yang menjulang di sana seperti dua penjaga dunia lain.Pak Lurah sendiri mendadak jatuh sakit. Tubuhnya panas tinggi, namun anehnya darahnya dingin saat disentuh. Matanya terbuka terus, tak bisa tertutup, dan ia terus mengigau menyebut dua nama: “Darmi… Reza… Darmi… Reza…”Sementara itu, Kardi—pemuda yang dulu pernah menantang larangan desa dan berhasil selamat—mulai bermimpi aneh. Dalam mimpinya, ia melihat seorang anak laki-laki berdiri di depan sumur tua yang kini hanya tinggal cekungan tanah hitam. Anak itu memanggilnya, tapi suaranya serak dan berat, bukan suara manusia biasa. Di belakang anak itu berdiri seorang perempuan tua berjubah ke

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-14
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Yang Tak Terlihat

    Malam itu, langit desa ditutupi awan gelap pekat. Petir menyambar-nyambar, tapi anehnya hujan tak kunjung turun. Suasana terasa ganjil, seperti ada sesuatu yang ditahan di langit, menggantung, menunggu waktu jatuh.Bu Darmi berdiri di depan rumah panggungnya, mata tuanya menatap langit dengan wajah muram. Di tangannya tergenggam sebuah kain lusuh yang telah ia simpan selama puluhan tahun—kain itu milik suaminya yang hilang secara misterius setelah melanggar pantangan di Tanah Larangan. Sejak saat itu, Bu Darmi menyimpan dendam yang dalam… bukan pada lelembut, tapi pada ketidaktahuan manusia.Dari kejauhan, Reza berjalan pelan menyusuri jalan setapak, tubuhnya kurus kering, matanya kosong namun kali ini ada sesuatu yang berbeda—ada sinar samar yang perlahan kembali ke dalam sorot matanya. Sejak kejadian di sumur tua, Reza tak pernah benar-benar kembali… sampai malam itu.Bu Darmi menoleh, seolah tahu siapa yang datang sebelum mendengar suara langkahnya.“Kau kembali…” bisiknya lirih.R

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-16
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tenang yang Palsu

    Setelah tumbal dikorbankan di bawah beringin kembar dan ritual pemanggilan dituntaskan oleh Bu Darmi dengan bantuan Reza, desa tampak kembali tenang. Tak ada lagi suara tangis tengah malam. Tak ada penampakan di jalan setapak dekat rawa. Bahkan sumur tua itu tampak sepi, seperti tak pernah menyimpan apa-apa. Namun… suasananya berbeda. Bukan tenang yang menenangkan. Tapi tenang yang bikin bulu kuduk meremang. Tenang yang membuat orang takut keluar rumah lewat Maghrib. Tenang yang menyimpan bisikan dari balik ilalang basah dan angin yang tak lagi dingin… tapi basah, seperti napas dari dalam tanah. Orang-orang mulai mencoba hidup seperti biasa. Tapi sesuatu terasa janggal. Ibu-ibu pasar sering kehilangan barang dagangannya begitu saja. Ayam-ayam mati mendadak. Air dari mata air utama berubah agak keruh, dan beberapa warga yang meminumnya mengaku mual dan demam. Reza merasa... ini belum selesai. Bu Darmi mulai lemas, sering melamun di beranda rumahnya. Katanya, dalam mimpinya, ia

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-16
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Yang Tergantung di Pohon Beringin

    Kabut masih menyelimuti Desa Guna Jaya pagi itu. Matahari seolah enggan menampakkan sinarnya. Awan menggumpal pekat, dan aroma tanah basah bercampur dengan bau amis yang tak wajar tercium hingga ke pelosok rumah warga. Sesuatu terasa sangat berbeda pagi itu. Tenang, tapi bukan tenang yang menenangkan. Lebih mirip dengan keheningan sebelum badai.Pagi-pagi benar, suara jeritan memecah kesunyian dari arah pohon beringin tua di ujung desa. Warga yang mendengar langsung berlarian ke sumber suara. Beberapa masih memakai sarung, belum sempat mencuci muka. Yang lain membawa senter dan kayu panjang, berjaga-jaga seandainya sesuatu yang tak diinginkan terjadi.Mereka tiba tepat di bawah pohon itu—pohon beringin tua yang sudah ratusan tahun berdiri, menjulang dan menjalar seperti monster diam. Dan di sanalah mereka melihatnya…Sesuatu tergantung di salah satu dahannya.Awalnya mereka kira boneka. Tapi saat kabut perlahan menyingkap wajah benda itu, suara isak tangis dan jeritan terdengar dari b

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-17
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Malam yang Panjang

    Setelah kejadian di pohon beringin, suasana Desa Guna Jaya berubah drastis. Warga mulai enggan keluar rumah selepas maghrib. Bahkan suara jangkrik pun seperti ikut hilang. Hanya suara angin yang kadang terdengar seperti bisikan lirih, menyelinap di antara celah genteng dan dinding rumah-rumah tua.Reza duduk di beranda rumahnya malam itu. Tangannya menggenggam kopi yang tak lagi hangat. Matanya menatap ke arah jalan setapak yang mengarah ke bukit—ke tempat itu. Hatinya tak tenang. Ada rasa yang sulit dijelaskan, seperti ada sesuatu yang mengamatinya dari kejauhan.Tiba-tiba, seekor anjing milik tetangganya melolong panjang. Suaranya seperti jeritan manusia yang disiksa. Lalu... sunyi. Sunyi yang menusuk. Beberapa detik kemudian terdengar suara "krak... krak...", seperti ranting diinjak perlahan. Reza berdiri, mencoba mencari sumber suara. Tapi tak ada siapa-siapa.Saat ia hendak masuk ke dalam rumah, ia melihat sesuatu di ujung jalan.Bayangan hitam. Tinggi. Diam. Berdiri tepat di baw

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-17
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kabut dari Arah Beringin

    Setelah kejadian di lorong batu itu, Reza tidak bisa tidur semalaman. Wajah sosok tinggi berjubah dengan tangan seperti ranting masih menghantui pikirannya. Bahkan ketika pagi menjelang dan ayam-ayam mulai berkokok, rasa dingin yang membekukan tubuhnya belum juga hilang. Desa Tegalrandu terlihat seperti biasa—tenang, damai, dan sejuk. Tapi bagi Reza, semuanya terasa berbeda. Seakan-akan sesuatu yang kelam sedang merayap perlahan ke setiap sudut desa.Bu Darmi hanya berkata singkat pagi itu, "Waktumu di sini belum selesai, Reza. Masih ada yang harus kau lihat."Reza mengangguk dengan cemas. Ia tahu, apa pun itu, bukanlah sesuatu yang ingin dilihat manusia biasa.---Sehari setelah mereka menutup lorong, keanehan kembali terjadi. Kali ini bukan hanya suara-suara atau sosok hitam dalam kabut. Tapi lebih nyata. Seorang petani bernama Pak Wijaya ditemukan tergeletak di dekat rawa. Matanya melotot, mulutnya terbuka, dan tubuhnya membeku seperti orang yang melihat sesuatu sangat mengerikan.

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-17

Bab terbaru

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kebangkitan Sang Penguasa Rawa”

    Angin malam itu menderu lebih kencang dari biasanya. Awan hitam menutupi rembulan, membuat seluruh desa tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Pepohonan berderak keras seolah tengah berbisik satu sama lain, membawa kabar buruk yang sulit diterjemahkan.Bu Darmi yang menjaga desa malam itu merasakan firasat aneh. Ia memandangi langit gelap dari serambi rumahnya sambil memeluk erat selendang lusuh pemberian gurunya dahulu — satu-satunya benda yang membuatnya merasa sedikit aman.“Kenapa angin seperti ini...?” gumam Bu Darmi, matanya tajam memandang ke arah hutan kecil yang menjadi gerbang ke rawa terlarang.Suara gemuruh mendadak terdengar. Bukan gemuruh petir, melainkan seperti suara ribuan langkah kaki... dan di antaranya, suara genderang serta gemerincing gamelan.Dari kegelapan, kabut tebal mulai merayap perlahan, menyelimuti tanah, menelusup ke sela-sela rumah warga. Suasana desa mendadak berubah: sepi, namun terasa seperti ribuan pasang mata tengah mengintai dari kegelapan.Warga y

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Amarah Sang Putri

    Langit di atas desa semakin gelap. Putaran pusaran awan hitam yang terbentuk akibat ulah Putri Tanjung Biru makin membesar, seakan hendak menelan seluruh tanah di bawahnya. Kilatan-kilatan cahaya berwarna ungu tua sesekali menyambar di dalam pusaran, menggetarkan tanah dan membuat pohon-pohon tua berderak, daunnya luruh ke tanah.Di tengah lapangan desa, Putri Tanjung Biru berdiri dengan angkuh. Rambut panjangnya yang biru keperakan melayang liar tertiup angin badai. Matanya menyala, memancarkan cahaya kehijauan menyeramkan. Di belakangnya, sosok-sosok bangsa lelembut telah mengambil bentuk nyata — ada yang menyerupai manusia dengan tubuh membusuk, ada yang setengah hewan, ada pula yang hanya berupa kabut kelabu mengambang.Bu Darmi menggenggam rajahnya lebih erat, gemetar, namun tetap bertahan di sisi Reza dan Ki Harjo. Sementara itu, Ki Harjo menancapkan tongkat kayu pulosari ke tanah, membentuk lingkaran perlindungan samar yang berpendar lemah di bawah kaki mereka."Ki Harjo... kek

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Sang Putri Tanjung Biru

    Malam itu, langit di atas desa tampak jernih. Bulan purnama menggantung utuh, sinarnya menghamparkan cahaya keperakan di atas tanah, seolah memberkati keberhasilan yang baru saja diraih Reza, Ki Harjo, dan Bu Darmi.Mereka bertiga duduk di serambi rumah Bu Darmi, menikmati malam yang damai, sesekali menyesap teh hangat dan berbincang ringan tentang harapan masa depan desa."Kita berhasil, Bu," ucap Reza sambil menghela napas lega.Ki Harjo mengangguk pelan. "Untuk sementara, Nak. Tapi ingat, tanah ini sudah lama dikunci oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tua dari yang kau bayangkan."Bu Darmi hanya tersenyum tipis, meski dalam hatinya ada sebersit kekhawatiran yang belum sepenuhnya lenyap.Namun, ketika jarum jam hampir menunjuk ke pukul dua dini hari, angin kencang mendadak berhembus dari arah rawa. Bukan angin biasa — hembusannya dingin menggigit, membawa aroma anyir dan tanah basah.Bersamaan dengan itu, suara gamelan tua terdengar lirih dari kejauhan. Nada-nadanya ganjil, seperti l

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kemenangan Semu

    Tubuh Reza bergetar hebat.Bukan karena takut, melainkan karena kekuatan besar yang mulai bangkit dari dalam dirinya.Saat segel pusaka mencakar tanah, sebuah aura kuno yang selama ini tersegel dalam darahnya terlepas.Udara di sekitarnya bergetar, suara-suara gaib mengerang, seolah makhluk dari zaman purba bangkit bersama amarah Reza.Dari balik kegelapan, sosok samar seorang kakek renta bermantel putih muncul di belakang Reza.Itu adalah roh buyutnya — sang penjaga rahasia kuno keluarga.Wajahnya bijaksana, namun matanya memancarkan ketegasan luar biasa."Cucuku... kini saatnya. Ambil seluruh warisan darah kita. Jadilah perisai baru bagi tanah ini!"Reza mengepalkan tangannya, merasakan darah leluhurnya mendidih bagaikan lava.Tubuhnya perlahan diselimuti cahaya keemasan redup, membentuk pola-pola kuno di kulitnya.Setiap tarikan napasnya kini terasa berat, namun penuh kekuatan.Pemimpin bangsa lelembut itu meringis sinis."Tak peduli siapa leluhurmu, manusia! Semuanya akan berlutut

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun    "Pertempuran di Gerbang Desa"

    Malam itu, langit Desa Waringin Sepuh menggulung dalam warna hitam pekat. Awan bergemuruh seperti amarah dewa yang tak terbendung. Angin bertiup liar, membawa aroma anyir darah dan tanah basah. Di batas desa, di depan gerbang tua yang sudah retak-retak, Bu Darmi berdiri dengan tubuh gemetar. Sisa-sisa kekuatan yang ia gunakan untuk mempertahankan batas pelindung desa nyaris habis. Peluh membanjiri wajahnya, tapi sorot matanya tetap tajam. Di hadapannya, makhluk-makhluk kegelapan sudah berkumpul. Ada sosok-sosok berkulit abu-abu, bertaring panjang, berambut api, bertubuh raksasa, hingga rombongan siluman anjing bertaring hitam. Jumlah mereka tak terhitung, mendesak, meraung, menjerit. Mereka lapar... lapar akan jiwa manusia. Seketika, tanah bergetar keras. Bu Darmi hampir saja jatuh, ketika cahaya putih menyilaukan tiba-tiba meledak dari ujung jalan desa. Semua makhluk itu mendadak berhenti, tubuh mereka gemetar, mulut mereka menggeram ketakutan. Karena di sana, berdiri Re

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pewaris yang Bangkit

    Di sebuah sungai keramat di luar Desa Waringin Sepuh, di tengah kabut tebal yang membeku di atas air, Reza berlutut di atas batu datar. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tapi karena energi aneh yang mengalir dari sungai itu menembus daging dan tulangnya. Ki Harjo berdiri di belakangnya, menggenggam sebuah tongkat kayu tua yang ujungnya bersinar samar. Wajah Ki Harjo serius, lebih serius dari sebelumnya. Suasana begitu hening, bahkan suara serangga pun seolah takut berbunyi. "Dengarkan aku baik-baik, Reza," suara Ki Harjo berat, menggema di antara kabut. "Di sungai ini, semua warisan leluhur, semua kekuatan tanah dan darah desa ini akan menguji dirimu." Reza mengangguk perlahan, walau hatinya penuh kecemasan. "Jika kau layak," lanjut Ki Harjo, "kau akan diberi kekuatan untuk menantang bangsa lelembut itu. Tapi jika kau gagal..." Ki Harjo tidak melanjutkan kata-katanya. Ia hanya menatap Reza dalam-dalam, sorot matanya berkata lebih keras dari kata-kata: "Kau

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   "Malam Seribu Bayangan"

    Malam itu, Desa Waringin Sepuh benar-benar seperti berada di ambang kiamat.Angin berhenti berhembus, seakan bumi sendiri menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.Di langit, tidak ada bintang, tidak ada rembulan. Hanya hitam kelam tak bertepi, seolah dunia telah kehilangan semua cahaya harapan.Bu Darmi duduk bersila di tengah pendopo desa, dikelilingi lingkaran lilin dan dupa.Keringat dingin membasahi tubuh tuanya, tapi ia tetap bertahan.Matanya terpejam, bibirnya tak henti-henti melafalkan doa-doa kuno, mantra pelindung yang diwariskan turun-temurun oleh leluhurnya.Namun, dari kejauhan, dari batas hutan yang mengelilingi desa, datang suara gemuruh yang semakin lama semakin keras.Suara itu seperti ribuan langkah kaki, teratur dan penuh tekad.Tanah mulai bergetar, genting-genting rumah berderak pelan seolah akan runtuh.Dan akhirnya, mereka muncul.Bangsa lelembut—dalam berbagai wujud mengerikan—menyerbu desa.Dari hutan, rawa, dan kebun karet, mereka datang berbondong-bondo

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjaga Terakhir

    Sejak kepergian Reza dan Ki Harjo, Desa Waringin Sepuh seolah kehilangan cahaya.Hari-hari berlalu dalam selimut ketakutan. Udara desa yang biasanya hangat berubah menjadi berat dan dingin, membuat bulu kuduk warga berdiri tanpa sebab.Bu Darmi, satu-satunya penjaga yang tersisa, berusaha sekuat tenaga mempertahankan ketenangan. Ia membakar dupa dan kemenyan setiap sore di empat penjuru desa, membacakan doa-doa kuno yang diajarkan nenek moyangnya.Namun, kekuatan Bu Darmi tidak cukup untuk menahan amarah yang sudah bangkit.Malam pertama setelah ritual penyucian Reza, seorang pemuda, Toni, ditemukan pingsan di tepi rawa. Tubuhnya penuh bekas cakaran aneh, seperti dicabik oleh cakar makhluk besar. Ketika ia siuman, Toni hanya bisa berteriak-teriak histeris, matanya kosong tanpa fokus."Mereka... mereka menari di atas air... mereka memanggilku...," gumam Toni sambil terisak.Warga yang ketakutan mulai mengunci diri di rumah masing-masing sebelum senja. Tidak ada yang berani keluar, bahk

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penyucian Jiwa dan Kegelapan yang Mengintai"

    Sinar mentari pagi baru saja mengintip dari balik pegunungan jauh ketika Reza dan Ki Harjo melangkahkan kaki meninggalkan desa. Udara masih basah oleh embun, dan kabut tipis menggantung rendah, seolah-olah menahan langkah mereka untuk pergi.Bu Darmi berdiri di ambang pintu, menatap kepergian mereka dengan mata sendu yang diselimuti kecemasan. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah awal dari perubahan besar—bagi Reza, bagi desa, dan mungkin, bagi seluruh wilayah yang dihuni oleh bangsa lelembut.Dengan membawa bekal secukupnya, serta beberapa kain putih yang telah dirituali, Reza mengikuti Ki Harjo menembus hutan tua yang berada di luar batas desa. Hutan yang bahkan di siang bolong pun terasa gelap dan lembap. Burung-burung pun tampaknya enggan berkicau, seolah mengetahui bahwa hari ini ada sesuatu yang sedang bergerak di antara semak-semak tua itu.Sementara itu, di dalam desa, setelah Reza dan Ki Harjo pergi, sesuatu mulai berubah.Angin yang bertiup teras

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status