Beranda / Horor / Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun / Bab 2: Mereka yang Tak Terlihat

Share

Bab 2: Mereka yang Tak Terlihat

Penulis: Kelaras ijo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-11 17:30:09

Malam ketiga setelah kejadian di bukit itu, aku tidak benar-benar tidur. Tubuhku lelah, demamku turun naik, tapi mata ini enggan terpejam. Ada sesuatu yang mengendap di udara. Seperti... seseorang—atau sesuatu—mengintipku dari balik gelap.

Aku memejamkan mata. Tapi justru di situlah semuanya dimulai.

Dalam mimpi, aku berdiri di tengah kabut. Kabutnya tebal, nyaris seperti kapas busuk, dan berbau amis. Di sekelilingku hanya suara-suara—bukan suara manusia. Mereka bergumam dalam bahasa yang tidak kumengerti, tapi entah bagaimana aku tahu, mereka membicarakanku.

Di depan, sosok-sosok samar mulai bermunculan. Bayangan-bayangan tinggi, kurus, kepala mereka terlalu panjang, wajahnya ditutupi rambut, dan kakinya... melayang. Mereka tidak berjalan. Mereka mengambang—bergerak perlahan seperti asap.

Salah satu dari mereka menunjukku.

Lalu semuanya memekik dalam satu suara.

“Balikke...! Ojo lali...!”

(Kembalikan...! Jangan lupa...!)

Aku terbangun dengan tubuh menggigil dan nafas memburu.

Di luar kamar, terdengar suara kursi kayu bergeser. Padahal semua orang di rumah sedang tidur. Aku memberanikan diri mengintip. Tak ada siapa-siapa di ruang tamu, hanya lampu gantung yang berayun pelan. Tapi di bawahnya, ada lumpur. Basah. Seperti jejak kaki dari rawa.

Dan di tengah jejak itu—seikat rambut putih.

Bukan rambut manusia. Rambut itu lebih halus, panjang, dan berkilau... seperti benang perak. Aku mundur perlahan, dan menutup pintu kamar rapat-rapat.

---

Besok paginya, aku pergi menemui Pak Tarmo. Wajahnya pucat ketika mendengar ceritaku.

“Kamu mimpi mereka?” tanyanya lirih.

Aku mengangguk.

“Berarti mereka sudah tau kamu. Mereka tau kamu bisa melihat, bisa mendengar... Itu berbahaya, Za. Sekarang kamu bukan lagi orang luar. Kamu sudah ‘diundang masuk’.”

Aku tercekat. “Masuk ke mana, Pak?”

Pak Tarmo menatapku lama.

“Ke kampung mereka.”

---

Kami duduk di pendopo dekat masjid tua. Di sekeliling kami, suara ayam dan anak-anak bermain terdengar biasa. Tapi suasana hatiku justru makin berat.

“Dulu,” kata Pak Tarmo, “di sana itu memang tempat bedeng Belanda. Tapi sebelum Belanda datang, itu sudah lama jadi wilayah bangsa lelembut. Kita cuma numpang. Makanya, ketika mereka datang dan bangun rumah di atas tanah itu—banyak yang gila. Banyak yang mati mendadak.”

Ia menyesap kopinya sebentar sebelum melanjutkan.

“Waktu Belanda pergi, tanah itu dibiarkan. Tapi sumber mata air di sana masih mengalir. Ikan-ikan yang naik saat hujan itu—bukan ikan biasa. Mereka ‘diberi’. Siapa yang ambil, harus tau diri. Kalau serakah... ya, dibawa.”

“Dibawa ke mana, Pak?”

“Ke bawah. Ke dunia mereka. Banyak yang gak sadar. Tiba-tiba ilang. Atau mati dengan wajah ketakutan. Matanya terbuka, mulutnya menganga.”

Aku menunduk. Tangan ini masih gemetar.

Pak Tarmo mengelus pundakku.

“Kamu harus kuat, Za. Kalau mereka sudah tahu kamu, satu-satunya cara adalah menyelesaikan urusannya. Kamu harus balikin yang kamu ambil.”

“Tapi aku udah balikin ikannya!”

“Bukan itu yang mereka minta. Yang kamu ambil itu bukan sekadar ikan. Kamu sudah melanggar batas. Yang mereka minta... lebih dari itu.”

---

Malam itu, aku memutuskan menulis semuanya dalam buku kecil. Aku mulai mencatat mimpi, bayangan, dan suara-suara yang terus datang. Aku tidak bisa cerita ke ibu—beliau sudah cukup takut. Tapi setiap malam, kabut datang lebih cepat, dan suara dari sumur semakin keras.

Sampai suatu malam, aku terbangun dan mendapati... pintu kamar terbuka.

Angin dingin meniup gorden pelan. Dan di ambang pintu, berdiri seorang perempuan. Rambutnya panjang menutupi wajah. Tubuhnya kotor penuh tanah. Bajunya compang-camping, dan suaranya seperti suara anak kecil yang menahan tangis.

“Mas Reza... tolongin aku...”

Aku tak bisa bergerak. Tubuhku seperti ditahan. Mataku hanya bisa menatap sosok itu.

“Tolongin aku, Mas... aku di bawah... aku dikurung...”

Lalu dia menunjuk ke arah sumur.

“Tolongin aku sebelum mereka... gantiin aku... sama kamu...”

Lalu dia menghilang.

---

Besoknya, aku kembali ke sumur itu. Sendirian. Sore hari. Kabut mulai turun, tapi belum terlalu tebal. Aku berdiri di bibir sumur dan berkata lirih:

“Aku minta maaf. Aku gak tahu. Tolong... jangan ganggu keluargaku.”

Tak ada jawaban. Tapi di dalam sumur, aku melihat... mata.

Sepasang mata yang bersinar kuning kehijauan, menatap langsung ke mataku. Lalu menghilang.

Aku lari sekuat tenaga. Dan sejak malam itu, suara-suara di kamar mulai berkurang. Tapi mimpi... mimpi tentang “kampung mereka” justru semakin jelas.

Dalam mimpi, aku berjalan di lorong rumah-rumah kecil yang sunyi. Rumah-rumah itu terbuat dari anyaman bambu hitam. Atapnya bukan genteng—tapi rambut. Di dalamnya, terdengar isak tangis anak-anak, suara gigi bergemeletuk, dan doa-doa dalam bahasa yang tak kupahami.

Dan dari ujung lorong itu... sosok perempuan semalam menatapku.

“Mas Reza... satu langkah lagi... mereka akan gantiin aku...”

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bab 3: Pintu yang Terbuka Sendiri

    Sejak malam itu, setiap aku memejamkan mata, aku tak lagi bermimpi—aku dibawa. Seolah ada tali tak kasat mata yang menarikku ke dunia mereka, ke kampung gelap yang sunyi, lembap, dan dingin.Kampung itu tidak berubah. Rumah-rumah berjajar dengan bentuk aneh, atap-atap dari rambut hitam, dinding dari anyaman daun kering yang seperti bernafas. Di tengah kampung, ada sumur—mirip dengan yang di desa, tapi lebih dalam, dengan uap panas mengepul dari dalamnya.Di sana, anak-anak kecil berlarian. Tapi wajah mereka tidak wajar—sebagian tanpa mata, sebagian tersenyum dengan mulut robek hingga ke telinga. Dan di balik rumah-rumah itu, makhluk-makhluk tinggi, kurus, wajahnya tidak pernah terlihat, hanya mengamati.Mereka tidak mendekat. Tidak juga bicara. Tapi aku tahu... mereka menunggu sesuatu. Menunggu aku melakukan kesalahan.Dan malam itu, aku melangkah lebih jauh dari biasanya.---Aku mengikuti suara tangisan itu—suara si perempuan dari malam-malam sebelumnya. Tangisnya lirih, seperti ana

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-11
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun    Masuk ke Cermin

    Langit malam itu aneh—seperti luka hitam yang menganga. Bintang-bintang seolah padam, digantikan kerlip merah kecil yang menari di kejauhan. Udara panas, tapi dingin menyusup dari tanah. Desa terasa sunyi, terlalu sunyi. Seperti semua suara disedot oleh sesuatu yang tak terlihat. Aku berdiri di halaman belakang rumah, di mana Bu Darmi sudah menyiapkan lingkaran dari abu dan jerami kering. “Sekali kamu masuk, kamu harus tahu jalan keluar,” katanya pelan. “Kalau enggak, kamu akan tetap di sana, selamanya.” Di hadapanku berdiri sebuah cermin besar, tua, usang, dan penuh bercak hitam. Itu cermin yang dulu disimpan di bedeng tua—salah satu benda terakhir dari zaman Belanda yang masih tersisa. Ditemukan kembali oleh warga dan diam-diam disimpan oleh Bu Darmi. “Kenapa harus lewat cermin?” tanyaku. “Karena dari sinilah mereka dulu keluar,” jawabnya, menaburkan garam di sekitar lingkaran. “Dan dari sinilah kamu bisa masuk. Tapi ingat, hanya bisa lewat satu kali. Kalau kamu gagal narik di

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-12
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kutukan yang Bangkit

    Sudah tiga hari sejak Reza kembali dari tempat itu—dari dunia di balik cermin yang tak semestinya dijamah manusia. Tubuhnya masih terasa lemas, tapi pikirannya jauh lebih berat. Ia terus teringat sosok makhluk bersisik itu... dan suara-suara yang masih terngiang meski ia sudah terbangun.Namun yang paling mengganggunya adalah desa. Segalanya tidak lagi sama.Burung-burung tak berkicau di pagi hari. Embun yang biasanya menyejukkan kini terasa berat, seperti air dari sumur yang tak pernah disentuh cahaya. Anak-anak berhenti bermain di dekat rawa. Bahkan para tetua, yang biasa duduk di gardu sambil mengunyah sirih, kini hanya berdiam diri, menatap kosong ke arah bukit kecil tempat pohon beringin kembar itu tumbuh.Dan malam pertama setelah ritual...Langit desa berubah menjadi merah darah.---“Za, kamu harus datang ke rumahku,” suara Bu Darmi gemetar di ujung telepon.Reza melangkah cepat ke rumah wanita tua itu. Begitu tiba, ia mencium bau amis yang sangat kuat—seperti darah busuk berc

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-12
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Malam Para Penjemput

    Malam itu, langit desa seperti terbelah. Awan hitam menggulung tebal, menutup bulan sepenuhnya. Tak ada cahaya. Hanya suara malam yang aneh—sunyi, namun menyimpan sesuatu yang mengintai.Reza berdiri di teras rumahnya, menatap ke arah bukit. Angin malam menyapu dedaunan, namun tak ada suara jangkrik, tak ada burung hantu. Bahkan suara kodok pun tak terdengar.Lalu terdengar... bunyi kendang.Pelan. Tapi ritmenya seperti denyut nadi.Dug... dug... dug... dug...Dari arah rawa.---Sementara itu, di rumah Pak Saman—seorang tetua kampung yang dikenal religius dan punya “mata batin”—istri dan anak-anaknya sedang tertidur. Tapi saat tengah malam, Pak Saman mendengar suara pintu terbuka sendiri.Ia bangun, melangkah pelan menuju ruang depan.Dan di sana... berdiri sesosok perempuan.Rambutnya panjang menyapu lantai. Bajunya lusuh, penuh tanah basah dan lumut rawa. Wajahnya... tidak terlihat. Hanya rambut dan bayangan hitam seperti kabut.“Maaf, Nduk... ini rumah siapa?” tanya Pak Saman deng

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-12
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bukan Reza

    Pagi itu, langit di atas desa tampak tenang. Matahari bersinar hangat, burung berkicau riang, dan udara terasa bersih. Warga yang kemarin histeris dan kalut kini seperti terbangun dari tidur panjang. Mereka tak sepenuhnya ingat apa yang terjadi. Namun ada satu hal yang semua orang tahu dengan pasti: Reza menghilang. Pak Sastro, kepala desa, menemukan kendi tua di tepi rawa. Ia mengangkatnya pelan, lalu membawanya ke balai desa. Anehnya, kendi itu dingin... tapi berembun, seolah menyimpan hawa dari dunia lain. Tak lama, warga mulai berkumpul. Mereka saling bertanya. Semua tampak tenang, tapi... ketenangan itu terasa palsu. --- Tiga hari kemudian, seseorang terlihat berjalan dari arah bukit. Tubuhnya penuh lumpur kering, pakaian sobek, dan langkahnya gontai. Warga langsung mengenalinya. Itu Reza. Tapi ada yang aneh. Matanya kosong. Tak ada senyum, tak ada emosi. Ia hanya menatap orang-orang di sekitarnya dengan wajah datar. Bu Siti, tetangga dekatnya, menyambut dengan haru. Tapi

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-12
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tumbal

    Dini hari itu, setelah upacara penutupan sumur dan rawa, semua warga berharap ketenangan akan kembali. Tapi mereka salah.Keesokan paginya, tubuh Pak Sastro ditemukan di bawah pohon beringin. Mata terbuka menatap kosong ke langit, mulutnya ternganga seolah ingin berteriak, dan seluruh tubuhnya tertutup lumpur hitam. Jari-jarinya menggenggam tanah, seperti berusaha mencakar keluar dari neraka.Tak ada tanda-tanda kekerasan. Tapi wajahnya... seperti melihat sesuatu yang tak sanggup ditanggung oleh manusia.---Bu Darmi pingsan saat mendengar kabar itu. Setelah siuman, ia hanya bisa berkata lirih:> "Sudah dimulai... Mereka menagih tumbal..."---Warga yang dulu skeptis kini mulai percaya. Mereka sadar bahwa ritual itu bukan mengusir, tapi hanya menunda.Dan harga penundaan itu... adalah nyawa.---Desa mendadak sunyi. Aktivitas berhenti. Anak-anak dilarang keluar. Beberapa keluarga memilih pindah sementara ke kampung sebelah.Namun malam itu... suara lonceng kecil terdengar dari arah ra

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-14
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Empat Lagi

    Angin malam itu membawa bau anyir. Bukan seperti bau bangkai biasa, tapi lebih seperti darah yang sudah lama mengering—tercampur tanah basah dan aroma daun-daun busuk.Seluruh desa sepi. Rumah-rumah tertutup rapat. Tirai-tirai digantung tinggi, tak ada satu jendela pun yang terbuka.Anak-anak dilarang keluar. Bahkan ayam pun tak lagi berkokok.Namun suara lain justru semakin sering terdengar...Tuk... tuk... tuk...Seperti ketukan pelan di dinding, jendela, dan pintu—berulang-ulang tiap tengah malam. Tapi saat dibuka, tak ada siapa pun di luar. Hanya bekas jejak lumpur yang menetes, membentuk pola aneh seperti simbol kuno yang tak dikenal.---Di rumah Bu Marni, ketukan itu tak berhenti selama tiga malam berturut-turut. Dan di malam keempat, anak gadisnya, Tika, ditemukan berjalan sendirian menuju arah pohon beringin.Matanya kosong. Bibirnya berkomat-kamit seperti mengucapkan mantra yang tak dimengerti.Saat warga mencoba menahannya, tubuh Tika seperti terangkat sendiri. Melayang beb

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-14
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjemputan

    Langit malam itu tidak lagi kelam seperti biasanya. Ia tampak terbakar dari kejauhan—warna jingga menyala seperti bara, berpadu dengan kabut pekat yang turun tanpa suara. Bukit kecil di tepi desa, tempat dua pohon beringin tua berdiri, tampak menyala samar, seakan sedang menyimpan bara dendam yang membara sejak ratusan tahun lalu.Di desa, para warga memilih bersembunyi di rumah masing-masing. Tak ada suara. Tak ada doa. Tak ada harapan.Yang terdengar hanyalah detak jam tua dan napas orang-orang yang mencoba tidur dengan mata terbuka lebar.Namun malam itu bukan malam biasa.Karena malam itu adalah malam penjemputan.---Sulastri, seorang janda tua yang tinggal dekat rawa, adalah orang pertama yang mendengar suara itu.Gugggg... glugggg...Seperti suara sesuatu yang mengambang dan ditarik dari dasar lumpur. Di luar rumahnya, rawa bergetar—airnya membentuk pusaran besar. Dari tengah pusaran, muncul sesosok tubuh hitam mengilap. Sosok itu perlahan naik ke permukaan, tinggi lebih dari d

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-14

Bab terbaru

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjaga Terakhir

    Sejak kepergian Reza dan Ki Harjo, Desa Waringin Sepuh seolah kehilangan cahaya.Hari-hari berlalu dalam selimut ketakutan. Udara desa yang biasanya hangat berubah menjadi berat dan dingin, membuat bulu kuduk warga berdiri tanpa sebab.Bu Darmi, satu-satunya penjaga yang tersisa, berusaha sekuat tenaga mempertahankan ketenangan. Ia membakar dupa dan kemenyan setiap sore di empat penjuru desa, membacakan doa-doa kuno yang diajarkan nenek moyangnya.Namun, kekuatan Bu Darmi tidak cukup untuk menahan amarah yang sudah bangkit.Malam pertama setelah ritual penyucian Reza, seorang pemuda, Toni, ditemukan pingsan di tepi rawa. Tubuhnya penuh bekas cakaran aneh, seperti dicabik oleh cakar makhluk besar. Ketika ia siuman, Toni hanya bisa berteriak-teriak histeris, matanya kosong tanpa fokus."Mereka... mereka menari di atas air... mereka memanggilku...," gumam Toni sambil terisak.Warga yang ketakutan mulai mengunci diri di rumah masing-masing sebelum senja. Tidak ada yang berani keluar, bahk

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penyucian Jiwa dan Kegelapan yang Mengintai"

    Sinar mentari pagi baru saja mengintip dari balik pegunungan jauh ketika Reza dan Ki Harjo melangkahkan kaki meninggalkan desa. Udara masih basah oleh embun, dan kabut tipis menggantung rendah, seolah-olah menahan langkah mereka untuk pergi.Bu Darmi berdiri di ambang pintu, menatap kepergian mereka dengan mata sendu yang diselimuti kecemasan. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah awal dari perubahan besar—bagi Reza, bagi desa, dan mungkin, bagi seluruh wilayah yang dihuni oleh bangsa lelembut.Dengan membawa bekal secukupnya, serta beberapa kain putih yang telah dirituali, Reza mengikuti Ki Harjo menembus hutan tua yang berada di luar batas desa. Hutan yang bahkan di siang bolong pun terasa gelap dan lembap. Burung-burung pun tampaknya enggan berkicau, seolah mengetahui bahwa hari ini ada sesuatu yang sedang bergerak di antara semak-semak tua itu.Sementara itu, di dalam desa, setelah Reza dan Ki Harjo pergi, sesuatu mulai berubah.Angin yang bertiup teras

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Gerbang Baru Telah Terbuka

    Malam itu, setelah suasana sedikit mereda, Ki Harjo mengajak Reza duduk bersila di ruang tengah. Dupa wangi terus mengepul, membentuk asap tipis yang mengambang di langit-langit rumah."Reza," Ki Harjo membuka percakapan dengan nada berat, "apa yang kau alami malam ini... baru permulaan."Reza menatapnya, masih dengan sisa ketakutan di mata. Tapi kini ada juga api kecil yang mulai berkobar dalam dirinya — semangat untuk memahami, untuk melawan kalau perlu."Aku akan mengajarkanmu dasar-dasar bertahan," lanjut Ki Harjo. "Bukan dengan kekuatan otot, tapi kekuatan hati dan pikiran."Bu Darmi datang membawa segenggam bunga kenanga dan segelas air putih dalam kendi tanah liat. Ia duduk di sebelah Reza, menatapnya dengan penuh harap dan doa."Yang harus kau ingat," kata Ki Harjo sambil mengambil bunga kenanga dan meremasnya perlahan, "bangsa lelembut itu tidak bisa menyentuh kita... kecuali kita membiarkan mereka masuk."Reza mengernyit. "Membiarkan masuk, gimana maksudnya, Ki?"Ki Harjo te

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Rahasia dalam Peti

    Malam makin larut. Angin bertiup keras, membawa aroma tanah basah dan bau aneh seperti kayu lapuk yang membusuk. Reza dan Ki Harjo tiba kembali di rumah Bu Darmi dengan langkah terseok, membawa peti kayu hitam yang terasa lebih berat dari sebelumnya — seolah bukan hanya benda, tapi juga beban tak kasat mata.Bu Darmi sudah menunggu di teras, membawa dupa yang asapnya mengepul pelan ke atas, membentuk pusaran aneh di udara. Wajahnya serius, matanya menatap tajam pada peti di tangan Reza."Letakkan di tengah lingkaran garam," perintah Ki Harjo cepat.Reza mengikuti tanpa banyak bicara. Lingkaran garam dan bunga tujuh rupa sudah disiapkan di ruang tengah. Begitu peti diletakkan di sana, suasana seketika berubah — udara terasa lebih berat, suhu di dalam rumah turun drastis. Lampu minyak bergoyang-goyang padahal tidak ada angin.Ki Harjo duduk bersila, matanya terpejam. Ia mulai merapalkan mantra dalam bahasa Jawa Kuno yang terdengar seperti gemuruh dari dasar bumi. Suaranya berat, bergema

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Langkah di Atas Kubur

    Matahari baru saja tenggelam di balik bukit, menyisakan garis merah tipis di cakrawala saat Reza dan Ki Harjo bersiap berangkat. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk kulit seperti jarum-jarum halus yang tak kasat mata. Langit malam di atas desa seolah tertutup selimut hitam tanpa bintang.Mereka berjalan melewati jalan setapak yang menuju ke area makam leluhur, hanya berbekal obor kecil yang cahayanya bergetar diterpa angin. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah itu sendiri menolak mereka untuk melanjutkan perjalanan."Jaga langkahmu, Reza," Ki Harjo berbisik lirih, hampir seperti gumaman. "Tempat ini sudah lama tidur. Jangan sampai kita membangunkan sesuatu yang lebih tua dari sekadar bangsa lelembut."Reza menelan ludah. Ia bisa merasakan tatapan-tatapan tak kasat mata mengawasinya dari balik semak, dari balik bayang-bayang pohon besar yang menjulang seperti raksasa di dalam kegelapan. Di kejauhan, samar, terdengar suara seperti batu-batu kecil yang bergulir...

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Ujian di Antara Dua Dunia

    Malam itu, setelah meminum air dari kendi tanah liat pemberian Ki Harjo, Reza merasa tubuhnya mulai ringan, seolah pelan-pelan tercerabut dari dunia nyata. Ia masih duduk di ruang depan rumah Bu Darmi, namun pandangannya kabur, suara di sekelilingnya mulai menjauh, dan tubuhnya terasa berat seperti ditarik ke kedalaman yang gelap. Dalam sekejap, Reza berada di sebuah tempat asing. Hamparan kabut tebal menyelimuti tanah yang basah dan berbau anyir. Di kejauhan, tampak pepohonan tua menjulang bengkok, seperti tangan-tangan raksasa yang ingin meraih langit. Tak ada bulan, hanya langit kelam dengan bintang-bintang yang redup seperti nyawa yang sekarat. "Reza…" Suara parau memanggil namanya dari balik kabut. Reza berbalik, mencari sumber suara itu. Dari balik kabut, muncul sosok... bukan manusia. Ia tinggi, kurus, kulitnya pucat kebiruan, dan matanya kosong. Mulutnya tersenyum lebar, penuh gigi tajam. "Siapakah kau?!" teriak Reza, meski suaranya terdengar kecil. Sosok itu melangkah

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Api di Tengah Bambu

    Malam itu, hujan turun tak seperti biasanya. Air seakan tak hanya jatuh dari langit, tapi juga menyusup dari balik tanah. Langit hitam pekat, tak ada bintang, dan bulan pun tertutup awan gelap yang bergulung seperti naga tidur. Desa sepi, tapi udara terasa berat. Seolah-olah desa sedang menahan napas menunggu sesuatu yang tak kasatmata. Di tengah hutan bambu, tempat makam tua berada, tampak samar nyala api. Bukan api biasa. Warna merahnya terlalu pekat, menyala-nyala seperti darah yang membara. Api itu berdansa di udara, berputar, naik turun, seolah membentuk sesuatu. Lalu... terdengar suara. Pelan. Parau. Berdesis seperti lidah yang terbakar. “Segel... telah dibuka... Waktu... telah hampir tiba...” Di dalam rumah Bu Darmi, Reza terbangun dari tidurnya dengan napas terengah. Dadanya sesak, dan matanya terasa perih. Ia melihat ke sekeliling—tak ada apa-apa. Tapi ia tahu, malam ini berbeda. Sesuatu bergerak di luar. Ki Harjo sudah duduk di ruang depan, mata tuanya menatap lampu miny

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Segel Terakhir, Gerbang Terbuka

    Subuh belum menampakkan cahaya, langit masih pekat diselimuti kabut kelabu. Namun rumah Bu Darmi sudah ramai. Suara kidung Jawa lirih terdengar dari ruang belakang, tempat Ki Harjo dan Reza bersiap menuju lokasi segel terakhir. Kali ini, perjalanan mereka tak bisa sembarangan. Bu Darmi menyiapkan bekal berupa kemenyan, bunga telon, minyak kelapa campur kembang kantil, serta seikat tali janur yang sudah dibacakan mantra pelindung. “Kali ini kau akan berjalan di antara dua dunia, Za. Dunia kita dan dunia mereka. Tapi ada satu hal yang harus kau tahu... segel ketiga ini tak hanya dikunci oleh bangsa lelembut. Ia dikunci oleh darah.” Reza menatap wajah Bu Darmi dengan ragu. “Darah siapa, Bu?” “Darahmu.” Langkah mereka menembus kabut pagi, menyusuri jalan setapak yang menuju sebuah bukit kecil di timur desa. Dulu bukit ini dianggap tempat biasa, tempat warga mencari kayu atau sekadar berteduh. Tapi sejak tragedi tanah larangan terjadi, tak ada satu pun warga yang berani mendekat. Tiga

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Darah Penjaga Segel

    Langit menggantung kelabu, nyaris tanpa cahaya. Kabut dari rawa makin merangsek masuk ke desa, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Malam itu, udara terasa berat, dan keheningan yang menggantung bukan keheningan biasa—seolah alam menahan napas menanti sesuatu yang mengerikan akan datang.Reza duduk bersila di depan api kecil yang menyala redup. Wajahnya murung. Di belakangnya, Ki Harjo tengah membuat lingkar pelindung dari abu dupa dan bunga tujuh rupa, mengitari tubuh Reza dengan mantra-mantra pelindung. Bu Darmi menyiapkan ramuan dari akar-akaran dan air dari sumber mata air tua, yang katanya bisa menguatkan jiwa dalam menghadapi gangguan astral.“Segel kedua... dijaga oleh penjaga yang tak lagi berbentuk manusia,” ucap Ki Harjo pelan.Reza menoleh, bulu kuduknya berdiri.“Penjaga segel itu... dulunya manusia?” tanyanya.“Ya. Ia dulunya penjaga pertama tanah larangan. Karena melanggar sumpah, dia dihukum menjadi penunggu segel. Abadi, tanpa wujud pasti, hanya bisa dilihat oleh o

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status